OPINI
Ibu Kota Baru Sebagai Syahwat Nekolim
Jakarta memang penuh drama dan problematika. Tangis dan tawa menyatu mengiringi dinamika populasinya. Seakan kebahagiaan dan penderitaan menyatu silih berganti. Seperti detak jantung, denyut nadinya tak pernah lelah di siang malam menghiasi kota metropolis itu. Terkadang keringat dan darah bercucuran tak beraturan. Tumpah mewakili daya juang, meski tak jarang berlumur pedih dan luka mendalam. Selalu ada saja yang berjaya dan terpinggirkan, menjadi buah kompetisi rimba dan sistem yang bengis. Jakarta yang disayang sekaligus yang malang, memang bukan sebuah kota semata. Habitat dalam wadah pluralis itu, tetap menjadi bagian penting yang eksotis dari Indonesia dan globalisasi. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari Betapapun seiring waktu semakin tua dan dinilai tak lagi layak. Jakarta akan selalu menjadi nilai-nilai dan sejarah. Monumental tergores api revolusi sebagai catatan tanah jajahan. Ada jejak yang melukis riwayat \"from zero to hero\", ada juga tapak kuat menggurita menjadi mafia. Hitam putih tanah Betawi yang membekas, tak pernah luput di makan jaman. Pernah menjadi pelabuhan imperialisme dan kolonialisme, Jakarta hingga kini selalu menjadi pusat pergerakan yang menentukan arah dan perjalanan negara bangsa. Jakarta yang dulunya disebut Sunda Kelapa atau Jayakarta, bukan sekedar telah menjadi ibukota negara. Lebih dari sebagai pusat pemerintahan, keberadaan dan eksistensinya juga menjadi miniatur Indonesia meski tak dapat mewakili seutuhnya. Pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, bukan saja menimbulkan polemik dan kontriversi. Selain tanpa perencanaan yang matang dan kajian ilmiah yang memadai. Produk UU IKN dipenuhi motif dan orientasi yang beraroma konspiratif. Tak ada rasionalisasi yang sehat dan bertanggung jawab sejauh ini. Mulai dari amdal, kelestarian budaya dan keatifan lokal hingga karakteristik pembangunan dan investasinya, begitu rapuh dan mengkhawatirkan. Kebijakannya begitu dominan dipengaruhi kedangkalan pemikiran sosial ekonomi, sosial politik, sosial hukum dan sosial pertahanan keamanan negara. Selain mengusik tatanan dan tinjauan aspek geografis, geopolitik dan geostrategis. Pemindahan ibukota tersebut dinilai juga menjadi proyek mercusuar kepentingan kapitalisme berkedok \"roadmap\" jalur sutra atau program obor. Terlebih setelah sekian lama Indonesia khususnya Jakarta, terus berada dalam cengkeraman dominasi dan hegemoni kepentingan asing. Bahkan terlalu lama menghamba pada poros Amerika yang menghimpun kekuatan barat dan pan komunisme Cina yang agresif. Tak pernah secara esensi menikmati kemerdekaan dan kemandirian sebagai sebuah negara bangsa. Indonesia yang menempatkan Jakarta sebagai dapur kebijakan penyelenggaraan negara. Harus pasrah pada kekuatan liberalisasi dan sekulerisasi baik yang dilakukan oleh blok barat maupun blok komunis. Termasuk pemindahan ibukota negara yang kental persekongkolan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikstifnya serta disinyalir ditunggangi oleh borjuasi korporasi dan atau kelompok non state. Maka, dengan tak terbendungnya UU IKN yang menegasikan suara rakyat dan kondisi negara yang sedang terpuruk itu. Sesungguhnya kebijakan ibu kota baru itu juga menjadi penjajahan gaya baru berbalut konstitusi dan legitimasi negara. Tak cukup bermodal euforia masa lalu dan wacana klasik, pemindahan ibu kota Jakarta ke Kalimantan Timur itu. Bisa dimaklumi juga sebagai metamorfosis sekaligus syahwat nekolim. Terus berkesinambunan negeri merdeka yang terjajah. Menikmati ketidakberdayaan dalam kedaulatan NKRI. Selamanya, berani diam berani hidup tertindas. (*)
Arteria Harus Tetap Dipecat
By M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan MESKI terus berusaha mengeles dengan menyatakan tidak bermaksud menyinggung orang Sunda namun masyarakat Sunda merasa belum puas. Klarifikasi demi klarifikasi ia lakukan, intinya memohon 15 menit ucapannya agar utuh dipahami. Ia pun menuduh media \"memelintir\" ucapannya. Terkesan arogansinya tidak berkurang dengan adanya kritik publik itu. Arteria lupa bahwa ia sendiri yang \"memelintir\" ucapannya. Sebenarnya yang dipersoalkan adalah sikap berlebihan dimana Arteria meminta Jaksa Agung untuk mengganti Kepala Kejaksaan Tinggi atas penggunaan bahasa Sunda saat Rapat Kerja. Permintaan ini yang menyinggung masyarakat Sunda. Setelah mungkin \"diadili\" oleh DPP PDIP akhirnya Arteria Dahlan mau juga meminta maaf. Permintaan maaf itu dinilai lambat setelah berbelit klarifikasi ini dan itu. Masyarakat Sunda dan Jawa Barat melihat permintaan maaf tersebut lebih bersifat formalistik atau terpaksa. Semestinya Arteria cepat menyadari efek dari arogansinya. Menerima kenyataan bahwa dirinya memang salah. Bukan harus dipaksa oleh partainya atau siapapun untuk kemudian meminta maaf. Suara-suara di komunitas pasti tidak puas dengan pernyataan maafnya. Harus ada tindakan lebih tegas, sekurangnya pemecatan. PDIP akan berat untuk terus memproteksi Arteria. Pertaruhan bagi suara di Jawa Barat besar dan berpengaruh. Kini hanya dua pilihan sebagai akibat dari gelindingan kasus yaitu, pertama Arteria segera diberhentikan oleh partainya dan diganti atau kedua, dilaporkan saja ke Kepolisian akibat keonaran yang telah ditimbulkannya. Persoalan SARA mudah untuk ditarik ke ranah hukum. Menggunakan bahasa Sunda dalam rapat tentu bukan pelanggaran hukum, akan tetapi minta diberhentikan karena menggunakan bahasa Sunda adalah kriminal. Arteria harus mempertanggungjawabkan. Dua pilihan ini moga bersifat alternatif sehingga jika sanksi politik pemecatan telah dilakukan cukuplah bagi Arteria. Namun jika masih juga bernada apologetik dan protektif gerakan penuntutan menjadi bersifat akumulatif, pecat dan lanjut proses hukum. Publik, masyarakat Sunda khususnya, tentu akan melakukan penilaian atas langkah-langkah yang diambil baik oleh Partai maupun Dewan Perwakilan Rakyat. Seharusnya anggota Dewan lebih berhati-hati dalam berucap dan bersikap. Lebih gigih membela dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Jangan berputar-putar di area kepentingan dan arogansi diri atau partainya sendiri. (*)
Suku Itu Bernama Indonesia
Keragaman suku, agama, ras dan antar golongan yang mewujud kebudayaan nasional itu. Menjadi pondasi utama dari konsensus nasional yang melahirkan NKRI hingga saat ini. Oleh: Yusuf Blegur, Pernah Aktif di DPP HIMMAH Alwasliyah dan Presidium GMNI SULIT membayangkan Indonesia berdiri tegak tanpa menyatukan unsur-unsur kedaerahan itu sebagai kekayaan materil dan spirituil bangsa. Kebhinnekaan dan kemajemukan Indonesia membuka ruang politik identitas dan primordialisme sebagai bagian dari eksistensi dan partisipasi masyarakat yang bersumber dari adat istiadat dan nilai-nilai leluhur. Selama masih dalam interaksi sosial yang menyuburkan keharmonisan dan keselarasan. Kemunculan karakter kesukuan dan keagamaan dalam pergaulan sosial dan sebagai warga negara, harus dilihat wajar dan sah-sah saja. Menjadi naif ketika memaksa orang atau komunitas untuk tercerabut dari akar kebudayaan dan dari tradisinya yang sudah menjiwai. Seperti memaknai kesadaran Ilahiyah, manusia tidak bisa memilih dilahirkan dari Ibu siapa, tempat dan sukunya. Justru upaya yang mereduksi, menggerus dan mengeliminasi mozaik-mozaik etnik Keindonesiaan itu. Pada dasarnya telah melukai Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI yang telah menjadi simbol dan representasi entitas negara bangsa Indonesia. Dengan demikian, sepantasnya seluruh rakyat Indonesia semestinya bangga menjadi bagian dari suku dan daerahnya masing-masing. Kehormatan dan kebahagiaan tersendiri karena telah menjadi orang kampungan. Hangat menyambut modernitas yang menggandeng liberalisasi dan sekulerisasi namun tetap kokoh berpijak pada keyakinan tradisional yang menyimpan makna dan nilai-nilai adiluhung. Selamat menyadari keberagaman, demi menjaga kearifan lokal untuk menyelamatkan Indonesia. Karena Sejatinya tanpa kekayaan kultur dan natur, Indonesia hanyalah berupa fosil peradaban. (*)
“Rebuilding Our Positive Image”
Undangan saya diiyakan. Dan ternyata menjadi perhatian media yang luar biasa. Puluhan media Amerika hadir untuk memberitakan peristiwa langkah itu. Seorang Rabbi yang berpengaruh mengunjungi Islamic Center New York. Oleh: Imam Shamsi Ali, President of Nusantara Foundation, Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani, USA Satu hal yang terberat dalam perjalanan Dakwah ini adalah melawan usaha sistimatis oleh kalangan tertentu untuk merusak (damaging) wajah Islam yang sesungguhnya. Berbagai peristiwa buruk yang terjadi dan Muslim sebagai pelaku atau dituduh sebagai pelaku, Islamlah yang harus menanggung akibatnya. Hari Ahad lalu, 16 Januari 2022 di kota Dallas Texas di sebuah Synagogue seorang Rabbi (Pendeta Yahudi) bersama 4 orang jamaahnya disandera oleh seorang Muslim berwarga negara Inggris keturunan Pakistan. Penyandera itu menuntut kepada pemerintah Amerika untuk membebaskan Afia Siddique, seorang saintis (ilmuan) Muslimah yang brilliant yang dipenjara 83 tahun oleh Amerika. Beliau dipenjara dengan tuduhan konspirasi membunuh tentara Amerika di Afghanistan. Penyanderaan itu berlangsung sekitar 11 jam lebih. Pada akhirnya semua yang tersandera bebas dan sang penyandera akhirnya tertembak mati. Dengan kejadian itu saya bisa membayangkan beratnya tantangan bagi Saudara-Saudara Muslim kita di Dallas dan Texas secara umum, bahkan di Amerika. Karenanya perlu langkah-langkah preventif untuk mengurangi kecurigaan dan kemarahan warga kepada Komunitas Muslim. Satu di antara usaha itu adalah inisiatif Imam Omar Sulamen untuk menemui Rabbi Synagogue tersebut. Langkah ini bagi saya sangat penting. Apalagi daam konteks Texas yang secara ideologi politik cenderung kuat ke Republican yang masih cukup anti Islam. Peristiwa di Dallas ini kembali mengingatkan saya peristiwa yang terjadi sekitar tahun 2007 (12 tahun lalu) di kota New York. Ketika itu ada 3 orang Muslim yang ditangkap dengan tuduhan akan meledakkan sebuah gereja di Uptown New York. Bisa dibayangkan betapa hebohnya dan betapa upaya-upaya untuk merusak citra Islam ketika itu sangat intens. Maklum kota New York adalah kota Yahudi terkuat dunia. Maka pastinya peristiwa itu akan dipakai untuk lebih menjatuhkan Islam di benak warga New York dan Amerika. Pada saat itu Kebetulan saya adalah seorang Imam di Islamic Center New York. Dan saat itu pula kami baru Membangun komunikasi yang cukup baik dengan masyarakat Yahudi. Maka hal pertama yang saya lakukan adalah mengundang Presiden Majelis Rabbi (Board of Rabbis) untuk mengunjungi Islamic Center of New York. Undangan saya diiyakan. Dan ternyata menjadi perhatian media yang luar biasa. Puluhan media Amerika hadir untuk memberitakan peristiwa langkah itu. Seorang Rabbi yang berpengaruh mengunjungi Islamic Center New York. Sebagaimana foto Iman Omar berpelukan dengan Pendeta Yahudi di Dallas. Foto saya dan Rabbi Marc Schneier yang saat itu menjabat sebagai Presiden Majelis Rabbi juga viral. Beberapa TV juga menyiarkan kunjungan dan peristiwa yang mereka sebut langka itu. Tentu apa yang kita lakukan itu, saya dan Omar Sulaeman dan banyak tokoh lainnya, bertujuan tidak lain untuk menampilkan wajah Islam yang paradoks dari imej yang berusaha dibangun oleh mereka. Bahwa Islam itu berbahaya dan Muslim itu memusuhi dan bahkan membahayakan orang lain. Dengan Membangun komunikasi dengan mereka kita tampilkan bahwa Islam itu tidak seperti yang ada pahami. Bukan agama kekerasan dan permusuhan apalagi terorisme. Dan orang-orang Islam tidak pernah membenci manusia karena perbedaan. Kebencian atau permusuhan itu ada pada karakter jahat manusia. Bahkan ketika karakter itu ada pada mereka yang Muslim sekalipun. Namun kami sadar bahwa kebijakan dan keputusan apapun yang kita ambil dalam sebuah situasi akan menimbulkan kesalah pahaman, bahkan fitnah. Tapi selama itu dilakukan dengan tujuan baik, mengharap ridho Allah sekaligus ampunannya maka kami tidak terlalu peduli. Tujuan kita sekali lagj tidak lain membela wajah Islam yang berusaha dicederai. Islam is about Peace! (*)
DPD RI: Menyikapi Ibu Kota Baru
Gedung-gedung di Jakarta memiliki muatan histori yang kuat. Kalau kemudian terjadi tukar guling sebagaimana disebut Ekonom Senior Emil Salim, maka nilai histori itu dapat lenyap begitu saja. Contoh tukar guling dimaksud, adalah ketika swasta membangun Gedung Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di ibu kota baru dan kemudian memanfaatkan Gedung Kemenlu di Jakarta yang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Bukan tidak mungkin Gedung Pancasila dikomersialisasi menjadi mal atau bentuk-bentuk komersial lainnya . Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI SIDANG Paripurna DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU, Selasa, 18 Januari 2022. Kini, obsesi pemerintah memindahkan ibu kota sah dan menjadi keputusan bersama. Namun, keputusan tersebut agaknya belum mengakhiri kontroversi IKN. Memang, sejak ide pemindahan IKN disampaikan Presiden Joko Widodo, sejak itu pula kontroversi mengiringi perjalanan gagasan ini. Tidak sedikit pihak mensinyalir adanya permufakatan kotor di belakangnya. Dari tuduhan permainan bisnis tanah, pikiran kritis soal lingkungan, desain istana negara, dan bahkan ada yang menuding rencana ini atas desakan dan demi kepentingan negara asing. Tudingan ini seolah menemui pembenarannya ketika usul pemindahan ibu kota terkesan dipaksakan di tengah situasi ekonomi bangsa yang belum stabil dan pandemi Covid-19 yang belum usai. Demi menjaga proses pembangunan bangsa tetap pada jalur dan tujuan semestinya, pikiran kritis itu memang perlu dirawat. Sebab, selama ini, tidak sedikit pembangunan infrastruktur justru menjadi beban dan bahkan berpotensi merugikan negara. Pemerintah harus mengambil pelajaran dari pembangunan infrastruktur yang sudah-sudah. Sebutlah jalan tol yang dijual, bandara yang beralih fungsi, atau pembangunan rel kereta api cepat yang akhirnya membebani APBN. Begitu pula dampak lingkungan yang terjadi. Rel kereta api Makassar-Parepare di Sulawesi Selatan, misalnya, ditengarai menjadi penyebab banjir di dua Kabupaten, yaitu Pangkep dan Barru. Proyek monumental yang seringkali menjadi jualan pencapaian setiap rezim, seharusnya melalui perencanaan yang matang. Sebab, ambisi pembangunan tanpa perencanaan matang besar kemungkinan hanya menjadi beban dikemudian hari. Beban tersebut bukan hanya ditanggung pemerintah, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dalam mengawal IKN baru, DPD (Dewan Perwakilan Daerah) memberikan sejumlah catatan kritis. Pertama, DPD RI sepakat dengan bentuk Pemerintahan Daerah Khusus. Namun, DPD belum dapat memahami istilah dan pengaturan otorita dalam UU IKN. DPD mengingatkan, otorita bukan bagian dari struktur pemerintahan yang dikenal dalam UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 mengatur kepala pemerintah daerah terdiri atas gubernur untuk pemerintah provinsi, bupati/wali kota untuk pemerintah kabupaten/kota. DPD menilai bahwa penggunaan istilah otorita beserta pengaturannya tidak tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan daerah khusus ibu kota negara. Pemaksaan terhadap istilah dan pengaturan otorita adalah sikap melawan konstitusi. Kedua, terkait “Nusantara” sebagai nama ibu kota baru. DPD menghargai usul inisiatif pemerintah tersebut. Namun, DPD menilai belum ada penjelasan komprehensif terkait landasan sosiologis, filosofis dan historis yang menjadi dasar pemilihan frasa nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara. Nama Nusantara bahkan terasa aneh sebagai nama ibu kota, sebab Nusantara telah melekat dalam memori kolektif bangsa sebagai kawasan kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Ketiga, DPD RI juga mengingatkan bahwa terkait rencana induk yang menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Ibu Kota Negara belum dibahas secara komprehensif dalam forum tripartit. DPD RI juga memandang perlu mengingatkan pemerintah bahwa rencana pemindahan Ibu Kota Negara merupakan pekerjaan besar bangsa Indonesia di tengah kondisi pandemi covid-19 yang masih membayangi. Banyak aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam proses pemindahan Ibu Kota Negara. Antara lain, kepastian terhadap lahan yang akan digunakan tidak akan menimbulkan konflik pertanahan baik dengan Pemerintah Daerah maupun masyarakat (adat) yang ada di dalamnya, desain tata ruang wilayah yang jelas dan memperhatikan kepentingan serta aksesibilitas daerah-daerah penyangga, serta kejelasan dan kemampuan pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara baik yang bersumber dari APBN maupun non APBN. Pun demikian dengan kejelasan sistem dan struktur Pemerintahan DKI Jakarta pasca-pemindahan Ibu Kota Negara. Hal ini diperlukan adanya Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu dijelaskan pula pengelolaan dan pemanfaatan aset-aset negara yang ada di Jakarta. Kita tahu, aset-aset pemerintah yang ada di Jakarta merupakan kekayaan negara.Pemindahan Ibu Kota Negara harus diiringi dengan penjelasan bagaimana aset tersebut dikelola dan dimanfaatkan. Gedung-gedung di Jakarta memiliki muatan histori yang kuat. Kalau kemudian terjadi tukar guling sebagaimana disebut Ekonom Senior Emil Salim, maka nilai histori itu dapat lenyap begitu saja. Contoh tukar guling dimaksud, adalah ketika swasta membangun Gedung Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di ibu kota baru dan kemudian memanfaatkan Gedung Kemenlu di Jakarta yang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Bukan tidak mungkin Gedung Pancasila dikomersialisasi menjadi mal atau bentuk-bentuk komersial lainnya. Hal teknis lainnya adalah kejelasan desain pemindahan kantor pemerintahan dan lembaga-lembaga negara serta Aparatur Sipil Negara dari Jakarta ke Ibu Kota Negara yang baru. Belum lagi menyakut desain transisional penyelenggaraan pemerintahan untuk Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah yang ditinggalkan dan pemerintahan baru di Ibu Kota Negara terutama yang terkait dengan administrasi pemerintahan, kepegawaian, pengelolaan dan pemanfaatan aset, kesiapan infrastruktur, dan suprastruktur. Di atas segalanya, pemerintah harus memprioritaskan keterlibatan masyarakat, masyarakat adat dan pemerintah daerah sekitar/daerah penyangga Ibu Kota Negara. Langkah tersebut tidak hanya sebagai bentuk penghormatan melainkan juga sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan masyarakat daerah dan pemerintahannya yang memiliki kewenangan sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi. Pemindahan Ibu Kota Negara bukan sebatas membangun dan melakukan pemindahan infrastuktur kantor pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Ini adalah masalah kompleks, menyangkut transformasi sistem kerja birokrasi pemerintahan, Sumber Daya Manusia, ekonomi dan lingkungan, dan sosial-budaya. Keseluruhannya harus pula memerhatikan Dampak Lingkungan dan Sumber Daya Hayati serta Geopolitik. Mengingat kompleksitas persoalan dan dampak buruk yang berpotensi muncul, DPD RI meminta agar proses pemindahan Ibu Kota Negara dilakukan dengan tidak tergesa-gesa, dan penuh kehati-hatian dalam setiap tahapan yang dilakukan. Sekali lagi, pemerintah harus belajar dari pembangunan infrastruktur yang berakhir mengecewakan. (*)
Anies Baswedan Capres Paket Komplit
Teringat Che Quevara pada kata-katanya, \"Mustahil menemukan watak revolusioner dalam diri seseorang, tanpa di dalamnya ada jiwa kemanusiaan\". Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari REVOLUSI dan kemanusiaan sangat sulit dipisahkan dalam diri seorang pemimpin. Anugerah Tuhan yang menginsyafi kesadaran manuisa itu. Selain berani melawan kedzoliman dan ketidakadilan, seiring sejalan dengan mentalitas itu, sikap teduh yang dilingkupi kesantunan dan adab yang mulia juga menjadi faktor penting menggerakan kepemimpinan. Bagai musim panen, persiapan menyambut pilpres 2024 begitu meriah dan bergairah. Meski masih menyisakan waktu 2 tahun, semua konstestan mulai ancang-ancang dan ada juga yang sudah mencuri start. Gebyar pilpres 2024 menampilkan beragam eksistensi kandidat capres dengan pola kampanye mulai dari pembagian sembako, pemasangan baliho hingga kerja-kerja relawan dan tim sukses di darat dan udara. Kebanyakan capres yang manggung biasanya hanya muncul menjelang masa-masa mendekati pilpres saja. Capres sejenis ini dikenal publik sebagai capres pencitraan. Jarang terdengar kiprahnya dan hanya eksis menjelang pilpres. Capres yang mendekati rakyat jika ada maunya saja, tapi menghilang ditelan bumi saat terpilih dan dibutuhkan rakyat, seloroh kebanyakan orang. Namun ada juga Capres yang benar-benar menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya sepanjang waktu untuk kebaikan negera dan bangsa. Tanpa proyeksi, agenda dan rekayasa politik bergumul dengan persoalan-persoalan rakyat keseharian. Capres yang seperti ini yang layak disebut memiliki komitmen dan konsisten terhadap kondisi negara dan nasib rakyat. Karakter kepemimpinan yang demikian cenderung telah menjadi jiwa dan semangat capres yang langka dan sulit ditemukan. Dengan jejak rekam yang baik dan disukai, capres populis dan menjadi simbol keberpihakan kepada utamanya rakyat kecil. Tak diragukan akan mendapatkan banjir dukungan, empati dan loyalitas rakyat untuk memilihnya. Sepanjang sistem demokrasi liberal dan sekuler yang mengusung pemilu yang kapitalistik transaksional selama era reformasi di Indonesia. Selama itu pula pemilu mulai dari pilkada, pileg dan pilpres, akan sangat didominasi oleh oligarki. Dimana capres dan proses pemilu sudah dipesan dan bisa ditentukan hasilnya bahkan sebelum pemilu dilaksanakan. Terbukti beberapa pemilu dikuasai oleh para pemilik modal yang bisa mewujud personal, rezim kekuasaan maupun korporasi borjuasi. Kenapa Harus Anies? Hampir 5 tahun ini, publik terus menyorot fenomena figur Anies Baswedan. Gubernur DKI Jakarta yang paling sensasional namun bernas ini, belakangan banyak menuai perhatian dan dukungan publik. Tidak sedikit rakyat di daerah-daerah menyatakan sikap dam deklarasi dukungan terhadap Anies yang mungkin akan bertambah terus di seluruh Indonesia. Tentu saja banyak faktor yang melatarbelakangi sikap publik tersebut. Selain kualitas figur dan kinerja kepemimpinan birokrasi. Anies juga berhasil merebut kecintaan publik melalui ahlak yang terpuji dan kemampuam berinteraksi dengan keberagaman khalayak. Termasuk bagaimana menyikapi sikap kritis, hujatan dan pujian dari pelbagai kalangan yang mampu direspon Anies dengan bijak. Begitu cakap dan berintegritas seorang Anies Baswedan, ia semakin kuat personifikasinya di mata rakyat, bukan hanya yang tinggal di Jakarta. Populeritas dan rasa keingintahuan publik terhadap Anies semakin meluas. Dalam jajak pendapat baik yang dilakukan secara metode survey yang ilmiah dan bertanggungjawab, maupun geliat masyarakat langsung di pelosok-pelosok kota dan pedesaan. Anies yang pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina dan menteri pendidikan ini, jauh melebihi capres-capres lainnya yang notabene memiliki infra struktur dan kelembagaan politik yang idealnya jauh lebih mumpuni. Berikut ini beberapa fakta dan realitas yang dipahami rakyat sekaligus membuat elektabilitas Anies terus menanjak. 1. Anies menjadi pemimpin melalui proses berjenjang dan membentuk struktur pengalaman yang menakjubkan. Selain memiliki trah kepahlawanan nasional, Anies juga sejak muda telah menunjukkan prestasi dan terus bergumul dengan program-program kerakyatan. Salah satunya pernah mendirikan program Indonesia Mengajar. Salah satu aspek fundamental dalam membangun bangsa. Dari persfektif ini, baik secara bibit, bobot dan bebet, maupun karya -karya yang telah dihasilkan. Membuktikan bahwa Anies bukanlah pemimpin abal-abal atau kaleng-kaleng. 2. Anies sejauh ini merupakan figur pemimpin yang bebas dan bersih dari praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Anies dalam catatan kepemimpinan dan menejemen birokrasi baik di lingkungan pemerintahan maupun sektor swasta tak pernah meninggalkan catatan hitam penyelewengan baik anggaran maupun jabatan atau kewenangan. Hal seperti ini menjadi pertimbangan paling prinsip dari kriteria kepemimpinan yang layak. Dibanding kompetitor lainnya, dalam soal KKN Anies tak pernah menjadi bagian dari pembicaraan publik, kecuali oleh politisi-politisi kerdil dan busuk. Sementara capres kompetitor lainnya, banyak dirundung dan dililit kasus-kasus besar yang belum ditindaklanjuti penanganan hukumnya. Kalaupun masih bisa berkelit, banyak yang tidak bisa terlepas dari anasir-anasir perilaku korupsi atau extra ordinary crime lainnya juga tak luput skandal perselingkuhan. 3. Dalam banyak kepemimpinan nasional baik dalam ranah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Seorang Anies Baswedan menonjol dalam berperilaku akhlakul kharimah. Tingkat kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang tinggi dimiliki Anies. Mampu membuat Anies mampu menyalurkan pikiran, sikap dan tindakannya dengan kesantunan dan etika yang luar biasa. Anies mampu bekerja di bawah tekanan dan dalam situasi seburuk apapun. Ketenangannya juga bisa meredam emosi dan apalagi temperamental dalam menghadapi kondisi yang tidak sesuai harapan. Tidak seperti kebanyakan pejabat yang suka menjilat ke atas dan menginjak bawahan. Nyaris tak pernah terlihat, Anies Anies marah-marah atau memaki bahwahannya di depan banyak orang. Anies yang humanis dan familiar ini, begitu ramah dan hangat kepada siapapun. Terlebih kepada rakyat jelata yang tak berpunya dan bernasib kurang beruntung. Dari ketiga faktor paling menentukan dari sifat kepemimpinan yang dimiliki Anies. Menjadi logis dan rasional ketika melaksanakan tugas dan fungsi yang diberikan kepada Anies sebagai gubernur Jakarta dan peran-peran sosial politik lainnya. Secara terstruktur dan sistematik akan dapat dilakukan Anies lebih optimal. Karakter unggul yang ada pada Anies, secara eskalatif dan akumulatif akan menciptakan gaya kepemimpinan dan program pembangunan yang mampu menyelesaikan prolematika warga Jakarta dengan tidak mengabaikan nilai-nilai keadilan sosial. Seperti yang sering disuarakan rakyat, betapa keadilan sosial dalam kehidupan sosial polituk, sosial ekonomi dan sosial hukum telah menjadi kebutuhan yang mendesak bagi warga Jakarta khususnya dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya. Lagi pula, bagaimana mungkin pemimpin itu bisa dibilang akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran untuk srluruh rakyat Indonesia, jikalau dia sendiri tak mampu berbuat adil. Maka keadilan sosial juga menjadi prioritas seorang Anies Baswedan memajukan kotanya dan membahagiakan warganya. Oleh karena itu, tiada pemimpin yang mampu mengemban amanat penderitaan rakyat kecuali dia lahir dari rahimnya rakyat. Ia hadir dibumi dari keringat dan darah persalinan rahimnya ibu pertiwi. Kenapa harus Anies?. Jawabannya ada pada rakyat itu sendiri dan teruntuk para pemimpin-pemimpin agama dan politik yang mengunakan mata hatinya dan sebenar-benarnya mewakili rakyat. Semoga setiap mata hati dan jiwa seluruh rakyat Indonesia mampu melihat dan merasakan, meski sulit dilihat dan dirasakan oleh sistim yang naif, pemimpin amanah itu tetaplah ada. Dekat dan selalu hadir ditengah-tengah rakyat. Dialah pemimpin rakyat yang sesungguhnya yang didukung rakyat. Seorang Anies Baswedan capres paket komplit. (*)
Potensi Korupsi Dana Hibah KONI untuk Kontrak Pemain
Seberapa besar dana hibah yang diduga diselewengkan oleh tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016, tentu pihak berwenang yang lebih tahu. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN PADA 26-27 Januari 2022, KON I Jawa Timur akan menyelenggarakan Pemilihan Calon Ketua Umum pengganti Erlangga Satriagung yang telah berakhir masa jabatannya. Nama M. Nabil yang selama ini menjabat Ketua Harian masuk sebagai calon “tunggal”. Sebagai Ketua Harian KONI Jatim, ternyata ada kebijakan yang sempat disoal oleh Ketua PBSI Jatim Wijanarko Adi Mulya menjelang persiapan atlet bulu tangkis Jatim untuk PON XX Papua, seperti dilansir Detik.com, Selasa (21 Sep 2021 20:01 WIB).Belasan atlet dan pelatih yang akan diberangkatkan belum menerima honor. Jumlah anggaran yang belum turun dari KONI Jatim ketika itu mencapai Rp 360 juta. Pihaknya menyayangkan kebijakan KONI Jatim, yang belum membayar hak atlet dan pelatih.“Kita perlu jelaskan bahwa kebijakan KONI (Jatim) untuk tidak membayarkan hak atlet dan pelatih. Ada sebagian bulan Januari sampai Maret, sebagian lagi Januari sampai April,” kata Wijanarko kepada wartawan di GOR Sudirman, Surabaya, Selasa (21/9/2021). Wijanarko menambahkan, setelah PBSI Jatim menerima informasi dari para atlet dan pelatih, pihaknya sudah berupaya menjembatani. Sebab, dua minggu lagi para atlet dan pelatih akan berjuang membawa nama Jawa Timur di PON XX Papua. Menurutnya, Penprov (Pengurus Provinsi PBSI Jatim) mendapatkan laporan dari atlet. “Kita menjembatani antara atlet, pelatih dan KONI. Itu yang kita sayangkan betul. Di mana jenis komunikasi sudah dilakukan oleh Penprov untuk menjembatani masalah ini. Paling tidak, ada solusi. Agar anak-anak ini bisa bertanding dengan lega dan tidak ada beban,” lanjutnya.“Ini kan pasti menyangkut target, di mana atlet-atlet kami disuruh meraih medali emas, tapi dari segi mental masih terganggu oleh kebijaksanaan KONI, tanda kutip yang menurut PBSI nyeleneh di mana cabor-cabor mulai berlatih mulai Januari,” tambah Wijanarko.Sejak dibentuknya Puslatda itu, pihaknya sudah menyampaikan, beberapa atlet bulu tangkis Jatim ada yang tergabung di Pelatnas dan beberapa klub bulu tangkis nasional. Hal tersebut sangat menguntungkan bagi para atlet untuk mempersiapkan diri dan KONI Jatim.“Kita sudah menyampaikan bahwa tim inti kita ini ada di pelatnas, di Djarum Kudus, di Exis Jakarta, di Jayaraya Jakarta. Itu kan malah seharusnya menjadi keuntungan dan kelebihan dan menurut kami seharusnya KONI (Jatim) berterima kasih kepada klub-klub besar yang terus membina atlet, mempersiapkan diri selama pandemi ini,\" ungkap Wijanarko.Kalau memang harus ditarik di Surabaya pun, sebenarnya harus ada surat resmi dari KONI kepada Penprov untuk melaksanakan apa yang diinginkan KONI. Itu yang Penprov tidak terima sampai hari ini, tidak ada surat masuk dari sana. \"Saya menyayangkan kejadian ini, terjawab itu by lisan dan by WA (WhatsApp). Padahal dari awal 2020 itu, Penprov sudah rajin komunikasi dengan KONI, apa yang diinginkan KONI, sehingga kita laksanakan dengan baik,\" imbuh Wijanarko. Itulah sebagian contoh kebijakan KONI Jatim yang mencuat menjelang PON XX Papua lalu. Masih ada kebijakan lainnya yang mengandung unsur dugaan korupsi yang hingga kini masih belum ditindaklajuti oleh aparat penegak hukum, seperti KPK, Kejaksaa, dan Polri. Sejak Jum’at (6/3/2020) sebuah rekomendasi beredar di KPK, Kejaksaan, dan Polri. Sejenis “perintah” agar melacak proses Kontrak Atlet yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari KONI Provinsi. Isinya menyangkut penyalahgunaan dana tersebut. Kabarnya, target pertama adalah Kontrak Atlet yang tampil pada PON 2016 di Bandung. Ada tiga KONI Provinsi menjadi sasaran ketiga lembaga penegak hukum itu. Yakni: KONI Jatim, Jabar, dan DKI Jakarta. Aroma korupsi terkuat dilakukan ketiganya. Berdasar jejak digital yang ditulis Kompas.com (11/02/2016, 20:07 WIB), terungkap adanya praktek “kontrak atlet” antar provinsi dalam gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, September 2016. Atlet renang nasional, Indra Gunawan mengaku masih menunggu dana yang akan digunakan untuk latihan dan persiapan menjelang membela kontingan Jawa Timur di arena PON 2016, September 2016. Indra Gunawan, 27, yang kini bermukim dan berlatih di Bali mengaku mengalami kendala dana untuk berlatih secara maksimal. “Dana untuk suplemen, try out, training camp, dan juga peralatan tak pernah turun hingga saat ini,” kata Indra yang dikontrak Jawa Timur bersama beberapa atlet nasional lainnya seperti Glenn Victor Sutanto. Ia menyebut, bahkan untuk melakukan tes fisik di Surabaya pun, Januari 2016, Indra tak bisa datang karena terkendala dana. “Pemberitahuan terlalu mepet, sehari sebelumnya. Belum lagi ada kendala dana,” ungkap Indra. Indra Gunawan merupakan peraih satu-satunya medali emas buat tim renang Indonesia di ajang SEA Games di Singapura, Juni 2015. Ketika itu Indra meraih medali emas untuk nomor 50 meter gaya dada. Indra yang dikontrak Jatim setelah pindah dari Sumatera Utara mengaku tidak bermasalah dengan gaji bulanan dari KONI Jawa Timur. “Meski waktunya tidak teratur, namun gaji bulanan selalu saya terima,” kata ayah dua anak ini. Berita yang ditulis Kompas.com itu merupakan salah satu petunjuk adanya praktek Kontrak Atlet antar provinsi. Yang banyak Kontrak Atlet untuk PON 2008, 2012, dan 2016, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Untuk mengambil atlet angkat besi, Eko Yuli Wirawan misalnya, Jatim mesti membayar Kaltim dengan mahar Rp 300 juta. Nominal berkisar Rp 200 juta hingga Rp 500 juta juga dikeluarkan untuk 15 atlet lain yang pindah ke Jatim. Melansir Tirto.id (23 September 2016), diantara mereka ada lima atlet boling dari Jabar, yakni Oscar, Billy Muhammad Islam, Fachry Askar, Putri Astari, dan Tannya Roumimper. Jatim juga telah berhasil membajak perenang pelatnas, Ressa Kania Dewi dan Glen Victor Susanto. Kabarnya mahar dua atlet ini di atas Rp 600 juta. Untuk melobi perenang andalan Jabar lain, Triady Fauzi Sidiq, Jatim bahkan sempat menego Rp 780 juta. Namun, tawaran itu ditolak oleh KONI Jabar. Semakin besar prestasi dan potensi si atlet mendapat medali maka semakin juga mahal “uang pembinaannya”. Kegilaan tawaran mutasi atlet memang sudah kelewat batas. Pecatur andalan Jabar, Irene Kharisma Sukandar bahkan sempat “dibeli” Jatim Rp 1 miliar pada 2013. Surat kontrak antara Irene dan KONI Jatim sudah dibuat. Tapi, transaksi ini gagal karena Jabar menang saat proses gugatan di Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI).Dalam setiap penyelenggaraan PON pasti terjadi Transfer Atlet Nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov. Padahal, Dana Hibah Olahraga Provinsi itu targetnya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Penyelewengan Dana Hibah Olahraga Daerah semakin besar dilakukan oleh KONI Provinsi di posisi 3 besar PON 2008, 2012, dan 2016. Ketiga besar PON itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ketiga daerah dipastikan melakukan penyelewengan Dana Hibah Olahraga dari Pemprovnya. Untuk fee transfer dan kontrak atlet nasional dari provinsi rival. Nilainya terbanyak dibanding daerah lain. Penyelewengan yang dilakukan KONI Provinsi tersebut berkedok permainan kontrak pemain. Kabarnya, KPK dan Kejaksaan sedang “membidik” tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016.Ketiga daerah peserta kontingen PON 2008, 2012, dan 2016 itu yang banyak kontrak atlet nasional milik provinsi lain. Karena, dana Hibah Olahraga dilarang digunakan untuk bayar fee transfer dan kontrak pemain. UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, PP Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sudah memastikan dana Hibah Olahraga hanya untuk Pembinaan Atlet Daerah. Bukan Dana Transfer Atlet! Langgar Hukum! Coba kita simak Pasal 9 UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahgaraan Nasional, Bagian Kedua mengenai Alokasi Pendanaan. Pasal 9 (1)Dana yang diperoleh dari sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 hanya dapat dialokasikan untuk penyelenggaraan keolahragaan yang meliputi: a.olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi; b.pembinaan dan pengembangan olahraga; c.pengelolaan keolahragaan; d.pekan dan kejuaraan olahraga; e.pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga; f.peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga; g.pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan; h.pemberdayaan peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan; i.pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan; j.pembinaan dan pengembangan industri olahraga; k.standardisasi, akreditasi dan sertifikasi; l.pencegahan dan pengawasan doping; m.pemberian penghargaan; n.pelaksanaan pengawasan; dan o.pengembangan, pengawasan, serta pengelolaan olahraga profesional. (2)Tata cara penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya kita simak juga PP Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan, Bab XII mengenai Pendanaan Keolahragaan. Pasal 69 (1)Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2)Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pasal 70 (1)Sumber pendanaan keolahragaan ditentukan berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan. (2)Sumber pendanaan keolahragaan dapat diperoleh dari: a.masyarakat melalui berbagai kegiatan berdasarkan ketentuan yang berlaku; b.kerja sama yang saling menguntungkan; c.bantuan luar negeri yang tidak mengikat; d.hasil usaha industri olahraga; dan/atau e.sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 71 (1)Pengelolaan dana keolahragaan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. (2)Dana keolahragaan yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 71 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam setiap penyelenggaraan PON, dipastikan terjadi transfer atlet nasional antar provinsi yang menggunakan Dana Hibah Olahraga dari Pemprov untuk KONI Provinsi. Kabarnya, ini terjadi di ketiga provinsi yang disebut di atas tadi. Dari jejak digital pula diketahui, Pemprov Jatim mengucurkan anggaran Rp 208 miliar untuk KONI Jatim pada 2015. Jumlah itu meningkat tajam jika dibandingkan pada 2014 yang hanya Rp120 miliar. Seperti dilansir Bhirawa.com, Senin (2/2/2015), menurut Ketua Umum KONI Jatim Erlangga Satriagung, anggaran dari Pemprov Jatim meningkat karena KONI Jatim memiliki sejumlah angenda yang membutuhkan uang cukup besar. Yakni, penyelenggaraan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) V di Banyuwangi, tryout cabang olahraga (Cabor) untuk persiapan PON Jabar 2016 dan penambahan cabor di Pemusatan Latihan Daerah (Puslatda). “Banyak program yang membutuhkan anggaran cukup besar. Tahun 2015 ini ada Porprov dan cabor-cabor mulai banyak tryout sebagai persiapan PON 2016,” kata Erlangga, Senin (2/2/2015). Seberapa besar dana hibah yang diduga diselewengkan oleh tiga KONI Daerah (DKI Jakarta, Jabar, dan Jatim) sebagai tiga besar saat PON 2008, 2012, dan 2016, tentu pihak berwenang yang lebih tahu. Sebab, semua bukti skandal Dana Hibah KONI Provinsi itu sudah di tangan institusi penegak hukum! Penuturan Indra Gunawan tentang “transfer” atlet yang para atlet alami di Indonesia tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk menegakkan aturan tentang pengelolaan dana hibah. Jangan hanya demi ambisi dan prestasi semata, daerah menghalalkan segala cara. Alhasil, prestasi olahraga Indonesia pada tataran internasional juga ikut berdampak akibat minimnya regenerasi. Sudah saatnya para penegak hukum berlaku adil dengan mengusut tuntas kesalahan pengelolaan dana hibah untuk masalah transfer atlet ini. Dan, pada sisi lain, daerah harus serius menggunakan dana hibah ini untuk proses regenerasi atlet! Kalau mulus tanpa manuver politik, semua KONI Daerah siap-siap dijerat terkait Dana Hibah yang diselewengkan untuk fee transfer atlet. Modusnya, pengembalian Sisa Dana dari Kwitansi tersebut menggunakan Rekening Pribadi Bendahara Umum KONI Provinsi. Tujuannya, supaya tidak terlacak. Kwitansi berstempel KONI Provinsi itu Bernilai A, yang diterima atlet 1/3A - 1/2A, sisanya wajib dikembalikan. Kabarnya, bukti skandal Dana Hibah KONI Provinsi itu sudah di tangan institusi penegak hukum. Termasuk Kwitansi dan Rekaman Video. (*)
Bahaya Ibu Kota Negara Baru Bernama Nusantara
Oleh M. Rizal Fadillah , Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERPINDAHAN Ibu Kota Negara memiliki tiga pertanyaan mendasar yaitu apa urgensinya, mengapa harus dari nol, dan untuk kepentingan siapa. Soal urgensi penting karena dirasakan tidak terlalu mendesak untuk bersusah payah \"membuang\" uang membangun Ibu Kota Negara baru. Mengapa tidak dibangun di lokasi yang sudah ada Kota atau Kabupaten yang potensial untuk dikembangkan. Benarkah pemindahan itu demi kesejahteraan rakyat atau sekedar untuk memenuhi keinginan elit kekuasaan dan pemilik modal? Ketika semua samar dan bukan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat, maka pemindahan Ibu Kota Negara hanya ajang mainan kelompok kepentingan yang diam-diam menggandeng wakil-wakil rakyat untuk berkonspirasi. Cara memproses dan memutuskan UU seperti maling yang takut ketahuan cukup membuktikan bahwa memang telah terjadi konspirasi brutal. Rakyat ditutup suara dan aspirasinya. Ibu Kota Baru itu bernama Nusantara, nama yang tidak kreatif dan inovatif. Bukan tidak bagus maknanya tetapi tidak bernuansa baru. Terlalu banyak nama Nusantara. Gedung DPR, lagu Koes Plus, hingga gedung bioskop. Sejarawan menyatakan Nusantara terasa Jawa-sentris jika dikaitkan dengan sejarah Kerajaan Majapahit. Sejarah politik juga mengenal tokoh PKI yang bernama Dipa Nusantara Aidit. Disamarkan dengan DN Aidit. Ketua CC PKI ini nama lamanya Achmad Aidit yang masa kecil atau mudanya khatam Qur\'an dan sering menjadi muadzin. Setelah berada dalam pergaulan politik berganti nama dengan nama baru Dipa Nusantara Aidit. Jadilah ia komunis yang dekat dengan RRC. Pemberontakan G30S PKI dikendalikan atau sekurangnya sepengetahuan dari Partai Komunis China. Rakyat bertanya siapa \"penghuni\" Ibu Kota Negara baru nantinya. Di samping eksodus pegawai pemerintahan pusat tentu juga banyak \"penduduk baru\". Pebisnis atau konglomerat sudahlah pasti. Ditambah dengan orang-orang kaya yang mampu membeli fasilitas dan perumahan di \"kota baru\" itu. Diprediksi mereka bukanlah pribumi. Pintu \"impor\" terbuka dan diaspora paling masif biasanya berasal dari daratan China. Akankah Ibu Kota Negara baru ini menjadi Singapura baru dengan mayoritas penduduk yang berwajah \"bukan melayu\" ? Inilah tantangan baru atau mungkin disain baru. Karenanya perencanaan harus terbuka dengan pola pengendalian yang ketat. Mengingat rezim kini sangat berorientasi pada investasi, tidak jelas kebijakan yang pro-pribumi, serta bersahabat erat dengan Pemerintah RRC termasuk PKC, maka rasanya skeptis adanya pengendalian ketat tersebut. Lalu mungkinkah ada pihak yang sengaja memilih nama Nusantara agar cepat mengasosiasi dengan Dipa Nusantara? Semua pasti akan membantah, tetapi dapat dipercayakah para pemimpin yang mudah atau biasa berbohong dan gemar menipu rakyat? Moga pindah Ibu Kota Negara baru bukan kebohongan baru dengan misi baru yang memberi ruang baru bagi para taipan untuk menguasai sebesar-besar aset negeri. Jika Nusantara hanya sebagai tahapan menuju penjajahan baru, maka bahaya semakin nyata. Wajar jika kini rakyat keras menolak pindahnya Ibu Kota Negara. Semakin tergambar bahwa Nusantara bukan akan membawa berkah tetapi justru menjadi malapetaka bagi anak bangsa. (*)
Hei Kribo, Sebenarnya Apa yang Kau Cari?
Oleh Ady Amar, Kolumnis TIDAK jelas apa yang dimaui lelaki satu ini, yang tiba-tiba muncul bak petir menyambar sana-sini. Hadir buat bising dan gaduh. Itulah lelaki berambut gimbal, yang mempolulerkan diri dengan sebutan Habib Kribo. Selanjutnya, cukuplah disebut si kribo. Tak perlulah ada embel-embel lain. Tidak jelas apa yang dicarinya. Awal mula, ia muncul lewat video. Disasarlah Habib Bahar bin Smith. Lagak si kribo menantang-nantang. Seolah menantang bayangan, tanpa muncul wujud manusia yang ditantangnya. Setelah menghantam Habib Bahar dan juga Habib Rizieq Shihab, lewat video yang diviralkan, panggung seolah disediakan untuknya. Ia melompat ke panggung elit. Masuk ke pusaran utama mereka yang selama ini berhadapan dengan tokoh dan ulama yang kritis pada rezim. Maka foto tampangnya berduaan bersama Abu Janda viral. Juga foto keroyokan dengan mereka yang biasa disebut buzzer senior. Tampak di antaranya, DS, EK dan lainnya. Foto disebar seolah ingin mengabarkan, ia ada di barisan mana. Ada pula foto yang tersebar, ia menggunakan topi Santa dengan wajah nyengir sumringah. Juga foto ikoniknya saat menggendong anjing pudel, yang juga viral. Seolah itu pun bentuk penegasan, ia manusia bebas lepas tanpa melekat aturan agama. Buatnya, memelihara anjing bukan hal terlarang. Tidaklah perlu dimasalahkan, ia memilih di posisi mana, di barisan siapa. Itu pilihannya. Maka resiko apapun pastilah sudah diperhitungkan. Sebenarnya bukan ada di barisan mana si kribo bermukim, tapi lebih pada soal yang ditimbulkan, bicara pada wilayah tidak seharusnya. Bicara agama tanpa pemahaman yang benar. Bicara asal bicara. Sebuah potongan video seuprit, tampak saat ia dihadapkan dengan Dr. Eggi Sudjana, berdialog soal agama. Saat si kribo menyamakan Sifat Allah yang 99 (Asmaul Husna) dengan Trinitas dalam agama Nasrani, Eggi pun menyebutnya bodoh, maka ia ngacir tinggalkan arena dialog. Nyaris berkesudahan adu jotos. Ada pula video yang diunggah si kribo, menghantam Arab, etnisnya sendiri. Ia katakan, bahwa Arab itu tidak ada apa-apanya jika di sana tidak ada Ka\'bah. Tambahnya, bahwa tidak ada ilmuwan lahir dari bangsa Arab. Bicara dengan nalar jongkok, itu jadi andalannya. Ia seakan punya tugas khusus, \"mengobrak-abrik\" ajaran Islam yang sudah baku. Ia menutup mata, atau bisa jadi mata hati pun tertutup, sehingga tak tampak meski begitu banyak ilmuwan lahir di dunia Arab. Bahkan saat Barat masih tidak tahu cara mandi dan menggosok gigi yang benar. Sepertinya ia bagian dari proyek yang akhir-akhir ini tampak mengecilkan Arab. Jika mungkin, bahkan Arab pun dianggap tidak ada. Arab sepertinya jadi sasaran antara, sedang yang disasar sebenarnya adalah Islam. Di negeri ini, beberapa tahun belakangan, hal-hal kontroversial yang nyerempet menghina agama (Islam) menjadi subur. Lahannya dibuat menjadi luas, dan dengan suplai pupuk yang lebih dari cukup. Maka, bermunculanlah serombongan manusia dengan kepentingannya masing-masing ambil peran. Hanya bermodal nekat, dengan mencaci agamanya, atau bahkan Tuhannya. Dan si kribo, pendatang baru, itu langsung meroket tinggi. Rombongan yang justru datang paling awal, tampak tertinggal jauh oleh kenekatannya. Si kribo ini, seperti orang berjalan tanpa rambu. Nekat tanpa berpikir sedikit pun, bahwa ulahnya itu tidak berhenti di dirinya. Ia seperti orang mabuk yang tanpa menenggak minuman keras. Si kribo seolah manusia yang keluar dari batu. Pantas jika ia abai pada latar belakang etnisnya, dan hal lain yang lebih spesifik yang menempel di dirinya. Ia tidak perlu berpikir pada apa yang keluar dari mulutnya, itu bisa menyinggung atau bahkan menyakiti keluarga besarnya, Bani Alawi. Seolah tidak jadi masalah buatnya, jika ia ujarkan ajaran agama yang tidak sebagaimana ajaran datuk moyangnya dulu mengajarkan. Bersandar pada sikap cuek bebek jadi andalannya. Lidah tak bertulang yang dipunya makin menjadi-jadi. Los tanpa kontrol. Seolah untuk masuk dikalangan itu, ia harus tampil dengan bacot lebih \"gila\". Selama ini memang ia berhasil memerankan peran semestinya. Bahkan terkesan kebablasan. Ia sepertinya akan terus memproduk ujaran kebencian dan penodaan agama, sesuai seleranya. Karena, maaf, ilmu agamanya yang cetek dan ia harus tampil tiap hari memproduk narasi lewat video. Maka yang muncul adalah ocehan yang dikarang dengan tidak sebenarnya. Ia bicara perlunya muslim toleran pada non muslim. Dan jika ajaran agamanya itu membatasi \"ruang\" ia untuk mensosialisasikan diri dengan non muslim, maka ia lebih baik keluar dari Islam. Buat apa agama mengekang membatasinya. Astaghfirullah. Tidaklah perlu heran jika kedepan, si kribo akan terus memproduk ujaran kebencian dan bahkan penodaan agama. Kualitas ujarannya makin hari akan makin ngaco dengan tingkat kualitas menyakitkan yang juga makin kuat. Zen Assegaf, nama si kribo itu. Nama yang indah dan dari marga terhormat. Tapi sayang ia tidak berpikir, bahwa nama indahnya yang juga menempel marga, itu mestinya dijaga dengan sebaik-baiknya. Tapi tidak dengannya. Sepertinya tidak ada yang bisa menghentikannya, kecuali dari mulutnya itu ia akan terjerembab jatuh, dan itu akan menyakitkan. Kita tunggu saja. (*)
Kualifikasi Artifisial PT Nol Persen
Oleh Radhar Tribaskoro, Presidium KAMI Di dalam demokrasi, setiap orang berhak dipilih dan memilih. Penjelasannya sederhana, bila rakyat berdaulat maka rakyat berhak terlibat dalam mengelola negara. Keterlibatan itu dituangkan dalam hak memilih dan dipilih. Pada dasarnya hak itu bersifat universal, namun pembatasan boleh diberikan untuk menjamin bahwa hak dipergunakan secara efektif dan bertanggungjawab. Pembatasan atas hak memilih telah dilakukan dengan banyak alasan. Di awal demokrasi hak memilih hanya diberikan kepada orang bermilik (orang yang punya kekayaan), orang biasa (seperti tukang sado, buruh tani, petani kecil, dsb) tidak punya hak itu. Di Amerika Serikat, diperlukan hampir 250 tahun agar perempuan boleh ikut mencoblos. Namun sekarang, hak memilih di Amerika Serikat, dan seluruh dunia, sudah bersifat universal bagi mereka yang dianggap telah dewasa (di atas 17 tahun di Indonesia, di atas 18 tahun di Amerika). Hak memilih memiliki trend yang semakin lama semakin meluas. Trend tersebut perlu juga dimaknai bahwa dengan semakin moderen dan maju suatu bangsa, semakin mudah pula bagi warganegara untuk terlibat dalam pengelolaan negara. Ini sebuah prinsip empiris. Prinsip di atas mestinya berlaku juga untuk hak dipilih. Kita tidak menyangkal bahwa seorang pejabat memikul tanggung-jawab yang besar. Wajar bila pejabat yang dipilih memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Kemampuan itu terbaca dari track record kandidat. Soekarno misalnya, dipilih menjadi presiden karena semua orang mengakui tidak ada orang lain yang lebih berjasa dari dia dalam proses memerdekakan Indonesia dari kolonialisme. Soeharto tujuh kali dipilih menjadi presiden karena ia dianggap berjasa menyingkirkan PKI dan menggalakkan pembangunan. Kita juga bisa menerima Gus Dur menjadi presiden karena ia adalah pemimpin oposisi terkuat terhadap rejim Orde Baru. Tetapi bagaimana bila presiden dipilih secara langsung? Di dalam pemilihan langsung keputusan akhir berada di tangan pemilih. Pemilih pada umumnya sudah pasti sulit menilai kualifikasi seorang kandidat. Padahal kualifikasi itu sangat penting, sebab jabatan presiden tersedia hanya untuk satu orang. Kualifikasi calon presiden? Menurut hemat saya seorang calon presiden setidaknya harus memenuhi kualifikasi kepemimpinan, ideologis dan profesional. Semua kualifikasi itu dapat diuji oleh partai politik. Oleh karena itu saya tidak bermasalah bila calon presiden diusulkan oleh partai politik, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 ayat 6A butir 2. Kedudukan partai politik dalam hal ini mirip dengan kedudukan underwriter di bursa efek. Partai politik melakukan seleksi ketat capresnya dan berusaha keras \"menjual\" capres itu untuk dipilih rakyat. Kualifikasi Artifisial Presidential Threshold Di bursa efek, suatu perusahaan underwriter dapat bersindikasi dengan underwriter lain untuk kesuksesan pemasaran sahamnya. Namun, sindikasi itu tidak boleh menjadi syarat atau kewajiban bagi emiten. Sindikasi seperti itu akan merusak prinsip fairness yang membentuk permintaan dan penawaran di pasar saham. Di dalam teknis ekonomi sindikasi yang dipaksakan itu akan menyebabkan munculnya sifat-sifat monopolistik di lantai bursa. Presidential threshold mirip dengan sindikasi underwriter di bursa efek. Presidential threshold merupakan kualifikasi artifisial dalam bursa pemilihan presiden. Disebut artifisial karena kualifikasi itu tidak memiliki fungsi yang meningkatkan kualitas pemilu maupun calon terpilih. Efeknya justru sebaliknya. Presidential threshold menyebabkan jumlah capres menyusut dan sifat monopolistik yang melekat di dalamnya menyebabkan kualitas capres yang ditawarkan juga menurun. Lebih dari itu, presidential threshold membuat hak warganegara untuk menjadi calon presiden menyusut. Dengan presidential threshold 20%, secara teoretis, paling banyak menghasilkan 4 pasang capres. Dalam kondisi paling ekstrim koalisi pemerintahan yang menggabungkan 82% kekuatan partai politik di DPR dapat menciptakan satu pasang calon berhadapan dengan \'kotak kosong\'. Kondisi di atas bertentangan dengan prinsip empirik \"Semakin moderen suatu bangsa, hak memilih dan dipilih mestinya semakin meluas.\" Mahkamah Konstitusi seharusnya mencegah terjatuhnya sistem pemilu Indonesia ke dalam bursa monopolistik oligarki. Karena kalau tidak, demokrasi akan punah. Indonesia akan dipimpin oleh penguasa yang tidak mencintai rakyat, namun bersetia kepada oligarki yang memenangkan dirinya. (*)