Ketika “Dosa” Dokter Terawan Dibuka Pasien Korban

Sarah Diana, keponakan Gerald Liew dalam video yang beredar.

Adakah “korban” Dokter Terawan lainnya seperti yang dialami Gerald Liew, atau bahkan, yang sampai meninggal dunia di ruang operasi? Jejak digital yang saya coba telusuri memang tidak (belum) ditemukan.

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN

SEORANG Dokter mengirim link tulisan Kumparan.com (8 April 2018 9:33). Isi berita berjudul “Gerald Liew, Kasus Gagal Dokter Terawan” itu tentang pasien yang gagal dioperasi Prof. (HC) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K).

Tulisan dan video tentang ini beredar lagi di media sosial setelah ada Putusan Muktamar IDI XXXI Banda Aceh pada 25 Maret 2022 tentang Pemberhentian Tetap dari keanggotaan IDI kepada “sejawat” Dokter Terawan.

Pada Januari 2015 Gerald Liew, pengusaha asal Singapura itu telah menerima kenyataan pahit bakal cacat seumur hidup. Nahasnya, kenyataan ini bahkan menghampirinya tanpa ia sadari.

Kumparan menulis, Gerald yang semula manusia sehat, jadi invalid dan buta realitas karena otaknya hancur. Peristiwa celaka itu terjadi saat Gerald sedang mengikuti prosedur ‘cuci otak’  di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Usai cuci otak, Gerald mestinya bangun. Namun ternyata, tak bisa membuka mata. Ia pun tampak kesulitan untuk bangkit, sehingga keluarganya langsung merasa ada yang salah.

“Mereka (tim dokter) mengatakan prosedur hanya akan berlangsung 20-30 menit, tapi nyatanya keseluruhan prosedur berlangsung selama 1,5 jam. Dan setelah kami sadar ada sesuatu yang salah, kami memanggil Dokter Terawan kembali ke ruangan. Ayah saya kemudian dibawa ke ruang operasi. Di sana, dia menghabiskan waktu 7 jam,” kata John Liew, putra Gerald.

Sepupu John, Sarah Diana, pada hari yang sama membeberkan rincian kisah yang menimpa pamannya tiga tahun lalu itu.

Gerald Liew, tutur Sarah, ialah warga negara Singapura yang sering bolak-balik Jakarta untuk keperluan bisnis. Ia pertama kali mendengar soal ‘cuci otak’ dari rekan bisnisnya pada awal 2015. Katanya, Terawan punya metode terapi hebat.

Gerald pun diajak ikut menemui sang dokter untuk membuktikan kemanjuran ‘sihir’ itu. “Karena diajak oleh rekan bisnis, akhirnya ya dia (Gerald) ikut saja,” kata Sarah saat bertemu kumparan di Hotel Pullman, Thamrin, Jakarta Pusat.

Dari hasil pemeriksaan awal, Gerald Liew didiagnosis berpotensi terserang aneurisma (pembengkakan pembuluh darah) yang bisa memicu (stroke akibat pembuluh darah pecah).

Selanjutnya, Gerald disarankan untuk ‘cuci otak’ dan memasang koil untuk mencegah aneurisma tersebut.

Gerald pun setuju untuk menempuh prosedur cuci otak alias brain flushing. Maka, sehari sebelum terapi, dia menghubungi keluarganya di Singapura untuk mengabarkan akan melakukan “operasi kecil”.

Keluarga Gerald di Singapura, tutur Sarah, tentu saja kaget mendengar kabar itu. Sebab, Gerald terbang ke Jakarta dalam keadaan sehat. Lagi pula, selama ini ia dikenal sangat memperhatikan kesehatan, termasuk dengan rutin selalu berolahraga dan menjaga pola makan. Jadi buat apa “operasi kecil” itu, tanya mereka.

Gerald menepis kekhawatiran itu. Ia mengatakan, ini hanya operasi kecil yang tak perlu dicemaskan. Pula, kata Gerald, ia ditangani oleh dokter hebat yang terkenal.

Tetap saja, keluarga Gerald – istrinya, Becky Liew, dan anak sulungnya, John Liew – memutuskan untuk terbang ke Jakarta hari itu juga.

Sebelum prosedur dimulai, John sempat bertanya pada Terawan tentang apa cuci otak itu, dan bagaimana prosesnya akan berlangsung.

Terawan, ujar John, lantas menjelaskan kepadanya bahwa itu adalah operasi kecil yang berlangsung 20-30 menit, dan hanya memerlukan pembiusan lokal. Jadi, Gerald akan tetap sadar selama operasi berlangsung.

Tapi kemudian, waktu operasi molor menjadi satu jam lebih, ini membuat keluarga Gerald gelisah. Lebih-lebih, setelah proses cuci otak usai, Gerald dibawa keluar ruangan oleh tim dokter dalam kondisi tak sadarkan diri.

“Dia kan seharusnya sadar. Jelas ada sesuatu yang salah,” kata John, melihat Gerald tak kunjung membuka mata, pun menunjukkan gelagat janggal.

Terawan mengecek keadaan Gerald dan langsung membawanya ke ruang operasi. “Tujuh jam di ruang operasi. Tujuh jam,” kata John, menekankan betapa lamanya mereka menunggu dengan rasa frustrasi, menanti kejelasan.

Akhirnya, setelah tujuh jam di ruang operasi, Gerald dipindah ke ruang unit perawatan intensif (ICU). Namun kondisinya tak terlihat membaik.

Ia (Terawan) menjelaskan, aneurisma ayahnya terletak pada posisi sulit di otaknya. Jadi dia ingin melakukan prosedur coiling yang tidak mudah. Tapi setelah 7 jam, mereka (tim dokter) mengatakan tak bisa melakukan apa pun. “Ayah saya mengalami kerusakan otak,” ungkap John.

Terawan, kemudian mengatakan sudah tidak bisa melakukan apapun untuk memperbaiki kondisi kerusakan otak Gerald. Ia tidak mengakui kesalahannya. “Dia bilang ini sebuah kecelakaan,” ujar John.

Dokter Terawan bilang, ‘Saya juga enggak tahu. Ini pertama kali kejadian.” Jadi koilnya meleset, ngehancurin otak Uncle Gerald. Dia juga bilang, Uncle enggak akan bisa ngomong lagi karena otaknya udah hancur. Enggak akan bisa jalan juga, lumpuh total,” tutur Sarah.

Adakah “korban” Dokter Terawan lainnya seperti yang dialami Gerald Liew, atau bahkan, yang sampai meninggal dunia di ruang operasi? Jejak digital yang saya coba telusuri memang tidak (belum) ditemukan.

Apakah karena mereka (jika benar ada korban lainnya) tak mau buka suara di   media seperti yang dilakukan keluarga Gerald Liew karena Dokter Terawan itu juga seorang perwira tinggi TNI, sehingga tidak berani?

Coba kita lihat komentar netizen atas kasus yang menimpa Gerald berikut ini:

Budianta Pinem 11 April 2018

Sebagaimana pengakuan Dr Terawan, dia hanya menggunakan pengetahuan keahlian menolong orang yg sakit. Soal sembuh tidaknya, Dr Terawan mengaku tidak punya kuasa. Hanya Allah lah yg tau. Dan semua dokter dokter spesialis hebat tdk juga bisa menjamin tindakannya pasti berhasil. Blm lagi kesalahan asisten dokter yg membantunya yg gagal tp tanggungjawab ada sama dokter Terawan.

Pranamya Dewati (9 April 2018)

Sebelum tindakan 'cuci otak' dilakukan, tentu ada semacam MoU antara pihak RS dan pihak pasien kan? seperti tindakan2 operasi pada umumnya. Dan biasanya, di dalam MoU tsb tentu ada penjbaran perihal risiko2 dr operasi yg dilakukan kan? dan jika operasi dilakukan, berarti si pasien sudah setuju (tandatangan) dan harusnya sih sudah baca dan paham risiko2 tsb. Nah, jika memang lumpuh adalah salah satu risikonya (jk gagal) yg tertulis di MoU, apakah masih bisa dituntut?????

Elephant Cros/Gm (2 tahun yang lalu)

Dokter terawan bukan Tuhan, dia telah berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan pasiennya... segala kemungkinan bisa terjadi dalam proses operasi, dalam hal ini kita mengambil positif nya bahwa DR.terawan sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatan pasien... ketika satu orang gagal dalam pengoperasiannya kita menanyakan kenapa ini terjadi, tetapi kita tdk mempertanyakan ribuan atau hampir jutaan yang sembuh..!

Usdin Simanjorang (3 tahun yang lalu)

Semoga saja ini bukan persaingan bisnis Rumah sakit, dan dr. Terawan dikenal bukan hanya di Indonesia saja, Tapi wajar jika pasien yg tidak berhasil disembuhkan seperti apa yg mereka harapkan ada kekecewaan, Tapi jangan juga langsung menyalahkan atau langsung menghakimi, dalam kasus ini juga bukan dr. Tarawan yg menawarkan diri tapi pasien yg datang.

Selain tulisan dalam Kumparan.com (8 April 2018 9:33) tersebut, ternyata tak hanya itu saja yang kini mulai beredar di grup-grup WA.

Paska pemberhentian Tetap Dokter Terawan sebagai anggota IDI beredar copy SK Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/272/2018 Tentang Satuan Tugas Penyelesaian Permasalahan Pelayanan Kesehatan Dengan Metode Intra Arterial Heparin Flushing Sebagai Terapi, Copy PDF Laporan Satgas IAHF, dan Copy PDF Tambahan_SIDANG MKEK (Khusus).

Semua itu tahun 2018. Adakah unsur kesengajaan untuk mencoba ingatkan kembali sehingga memperkuat legitimasi pemberhentian Dokter Terawan? (*)

1838

Related Post