OPINI

Nusantara: Ibukotanya Oligarki

Oleh: Gde Siriana, Direktur Eksekutif INFUS MESKIPUN Undang-Undang (UU) Ibukota Baru telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), rencana pemindahan ibukota baru tetap menyisakan banyak masalah. Seharusnya proyek ibukota baru mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat, bukan semata keinginan Presiden dan elit-elit partai politik (parpol). Pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN) oleh DPR tidak dapat dikatakan telah mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Gugatan terhadap UU Covid-19 dan UU Cipta Lapangan Kerja yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan bahwa DPR-RI tidak lagi merepresentasikan suara rakyat.   Hal-hal yang prinsip dari UU ibukota baru tersebut adalah pertama, apakah UU Ibukota Baru tersebut merupakan jawaban atau solusi dari persolan Indonesia khususnya masalah ibukota Jakarta hari ini? Seperti misalnya kepadatan penduduk, ketimpangan pembangunan ekonomi, efektifitas kerja birokrasi pemerintah pusat dan keberlanjutan lingkungan. Kalau itu masalahnya, yang dibutuhkan adalah relokasi pusat pemerintahan. Bukan memindahkan ibukota seperti yang dilakukan rezim pemerintahan Jokowi sekarang. Dan sesungguhnya ide relokasi pusat pemerintahan sudah ada di era Orde Baru. Kala itu Presiden Soeharto telah merencanakan untuk merelokasi pusat pemerintahan ke wilayah Jonggol di Kabupaten.Bogor, Jawa Barat. Bahkan waktu itu telah disiapkan lahan seluas 30.000 hektar.  Konsep inilah yang juga dijalankan oleh Malaysia dengan terintegrasinya pemerintahan di Putera Jaya, yang berjarak hanya 25 km dari ibukota Kuala Lumpur, kurang lebih sama dengan jarak dari Monas ke Cibubur, di Bogor, Jawa Barat. Perbedaannya, rezim Soeharto tumbang pada Mei 1998 sebelum sempat merealisasikan Jonggol, sebagai pusat pemerintahan baru. Sebaliknya PM Malaysia Mahatir Muhammad waktu itu mampu melewati krisis moneter 1997-1998 dan meneruskan pembangunan Putera Jaya. Jika solusi tersebut adalah pindah ibukota atau hanya relokasi pusat pemerintahan, di mana lokasinya yang dikehendaki rakyat? Pertanyaan berikutnya, apa nama ibukota baru atau pusat pemerintahan baru tersebut? Ini tidak dapat diputuskan oleh presiden dan elit-elit parpol saja tanpa didahului oleh proses yang terbuka dan partisipatif. Dan untuk mendapatkan legitimasi rakyat untuk memindahkan ibukota, sangat mungkin diperlukan proses panjang bertahun-tahun. Juga harus diselesaikan dulu persoalan sosial-politik dalam hal pembelahan yang terjadi di masyarakat hari ini jika bangsa ini ingin mengambil keputusan besar. Jika hanya merupakan keinginan presiden dan elit parpol, nasib ibukota baru akan seperti ibukota baru Myanmar karena tidak didukung rakyat. Berbeda dengan Brasilia yang sukses menjadi ibukota baru Brasil, karena didukung rakyat, serta prosesnya panjang dan bertahap sehinga perencanaannya pun juga matang.  Akar ibukota Brasília berasal dari tahun 1789, ketika revolusioner Joaquim José da Silva Xavier, juga dikenal sebagai Tiradentes yang menjadi martir bagi kemerdekaan Brazil, pertama kali mengusulkan gagasan untuk memindahkan ibu kota dari pesisir Rio de Janeiro ke lokasi terpusat di pedalaman Brasil. José Bonifacio (politisi Brasil), mengingatkan kembali ibukota baru sebagai simbol kemerdekaan Brasil, yang kemudian nama Brasilia pertama kali diusulkan tahun 1822 bertepatan dengan kemerdekaan Brasil.  Ide tersebut baru disetujui Kongres tahun 1891. Pada tahun berikutnya,1892, kongres menyetujui sebuah ekspedisi untuk melakukan survei di dataran tinggi Brasil bagian tengah dan menetapkan batas-batas ibukota baru. Ekspedisi tersebut termasuk astronom, insinyur, militer, dokter, ahli botani dan banyak ilmuwan lainnya. Tahun 1946 konsep ibukota baru tersebut masuk dalam konstitusi Brasil. Dan akhirnya tahun 1956, di bawah Presiden Juscelino Kubitschek Brasilia secara resmi dibangun sebagai ibukota baru Brasil. Saat bersamaan Soekarno pun mewacanakan ibukota baru Palangkaraya tahun 1957. Bahwa di dalam konsep ibukota baru Brasilia ada konsep-konsep kota modern, ekonomi dan keberlanjutan lingkungan itu merupakan faktor teknis saja. Prinsipnya adalah ibukota baru Brasil merupakan amanat rakyat sebagai simbol kemerdekaan Brasil. Kedua, Rencana pemindahan Ibukota tidak tepat dilakukan saat ekonomi Indonesia sedang sulit. Fokus pemerintah saat ini seharusnya konsiten menangani pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Ibarat orang yang terkena stroke sedang memulihkan staminanya dan kemampuan motoriknya, tidak mungkin untuk disuruh berlari kencang. Dia hanya sanggup jalan perlahan menuju jalan normal. Perlu waktu lebih lama agar bias berjalan cepat atau berlari. Begitulah tahapannya.  Saat ini keuangan Negara sedang berat dan ekonomi belum pulih. Tetapi tiba-tiba dipaksa membangun mega proyek ibukota baru. Selain itu, kapasitas rejim Jokowi dalam pembangunan ekonomi telah menunjukkan prestasi yang tidak bagus. Periode pertamanya hanya stagnan di pertumbuhan 5%. Itu telah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Dan hari ini banyak BUMN menanggung beban berat utang. Banyak pula infrastruktur yang dikerjakan tanpa pertimbangan prioritas kebutuhan dan tanpa perencanaan yang matang, sehingga tidak fisibel untuk dikerjakan, meleset anggarannya atau tersendat pelaksanaannya, misalnya kereta cepat Jakarta-Bandung. Bahkan proyek yang sudah selesai pun seperti bandara Kertajati, karena sejak awal tidak memperhatikan biaya operasional dan mekanisme pemeliharaannya, sementara kehadirannya tidak dirasakan manfaatnya oleh pengguna bandara sehingga mengancam keberkelanjutan bandara. Jadi proyek ibukota baru seharusnya dikerjakan oleh rejim yang menunjukkan konsistensi dan prestasi yang mengesankan dalam pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi inilah yang kelak akan menjadi sumber pembiayaan baru bagi ibukota baru.  Pembangunan ibukota baru juga seharusnya bukan karena didorong kepentingan legacy (warisan) rejim semata, agar dikenang sebagai rejim yang mendirikan ibukota baru dan menutupi semua kekurangan dan kejahatan yang terjadi selama rejim itu berkuasa. Perlu melihat contoh Piramida Mesir yang dikagumi dunia dan hingga kini masih dikunjungi banyak wisatawan, tetapi tetap tidak menghilangkan sejarah kelam Firaun. Terkait pembiayaan pembangunan ibukota baru, pemerintah tidak dapat meyakinkan rakyat, bahkan terlihat adanya agenda sendiri-sendiri di kabinet Jokowi. Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa dari anggaran PEN yang hampir Rp.456 triliun, Rp.178 triliun dianggarkan untuk penguatan pemulihan ekonomi, di mana salah satu pos penerimanya adalah Kementerian PUPR. Dari pos tersebutlah akan digunakan untuk pembangunan jalan di ibukota baru (19 Januari 2022).  Anehnya Menko Perekonomian Airlangga membantah dana PEN akan digunakan untuk ibukota baru, melainkan dari dana Kementerian PUPR, meskipun tidak dijelaskan dari mana sumber dana di Kementerian PUPR tersebut (24 januari 2022). Artinya ini menunjukkan ketidakjelasan sumber dana pembangunan ibukota baru karena memang sejatinya kondisi keuangan negara sedang sulit dan tidak fisibel untuk membangun mega proyek ibukota baru. Sri Mulyani sangat mungkin berkata jujur, bahwa dari anggaran kementerian manapun, selama negara tidak mendapatkan sumber pendapatan baru, maka pembangunan ibukota baru berasal dari sumber-sumber pendapatan hari ini, yang mana prioritasnya adalah untuk penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi.  Ketiga, jaminan atas realisasi pemindahan ibukota tidak cukup melalui undang-undang. Ibukota negara seharusnya ditetapkan dalam konstitusi seperti halnya bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan. Bahkan wilayah dan batas-batas Republik Indonesia pun harus ditetapkan dalam konstitusi, sebagai “sertfikat” yang sah bahwa rakyatlah yang memiliki tanah air Indonesia.  Nuansa kepentingan oligarki sangat kuat di balik agenda pemindahan ibukota. Nuansa kepentingan oligarki inilah yang dapat mempengaruhi situasi politik di masa depan yang dapat membatalkan rencana pindah ibukota. Tidak ada jaminan bahwa rezim berikutnya paska Jokowi akan melanjutkan pembangunan ibukota baru atau memindahkan ibukota Jakarta.  Harus dapat dibedakan antara tahap membangun sebuah kota untuk menjadi ibukota baru dan realisasi pemindahan ibu kota. Misalnya, pembangunan ibukota baru dapat saja diteruskan dengan menggunakan APBN, tetapi tidak serta merta kemudian juga akan terjadi pemindahkan ibukota. Dengan kata lain, APBN telah dimanfaatkan hanya untuk membangun sebuah kota baru di Kalimantan, di mana yang paling diuntungkan dari pembangunan tersebut adalah para pengembang besar.  Berbagai pihak telah mengungkapkan kepemilikan atau pengelolaan lahan tanah oleh sekelompok korporasi di wilayah ibukota baru. Bahkan grup-grup pengembang besar sudah membangun banyak properti di sana. Sejak diumumkan wacana ibukota baru beberapa tahun lalu sudah terjadi kenaikan harga properti seperti apartemen misalnya, dengan demikian sudah terjadi capital gain yang menguntungkan para pengembang besar. Apalagi dengan pengesahan UU ibukota baru, maka kenaikan harga properti sudah demikian tinggi. Dengan kata lain, natinya jika jadi atau tidak ibukota pindah, para pengembang besar sudah menikmati keuntungan dari penjualan properti di sana. Hal-hal yang dapat membatalkan perpindahan ibukota misalnya jika ada beberapa kali upaya judicial review (JR) terhadap UU ibukota baru, yang mana prosesnya memakan waktu yang panjang, di saat bersamaan pembangunan ibukota baru terus berjalan. Tetapi kemudian sangat mungkin endingnya adalah MK mengabulkan gugatan terhadap UU ibukota karena tekanan dari perubahan angin politik. Pembangunan ibukota baru dapat sudah jauh berjalan tetapi pada akhirnya batal memindahkan ibukota. Dan properti para oligarki di sana sudah terjual mahal. Jakarta hari ini bukanlah sekedar ibukota Indonesia. Jakarta hari ini adalah Sunda Kelapa yang diperebutkan berbagai bangsa sejak dulu. Tidak terhitung berapa banyak nyawa dari pasukan Padjadjaran, Banten, Cirebon, Demak dan Mataram yang mati demi mempertahankan atau memperebutkan Sunda Kelapa. Jakarta juga kota proklamasi kemerdekaan Indonesia. Jakarta dalam sejarahnya telah ditakdirkan menjadi kota revolusioner. Dan Soekarno pernah mengatakan jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sangat mungkin wacana pindah ibukota Soekarno tahun 1957 terinspirasi oleh ibukota revolusionernya Brasilia yang mulai dibangun tahun 1956. Tetapi Soekarno menghadapi banyak pemberontakan seperti DI/TII yang baru dapat diselesaikan di awal tahun 60-an. Selanjutnya ekonomi Indonesia terus memburuk dan juga terjadi peristiwa G30S/PKI yang akhirnya menjatuhkan kekuasaan Soekarno tanpa sempat memindahkan ibukota. Juga terjadi di era Soeharto, konsep kota administratif pusat pemerintahan di Jonggol tidak sempat direalisasikan karena krisis moneter 1997 dan akhirnya rejim Orde Baru pun keburu tumbang. Melihat kedua peristiwa tersebut, apakah rezim Jokowi juga akan ikut tumbang sebelum Ibu Kota Negara baru terwujud? (*)

Ugal-ugalan Ibu Kota Negara Baru

 Minimnya partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU IKN melecut kecurigaan rakyat bertambah besar. Pembahasan yang tergesa-gesa pada akhirnya berpotensi melalaikan masyarakat yang terkena dampak. Alasan itu pula yang menjadi salah satu dasar bagi sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur menolak pemindahan ibu kota.  Oleh: Tamsil Linrung, anggota DPD RI PINDAH  Ibu Kota Negara (IKN) itu biasa. Tidak sedikit negara di dunia melakukannya. Yang tidak biasa adalah ngotot, memaksakan kehendak tanpa melihat urgensi dan momentumnya. Inilah sebenarnya sumber persoalan kita. Ketika APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) masih defisit, ekonomi belum stabil, dan Covid-19 masih mengancam, kebijakan memindahkan Ibu kota terasa tidak relevan. Rakyat berhak curiga. Apalagi, memori kolektif mereka mencatat sejumlah pembangunan infrastruktur yang mengecewakan. Ada yang tidak efektif, ada yang tidak tepat sasaran, dan ada pula yang terancam mangkrak. Celakanya, sebagian dari duit pembangunan itu diperoleh dengan cara utang. Sudah utangnya menumpuk, eh, infrastruktur yang dihasilkan tidak maksimal. Pemerintah seharusnya sensitif, menjawab kecurigaan rakyat dengan penjelasan komprehensif. Bukan justru ugal-ugalan mengetok palu bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).  DPD (Dewan Perwakan Daerah) memang menjadi bagian dari keputusan tersebut. Namun, DPD memberi catatan kritis dan telah disampaikan secara terbuka dalam beberapa tulisan dan pemberitaan.  Pemindahan IKN adalah pekerjaan besar, masif, dan multi kompleks sehingga memerlukan perencanaan yang matang. Ini bukan saja tentang membangun kawasan, tetapi juga membangun peradaban. Peluangnya besar, tapi itu sebanding dengan risikonya. Bila tidak direncanakan dan dikelola dengan baik, risiko dipastikan akan lebih dominan ketimbang peluangnya.  Paceklik ekonomi membuat potensi risiko itu membesar. Tak percaya? Tengok situasi berikut. Aset ibu kota lama nyatanya akan dioptimalkan pemerintah sebagai salah satu sumber merogoh cuan, demi menyuplai . Caranya beragam.  Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan, Encep Sudarwan memberi sinyal, “Aset DKI Jakarta tidak selalu dijual, namun juga dapat dikerjasamakan dengan pemberian waktu 30 tahun atau beberapa tahun, dan duitnya digunakan di IKN.” (katadata.com).  Proses pengalihan aset tentu rawan karena membuka celah korupsi. Apalagi, nilai aset DKI Jakarta begitu besar dan entah berapa yang akan dialihkan. Kementerian Keuangan mencatat, dari total aset negara sebesar Rp 11.098 triliun, sebanyak Rp 1.000 triliun di antaranya berada di Jakarta. Ini berbahaya. Apalagi, kita punya sejarah korupsi yang bikin bulu kuduk berdiri. Ya, bahkan dana bantuan sosial bagi rakyat miskin saja ditilap oleh Menteri Sosial Juliari Batubara, salah satu dari 7 menteri terbaik Jokowi menurut survei Charta Politika.  Dulu, Presiden Jokowi mengatakan pembiayaan IKN tidak akan membebani APBN. Belakangan, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, 4 Februari 2020, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, dari Rp 466 triliun total dana pembanguna n IKN, sebanyak Rp89 triliun menggunakan APBN. Angka itu lalu berubah lagi. Pemerintah mengakui skema IKN Nusantara akan lebih banyak mengeruk APBN, yakni sebesar 53,3 persen dari total dana. Lalu apa jaminannya pernyataan-pernyataan ini tidak berubah lagi?  Janji yang terpungkiri ini mengingatkan kita pada proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Janji yang terpungkiri seolah menjadi salah satu khas Jokowi selama memimpin. Terhadap perubahan sumber dana IKN, media massa menyebut Presiden Jokowi meralat janjinya. Lalu apa bahasa sederhana meralat janji?  Ironisnya, sumber dana buat menambal biaya pembangunan IKN Nusantara salah satunya dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) klaster Penguatan Pemulihan Ekonomi, sebesar Rp178 triliun. Ini jelas keterlaluan. Bagaimana mungkin dana penanggulangan kondisi darurat pandemi Covid-19 digunakan untuk pendanaan lain di luar peruntukannya?  RUU APBN 2022 telah diketok pada November 2021 lalu. Kita tahu, untuk mengubah alokasi anggaran proyek nasional diperlukan mekanisme APBN Perubahan. Pengumuman penggunaan APBN tanpa melalui APBN Perubahan adalah contoh etika pengelolaan keuangan negara yang tidak elok. Boleh jadi situasi ini menjadi persoalan hukum.  Yang aneh, latar belakang pemilihan Penajam Paser Utara (PPU) sebagai lokasi IKN Nusantara tidak ditemukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Padahal, sangat penting bagi pemerintah mengungkap dan membahasnya, sehingga masyarakat dapat memahami secara jernih.  Akibatnya, spekulasi tidak bisa dihindari, seiring beredarnya data terkait IKN di tengah masyarakat. Terhadap 256.000  hektar lahan IKN, misalnya, ternyata dominan dimiliki oleh hanya segelintir elit Jakarta. Meski bentuknya HGU (Hak Guna Usaha) dan merupakan lahan milik negara, tetapi tetap saja perlu kompensasi tertentu bila negara ingin mengambilnya kembali.  Suplai listrik IKN Nusantara juga demikian. Spekulasi rakyat mengarah kepada kepentingan China di balik keterlibatan China Power pada PLTA.(Pembangkit Listrik Tenaga Air) Sungai Kayan. Padahal, PLTA ini belum beroperasi. Namun rakyat tetap saja mengaitkannya, karena Kepala Staf Presiden Moeldoko pernah menyebut PLTA Sungai Kayan adalah salah satu penyuplai listrik IKN.   Minimnya partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU IKN melecut kecurigaan rakyat bertambah besar. Pembahasan yang tergesa-gesa pada akhirnya berpotensi melalaikan masyarakat yang terkena dampak. Alasan itu pula yang menjadi salah satu dasar bagi sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur menolak pemindahan ibu kota.  Sejumlah akademisi menilai, pembahasan dan pengesahan UU IKN tidak lazim, terkesan tertututup, tergesa-gesa, sehingga berpotensi cacat secara prosedural formil maupun materil. Salah satu yang dipersoalkan adalah status ambigu Ibu Kota Negara yang berbentuk otorita, yakni lembaga pemerintah setingkat kementerian. Padahal, nomenklatur otorita  tidak dikenal dalam aturan perundang-undangan. Tentang hal ini, DPD RI telah mengingatkan. Kini, pemerintah harus siap menghadapi gugatan rakyat di Mahmakah Konstitusi (MK). Din Syamsuddin, Faisal Basri dan sejumlah tokoh sudah mulai bersiap-siap melakukannya.  Saya pribadi mendukung langkah itu. Selain karena merupakan hak konstitusional warga negara, gugatan ke MK sekaligus menjadi penyeimbang agar produk legislasi kita berkualitas dan tepat sasaran. Semoga hasilnya tidak seperti UU Cipta Kerja _Omnibus Law_ yang diputus MK bertentangan dengan UUD 1945. Agar kita yang diamanahi duduk di kursi legislatif tetap punya muka. (*)

Salam Pancasila dan Aroma yang Semakin Komunistis

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan KETUA BPIP Yudian Wahyudi muncul kembali dan semakin gigih memperjuangkan salam Pancasila yang menurutnya sebagai jalan tengah dari salam berdasarkan agama yang beragam. Bahkan salam Pancasila konon akan dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Ada gejala \"over dosis\" dalam mengeksplorasi bahkan  mengeksplotasi Pancasila. Atau ini hanya kamuflase untuk suatu misi terselubung?  Kita jadi teringat misi terselubung tokoh komunis DN Aidit dahulu. Ketua CC PKI ini setahun sebelum melakukan upaya kudeta untuk mengganti ideologi Pancasila melalui gerakan makar yang dikenal dengan G 30 S PKI justru terlebih dahulu membuat buku berjudul \"Aidit Membela Pantjasila\". Buku ini menggambarkan bahwa seolah-olah DN Aidit adalah seorang tokoh yang mendukung dan siap menjadi pembela terdepan atas ideologi Pancasila.  Sebenarnya Dipa Nusantara Aidit tidak mampu juga menyembunyikan misinya. Dalam pidato tahun 1964 ia menyatakan bahwa Pancasila sementara dapat mencapai tujuannya sebagai penunjang bagi kesatuan dan dalam rangka Nasakom. Jika Nasakom telah terealisasi maka Pancasila tidak akan ada lagi. Demikian ujarnya.  Salam Pancasila dapat beraroma komunis jika memang targetnya mengeliminasi salam agama. Meski tidak berani secara terang-terangan menyatakan bahwa salam Pancasila itu untuk mengganti salam agama,  akan tetapi praktek politik sering berbeda dengan teori atau argumentasi. Komunis sangat mahir dalam berkelit atau berdalih.  Salam Pancasila dinilai mengada-ada dan jika hal itu direalisasikan maka secara sistematis dapat menghapus salam berdasarkan keagamaan. Dikhawatirkan Yudian Wahyudi memang bersemangat untuk meminggirkan salam keagamaan tersebut. Salam Pancasila pertama kali disampaikan oleh Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Sukarnoputeri di Istana Negara tanggal 12 Agustus 2017. Bila mengaitkan salam Pancasila dengan salam kebangsaan Soekarno, maka hal itu tidak tepat. Soekarno tidak pernah melontarkan salam Pancasila. Yang ada pekik \"merdeka\". Lagi pula Soekarno konsisten dengan salam keagamaan yang sesuai agama yang dianut Soekarno sendiri, Islam.  \"Sebagai orang Islam saya menyampaikan salam kepada saudara-saudara sekalian \'Assalamu \'alaikum warahmatullahi wa baarokatuhu\".  Lalu ia melanjutkan: \"Sebagai warga negara Republik Indonesia saya menyampaikan kepada saudara-saudara baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional, merdeka  ! \". Nah sangatlah jelas bahwa salam Pancasila itu \"bid\'ah\", tidak berbasis historis, serta secara politis menafikan salam agamis. Ini artinya sama saja dengan menebar aroma yang semakin berbau komunistis.  Komunis selalu bergerak diam-diam tetapi masif dan sistematis.  Waspadai dan tolak salam Pancasila. (*)

Api Itu Tak Pernah Padam

Sebuah Catatan Ideologis dan Jejak Seorang Aktifis Islam Nasionalis. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BELAKANGAN ini  nasionalisme sering dihadap-hadapkan dengan agama. Dinamika umat Islam Islam cenderung dipoles sebagai ancaman keberagaman. Agama Islam terus dieksploitasi dengan framing kekerasan dan terorisme yang mengancam eksistensi PancaSila dan kelangsungan NKRI. Seiring itu, dengan masih mengidap sistem politik yang memisah relasi agama dengan negara. Fakta-fakta kegagalan menghadirkan  kemakmuran dan  keadilan bagi rakyat sepanjang republik berdiri. Membuat Islam dan pemberlakuan hukum syariat sebagai alternatif solusi problem kebangsaan,  sering dijadikan kambing hitam, justifikasi dan upaya penghianatan terhadap Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Sekelumit Perjalanan Penulis Tahun 1991, keluargaku pindah dari daerah Semper Timur Cilincing Tanjung Priok Jakarta Utara. Setelah  hampir 12 tahun  menempati salah satu bangunan di dalam kawasan perkantoran dan pergudangan yang tak lagi aktif, milik Mr. Tong Djoe seorang Taipan kenamaan era Soekarno dan Soeharto jauh sebelum era 9 Naga muncul. Melalui bantuan atasan pada tempat ayahku bekerja, yaitu Nelson Tobing seorang  purnawirawan perwira tinggi ABRI dan Guntur Soekarno Putra (putra sulung Bung Karno dari Fatmawati). Ayahku mendapat uang kerohiman dari Mr. Tong Djoe usai tempat tersebut dijual dan tak bisa ditempati lagi. Dari uang itu, keluargaku membeli sebidang tanah dan membangun rumah di daerah perkampungan Kranji Bekasi Barat Kota Bekasi dan tinggal hingga saat ini. Tepat di tahun 1993 saat usiaku 20 tahun dan setelah 2 tahun tinggal di Kranji, aku dipercaya menjadi ketua Karang Taruna tingkat rw kurun waktu 1993-1996. Hanya aku dan beberapa orang yang berusia 20 tahun dan di atasnya, selebihnya banyak pengurus dan anggota karang taruna yang masih usia SMA bahkan ada yang SMP.  Ketika aktif di Karang Taruna inilah aku benar-benar bercengkerama dan bergelut lebih dalam dengan dunia Islam. Aktifitas dalam Karang Taruna itu dan pengajian di beberapa majelis ta\'lim, benar-benar membuka ruang akomodasi dan asupan pembelajaran nilai-nilai Islam. Melalui aktivitas Karang Taruna di Kranji, aku dkk. gencar dan marak menyelenggarakan kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), selain kegiatan sosial lainnya dalam berbagi dan membantu  kalangan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) masyarakat Kranji. Ada yang menarik saat intens menyelenggarakan kegiatan peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Isra Mi\'rad, 1 Muharram dan perbagai kegiatan keislaman lainnya. Dengan usia muda yang minim bekal pengalaman, populasi warga perkampungan yang lebih banyak jenjang ekonomi menengah ke bawah dan tiadanya akses atau jejaring ke birokrasi maupun tokoh atau pemimpin-pemimpin sosial dan politik. Alhamdulillah komunitas belia dan masih hijau ini tetap semangat dan berhasil menghidupkan syiar dan dakwah di lingkungan.  Cukup menggemparkan dan mengusik banyak kalangan di luar antusiasme euforia umat Islam. Karang Taruna yang digerakkan oleh notabene kumpulan bocah ingusan, mampu menghadirkan para ulama, kyai dan habaib yang dianggap radikal dan fundamental saat itu. Penceramah gahar dan anti Soeharto semacam KH. Abu Hanifah, KH.Habib Idrus Jamalulail, KH. Ahmad Sumargono, Habib Metal dll hadir di kampung Kranji. Saya dibantu kawan yang memiliki mobil Suzuki Carry, berdua yang menjemput dan mengantarkan kembali   para dai itu kerumahnya saat acara. Kegiatan tabiqh akbar yang dihadiri ribuan jamaah tak mampu ditampung di musholla dan jalan-jalan kecil pemukiman itu. Setiap kegiatannya memberi warna, api Islam itu seakan selalu hadir di setiap musim kekuasaan dan beragam perangai rezim. Kotbah yang berisi agitasi dan propaganda sebagaimana Soekarno-Hatta dan para \"the founding farhers\" yang mengobarkan api perlawanan kolonialisme dan imperialisme yang mengambil peran untuk melahirkan kemerdekaan Indonesia. Tidak hannya menarik massa dari Kranji dan Bekasi saja, warga Jabodetabek juga kerap menghadiri kegiatan-kegiatan tersebut. Tentu saja termasuk tekanan intimidasi dan teror psikologis dari aparat dan birokrasi setempat tak luput menghampiri. Wilayah Kranji khususnya dan Bekasi pada umumnya  yang dianggap basis Golkar dan PPP saat itu, sudah pasti menimbulkan reaksi pejabat politik dan pemerintahan, terhadap kegiatan keagamaan penuh spirit amar maruf nahi munkar,  meski hanya dilakukan Karang Taruna selevel rw di masa ORBA. Apalagi konten ceramahnya berisi, kalau tidak anti Soeharto ya menolak sistem negara sekuler liberal yang berbungkus Panca Sila dan UUD 1945 saat rezim Soeharto masih begitu kuat dan represif. Saya, terutama yang dianggap \"otak\" dari semua kegaduhan kegiatan rohis itu, selalu diawasi dan menjadi langganan dipanggil aparat saat sebelum dan usai, bahkan ketika ribuaan jamaah sudah hadir dan ulama menjelang naik mimbar tabliq akbar itu. Tak kurang babinsa, bimaspol, kodim dan polres hingga lurah dan camat (mungkin juga menjadi perhatian bupati) sering menginterogasi saya. Lucunya, entah karena kepolosan dan atau semangat yang menggebu-gebu  karena ikut andil dalam syiar Islam, bukannya takut, kami yang dianggap masih ABG malah jadi tambah bersemangat. Kami semua juga tak percaya namun sekaligus bangga, hanya dengan beberapa anak pelajar  mengumpulkan uang dari donasi warga lingkungan yang seadanya, dapat membuat acara fenomenal dan heboh yang logikanya harus menggunakan sumber daya dan pendanaan  besar. Alhamdulillah dan in syaa Allah, mungkin karena ada hidayah dan pertolongan Allah yang tak mungkin dalam pandangan manusia, kami bisa mewujudkannya jika Allah berkehendak. Tanaman Aqidah dan Ghiroh Islam Menjadi pengalaman yang luar biasa dan tak akan pernah terhapus dari memori spiritual. Sebelum aktif menjadi ketua Karang Taruna RW 02 di Kelurahan Kranji, saya lebih dulu mengenyam pendidikan di Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) pimpinan Rachmawati Soekarno  Putri. Bahkan mulai dari SMP hingga SMA, sudah diberikan buku-buku Soekarno dan tokoh-tokoh pemikir dunia. Karena itu saya seperti s udah menjadi poduk YPS dan kader Rachmawati Soekarno Putri. Melalui YPS saya banyak belajar tentang nasionalisme, pertumbuhan kebudayaan  dan perbandingan ideologi-ideologi dunia.  Sebelum menjadi mahasiswa, saya berkesempatan belajar dari mentor Bachtiar Ginting yang Islam sosialis (Bagin-pernah Sekjend LKN era orde lama) Yano Bolang, Dicky Soeprapto, Simon Tiranda, John Leumingkeas, dan termasuk berinteraksi dengan Dahlan Ranuwihardja yang nasionalis religius dan pernah Ketum PB HMI. Hanya Bagin yang bisa  memengaruhi Cara berpikir dan bertindak saya sampai saat ini, tatkala menggumuli  persfektif kebangsaan dari kalangan nasionalis dan relgius itu. Seiring waktu ketika saya memasuki dunia kampus dan aktifitas pergerakannya. Saya mulai punya banyak kawan dan komunitas aktifis. Sebagai mahasiswa yang keluarganya dikenal dekat dengan keluarga Bung Karno. Saya merasa itu salah satu keberuntungan tersendiri, karena dekat dengan salah satu magnit politik nasional. Terlebih  dengan HM. Taufik Qiemas yang membantu menyelesaikan sarjana saya, ketika bea siswa saya dicabut setelah melawan Prof. Sri Soemantro Martosuwignyo dan Tjokropranolo selaku Rektor dan Ketua Yayasan Untag Jakarta. Taufiq Qiemas juga yang membatu sarjana adik-adik saya dan menawarkan saya sebahai komisaris BUMN dan mengambil program S2 ditahun 2001, meskipun saya menolaknya dengan halus. Saat itu saya sudah disebut-sebut sebagai anak asuh taufik Qiemas. Mungkin karena ayah saya sudah dianggap seperti kerabat keluarga Bung karno dan sedikit status aktifis yang ada. Dinamika aktifitas saya cenderung akrab dan hangat dengan putra-putri presiden pertama RI itu. Apalagi ketika menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas 17  Agustus 1945 Jakarta periode 1996-1997,  aktif di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) era 1996-1998 dan terpilih menjadi Presidium GMNI jeda 1999-2002. Masa-masa itu, saya terlanjur lebih dicap sebagai aktifis nasionalis dan Soekarnois. Citra itu lebih kental dan dominan ketimbang latar belakang lainnya.  Meski ayah saya asli Alor-NTT dimana keluarganya begitu majemuk dan memilik Fam Blegur yang sebagian muslim  dan sebagian lainnya non muslim. Saya bersama kakak dan adik, terlalu kuat dibentuk oleh kulutur Betawi asli yang didapat dari Ibu saya. Betapapun makna kebhinnekaan dan kemajemukan sudah tertanam dari keluarga ayah saya, termasuk dari kakek saya Kapitan Ibrahim Amu Blegur, pemimpin  di Pulau Pantar. Bagian dari wilayah NTT yang mayoritasnya non muslim. Saya terus tumbuh dan berkembang justru dibangun oleh pondasi keIslaman hingga menjadi seorang aktifis pergerakan. Kiprah itu bisa dilihat saat banyak mengikuti majelis ta\'lim dan interaksi dengan para guru baik dari kalangan kyai, ustad maupun para habaib. Disamping itu juga pernah menjadi ketua dan pengurus remaja Islam musholla dan masjid di lingkungan tempat tinggal. Saat di kampus saya juga pernah menjadi pengurus Mahasiswa Masjid Ar-Roofi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Hampir 7 tahun  aktif di Masjid yang didirikanoleh Yayasan Amal Bakti Muslim Panca Sila milik Soeharto. Di masjid Ar-Roofi ini saya pernah menjadi marbot (yang digaji kampus dan merupakan konversi bea siswa) selama 2 tahun,  sebelum terus larut bergerilya kota sebagai aktifis gerakan mahasiswa 98. Padatnya aktifitas kemahasiwaan itu,  membuat saya tak bisa mengindar dari tugas sebagai Ketua DPP HIMAH Al Wasliyah, sayap organisasi kemahasiswaan organisasi Islam Al Wasliyah. Pun demikian, pelbagai keintiman dan kedalaman menyelami pembelajaran Islam itu, tak melengserkan karakter nasionalis yang kadung melekat. Sampai saat ini saya masih kental dianggap kader GMNI yang nasionalis dan Soekarnois oleh banyak kalangan relasi. Kini setelah melewati jejak rekam itu, tatkala memasuki usia yang tak muda lagi. Saya terasa berat dan sulit menghilangkan tabiat pergerakan itu. Terutama sebagai bagian dari kesadaran sosial warga negara dan pernah menjadi aktifis. Sejauh ini belum pernah menemukan dan mengalami realitas ketika nadionalis dan agama khususnya Islam dipertentangkan seperti sekarang ini. Equivalen dengan Panca Sila dan UUD 1945 yang marginal. Islam seolah-olah menjadi musuh negara  yang justru ada sebagai mayoritas dan ikut  membidani kelahiran NKRI dengan energi dan pengorbanan besar.  Saya tidak tahu apakah ini karena konspirasi jahat global atau memang sekedar begitu sontoloyo pengelola lokal negeri ini. Saya tidak tahu dan tidak perduli lagi seperti apa julukan kepada saya soal keberadaannya di pendulum ideologi itu. Apakah ada di kanan, atau di tengah, atau mungkin di kiri yang Marxis. Bagaimana karakeristik saya sebagai seorang nasionalis atau Islam atau mungkin kiri sekalipun yang diyakini tertentu identik sebagai sosialisme dalam Islam. Saya juga mengalami tudingan penghianat di kalangan nasionalis atau teralienasi dari barisan nasionalis soekarnois. Apapun tendensi semua itu mengarah, saya hanya tahu saya seorang muslim. Bahkan saat  sebelum dilahirkan,  pada usia 4 bulan ketika masih  janin dalam kandungan,  sesungguhnya saya telah berkomitmen  Islam. Saya dan seluruh umat Islam di dunia hakekatnya telah melakukan konsensus sekaligus ikrar hanya menyembah Allah Subhanahu Wa Ta\'Ala dan keimanannya kepada ajaran Islam, jauh sebelum mengenal ideologi dan belajar paham-paham lain,  saat terlahir dan melakukan  \"show of force\" kesombongannya  di muka bumi ini. Alhamdulillah dan in syaa Allah, saya menjunjung tinggi keberadaan Panca Sila dan NKRI. Berusaha menyatu dalam setiap ikhtiar membela  dan memperjuangkan masa depan Indonesia sekuatnya dari penjajajahan imperilaisme dan kolonialisme gaya baru. Akan tetapi  lebih utama dari  itu, saya juga tak akan bisa memaafkan diri sendiri jika melihat dan membiarkan ada penindasan terhadap umat Islam yang republik ini lahir dari rahimnya. Mungkin inilah sekedar catatan ideologis dari seorang aktifis Islam yang nasionalis yang terus dirundung kegelisahan dan kegetiran dari disparitas agama dan nasionalis yang teeus berseteru. Sementara di sisi yang lain, predator atas nama kapitalisme dan komunisme menjadi maut dan siap memangsa negeri ini  mulai dari pondasi, pilar dan struktur kebangsaan yang ada. Pada akhirnya, ditengah tradisi memelihara kesadaran kritis dan eling. Saya lebih memilih berada di luar \"comport zone\" dan tetap menghindari berada dalam   sistem kekuasaan, dengan  siapapun rezimnya hingga akhir hayat. Penulis  lebih memilih jalan pengabdian sebagai Pekerja sosial Masyarakat (PSM) yang sudah digeluti lebih dari 20 tahun di bawah Kementerian Sosial RI. Sambil konsisten menyampaikan aspirasi arus  bawah, sesekali berkreasi menggugat dan membangun perlawanan bersama elemen perubahan lainnya. Tak lagi seperti masih menjadi aktifis pergerakan,  saya sekarang hanya mampu bersuara lantang dan tajam melalui kata-kata yang tertulis. Aneka tulisan yang berusaha mengangkat rasa Islam  esensi dan substantif, juga menyengat beraroma nasionalis. Terimakasih, semoga dapat memberi hikmah siapapun yang membacanya. Terlepas sisi baik buruknya dan  makna  hitam putih goresannya yang tertuang.(*)

Presiden Versus Pancasila

Bagai pertarungan imajiner yang terasa nyata, seperti yang terjadi pada UUD 1945. Presiden terus mecabik-cabik dan mengoyak NKRI. Kali ini, spartan dan simultan terus menggoncang sembari melancarkan pukulan bertubi-tubi kepada Pancasila. Pancasila yang sudah lama hidup segan mati tak mau, kelihatan akan menemui kematian yang sesungguhnya di tangan presiden. Ambisi dan agenda kemenangan presiden semakin sempurna untuk menaklukan NKRI seutuhnya. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari PERTARUNGAN kepala negara dan dasar negara sekaligus falsafah negara, masih berlangsung dan belum diputuskan secara absolut pemenangnya. Duel hidup mati presiden melawan  Panca Sila  itu terus berlangsung alot, disaksikan di seluruh penjuru tanah air dan seantero dunia. Sambil menunggu hasil akhirnya, ada baiknya penonton melihat statistik head to head keduanya. Presiden sebagai penantang dipenuhi catatan jam terbang tinggi. Diantaranya masih babak belur menghadapi pukulan bayangan oligarki sebelumnya. Kemudian selalu menghindar dari serbuan kebohongan janji-janji yang dibuat sendiri, terakhir sering diuntungkan wasit yang memenangkannya, entah karena suap atau mengatur keputusan dari uang korupsi. Sementara di sisi lain, fakta Panca sila, sangat minim pengalaman, tak pernah uji coba,  dan dipenuhi banyak rekor kegagalan. Berikut skor pertandingan yang sudah terbukti meskipun belum menjadi hasil akhir. Pertama, presiden mengeluarkan jurus  sekuler dan liberal yang menyebakan peran agama melemah. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila ke satu rontok. Hanya ada keuangan yang maha kuasa. Presiden unggul dan mengalahkan sila ke satu Pancasila. Kedua, karena menggunakan gaya pertarungan otiriter dan represif. Presiden tidak mengenal kompromi dan cenderung machiavellis. Rakyat dikorbankan dan tak ada lagi humanisme. Hanya ada Bengis dan dzolim. Sekali lagi, sila ke dua Panca Sila berupa Kemanusian yang adil dan beradab nyungsep, kalah lagi. Ketiga, dengan mengonsumsi  buzzer, aparat penjilat dan para pencari muka. Presiden memiliki suplemen stamina pembelahan tapi bukan massa otot, melainkan memecah  sosial dan psiko politik. Presiden bersama pelatih dan krunya mampu mengurai konsentrasi,    persatuan dan kesatuan bangsa. Lagi-lagi sila ketiga persatuan Indonesia dalam Panca Sila itu kalah. Degradasi sosial dan disintegrasi nasional mulai menyiksa Pancasila. Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan/perwakilan dalam hikmah dan kebijaksanan, tak berlaku. Hanya ada demokrasi kapitalistik  dengan sistim transaksional. Uang yang berbicara mengalahkan Pancasila. Pada Sila keempat, Pancasila sudah kelihatan bonyok dan babak-belur. Figur yang membawa badan  tak lagi menapak dan sanggup berdiri dalam hikmat kebijaksanaan. Pancasila kalah yang keempat kalinya. Presiden melakukan manipulasi dan kamuflase perhitungan angka di babak ini. Kelima, ini yang paling buruk, sebuah pertandingan bak kompetisi hidup  yang ketat. Tak ada keadilan, hanya ada siapa yang kuat dia pemenangnya. Tak ada keadilan tak ada keberadaban. Begitupun yang lemah, akan tertindas, sengsara dan terpinggirkan selamanya. Sila kelima Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, hancur oleh kekuatan dan kekuatan presiden. Padasila yang terakhir ini, Pancasila sudah luka, berdarah-darah dan beresiko pada kematian. Pancasila sudah dalam posisi kalah KO oleh presiden. Entahlah, apakah akan ada pertandingan ulang untuk kedua dan atau ketiga. Karena belum jelas akan adanya tanding ulang. Siaran lansung menyatakan bigmatch pertarungan presiden Pancasila, dimenangkan mutlak oleh sang presiden. Secara keseluruhan, Pancasila tumbang di tangan presiden. Penonton baik domestik maupun internasional, pada akhirnya harus mengurut dada dan menghela napas. Shock dan kaget bukan kepalang. Hanya 5 ronde waktu yang singkat Pancasila hancur lebur. Selain kecewa dan frustasi karena berharap pemenang idealnya Pancasila. Penonton juga harus puas menyaksikan pertarungan yang tidak fair, tidak seimbang dan betapa presiden dengan leluasa mengalahkan Pancasila. Lebih miris lagi, Selain waktu yang singkat,  penonton lokal  juga harus menguras anggaran besar untuk membeli ongkos tiket pertarungan bersejarah hanya untuk kemengan dan kejayaan presiden dan kroninya itu. Di sudut lain, sang promotor berpakaian  oligarki dan borjuasi korporasi, sedang santai berkipas-kipas kesenangan sambil menghitung keuntungan yang maha besar itu. Penonton hanya bisa tertunduk lesu  menyaksikan \"The winner takes it all\", seperti senandung ABBA, band legendaris asal Swedia. (*)

Bacaan Akhir Pekan: 9 Realita Kematian

Fir’aun yang sangat berkuasa mati. Qarun yang sangat kaya mati. Nuh yang lama hidup mati. Yusuf yang ganteng juga mati. Orang-orang baik dari kalangan nabi, sahabat Rasul, dan mereka yang saleh mati. Orang-orang jahat, termasuk para penjilat seperti Haman juga mati. Olehg: Imam Shamsi Ali,  Presiden Nusantara Foundation  SALAH satu keniscayaan hidup yang tak terhindarkan adalah kenyataan bahwa segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup “makhluk” (ciptaan) pasti berakhir. Yang abadi, tiada akhir selamanya hanya Dzat Yang Maha Pencipta. “Semua yang ada di alam semesta akan berakhir (faniah). Dan kekallah Wajah Tuhanmu yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia” (Ar-Rahman: 26-27). Karenanya perlu kita pahami tentang sebuah realita kehidupan yang dikenal dengan istilah “al maut\"  (kematian) itu. Karena sesunggguhnya kematian adalah satu dari sekian peristiwa yang paling nampak (riil) dalam hidup manusia. Tapi pada saat yang sama banyak di antara manusia yang lalai, bahkan tidak peduli. Berikut beberapa realita dari peristiwa kematian yang diabadikan dalam Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah SAW. Pertama, bahwa kematian itu Sesungguhnya adalah proses alami (natural process) dan menjadi bagian integral (integral part) dari kehidupan itu sendiri. Artinya ketika ada kehidupan realitanya ada kematian. Dan kalau berani hidup juga berarti siap untuk mati. Allah menegaskan ini dalam Al-Quran: “Dia Allah Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik dalam amalan” (Al-Mulk: 2). Kematian adalah bagian dari putaran kehidupan (cycle of life) yang bersifat menyeluruh (wholly in nature). Dan seorang Mukmin tidak memisahkan di antara fase-fase kehidupan. Sehingga semua proses dan tingkatan yang terjadi dalam hidupnya menjadi konsep  kesatuan yang terintegrasi (integrated). Kedua, kematian itu adalah sebuah kepastian yang diyakini oleh semua makhluk. Dan karenanya kematian identik bahkan memang salah satunya dimaknai sebagai “al-yaqiin” atau keyakinan. Al-Quran menegaskan: “dan sembahlah Tuhanmu hingga keyakinan (ajal) tiba kepadamu” (al-Hijir: 99). Kenyataan ini dapat terlihat pada kenyataan bahwa kerap kali orang-orang kuat dan sehat menyadari bahwa mereka akan mati. Hanya saja mereka lalai dan salah persiapan. Mereka lebih mempersiapkan pekuburan yang mewah ketimbang mempersiapkan amalan bagi keindahan hidupnya di alam kubur. Al-Qur’an menegaskan: “mereka mengetahui hal-hal lahir dari kehidupan (materialis). Tapi kehidupan Akhirat mereka lalai” (Ar. Rum: 7). Ketiga, walaupun kematian itu nyata, tapi pada sisi lain ternyata misterius. Seringkali menjadikan manusia tergeleng-geleng seolah kebingungan. Pasti terjadi tapi membingungkan tentang “when, where, how\" (kapan, di mana, dan bagaimana). Artinya kematian itu tidak diketahui kapan akan terjadi, di mana akan terjadi dan bagaimana akan terjadi. Ada teman yang pernah mengirimkan uang ke kampung untuk dipersiapkan baginya pekuburan keluarga. Ternyata rumah abadinya tetap di Long Island NY. Baru-baru ini juga seorang jamaah, peserta kajian Al-Qur’an Jumat pagi, mengirimkan foto cucunya yang meninggal padahal baru berumur 4 bulan. Ketika saya tanya sakit apa? Ternyata bukan karena sakit. Bahkan malamnya masih video call dan sehat disusui ibunya. Keesokan subuh sang anak yang mungil itu telah tiada. Penyebab dan waktu kematian ternyata menjadi bagian dari misteri itu. Al-Quran menegaskan: “dan tidak seorangpun yang tahu apa yang akan dikerjakan di esok harinya. Dan tidak seorangpun tahu di bumi mana akan meninggal dunia” (Luqman: 34). Keempat, kematian itu adalah peristiwa yang pasti terjadi dan tak mungkin terhindarkan. Kerap kita dengan perasaan “kemampuan” yang ada pada kita merasa bahwa kemampuan itu akan menghindarkan kita dari realita ini. Kenyataannya terkadang justeru usaha untuk menghindar itu malah jadi jalan bagi kematian untuk menemui kita. Al- Quran menegaskan: “dan katakan (wahai Muhammad) bahwa sesungguhnya kematian yang kalian berusaha berlari darinya niscaya akan menemuimu” (Al-Jumu’ah: 7). Beberapa waktu lalu ada seseorang yang karena kemampuan finansialnya, ketika sakit terbang jauh ke Jerman. Ternyata karena penerbangan yang memakan waktu dan cukup melelahkan itu, sebelum sempat ditangani oleh Dokter Jerman beliau lebih awal ditemui oleh malaikat maut. Berusaha untuk selamat dari kematian. Tapi kematian ternyata menunggu di tempat yang diasumsikan sebagai pelarian dari kematian. Kelima, kematian itu tidak memilih-milih (indiskriminatif). Siapa saja dan apapun keadaannya ketika memang waktunya telah tiba akan mati. Kaya miskin, kuat lemah, sehat sakit, tua muda, dan seterusnya tidak menjadi penghalang bagi kematian. Fir’aun yang sangat berkuasa mati. Qarun yang sangat kaya mati. Nuh yang lama hidup mati. Yusuf yang ganteng juga mati. Orang-orang baik dari kalangan nabi, sahabat Rasul, dan mereka yang saleh mati. Orang-orang jahat, termasuk para penjilat seperti Haman juga mati. Keenam, kematian itu terjadwal secara rapih. Artinya kematian itu jadwalnya fixed. Ketika jadwal tiba maka pasti terjadi. Tidak bisa diundur dan juga tidak bisa dimajukan. Al-Quran menegaskan: “dan ketika ajalnya tiba mereka tidak bisa meminta penundaan dan juga tidak bisa meminta percepatan” (Al-A’raf: 34). Ketujuh, di saat kemarian terjadi maka sungguh berat dan menyakitkan (painful). Ketika sakarat (sakratul maut) dan ketika nyawa dicabut maka itu adalah momen-momen tersulit dalam kehidupan seorang insan. Pertama, karena itu momen perpisahan dari dua hal yang menyatu begitu lama. Perpisahan antara jasad dan ruh. Kedua, karena di momen itu terbuka benteng pemisah antara “alam fisikal” dan “alam gaib”.  Seseorang yang sakarat ketika menengok ke belakang akan sedih (painful) karena melihat mereka yang dicintai akan ditinggalkan. Tapi ketika menengok ke depan nampak alam baru (kubur) yang belum dipersiapkan dengan baik (menyesal). Tapi yang juga memang berat dan pedih adalah ketika ruh/nyawa seseorang dicabut. Salah satu ayat yang menjelaskan sakarat kematian itu adalah: “dan datanglah masa sakarat itu. Yang kalian dahulunya berusaha hindarkan” (Qaf: 19). Rasulullah sendiri menggambarkan keperihan ketika ruh seseorang dicabut: “perumpamaan rasa sakit ketika nyawa dicabut bagaikan tiga ratus kali tebasan pedang”. Kedelapan, kematian adalah kejadian yang hanya akan terjadi sekali dalam hidup manusia. Karenanya ketika seseorang telah berhadapan dengan kenyataan itu dia ingin agar kematian itu dilambatkan. Bahkan ingin untuk dikembalikan lagi ke kehidupan ini untuk berbuat yang lebih baik. Al-Quran menegaskan: “wahai Tuhanku sekiranya Engkau melambatkan kematianku sekejap agar aku bisa bersedekah dan menjadi bagian dari orang-orang yang saleh. Dan Allah tidak akan melambatkan kematian seseorang ketika ajalnya telah tiba” (Al-Munafiqun: 10-11). Pada ayat lain Allah berfirman: “hingga datang kematian kepada seseorang di antara mereka, dia berkata: wahai Tuhanku kembalikanlah aku. Agar aku dapat berbuat kebajikan atas apa yang telah aku tinggalkan (sia-siakan)” (Al-Mukminun: 99-100). Kesembilan, kematian adalah ukuran sikap bijak dan kepintaran seseorang. Bayangkan ketika seseorang sadar bahwa dia pasti mati. Tapi kenyataan hidupnya mengatakan seolah hidup ini untuk selamanya. Itulah prilaku zholim pada diri dan bentuk kebodohan yang luar biasa. Karenanya Rasulullah SAW bersabda: “orang yang bijak/pintar itu adalah yang selalu melakukan penghisaban (mengukur) diri sendiri dan berbuat untuk kehidupan setelah kematiannya” (At-Tirmidzi). Demikian beberapa realita kematian yang perlu untuk menjadi renungan sekaligus nasehat untuk kita semua. Tentu peringatan ini tidak menjadikan kita “down” (melemah) dalam perjuangan membangun dunia kita. Justeru kematian itu mendorong kita untuk lebih giat dan sungguh-sungguh dalam beramal (ibadah) sebagai bagian dari persiapan kita menghadapi realita terbesar hidup kita. Semoga! Jamaica City, 21 Januari 2022. (*)  

Gonjang-ganjing UU IKN 'Tenggelamkan' Kasus KKN Anak Presiden

Oleh Wahyudi Sudiyono, Pengamat Politik Rakyat \'akal sehat\' +62, Selasa (18/1) digegerkan dengan keputusan Ketua DPR-RI Puan Maharani yang mengesahkan RUU IKN menjadi UU IKN yang mirip sebuah cerita rakyat atau legenda populer \'Roro Jonggrang\' itu. Rapat Paripurna DPR RI ke-13 masa persidangan III tahun sidang 2021-2022 yang membawa dua agenda utama yaitu penyampaian pendapat fraksi-fraksi yang dilanjutkan dengan pengambilan keputusan tentang RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan dan Pengambilan Keputusan atas RUU Ibu Kota Negara. Rapat yang \'tumben\' lengkap dihadiri oleh empat wakil ketua DPR RI tersebut berjalan cukup mulus tanpa diwarnai aksi \'walkout\' Fraksi Partai Demokrat ataupun \'drama\' mikrofon mati yang biasa terjadi saat interupsi. Hal ini disebabkan karena hanya Fraksi PKS lah satu-satunya partai yang masih tetap \'istiqomah\' menolak sedari awal atas keinginan Jokowi memindahkan Ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan tersebut. Lalu ke mana Demokrat yang selalu setia mendampingi PKS dalam beberapa kali rapat paripurna terakhir? Apakah Demokrat \'masuk angin\' atau memiliki strategi lain? Wallahu a\'lam bishawab, karena sampai dengan saat ini penulis masih belum dapat jawaban dari Partai Demokrat, AHY maupun SBY terkait hal itu. Kita skip dahulu soal IKN dan Demokrat, mari bahas lebih intens kasus KKN dua anak presiden \'Sang Pisang\' dan \'Gus Gibran\'. Publik tidak habis mengerti mengapa Kaesang-Gibran sampai dengan saat ini belum juga diperiksa oleh KPK, namun Ubed malah sudah dipolisikan oleh Noel Jokowi Mania ke Polda Metro Jaya. Menurut Edward Snowden seorang mantan karyawan Central Intelligence Agency (CIA) yang menjadi kontraktor untuk National Security Agency (NSA) sebelum membocorkan informasi program mata-mata rahasia NSA kepada pers mengatakan bahwa: \"Jika mengungkap kejahatan diperlakukan layaknya penjahat, berarti anda sedang berada di negeri yang sedang dikuasai penjahat,\" Nauzubillah min dzalik. Kutipan Edward di atas menggambarkan kondisi terkini Ubedilah Badrun, dosen UNJ yang melaporkan dugaan TPPU dan KKN Kaesang Gibran. Ubed merasa mendapat banyak teror usai melaporkan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep ke KPK beberapa waktu lalu. Setidaknya ada tiga bentuk teror yang dialami Para Ubed Pertama, kalimat bernarasi ancaman via media sosial dengan bahasa sarkastis. Kedua, Ubed mengaku dirinya dikuntit oleh dua motor dan ada 2 orang yang mengamati rumahnya Jumat (14/1), mereka duduk di tempat istirahat lapangan basket, terlihat mengamati rumahnya sekitar 20 menit.  Ketiga, pada malam hari dia ditelepon berkali-kali via ponsel pribadinya oleh orang yang tidak dikenal. Menurut Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, Ubed telah menjalankan tugas pokoknya sebagai akademisi untuk tetap bersikap kritis terhadap apapun yang layak untuk dikritik termasuk anak \'pak lurah\'. Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI, Maneger Nasution bahwa Ubed tak bisa dituntut sepanjang laporan itu dibuat dengan itikad baik, Ubed tak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata. Dukungan terhadap Ubed kian meluas layaknya efek bola salju yang terus menggelinding dan membesar, konon teman-teman Ubed aktivis \'98 \'perjuangan\' sedang menggalang dukungan secara masiv dan maksimal berada dibelakang Ubed. Macan Parlemen Benny K Harman, anggota Komisi III DPR RI FP-Demokrat malah ajungin jempol kepada Ubed dan menyebutnya sebagai \'pahlawan\' anti korupsi yang wajib dilindungi. Ubed sendiri berharap KPK segera memproses laporannya, bahkan meminta penyidik KPK juga memeriksa Jokowi, nyalinya patut diacungi jempol. Korupsi terjadi dalam bayang-bayang yang sangat sulit untuk diungkap, diselidiki, dan dituntut. Mengungkap perilaku korup seperti itu dan meminta pertanggungjawaban tokoh publik sekelas anak presiden butuh penyidik KPK sekelas Novel Baswedan atau Bambang Widjojanto. Kini publik terus menanti kelanjutan proses kasus \'gempa Solo\' yang getarannya terasa hingga \'istana\' ini, apakah KPK masih bertaji ungkap kasus anak Jokowi? Menurut penulis tergantung siapa yang akan meniup peluitnya nanti dan ke-legowo-an Jokowi untuk menyerahkan sepenuhnya kasus dua buah hatinya tersebut diproses oleh KPK demi tegaknya pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Bukankah pencegahan korupsi dimulai dari keluarga sendiri dan peran keluarga sangat penting dalam pemberantasan korupsi? Ayo Pak dhe Jokowi tunjukkan itikad baik Anda!  Serahkan sendiri anak Anda, ajak dan temani mereka \'jalan-jalan\' ke KPK. Seperti Ubed yang beritikad baik turut berpartisipasi dalam membangun negeri ini dengan mengedepankan penegakan supremasi hukum melalui pemberantasan korupsi sebagai pintu awal dalam mewujudkan \'Indonesia Maju\'. (*)

KONI Jatim: Petahana Nabil Bakal “Dilibas” Saiful Rachman

Karya nyata tersebut sudah dirasakan oleh masyarakat Jatim, termasuk anggota DPRD yang sekarang ini sedang duduk di kursi DPRD kota-kabupaten se-Indonesia. Sebuah karya nyata “senyap” yang tidak pernah diketahui publik siapa “otaknya”. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN NAMA Saiful Rachman digadang-gadang masuk dalam bursa kandidat calon Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur periode 2021–2026 yang bakal digelar pada 26-27 Januari 2022 di Hotel Bumi Surabaya. KONI Jatim dijadwalkan akan mengelar Musyawarah Olahraga KONI Provinsi Jawa Timur (MUSORPROV). Sebelumnya, nama M. Nabil, Ketua Harian KONI Jatim, juga digadang-gadang sebagai Calon Ketua Umum KONI Jawa Timur. Kabarnya, Saiful Rachman sudah mengantongi 12 surat pernyataan dukungan dari KONI Kabupaten/Kota di Jatim, sebagai salah satu persyaratan mengikuti pemilihan Ketum KONI Jatim menggantikan Erlangga Satriagung. Saat dikonfirmasi, Saiful Rachman menyebut semua orang punya hak untuk dicalonkan dan mencalonkan diri. Menurutnya, menjadi Ketum KONI memiliki tanggungjawab yang besar untuk memajukan olahraga di Jatim.   “Kalau nama saya dicatut maju pada bursa calon Ketum KONI Pessel mungkin itu sah-sah saja. Bahkan bisa saja terjadi pada kandidat lainya,” ucapnya kepada wartawan di Surabaya, Sabtu (22/1/2022) . \"Memajukan prestasi olahraga di Jatim tidak semudah membalikan telapak tangan, semua harus dilakukan bersama-sama antara Cabor, Atlet, dan KONI itu sendiri sebagai induk organisasi olahraga,” ungkapnya. Selain itu, untuk membangkitkan kembali prestasi olahraga di Jatim untuk tingkat nasional dan internasional perlu adanya sentuhan. “Sentuhan itu mulai dari pembibit atlet dari daerah secara masif. Pembinaan atlet yang berprestasi oleh cabor masing-masing,” ucapnya. “Dan, terpenting yakni peningkatan kesejahteraan para atlet yang berprestasi,” lanjut Saiful Rachman. Menurutnya, Ketum KONI terpilih harus mampu menjadi leadership, dan mampu menjaga harmonisasi dalam penggurus. “Harmonisasi tersebut mulai dari KONI kab/kota sampai dengan KONI Provinsi Jatim,” jelas Saiful Rachman. Lahir di Surabaya, 3 Mei 1959, Saiful Rachman asli Arek Suroboyo. Masa sekolah sejak dari SD dihabiskan di Surabaya, yaitu SDN Kedunganyar 3 Surabaya 1972, ST Negeri 7 Surabaya Mesin 1975, STM Negeri Surabaya Pembangunan Mesin Konstruksi 1980. Lulus pendidikan S-1 dari Jurusan Pendidikan Teknik Mesin IKIP Jogjakarta 1984, S-2 STIE Widya Jayakarta Magister Manajemen 2002, Universitas Muhammadiyah Profesor HAMKA Magister Administrasi Pendidikan 2003. S-3 lulus Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang 2013.  Awal kariernya dimulai menjadi guru BLPT Surabaya sejak berpangkat Penata Muda pada 1 November 1986. Kemudian, 1 April 1988 menjadi guru SMTA, di STM Negeri 1 Surabaya, SMT Grafika Negeri Malang. Dari Malang, ia ditarik lagi ke Surabaya. Pada 1 Juli 2001 masuk di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan 1 April 2009 di Pemprov Jatim, hingga pada 1 April 2013 menjabat Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jatim. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah buah pemikiran Saiful Rachman. Ketika memimpin Badan Pendidikan dan Pelatihan (Bandiklat) Provinsi Jatim, ia berinovasi membuat Diklat untuk anggota baru DPRD kota-kabupaten se-Indonesia, Diklat Pimpinan II se-Indonesia, dan membuat assesment center untuk calon pejabat Eselon II.   Ketika menjabat Kepala Dinas Pendidikan Nasional Jatim, Saiful Rachman membuat Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 100 persen se-Jatim, penerimaan peserta didik baru online SMA SMK se-Jatim, mengirim delegasi Jatim untuk word skill di Abudabi, Uni Emirat Arab. Dana BOS Jatim yang berhasil diperjuangkan Saiful Rachman anggaran tahun 2017 besarnya mencapai Rp 5,3 triliun untuk SD, SMP, SMA, dan SMK. Itulah “karya nyata” dari seorang Saiful Rachman selama dipercaya menjabat di Pemprov Jatim. Karya nyata tersebut sudah dirasakan oleh masyarakat Jatim, termasuk anggota DPRD yang sekarang ini sedang duduk di kursi DPRD kota-kabupaten se-Indonesia. Sebuah karya nyata “senyap” yang tidak pernah diketahui publik siapa “otaknya”. Saiful Rachman sudah berpengalaman melakukan penataan birokrasi. Karena Saiful pernah menjabat Kepala Biro Kesra Pemprov Jatim, Kepala Biro Kerjasama Pemprov Jatim, serta Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jatim. Visi dan Misi KONI Jatim Saiful Rachman, yaitu Visi: Kebangkitan prestasi olahraga Jatim tingkat Nasional dan Internasional. Misi: 1. Pembibit atlet dari daerah-daerah secara kontinyu; 2.Pembinaan Atlet yang Berprestasi oleh Cabor masing masing; 3. Peningkatan kesejahteraan Atlet; Terakhir 4. Harmonisasi KONI Kab/Kota dengan KONI Provinsi. Saiful Rachman sendiri menyatakan siap kalau harus menghadapi calon petahana M. Nabil dalam pemilihan Ketum KONI Jatim nanti. Yang penting, fair play! (*)  

PDIP Menyerahlah!

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KASUS kader PDIP Arteria Dahlan yang semula dianggap kecil ternyata membesar. Isu SARA memang persoalan sensitif yang tidak mudah diredam. Awalnya  bermaksud mencari muka di depan Jaksa Agung dengan mendorong Kejaksaan agar lebih profesional, namun faktanya justru Arteria yang bertindak tidak profesional. Meminta memecat Kajati hanya karena menggunakan bahasa Sunda adalah kenaifan, keangkuhan, dan ketidakprofesionalan seorang Arteria Dahlan.  Setelah menemui DPP PDIP Arteria akhirnya meminta maaf kepada masyarakat Sunda. Akan tetapi permohonan maaf tersebut dianggap sepi dan tidak bermakna. Sakit hati   urang Sunda tidak sebanding dengan permohonan maaf yang dirasakan tidak tulus. Ia hanya takut pada sanksi Partai. Arteria sendiri mungkin masih merasa benar dengan  sikapnya kepada Jaksa Agung. Klarifikasi \"ngotot\" adalah bukti akan alasan  pembenarannya.  Kini DPP PDIP tentu pusing oleh ulah kadernya ini. Serangan masyarakat Sunda tentu tidak terduga. DPD PDIP Jawa Barat sendiri telah bersuara yang turut mendesak kepada DPP agar bertindak tegas. Tidak bisa menganggap bahwa persoalan berlalu begitu saja. Agenda aksi elemen masyarakat Sunda menuju Majelis Kehormatan Dewan tidak bisa diabaikan. Begitu pula dengan tagar #Sunda tanpa PDIP, atau baliho \"Arteria Dahlan Musuh Orang Sunda\" dapat menjadi persoalan serius.  DPP PDIP harus segera bertindak. Menyerah demi pemulihan nama yang telah tercoreng oleh kader sompral Arteria Dahlan. Pecat segera Arteria. Pilihan ini adalah terbaik dari kondisi yang buruk. Jika Arteria dilindungi dan dicoba untuk diambangkan kasusnya, maka bukan mustahil kampanye negatif akan menerpa PDIP. Arteria adalah kanker yang harus cepat dibuang.  Persoalan dibuang ke mana tidak penting bagi masyarakat Sunda. Yang penting perbuatan Arteria memang tidak bisa ditoleransi dan harus mendapat sanksi. Pembinaan dan efek jera layak untuk dirasakan. Bagi DPP PDIP ini pertaruhan besar, jangan terlambat. Permintaan maaf itu adalah tindak lanjut dari pemecatan. Tanpa pemecatan maka permohonan maaf bukan solusi. Apalagi dalam hukum berlaku adagium bahwa permohonan maaf itu tidak menghapus unsur melawan hukumnya suatu perbuatan. Bukankah langkah hukum sudah pula ada yang mulai menempuh  ?  PDIP menyerahlah dan hargailah martabat orang Sunda yang dikoyak-koyak oleh Arteria. Anggota Komisi III yang membidangi hukum yang tidak faham hukum. Cepatlah pecat jangan tunda berlama-lama. Waktu nanti akan lebih tajam menikam. Gelombang aksi dapat berkelanjutan.  Megawati Ketum DPP PDIP harus segera mengambil keputusan berdasarkan akal sehat. Ini konsekuensi dari protokol Ketum-krasi. Ketum yang berkuasa penuh dan menentukan segalanya. Ketum Almighty.  Tidak ada pilihan lain bagi Megawati selain segera mengambil keputusan : Pecat Arteria Dahlan!  Martabat masyarakat Sunda terlalu mahal untuk dikoyak-koyak. (*)

Gerakan 98 Kembali Memenuhi Panggilan Sejarah

Suka atau tidak suka tanpa disadari dan tidak sesuai dengan keinginan, era reformasi terus bergulir  membuat Indonesia tidak  menjadi lebih baik bahkan semakin buruk. Agenda utama dan yang menjadi prinsip reformasi, justru menjadi kontradiktif. Apa yang dulu digugat penggerak reformasi kini malah semakin menjadi-jadi. Aktivis 98 sebagai salah satu entitas sosial  yang ikut berkontribusi melahirkan reformasi. Terpanggil  sejarah, haruskan ikut bertanggungjawab atau berjuang keras memperbaikinya?. Lagi, sebuah gerakan moral baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan. Oleh Jusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari MESKI kelahiran reformasi telah dibajak oleh kaum ofortunis dan petualang politik. Aktivis 98 yang sebagian besar telah berada dalam lingkaran kekuasaan, namun sebagian lainnya masih tetap independen berpijak pada gerakan moral dan kritis pada penyelenggaraan negara. Kembali  mengusung tema-tema basmi KKN, demokratisasi, supremasi hukum turunkan harga sembago dll.  Eksponen aktivis gerakan 98 kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit kondisi realitas sosial politik, sosial ekonomi dan sosial hukum yang pernah ditentangnya dalam agenda reformasi.  Saat hampir semua kekuatan \'civil society\' dibungkam dan seluruh rakyat tak berdaya dalam cengkeraman rezim oligarki. Tidak tanggung-tanggung kekuasaan pemerintahan dibawah kepemimpinan rezim sekarang,  jauh lebih buruk dan membahayakan kehidupan rakyat, dibandingkan kepemimpinan  Soeharto yang dilengserkan gerakan reformasi. Apa yang telah dilakukan pada masa Orde Baru, kini terulang kembali bahkan lebih dari sekedar \"abuse of power. Selain kekuasaan tiran yang otoriter dan suburnya kejahatan-kejahatan setara \'extra ordinay crime\'. Pemerintahan dibawah komando presiden yang sering dijuluki publik sebagai boneka pembohong itu, beresiko tinggi menggadaikan  dan menjual kedaulatan negara. Tak kalah memprihatinkan, negara terus mengalami pembelahan oleh kebijakan rezim. Berangsur-angsur dan terukur rakyat terancam degradasi sosial dan disintegrasi nasional. Praktek-praktek penyimpangan penyelenggaraan negara sudah teramat melampaui batas. Kejahatan korupsi jauh lebih telanjang dan masif dipertontonkan, ketimbang yang dilakukan di era Soeharto. Kerusakan mental dan kebiadaban perilaku aparatur negara juga sudah menjalar ke semua level. Tindakan represi kekuasaan juga sangat agresif menindas dan menganiaya secara berlebihan. Rezim bengis memaksa rakyat untuk tunduk dan diam atau memilih dikriminalisasi dan atau berujung kematian. Ketidakberdayaan rakyat terus  semarak, miris dan ironis  tanpa pemimpin tanpa negara yang melindunginya. Politisi, tokoh agama, intelektual, mahasiswa dsb., bungkam seribu bahasa. Entah sudah melakukan perlawanan tapi mengalami kebuntuan, atau takut bercampur skeptis. Ubedilah Badrun Memecah Kebekuan Sejatinya, seorang Ubedilah Badrun adalah figur terdidik yang tumbuh kembang di dalam dan menjadi bagian dari gerakan reformasi. Aktifis 98 yang banyak dibekali kepemimpinan mahasiswa ini, memang melek kesadaran kritis dan semangat perlawanan terhadap penindasan sejak lama. Salah satu  pemimpin gerakan mahasiswa 98 dan pendiri Forum Komunikasi Mahasiswa se-Jakarta  (FKSMJ), tetap menyalurkan jiwa gerakan moral aktifis melalui peran akademis yang diembannya. Jadilah Ubedilah Badrun seorang dosen di UNJ sekaligus aktivis 98. Langkah hukumnya melaporkan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, telah menghentak perhatian dan kesadaran publik. Bukan hanya dibahas dan mendapat respon nasional, terobosan Kang Ubed itu juga memunculkan sorotan internasional. Lebih  dari sekedar mengusik   posisoning politik hingga ke jantung kekuasaan presiden dan pemerintahannya. Tindakan elegan  konstitusional Ubedilah Badrun juga  membangkitkan gerakan moral bangsa yang terpuruk dan mengalami tidur panjang. Terutama saat kebanyakan gerakan berjuang mikir-mikir dan tak mau ambil resiko. Kang Ubed sapaan akrabnya, telah memantik api yang menjadi titik awal dari tanggungjawab  dan  partisipas seluruh rakyat untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia. Melalui seluruh eksponen aktifis 98 dan para akademisi seprofesinya di belakangnya. Kang Ubed seperti mengajak seluruh elemen bangsa dan gerakan perubahan mengambil peran sejarah.  Politisi, intelektual, para pemimpin agama, organisasi massa,  mahasiswa dan pelajar, serta seluruh instrumen kebangsaan  lainnya yang masih menjunjung moralitas dan etika. Selayaknya menyambut gegap gempita dengan penuh tekad dan  semangat untuk memperbaiki negara. Jangan biarkan Ubedilah Badrun seorang diri, tak cukup    eksponen 98 dan akademisi membangun kerja-kerja perubahan.  Kang Ubed dengan penuh keyakinan dari semangat kebenaran dan keadilan, telah menjadi triger dari upaya menyelamatkan Indonesia tercinta. Bola kini ada ditangan rakyat, hanya rakyat yang bisa meneruskan   cita-cita meluruskan kembali jalannya reformasi. Mengembalikan agenda reformasi yang telah dikhianati rezim kekuasaan dan sistem oligarki yang menyelimutinya. Kini gerakan  pro  demokrasi dan kekuatan kebangsaan, dituntut mengembalikan Panca Sila dan UUD 1945 sebagai napas dan jalan hidup mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan RI. Aktifis 98 bersama seniornya aktifis 60an, 70an, 80an serta rakyat berada di persimpangan jalan, menuju kehancuran bangsa atau bangkit melawan kekuasaan dzolim yang irasional, kopeh dan melampaui batas. Pelopor reformasi ini bersama elemen gerakan  kesadaran dan kritis lainnya serta seluruh rakyat Indonesia, harus memilih sekarang atau tidak sama sekali melihat dan merasakan NKRI. Merawat kedaulatan negara seiring waktu terasa seperti  \"to be or not to be, dan menjaga  masa depan republik  menjadi \"point of no return\". Save and support Ubedilah Badrun. Kembalikan agenda reformasi yang sebenarnya. Atau tak ada pilihan lagi selain revolusi. (*)