Framing Kedip Mata: Anies dalam Pusaran Kampanye Hitam

Oleh Ady Amar - Kolumnis

JAGAT pemberitaan, jika itu menyangkut Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, bisa diberitakan dengan sewajarnya. Tapi pada media sosial khususnya, pemberitaan Anies acap diberitakan dengan tidak sewajarnya. Diberitakan dengan tidak sebenarnya. Penuh framing.

Saat menghadiri acara Arahan Presiden pada Menteri, Kepala Lembaga, Kepala Daerah dan Badan Usaha Milik Negara tentang Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia, Bali, 25 Maret. Sebuah media online memberitakan, bahwa saat Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengawali arahannya, Anies tampak memejamkan mata beberapa saat.

Berita itu dilepas begitu saja, tanpa ada penjelasan apa yang sebenarnya terjadi. Sepertinya media itu punya niat begitu besar, mencari celah yang bisa dijadikan titik lemah Anies untuk diberitakan. Jika perlu dengan memaksa nalar untuk menerimanya. Saat memejamkan mata, itu bisa jadi saat foto diambil Anies sedang mengedipkan mata. Tapi yang diberitakan, Anies menutup mata di awal Presiden Jokowi memberi arahannya.

Itulah framing media, yang bisa menjadi berita, meski Anies hanya mengedipkan mata, saat Jokowi memulai pidatonya. Sengaja tidak diberi penjelasan susulan. Dilepas begitu saja. Berharap tafsir liar menyudutkan Anies. Netizen nyinyir seolah diberi ruang, yang tanpa berpikir lalu mengumpat Anies. Disebutlah Anies tidak bersikap sopan, meremehkan Presiden Jokowi, dan seterusnya. Menjadi berita yang dibuat tidak sebenarnya. Muncul tafsir memandang Anies dengan negatif.

Sorotan kamera tidak ditujukan pada Gubernur lainnya. Anies menjadi Gubernur yang terus dibidik. Terus dicari sisi kelemahan atau dicari-cari kesalahan, yang bisa di-framing. Mencari kesalahan besar tak didapat, maka yang kecil pun, seperti memejamkan mata beberapa detik, tak menjadi masalah untuk diangkat. Tak dapat rotan akar pun jadi. Semua bisa di-framing jadi berita tidak mengenakkan. Anies jadi target framing dengan tidak semestinya. Bahkan dipaksakan, terkesan mengada-ada.

Memberitakan Anies dengan tidak sebenarnya, yang lalu disambar para buzzer yang menggoreng dengan tafsir menyudutkan. Berharap tafsiran yang disematkan bisa jadi opini luas yang diterima publik. Sepertinya, itu sudah satu paket antara media yang memberitakan, dan para buzzer yang menggorengnya. Maka, upaya mendiskreditkan Anies dengan model framing akan terus dilakukan tanpa henti. Bahkan hingga Pilpres 2024.

Mengapa harus Anies yang selalu jadi pemberitaan dengan tidak sewajarnya. Terkesan mencari celah salah, sampai Anies berkedip pun bisa di-framing. Karenanya, sumpah serapah padanya muncul berhamburan. Pastilah itu merugikan Anies, meski tidak semua mempercayai berita yang dipaksakan.

Skenario memang dibuat demikian. Berharap akseptabilitas Anies bisa tergerus. Sedang kandidat lain yang digadang-gadang oligarki, lambat laun bisa menyusul atau bahkan menyalip Anies. Kandidat yang dijagokan itu terus di-framing dengan sebaliknya. Diskenariokan jadi tokoh baik, meski nirprestasi.

Beriringan dengan itu, dimunculkan lembaga survei politik per-periodik untuk meng- create hasil surveinya, sesuai dengan yang diinginkan. Dimana kandidat andalan lambat laun dibuat menyamai Anies Baswedan. Bahkan pada beberapa lembaga survei dibuat mengungguli. Polanya dibuat selalu demikian.

Seorang kawan yang bisa disebut sebagai "empu", salah satu yang mengawali lahirnya lembaga survei berujar, memberi sedikit bocoran, bahwa akseptabilitas Anies, dan pastinya elektabilitas juga akan tergerus, itu karena tidak saja Anies selalu di-framing dengan tidak baik. Tidak sekadar kampanye negatif (negative campaign) terus dilesakkan. Tapi juga kampanye hitam (black campaign). Sedang kubu Anies tidak melakukan perlawanan yang sama, yang seharusnya dilakukan.

Mem-framing berita dengan tidak sebenarnya, bahkan dengan kampanye negatif sekalipun, itu sih tidak masalah. Terpenting bagaimana kemampuan mengkonter balik dengan tetap elegan, yang mesti juga dilakukan. Tidak perlu melakukan kampanye hitam, yang itu jahat penuh fitnah. Meski Anies jadi sasaran kampanye hitam saban waktu.

Jika saja sekadar kampanye negatif "berkedip", yang lalu di-framing, itu tidak masalah. Tapi jika terus-menerus mengabarkan bahwa Anies intoleran, tanpa bisa memberi bukti pada kasus apa Anies intoleran, itu bisa disebut kampanye hitam. Juga memunculkan pemberitaan terus-menerus, seolah ada korupsi yang dilakukan Anies pada penyelenggaraan Formula E. Dan itu diberitakan seolah ada bukti yang dipunya sambil mendesak KPK untuk memeriksanya. Apa yang mau diperiksa, jika semuanya bisa dilihat terang-benderang. Jangan ajari KPK, seperti ajari ikan berenang. Jangan tarik KPK pada kepentingan sempit yang tidak sepatutnya.

Terus saja memberitakan Anies dengan tidak sewajarnya. Berharap dengan terus-menerus memberitakan berita yang sama, meski tanpa bisa dibuktikan, lambat laun akan ada yang nyantol di benak publik luas, bahwa ada unsur tidak beres dalam penyelenggaraan ajang Formula E.

Anies Baswedan memang belum resmi menyatakan diri maju dalam perhelatan Pilpres 2024. Tapi atensi publik berharap, dialah yang pantas menjadi pengganti Jokowi. Membuat ngeri-ngeri sedap para oligarki, yang tetap berharap bisa menentukan arah jalannya pemerintahan sesukanya. Maka,  mengecilkan Anies dan membesarkan kandidat yang diharapkan sebagai pengganti Jokowi terus dilakukan, bahkan masif. Pastilah tidak sedikit dana dikeluarkan, guna bisa memuluskan kerakusan syahwatnya. Duh Gusti. (*)

345

Related Post