Merebut Kedaulatan Rakyat Kembali pada Pancasila dan UUD 1945
Jika Allah menurunkan rahmat dan berkatnya, maka segera kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Sebab tanpa itu sulit untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila
PEMILU masih tahun 2024 tetapi politik sudah mulai gatel dan oligarki menebar isu pemilu diundur, dengan segala dalih untuk menyelamatkan kekuasaan yang semakin hari semakin terlihat muka keserakahannya.
Ternyata isu pemilu ditunda dengan penambahan 3 periode masa jabatan presiden bukan sekedar isapan jempol, sudah masuk pada operasi cipta kondisi dengan pengerahan masa dan rekayasa yang sangat kasat mata.
Bahkan, entah Luhut Binsar Pandjaitan terlalu nafsu sehingga Apdesi yang melakukan kebulatan tekad mendukung Pak Joko Widodo tiga periode yaitu Apdesi yang abal-abal alias tidak mempunyai akte dan ijin dari Menkumham. Sungguh sangat memalukan bagi Presiden Jokowi.
Yang jelas masa jabatan presiden itu sudah diatur di dalam konstitusi. Dua periode tidak mungkin dilakukan amandemen yang sifatnya hanya untuk kepentingan segelintir orang atau kepentingan oligarki.
Apakah kita sebagai bangsa masih berdaulat? Apakah kita sebagai rakyat masih berdaulat atas negara bangsa ini?
Sejak diamandemennya UUD 1945 yang kemudian pasal 1 ayat 2 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Diamandemen menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Pasal 1 ayat 2 hasil amandemen ini tidak jelas dan kabur pasal berapa di dalam UUD1945 yang menjalankan kedaulatan rakyat sangat tidak jelas.
Pemilu dengan demokrasi liberal yang dijalankan saat ini rencana biayanya sebesar Rp 86 triliun.
Atas nama demokrasi yang serba dengan permainan uang, kecurangan, dan membelah persatuan bangsa ini adalah bagian daei permainan oligarki saja. Kekuasaan demokrasi bisa dibeli oleh oligarki dan semua bisa diatur sesuai kepentingannya dan rakyat bagian dari legitimasi saja, tak lebih dari itu.
Apakah demokrasi seperti itu yang dikehendaki oleh bangsa ini?
Sesungguhnya “demokrasi itu untuk rakyat atau rakyat untuk demokrasi?” Ini sebuah renungan yang harus kita semua turut merenungkannya sebagai anak bangsa.
Perjalanan berbangsa dan bernegara tentu melewati sejarah panjang, yang penuh dengan perjuangan dengan tetesan keringat sampai tetesan air mata dan darah. Bukan hanya harta, nyawapun dikorbankan untuk tegaknya kemerdekaan negeri ini dari penjajahan.
Kiranya kita perlu menengok sejarah bangsa ini sebagai kaca benggala. Agar kita tidak masuk jurang untuk kedua kalinya.
Cuplikan pidato Bung Karno:
“Menemukan kembali revolusi kita”.
Pidato ini sangat relevan dalam keadaan bangsa saat ini di mana kaum bandit telah berhasil menjual negara ini. Akibat hutang pada China dengan ekonomi liberalisme yang kompromis dengan Nekolim China.
“Dimana djiwa Revolusi itu sekarang? Djiwa Revolusi sudah mendjadi hampir padam, sudah mendjadi dingin ta’ada apinja. Dimana Dasar Revolusi itu sekarang? Tudjuan Revolusi, – jaitu masyarakat jang adil dan makmur -, kini oleh orang-orang jang bukan putra-revolusi diganti dengan politik liberal – dan ekonomi liberal.
Diganti dengan politik liberal, dimana suara rakjat banyak dieksploitir, ditjatut, dikorup oleh berbagai golongan. Diganti dengan ekonomi liberal, dimana berbagai golongan menggaruk kekajaan hantam-kromo, dengan mengorbankan kepentingan rakjat.
Segala penjakit dan dualisme itu tampak menondjol terang djelas dalam periode invesment itu! Terutama sekali penjakit dan dualisme empat rupa jang sudah saja sinjalir beberapa kali: dualisme antara pemerintah dan pimpian Revolusi; dualisme dalam outlook kemasjarakatan: masjarakat adil dan makmurkah, atau masjarakat kapitaliskah? dualisme “Revolusi sudah selesaikah” atau “Revolusi belum selesaikah”? dualisme dalam demokrasi, – demokrasi untuk rakjatkah, atau Rakjat untuk demokrasikah?
Dan sebagai saja katakan, segala kegagalan-kegagalan, segala keseratan-keseratan, segala kematjetan-kematjetan dalam usaha-usaha kita jang kita alami dalam periode survival dan invesment itu, tidak semata-mata oleh kekuarangan-kekuarangan atau ketololan-ketololan jang ihaerent melekat kepada bangsa Indonesia sendiri, tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang bangsa jang tolol, atau bangsa jang bodoh, atau bangsa jang tidak mampu apa-apa, – tidak! – , segala kegagalan, keseratan, kematjetan itu pada pokonja adalah disebabkan oleh karena kita, sengadja atau tidak sengadja, sedar atau tidak sedar, telah menjelewéng dari Djiwa, dari Dasar, dan dari Tudjuan Revolusi!
Kita telah mendjalankan kompromis, dan kompromis itu telah menggerogoti kitapunja Djiwa sendiri!
Insjafilah hal ini, sebab, itulah langkah pertama untuk menjehatkan perdjoangan kita ini.
Dan kalau kita sudah insjaf, marilah kita, sebagai sudah saja andjurkan, memikirkan mentjari djalan-keluar, memikirkan mentjari way-out, – think and re-think, make and re-make, , shape and re-shape.
Buanglah apa jang salah, bentuklah apa jang harus dibentuk! Beranilah membongkar segala alat-alat jang tá tepat, – alat-alat maretiil dan alat-alat mental -. beranilah membangun alat-alat jang baru untuk meneruskan perdjoangan diatas rel Revolusi.
Beranilah mengadakan “retooling for the future”. Pendek kata, beranilah meninggalkan alam perdjoangan setjara sekarang, dan beranilah kembali samasekali kepada Djiwa Revolusi 1945….”
Maka dari itu kita harus berani meluruskan jalannya negara bangsa ini yang telah melenceng dari Pembukaan UUD 1945, melenceng dari Pancasila dan melenceng dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika Allah menurunkan rahmat dan berkatnya, maka segera kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Sebab tanpa itu sulit untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia merdeka dasarnya Pancasila. Jadi kalau negara tidak didasarkan pada Pancasila bisa dipastikan bukan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Bung Karno mengatakan Pancasila itu lima prinsip dalam berbangsa dan bernegara.
Kita mempunyai proclamation of independence dan declaration of independence sekaligus. Proklamasi kita memberikan tahu kepada kita sendiri dan kepada seluruh dunia. Bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka.
Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu. (pidato Soekarno).
Sadar atau tidak sadar amandemen UUD 1945 adalah membubarkan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Mengapa? Sebab pendiri negeri ini sudah membentuk negara berdasarkan Pancasila sesuai dengan Alinea ke-4 UUD 1945 mempunyai prinsip sendiri yang mengikat bangsa Indonesia.
Amandemen UUD 1945 justru mengkhianati prinsip-prinsip yang sudah menjadi konsesnsus nasional yang diurai di dalam UUD 1945 dan Pembukaannya.
Sistem negara berdasarkan Pancasila ada tiga ciri yang tidak di punyai oleh sistem Presidenseil, Parlementer atau kerajaan sekalipun, yaitu:
1. Adanya lembaga tertinggi negara yang disebut MPR.
2. Adanya politik rakyat yang disebut GBHN.
3. Presiden adalah Mandataris MPR.
Ketiga ciri ini sudah tidak ada artinya negara ini sudah tidak berdasarkan Pancasila.
Jika ketiga prinsip itu tidak ada maka Visi dan Misi negara juga berubah, sebab visi dan misi negara tidak bisa dijalankan
Memang aneh UUD 1945 diamandemen setelah pasal 7 tentang masa jabatan presiden hanya dua periode, tapi apa yang terjadi sekarang pemilihan presiden bukan semata mata mencari pemimpin, justru telah masuk pada pertarungan oligarki untuk perebutan penggarongan kekayaan ibu Pertiwi, bahkan apalagi kekuasaan tidak mampu lagi menguasai oligarki.
Kasus minyak goreng adalah jendela contoh soal yang bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di negeri terbesar penghasil minyak sawit justru rakyatnya untuk beli minyak goreng harus antri sampai ada yang meninggal.
Padahal itu beli, bukan mendapat gratisan, sementara harga minyak sawit di Malaysia Rp 7.500 per liter di Negeri ini Rp 14.000, dikatakan harga subsidi, dan ketika harga subsidi dihapus harga minyak goreng menjadi Rp 24.000,- sungguh mencekik leher rakyat.
Gerakan ingin menjadikan jabatan presiden tiga periode bukan sekedar wacana penundaan pemilu. Itu sama artinya perpanjangan masa jabatan presiden dan pejabat negara lainnya termasuk anggota DPR .
Tiga ketua umum (Ketum) partai politik, yakni Muhaimin Iskandar (Ketum Partai Kebangkitan Bangsa), Airlangga Hartarto (Partai Golkar), dan Zulkifli Hasan (Partai Amanat Nasional) melontarkan usul agar Pemilu 2024 diundur, setidaknya selama setahun atau dua tahun.
Entah apa yang ada dibenak mereka, penundaan atau perpanjangan masa jabatan presiden jelas melanggar konstitusi dan dengan sendirinya melanggar sumpah jabatan Presiden, Menteri, Anggota DPR. Jelas hal ini adalah kudeta terhadap konstitusi.
Wacana presiden tiga periode bukan isapan jempol sudah masuk pada operasi politik dimulai dengan bertebaran baliho dukungan, deklarasi-deklarasi kebulatan tekad seperti jaman Orba.
Dan yang lebih memprihatinkan, direkayasanya dukungan melalui Adepsi oleh LBP, tetapi akhirnya terbongkar juga, ternyata Adepsi-nya Abal-Abal alias tak mempunyai ijin dari Menkumham, sebab ada Adepsi yang asli yang sah kok bisa Presiden dihadapkan pada Adepsi Abal-Abal, memalukan.
Hari ini kita tidak bisa lagi berdiri, apalagi berdikari, hutang yang sudah hampir menenggelamkan Indonesia dan Ekonomi digantungkan pada Investor aseng dan asing.
Bahkan, pembangunan bangsa ini apa kata China, maka pembangunan ini bukan apa yang dibutuhkan bangsa dan rakyatnya, tetapi apa kepentingan China dengan proyek OBOR-nya, infrastruktur akhirnya dijual pada China.
Tanpa perang, China telah menguasai tanah air, 75 % lahan sudah dikuasai Aseng dan Asing, Investasi Aseng lebih penting daripada nyawa rakyatnya di saat dunia menolak kedatangan TKA China, kita justru memasukan TKA asal China pembawa dan penyebar Virus Corona.
Ekonomi kita semakin tidak berdaulat karena Korupsi dan salah kelola, yang ada hanya Hutang-hutang dan Hutang.
Sebuah pertanyaan besar yang harus kita jawab apa Indonesia yang seperti ini yang kita inginkan? Tidak ada kata yang lain untuk menyelamatkan negeri ini, revolusi kembali ke Pancasila dan UUD1945.
Diam kita diinjak maka melawanlah dan bergeraklah Menyelamatkan Tanah air Pusaka. (*)