Indonesia Telah Menjadi Negara Super Kapitalis Dan Liberal

Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila.

Kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi karena kita tahu sejarahnya, Undang-Undang Dasar itu adalah Undang-Undang Dasar seperti yang diucapkan oleh Bung Karno dalam laporan pembahasan UUD pada sidang BPUPKI.

Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila

YANG menyebabkan kita harus kembali kepada Konstitusi Proklamasi 1945, atau yang biasa disebut UUD 1945 adalah keyakinan bahwa kembali pada UUD 1945 adalah sebuah perjuangan mengembalikan Kedaulatan Rakyat dan menyelamatkan Negara Proklamasi 1945 demi masa depan anak cucu kita.

Loh kok bisa mengatakan mengembalikan Kedaulatan Rakyat? Bukannya Politisi dan para Komprador mengatakan UUD 1945 adalah UU Ditaktor? Bukannya Amendemen dengan demokrasi pemilihan langsung adalah kedaulatan rakyat?

Itulah sebuah akal bulus dari para pengamandemen UUD 1945, yang membohongi rakyat dengan mengatakan pemilihan langsung adalah kedaulatan rakyat.

Kita bisa rasakan keadaan hari ini politik yang serba uang dan sudah menjadi jamak jika pemodalah yang membeli demokrasi maka lahir dinasti politik dan berselingkuh menjadi oligarki.

Rusaknya ketata-negaraan ketika Presiden dan Wakil Presiden mempunyai visi, misi, padahal tidak boleh ada visi misi Presiden. Sebab, negara sudah mempunyai visi dan misi yang tertulis di dalam pembukaan UUD1945.

Inilah kerusakan yang terjadi tanpa sadar para punggawa kekuasaan rupanya tidak memahami kalau presiden dan wakil presiden harus menjalankan visi dan misi
Negara.

Mari kita buka sejarah mengapa the founding fathers memilih sistem pemerintahan sendiri yaitu sistem MPR, bukan sistem Presidensial atau Parlementer.

Sejak amandemen UUD 1945 bangsa ini dipaksa memakai baju buatan Luar Negeri, yang serba kedodoran. Yang pantas buat mereka yang hidup di musim salju, baju itu rasanya mengganggu keadaan bangsa kita, sebab memang tidak tepat dan kedodoran. Kita terasa dipaksa untuk melakukan apa yang tidak sesuai tubuh dan hati nurani kita.

Kesedihan ini semakin hari semakin mencekam. Kita harus berucap kotor dan harus berani menjelek-jelekan saudara sendiri, kita harus mem-bully, kita harus mampu belajar berbohong, dusta terhadap teman, saudara, bahkan anak kita sendiri demi yang namanya perebutan kekuasaan. Bahasa halusnya demokrasi Liberal .

Sejak amandemen UUD 1945, negara ini sudah bukan negara Pancasila, tetapi negara dipaksa untuk menjadi Liberal. Miris rasanya bukan hanya soal kehidupan kebangsaan kita yang harus kita hancurkan, tetapi kehidupan moral anak cucu kita.

Unggah-ungguh, sopan-santun dan menghormati orang tua, adat-istiadat, kesetia-kawanan sosial, kekerabatan kita buang sementara tanpa sadar kita dikotak-kotak dengan segala warna kotak: hijau, kuning, merah, biru, putih, yang semua berhadap-hadapan, yang tak lagi guyub-rukun, sebab baju yang mereka pakai adalah baju kepalsuan yang namanya Demokrasi Liberal.

Jaman ini memang tidak lebih adalah pengulangan tahun 50-an dimana Liberalisme dijalankan dan ternyata membawa sengsara rakyat. Maka apakah kita akan tersandung dengan batu yang sama? Sungguh bodoh jika memang ternyata kita tersandung batu yang sama.

Kita hanya bisa menunggu datangnya Ratu Adil, datangnya pemimpin yang mengerti amanat penderitaan rakyat, mengerti bahwa baju yang dipakai bangsa ini menyiksa dan membuat pemakainya megap-megap .

Marilah kita berdoa agar bangsa ini mampu merubah nasibnya. Elit politik yang menari-nari di atas penderitaan rakyat segera sadar dan membuka baju yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsanya, yang tidak bersumber dari jati diri bangsanya.

Masih ingatkah kita pada pidato Bung Karno tahun 1959? Mampukah kita menemukan baju kita sendiri? Untuk itu mari kita berjuang kembali pada baju kita dan kita tidak mau tinggal di rumah orang lain, sebab kalau rumah sendiri itu lebih asri dan menyejukan, mendamaikan kita semua.

Tahun ini saya namakan “Tahun penemuan-kembali Revolusi”, The Year of the Rediscovery of the Revolution.

Ya, dengan kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, kita telah “Menemukan kembali Revolusi”. Kita, Alhamdulillah, telah “Rediscover our Revolution“. Kita merasa diri kita sekarang ini sebagai dirinya seorang pengembara, yang setelah sepuluh tahun lamanya keblinger puter-giling mengembara di mana-mana untuk mencari rumahnya di luar negeri, akhirnya pulang kembali ke rumah-asalnya, – pulang kembali ke rumahnya sendiri, laksana kerbau pulang ke kandangnya.

Cuplikan: Penemuan Kembali Revolusi Kita (The Rediscovery of Our Revolution) Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1959 di Jakarta.

Melalui amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali yang dilakukan antara 1999 sampai 2002, MPR telah merubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem Presidensial. Apakah sistem pemerintahan tersebut yang disusun oleh BPUPKI yang kemudian disahkan oleh PPKI dalam UUD 1945?

Bahkan, jika kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi 1945 dianggap mundur? Bukannya mengamandemen UUD 1945 dari sistem MPR menjadi sistem Presidensial merupakan tindakan anarkis? Bukannya menghilangkan Penjelasan UUD 1945 merupakan tindakan memutus tali sejarah bangsanya?

Seperti yang diajarkan oleh Spihnoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik. Menurut pandangan teori ini, negara didirikan bukan untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan.

Negara adalah suatu masyarakat integral yang terdapat segala golongan, bagian dan anggotanya, satu dengan lainnya merupakan kesatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam kehidupan bernegara menurut teori integral adalah kehidupan dan kesejahteraan bangsa seluruhnya.

Dasar dan bentuk susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa. Karena itulah setiap negara membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik, hukum dan struktur sosialnya.

Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat BPUPKI pada 31 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indonesia yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik (sic, maksud Prof. Soepomo adalah negara yang integral bukan integralistik!), negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golonganya dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998; 55).

Dalam negara yang integral tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia, kata Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya.

Inilah interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong.

Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga.

Bung Hatta, berbeda dengan Bung Karno dan Prof. Soepomo, menerjemahkan faham kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan, Indonesia Intinya adalah semangat tolong menolong atau gotong royong.

Karena itu dalam pemikiran Bung Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme ala Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama.

Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura. Suatu forum untuk musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest. Suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen

Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei – 1 Juli dan dari 10-17 Juli 1945, dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18-22 Agusutus 1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar negara (Setneg, 1998: 7-147).

Bung Karno, Bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga tokoh yang menyatakan pembentukan negara Republik Indonesia didasarkan atas corak hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.

Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem Presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.

Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem Presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.

Sistem MPR adalah menganut paham kekeluargaan, paham integralistik, maka MPR adalah lembaga yang beranggotakan seluruh elemen keluarga bangsa Indonesia, hal ini disebabkan bangsa Indonesia terdiri dari ribuan suku, bermacam-macam adat istiadat, bermacam-macam Agama dan kepercayaan, bermacam-macam golongan.

Maka keanggotaan MPR adalah utusan-utusan golongan, utusan-utusan elemen masyarakat seluruh Indonesia. Tugasnya adalah membuat keputusan Politik untuk kehidupan bersama secara gotong royong.

Politik rakyat itu adalah Politik pembangunan yang terurai didalam GBHN. Jadi dengan sistem MPR maka negara ini benar-benar dijalankan sesuai kehendak rakyat, sesuai dengan politik rakyat dan sudah tentu dengan kedaulatan rakyat dan kemerdekaan kedaulatan rakyat

Setelah terbentuknya GBHN maka dipilihlah Presiden dan diberi amanah untuk menjalankan Politik rakyat, menjalankan kehendak rakyat, yaitu GBHN.

Maka jika Presiden melenceng dari GBHN, maka Presiden bisa saja diturunkan. Pada akhir jabatannya Presiden harus mempertangungjawabkan apa yang sudah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan.

Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri, atau menjalankan politik golongannya sendiri.

Setelah Amandemen UUD 1945 keadaan menjadi kacau, sebab Pancasila yang seharusnya menjadi dasar negara diabaikan. Mana bisa demokrasi dengan pemilihan langsung yang jelas mempertarungkan dua kubu atau lebih disamakan dengan Gotong royong, disamakan dengan Persatuan Indonesia, disamakan dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan.

Usaha untuk bisa mencangkokan Pancasila dengan Demokrasi liberal adalah bentuk pengkhianatan terhadap Panca Sila.

Perubahan kedaulatan di tangan MPR diganti dengan Menurut Undang-Undang Dasar menjadi sangat kacau. “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

UU dibuat oleh Presiden dan DPR, yang merupakan presentasi dari kedaulatan rakyat. Kita bisa bayangkan bahwa UU itu bisa dibatalkan oleh MK yang keanggotaan MK dipilih dari hasil fit and proper test. Pertanyaannya di mana kedaulatan rakyat itu? Berdaulat di mana Rakyat, Presiden, DPR dengan MK?

Kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi karena kita tahu sejarahnya, Undang-Undang Dasar itu adalah Undang-Undang Dasar seperti yang diucapkan oleh Bung Karno dalam laporan pembahasan UUD pada sidang BPUPKI.

Alangkah keramatnja, toean2 dan njonja2 jang terhormat, oendang2 dasar bagi sesoeatoe bangsa. Tidakkah oendang2 sesoeatoe bangsa itoe biasanja didahoeloei lebih doeloe, sebeloem dia lahir, dengan pertentangan paham jang maha hebat, dengan perselisihan pendirian2 jang maha hebat, bahkan kadang2 dengan revolutie jang maha hebat, dengan pertoempahan darah jang maha hebat, sehingga sering kali sesoeatoe bangsa melahirkan dia poenja oendang2 dasar itoe dengan sesoenggoehnja di dalam laoeatan darah dan laoetan air mata.

Oleh karena itoe njatalah bahwa sesoeatoe oendang2 dasar sebenarnja adalah satoe hal jang amat keramat bagi sesoeatoe rakjat, dan djika kita poen hendak menetapkan oendang2 dasar kita, kta perloe mengingatkan kekeramatan pekerdjaan itoe.

Dan oleh karena itoe kita beberapa hari jang laloe sadar akan pentingnja dan keramatnja pekerdjaan kita itoe. Kita beberapa hari jang laloe memohon petoendjoek kepada Allah S.W.T., mohon dipimpin Allah S.W.T., mengoetjapkan: Rabana, ihdinasjsiratal moestaqiem, siratal lazina anamta alaihim, ghoiril maghadoebi alaihim waladhalin.

Dengan pimpinan Allah S.W.T., kita telah menentoekan bentoek daripada oendang2 dasar kita, bentoeknja negara kita, jaitoe sebagai jang tertoelis atau soedah dipoetoeskan: Indonesia Merdeka adalah satoe Republik. Maka terhoeboeng dengan itoe poen pasal 1 daripada rantjangan oendang2 dasar jang kita persembahkan ini boenjinja: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatoean jang berbentoek Republik.”

Jadi sangat yakinlah kita bahwa UUD 1945 itu dibuat bukan dengan sementara, bukan dengan singkat, tetapi dengan ijin Allah SWT, hal inilah yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945.

Dengan demikian jihad mengembalikan UUD 1945 adalah sebuah keharusan bagi anak bangsa yang mencintai negerinya. (*)

451

Related Post