Membedah Polemik Pernyataan Jenderal Andika tentang Anak PKI Masuk Tentara
Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Pemerhati Sosial Politik Forum Diaspora Indonesia, menetap di Perth Australia
SEHARUSNYA pernyataan Panglima TNI saat ini tentang membuka pola dan standar baru penerimaan prajurit TNI adalah masalah internal TNI yang tidak perlu diributkan.
Namun, karena doktrin dan jargon dari TNI itu sendiri adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional Indonesia dan tentara profesional, pernyataan Panglima yang terbuka ke publik menjadi perhatian karena TNI dalam mata batin rakyat Indonesia adalah anak kandung rakyat yang tentu rasa memiliki dan rasa cinta rakyat terhadap TNI sangat tinggi.
Untuk itu, ada beberapa hal yang menurut pemahaman publik perlu penjelasan dan klarifikasi pemahaman sehingga pernyataan Panglima tersebut begitu mengagetkan rakyat bagai petir di siang bolong.
Pertama, pernyataan Panglima tersebut diucapkan di tengah sedang memuncak tingginya prilaku Islamfobia oleh beberapa pejabat pemerintah terhadap Islam atas nama radikalisme dan intoleransi.
Narasi yang “tidak ramah” terhadap ummat Islam tersebut kontradiksi dengan narasi “ramah” terhadap PKI atau apalah namanya yang ditampilkan Panglima TNI. Jadi momentumnya sungguh sangat tidak tepat di ucapkan. Di satu sisi, ummat Islam sedang kecewa dengan perlakuan pemerintah terhadap Islam, di sisi lain bagi para pihak anak keturunan PKI dan antek-anteknya tentu akan tepuk riang gembira.
Seperti contoh ; Peristiwa show of force pasukan khusus TNI lengkap dengan panser dan ranpur menteror markas FPI di Petamburan, penurunan baliho oleh prajurit Kodam Jaya, serta ucapan KSAD Jendral Dudung tentang “Tuhan kita bukan orang Arab”. Masih begitu segar dalam ingatan ummat Islam di Indonesia. Dan peristiwa tersebut sangat menyakitkan dan melukai ummat Islam selaku mayoritas di bumi Nusantara ini.
Narasi-narasi Islamfobia berlabel radikalisme, intoleransi dan terorisme ini secara masive digelorakan rezim saat ini. Dimana para pejabat negaranya pun seakan berlomba untuk mempertontonkan prilaku ini kepada publik nusantara. Seolah “ajang bakat” dalam mendapatkan sebuah apresiasi dari penguasa. Termasuk oknum pejabat tertinggi dari TNI itu sendiri.
Kedua, Jendral Andika harus menjelaskan kepada publik, sebagai teladan yang baik, bahwa ucapan beliau membolehkan anak keturunan PKI masuk tentara itu adalah ucapan pribadinya atau ucapannya selaku Panglima TNI?
Kalau itu adalah ucapan pribadi, ini sah-sah saja sebagai pendapat personal pimpinan. Namun, tentu ucapan pribadi ini tidak langsung dan ujug-ujug jadi sebuah keputusan mutlak.
Tapi kalau ucapan tersebut adalah ucapan dirinya selaku Panglima TNI, Jendral Andika mesti mampu menjelaskan dasar ucapannya, baik secara akademis, teoritis, dan kaidah doktrin dalam institusi TNI.
Tidak bisa ujug-ujug hanya karena “oh ini tidak ada dasar hukum tertulisnya, kita harus taat hukum” tidak bisa seperti itu. Dasar argumentasinya adalah ; Kalau hal tersebut tak ada dasar hukumnya, lalu dasar hukumnya buat Jendral Andika membuat keputusan itu juga apa?
Ketiga, lalu kalau kita berbicara atas nama hukum, tidak bisa dengan pola kaca mata kuda. Dalam hukum itu, ada namanya etika, norma, dan azas hukum. Dimana etika, norma, dan azas hukum ini berada di atas hukum yang tertulis (positif) itu sendiri. Walaupun etika, norma, dan azas hukum tersebut tidak tertulis. Pemahaman ini sudah lazim bagi dunia hukum baik praktisi dan akademisi.
Dan secara aplikatif dan konkrit atau yurisprudensinya, kenapa hanya ketika Panglimanya Jendral Andika, yang juga menantu Hendro Priyono ini, keputusan ini diambil. Padahal Panglima sebelumnya tak berani mengutak-ngatik hal ini. Walaupun aturan dan regulasinya sama. Ini ada apa?
Keempat, ketika kita berbicara substansi ucapan Panglima, bahwa terjadi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap para keturunan anak PKI untuk masuk tentara. Padahal, dosa seorang bapak itu tidak diturunkan kepada anak cucunya. Ideologi itu tidak diturunkan bahkan banyak para anak cucu PKI yang bangun mesjid dan umrohkan masyarakat banyak.
Jawabannya juga sederhana saja. Sekarang mari kita balik pertanyaannya. Kalau tidak ada jaminan seorang anak cucu PKI tertular ideologi orang tuanya, lalu apa juga jaminan seorang anak cucu PKI itu “tidak” tertular ideologi orang tuanya ?
Kalaupun ada anak cucu keturunan PKI buat mesjid, umrohkan orang, hal tersebut tidak ada relevansinya. Selain data seperti itu apakah memang benar ada atau halu semata, yang menjadi permasalahan utama kita adalah ideologi PKI yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara.
Karena apabila seseorang sudah terpapar ideologi PKI, maka kerjanya hanya merusak, mengadu domba, menebar kebencian, membolak-balik kan fakta, membenci agama apalagi Islam, suka mencaci maki symbol agama dan memfitnah demi mewujudkan tujuannya.
Kelima, secara hukum positif sudah sangat jelas dan terang benderang. Bahwa penyebaran ideologi komunisme-leninisme-marxisme ini dilarang hidup di Indonesia. Berdasarkan TAP/MPRS/XXV/1966 dan UU nomor 27 tahun 1999.
Artinya payung hukumnya sudah jelas dan tegas. Bagaimana implementasinya, di situlah diminta kepada para penegak hukum dan institusi negara tidak pilih kasih.
Merujuk kepada kasus Munarman yang dikaitkan dengan terorisme hanya dengan hadir di dalam sebuah pembaiatan dan berhubungan dengan beberapa oknum personal jaringan yang dicap teroris, lalu bagaimana dengan contoh misalnya : ada sebuah partai besar yang konkrit dan berkesinambungan melakukan kerja sama dengan Partai Komunis China. Bahkan mengirimkan para kadernya belajar ke Partai Komunis China. Sampai generasi ke 14 setiap tahunnya?
Hal-hal seperti inilah yang sebenarnya menjadi pemicu sentimentil dan munculnya asumsi liar terhadap penguasa hari ini. Yaitu : Ramah terhadap apa saja yang berbau komunisme, tapi sangat tidak ramah dan represif ketika berhubungan dengan Islam.
Keenam, kalau kita berbicara TNI secara utuh. Seorang Panglima TNI sebagai pucuk pimpinan tertinggi harus paham dengan posisi dirinya dalam menjalankan politik negara bukan politik praktis.
Politik TNI itu adalah politik negara yang setia kepada KeTuhanan Yang Maha Esa dan Pancasila - UUD 1945.
Maksudnya adalah, TNI itu adalah milik dan kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, seorang prajurit TNI apapun pangkat jabatannya harus peka terhadap suara batin rakyat sebagai ibu kandungnya.
Karena, pemahaman ini sudah tertanam dalam doktrin, jati diri, dan sumpah sapta marga seorang prajurit TNI. Artinya, TNI itu secara historikal sudah mempunyai kultur budaya, doktrin, jati diri, serta karakter yang sudah mapan dan baku. Maka jadilah out put nya saat ini, secara kualitas dan mutu, secara kewibawaan dan tingkat kepercayaan, TNI adalah organisasi pemerintahan terbaik nomor satu di negeri ini.
Secara kualitas prajurit, bahkan TNI adalah salah satu tentara terbaik yang mempunyai pasukan khusus terbaik di dunia. Ranking 16 versi majalah Military Global Fire Power.
Artinya, ini menunjukkan TNI telah berhasil membentuk dirinya sedemikian rupa sampai saat ini. Dan semua itu dimulai tentunya dari proses rekruitmen awal untuk menjadi seorang prajurit TNI. Nahh, tiba-tiba muncul ide dan ucapan Jendral Andika mengutak-ngatik proses dan standarisasi proses rekruitmen ini. Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar publik apalagi di internal tubuh TNI itu sendiri.
Permasalahannya adalah, Jendral Andika tidak saja menghapus syarat anak keturunan PKI tidak bisa masuk tentara, tetapi juga masalah syarat keperawanan, syarat belum menikah, kemampuan berenang dan riwayat pecandu alkohol semua dihapuskan. Pertanyaannya adalah : apakah semua kebijakan Jendral Andika itu sudah melalui sebuah diskusi dan kajian akademis yang terukur secara ilmiah? Atau hanya ucapan sesaat semata?
Ketujuh, Jendral Andika selaku Panglima TNI semestinya paham konstalasi dan dinamika politik tanah air saat ini yang sedang memanas. Baik itu tentang isu perpanjangan masa jabatan Presiden, hiruk pikuk Pemilu dan Pilpres.
Karena akan dengan mudah, publik akan berasumsi ucapan Jendral Andika tentang anak PKI tersebut hanya sebagai ajang cari muka kepada penguasa hari ini khususnya PDIP. Karena, publik sudah tahu bahwa : Jendral Andika saat ini sebentar lagi akan memasuki masa pensiun November tahun ini. Dan publik juga tahu, uji materil perpanjangan usia pensiun TNI dari umur 58 menjadi 60 juga ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Sontak, benak publik akan dengan mudah mengkaitkan bahwa ada kepentingan politik pribadi sebagai ajang “cari muka” bermuatan politis. Walaupun hal itu kita juga yakin hanya berupa asumsi liar yang belum terbukti. Namun bagaimana kita bisa membatasi pikiran-pikiran manusia ?
Kedelapan, Kebijakan Pelarangan anak keturunan PKI masuk tentara sejak zaman Orde Baru yang di lakukan oleh para senior dan pendahulu TNI tentu ada dasar kuatnya yang terukur. Mereka lah yang tahu bagaimana berbahayanya ideologi PKI ini terhadap bangsa kita.
Dan mestinya hal ini menjadi warisan berharga bagi generasi penerusnya di TNI. Contoh kalau kebijakan pelarangan itu kuat dan terukur adalah ; Selama Orde Baru berkuasa, dimana segala tindakan PKI di koptasi dan di tekan, mana ada seperti saat ini, dengan mudahnya seseorang mencaci-caci agama. Dengan leluasanya orang yang dekat dengan kekuasaan menista agama, para tokoh ulama dan symbol-symbol agamanya, khususnya Islam.
Adalah fakta dan bukti konkrit, bahwa sejak reformasi dan koptasi terhadap anak keturunan PKI dibuka inilah keharmonisan anak bangsa saat ini kembali rusak tercabik-cabik persis seperti tahun 1965 ketika PKI juga jadi partai penguasa. Ini adalah fakta konkrit yang tidak terbantahkan. Apalagi sejak China komunis menjada negara raksasa dunia sebagai sponsornya.
Dengan sedikit pembahasan kita di atas, kita tentu semua mengharapkan agar TNI secara institusi kembali berjalan sesuai tupoksinya. Jangan seret-seret TNI ke dalam dunia politik praktis demi kepentingan pribadi.
Pro dan kontra itu biasa, tapi asal jangan menabrak sesuatu hal yang seharusnya tabu dan sakral untuk diutak-atik. Karena TNI itu adalah institusi besar, berwibawa, dan sudah punya historikal, doktrin, dan jati diri serta karakter.
Traumatik akan kebiadaban PKI masa lalu, sudah menjadi pakem sejarah bagi TNI secara permanen. Tak mudah untuk merubah itu semua. Bahkan akan memancing reaksi sebaliknya.
Untuk itulah kita harapkan, agar ke depan siapapun yang menjadi Panglima TNI harus dapat memisahkan mana yang urusan pribadi dan mana yang urusan jabatan. Kalaupun ada sebuah kebijakan, apa salahnya gunakan media dan instrumen pengambilan kebijakan yang sudah ada. Agar ketika sebuah kebijakan itu diambil, sudah matang dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Bravo TNI, semoga TNI kita ke depan tetap berjaya dalam menjaga kedaulatan dan martabat negara kita. Amin. (*)