OPINI

Titik Nol

Bagai terserang penyakit kronis lagi akut pada bangsa ini. Seiring itu pula, upaya penyembuhan sulit dilakukan. Hanya ada keluhan dan gerutu yang tak berkesudahan. Begitupun rasa sakit dan penderitaan yang mendera, menjangkiti  pada  tiap orang lalu menular secara massal. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari HANYA ada pilihan sulit, bertahan hidup atau tidak sama sekali. Sulit untuk berpikir dan bertindak secara kolektif kebangsaan. Paling mudah diraih dan masuk akal adalah mengurus diri sendiri, keluarga atau golongannya. Jadilah negeri ini dipenuhi peradaban    zombie, saling membunuh untuk menyelamatkan nyawa masing-masing. Sendiri-sendiri atau berkelompok mencari mangsa, kemudian mulai melirik di dalam lingkungannya sendiri,   saat diluar tak ada lagi makanan yang bisa disajikan. Rasanya semakin sulit untuk menemukan hal-hal baik dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya ada dan dipertontonkan secara telanjang berupa  nilai-nilai yang tidak ideal. Situasi yang kompleks yang dipenuhi distorsi, semakin nyata mewujud  pemerintahan dan negara gagal. Mirisnya, Apa yang terlanjur salah dan mengalami kerusakan parah, bukanlah sesuatu yang mudah diperbaiki dan dikembalikan seperti semula. Setelah porak-poranda  kehidupan rakyat karena keblingernya pemerintah dalam mengelola republik.  Kehancuran negeri bahkan mungkin  bisa terjadi jauh lebih mengerikan dari akibat gunung meletus, gempa bumi  dan  sunami yang parsial. Sebabnya kerusakan oleh kedzoliman dan pelbagai bentuk penindasan dari perilaku kekuasaan itu, menimbulkan luka yang membekas. Lebih dari sekedar akibat fisik, disorientasi sosial yang berkesinambungan telah menyerang mental dan psikis rakyat. Mendorong munculnya sikap skeptis dan apriori terhadap negara. Rakyat tak peduli lagi negeri ini maju atau terbelakang sekalipun. Keprihatinan dan keterpurukan sebuah bangsa yang membutuhkan ongkos sosial yang sangat mahal. Indonesia telah memasuki fase kesempurnaan kejahatan insitusi negara. Kemiskinan dan kebangkrutan juga   disintegrasi mengintai negeri. Kemakmuran dan keadilan menjadi  alergi berkepanjangan.  Demi uang dan jabatan, kekuasaan tega menumpahkan darah dan memutus rantai persaudaraan. Nyawa rakyat tak lebih mahal dari harga sebatang rokok. UUD 1945, Panca Sila dan UUD 1945 tak lagi terhormat dan lebih mulia dari sekedar investasi berujung penumpukan modal dan kapital. Spiritualitas kebudayaan bangsa hanya mampu melahirkan agama sebagai status sosial, bukan penghambaan kepada Sang Pencipta. Agama cenderung telah dijadikan perangkat kemewahan hidup dan  pesta pora sekaligus alat memutilasi keberadaban serta mengobarkan peperangan. Bangsa  ini   terlanjur dalam dilumuri kejahatan kemanusiaan berkedok negara. Menunggu kesempurnaan entah pada kehancuran atau kebangkitan. Tak terhindarkan dan opsi apapun yang dipilih, bangsa ini berada pada titik nol. (*)

Bersiaplah untuk IKN yang Gagal

By M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan TANPA dukungan rakyat yang memadai Pemerintahan Jokowi memaksakan untuk pindah Ibu Kota Negara ke Kalimantan. DPR ikut menjadi bagian dari upaya paksa pindah Ibu Kota. Urgensi pemindahan yang tidak ada, ketergesaan proses pengundangan, serta ketidakjelasan pembiayaan, menyebabkan terjadi penolakan dari berbagai elemen bangsa.  Bagaimana suatu kebijakan politik akan berhasil tanpa dukungan rakyat ? Apalagi jika  hal itu semata hanya berdasarkan ambisi pemerintah dan kepentingan oligarkhi? Dipastikan akan gagal. Perpindahan Ibu Kota Negara yang diawali dengan bayang-bayang kegagalan dekat untuk menjadi kenyataan. Pindah dari zona yang nyaman menuju ketidakpastian.  Pemerintahan Jokowi banyak melakukan langkah yang tidak matang. Kasus bandara sepi bahkan \"terjual\" hingga kereta cepat yang selesai lambat, menunjukkan cara kerja  bermoto kerja, kerja, kerja tetapi tidak jelas yang dikerjakan. Wajah dari rencana dan kerja asal-asalan. Proyek pindah Ibu Kota Negara juga berada di area ini.  Indonesia harus belajar dari kegagalan perpindahan Ibu Kota negara lain seperti Myanmar, Malaysia, Tanzania, bahkan Australia. Tidak mudah bersimsalabim memindahkan tanpa ada kalkulasi matang dan urgensi nyata atas kebutuhan yang benar-benar berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.  Dengan gonjang-ganjing dan maraknya penolakan IKN baru sebenarnya agenda ini telah gagal. Fondasi politik yang rapuh dan kini akan terlihat bahwa fondasi hukum pun lemah. Gugatan atas UU yang disahkan DPR menjadi bukti rapuhnya landasan hukum tersebut. UU yang diproduk cacat prosedural, melanggar prinsip keadilan, serta  minim dukungan. Buruk secara yuridis, filosofis, dan sosiologis. Perpindahan IKN hanya menimbulkan keributan yang tidak perlu, pemborosan uang negara, meningkatkan beban hutang, membuat gelisah para pegawai, menghangatkan korupsi dan kolusi, menguntungkan investor, kontraktor, dan pejabat fasilitator. Baiknya 500 Trilyun yang dianggarkan untuk pindah Ibu Kota pindahkan untuk keperluan yang lebih terasa manfaatnya bagi masyarakat banyak. UMKM dikuatkan, para petani dan nelayan dibantu fasilitas dan pemasaran, tenaga kerja yang semakin terampil dan berdaya, pendidikan dan kesehatan yang disuntik agar lebih sehat, alutsista yang dimordenisasi.  500 Trilyun canangkan sebagai program \"gebrakan\"Jokowi untuk mengakhiri jabatan dengan baik \"husnul khotimah\". Bukan membuat Ibu Kota Negara baru dengan sentral Istana baru. Bila ini yang dipaksakan, maka risiko dari kebijakan yang tidak pro rakyat harus dan siap ditanggung. Dugaan kuat Jokowi dan pemerintahannya akan mengakhiri masa jabatan dengan kondisi yang buruk \"su\'ul khotimah\". Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. (*)

Edi Mulyadi Itu Salah, Tapi Dia Benar

By Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN dan Pengamat Sosial Politik Bagaimanapun juga, idiom “tempat jin buang anak” telah menyinggung perasaan orang Kalimantan. Ucapan ini sebaiknya tidak ikut dalam hiruk-pikuk pemindahan ibu kota negara (IKN). Nyaris tidak ada argumen pembenaran yang bisa dipakai untuk mengucapkan itu. Sensitivitas idiom ini sangat tinggi. Sebagian warga Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur, wajar-wajar saja menunjukkan reaksi keras. Bisa dipahami mengapa mereka naik pitam. Mereka merasa direndahkan. Edi Mulyadi jelas salah. Tapi dia benar. Nah, mengapa bisa salah tapi benar? Edi salah karena tidak membayangkan kalau ucapannya akan menyinggung perasaan. Dia tidak menyangka reaksi terhadap idiom jin itu malah menjadi lebih besar dari fatalitas langkah Presiden Jokowi memindahkan IKN. Sehingga, untuk saat ini, gema penolakan pemindahan IKN tertutup oleh protes terhadap Bung Edi. Sekali lagi, Edi Mulyadi salah. Tetapi, Bung Edi benar karena idiom itu diucapkannya sebagai bagian dari upaya untuk meyakinkan publik bahwa pemindahan IKN adalah akal-akalan untuk memperkuat kekuasaan oligarki. Edi ingin menjelaskan kepada masyarakat bahwa pemindahan IKN bahkan akan mengancam kedaulatan negara. Alur berpikir wartawan senior ini diiyakan oleh banyak orang termasuk para tokoh bangsa, akademisi, para jenderal purnawirawan, mantan menteri, dlsb. Cuma, Bung Edi memilih untuk meributkan ancaman itu sementara begitu banyak orang yang mendukungnya memilih diam atau mungkin tak punya waktu untuk ikut berteriak. Bung Edi sudah menyampaikan permintaan maaf atas kesalahannya. Permintaan maaf itu diharapkan bisa diterima oleh masyarakat Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur.   Tulisan ini tak bermaksud membela Edi Mulyadi. Ini hanya ingin mengingatkan kita semua bahwa pemindahan pusat pemerintahan memang bagus dan perlu. Tetapi, proses penyusunan konsep pemindahan itu dilakukan secara sewenang-wenang oleh para penguasa. Tidak ada partisipasi publik. Pengesahan UU tentang IKN baru oleh DPR terang-terangan menunjukkan kesemena-menaan para penguasa politik dan oligarki bisnis. Sekaligus memperlihatkan bahwa Presiden, DPR, para politisi dan partai-partai politik (kecuali satu saja) tidak lagi memiliki martabat. Tidak sulit membaca hubungan hierarkis yang menempatkan kelompok cukong (oligarki bisnis) di atas Presiden dan DPR. Pemindahan IKN ke Kalimantan Timur oleh pemerintah Jokowi, dan itu dipaksakan hari ini, adalah pamer kekuatan oligarki cukong itu. Inilah urgensi pemindahan ibu kota. Urgensi untuk pamer kekuatan oligarki cukong. Tidak ada yang lain. Edi Mulyadi berupaya melawan kekuatan oligarki cukong itu. Upaya untuk melawan inilah yang akhirnya membawa Edi Mulyadi ke titik blunder “jin buang anak”. Tanpa sengaja mau menyakiti perasaan warga Kalimantan. Dia tenggelam dalam amarah yang begitu besar terhadap kesewenangan para penguasa yang ceroboh dan tak peduli kedaulatan bangsa dan negara terancam di balik pemindahan IKN. Sekali lagi, ini bukanlah pembelaan untuk Bung Edi. Dia sudah menyampaikan permintaan maaf. Meminta maaf berulang kali atas kesalahan yang dia lakukan. Bung Edi juga mengatakan bahwa dia siap menerima semua konsekuensi dari kesalahannya.[]

PKS, Kamulah Satu-Satunya

Kamulah satu-satunya, yang ternyata mengerti aku. Maafkan aku selama ini, yang sedikit melupakanmu (sering dihujat, dicaci-maki dan difitnah bahkan ingin dibubarkan). ,Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari SEGALA santun yang kau endap di jiwaku. Tak terisak dulu kini kecapkan sesalku. Anyaman cintamu terkoyak buram mataku. Kamulah satu-satunya yang ternyata mengerti aku. Penggalan lirik lagu kamulah satu-satunya yang populer di tahun 90an milik Dewa 19. Boleh jadi seperti mewakili suasana batin rakyat Indonesia, ketika melihat fenomena partai politik saat  seringnya mengelabui rakyat. Kerinduan sekaligus rasa penyelesalan seseorang karena mengabaikan kekasihnya. Seperti menggambarkan  perasaan rakyat kepada PKS, sebuah partai politik yang terus menuai apresiasi. PKS tampil beda dengan kebanyakan partai politik yang telah  menjadi alat kekuasaan dan instrumen oligarki. Bukan hanya sekedar mengambil Peran oposisional terhadap pemerintah. PKS juga rajin hadir dalam setiap kesulitan rakyat dan  kuat mengambil sikap tegas terhadap distorsi penyelenggaraan negara. Meskipun berada dalam kerangkeng demokrasi barbar yang serakah juga  feodal,  dan terjebak  jeruji parlemen yang angkuh dan primitif. PKS tetap tak melupakan asal usulnya yang dari rakyat, rendah hati dan melayani rakyat. Berjuang sendirian  di tengah paduan suara bisnis kebanyakan partai politik. PKS berusaha survive dalam parlemen hasil dari sistem pemilu yang kapitalistik dan  transaksional. PKS sering terisolasi dari proses permufakatan jahat dan konspiratif.  Perencanaan, pembahasan, pengesahan dan penetapan UU, kerap dilandasi kepentingan oligarki dan kepemilikan modal. Saat berjibaku menyerap aspirasi rakyat dan memahatnya pada dinding konstitusi. PKS sering mengalami turbulens politik. Sedikit tema yang berhasil menjadi produk konstitusi, namun banyak yang tersingkirkan oleh orientasi kekuasaan. Dalam menyikapi UU baik yang bersenyawa maupun khianat terhadap aspirasi rakyat. PKS selalu terbentur dan tertolak suara mayoritas parlemen. PKS terus terjebak berada dalam perangkap demokrasi liberal dan sekuler yang sejatinya mengebiri kedaulatan dan aspirasi rakyat.   Jejak rekam PKS dalam pergulatan dinamika politik konstitusi, tak akan pernah bisa dihilangkan sejarah. Rakyat Indonesia juga belum amnesia, ketika PKS berhasil memperjuangkan UU perlindungan para ulama dan tokoh masyarakat. Begitupun saat rakyat membutukan, PKS bersama buruh dan mahasiswa serta elemen rakyat lainnya menolak UU omnibus law. Paling aktual ketika PKS menjadi satu-satunya partai yang menolak UU IKN yang dinilai membahayakan keberadaan dan eksistensi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Masih banyak lagi keberpihakan PKS pada program-progam populis dan menjadi denyut nadi rakyat.  PKS telah membuktikan, bahwasanya tetap setia dan istiqomah mengemban amanat penderitaan rakyat Indonesia. Berketetapan hati dan teguh menegakkan kebenaran dan keadilan, sekalipun dalam jalan sunyi kebangsaan. PKS Menuju Partai Politik Ideal Seperti menghadapi gelombang isu, intrik dan fitnah. PKS tak pernah lelah dan menyerah diterpa framing jahat berupa partai politik tempat bernaung agenda intoleran, radikal dan fundamental. Begitupun dengan agitasi dan propaganda politik identitas, mengusung khilafah dan pelbagai anasir anti Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. PKS bergeming, tetap tenang dan tidak reaksioner. Meski dikelilingi manuver sesak para buzzer, opportunis dan penjilat kekuasaan. Sebagai partai berbasis agama yang mengedepankan dakwah dan pendidikan. PKS berhasil menjadi percontohan organisasi yang sistemik dan terukur dalam membangun partai kader dan entitas politik yang peranannya signifikan membangun nilai-nilai kebangsaan. Partai politik yang lahir saat mengawali era reformasi  yang telah menjadi partai terbuka, bukan hanya berorientasi  kekuasaan dalam ranah konstitusional semata. Partai yang dikenal dengan karakteristik bersih dan santun ini, juga membuka ruang seluas-luasnya bagi keberagaman yang konstruktif. Dalam bingkai kebhinnekaan dan kemajemukan, PKS terus mengajak partisipan publik dan upaya kontribusi nyata dalam membangun negara bangsa Indonesia. Dibawah kepemimpinan seorang Ustad Ahmad Syaikhu  yang dikenal luas memiliki ahlakul kharimah dan juga penghafal Al Quran itu. PKS telah mewujud sebagai salah satu  aset bangsa yang potensial dan prospektif, semakin menuju kedewasaaan politik. Politik kebangsaan yang menempatkannya sebagai partai yang religus nasionalis sekaligus nasionalis religius. Seiring waktu, populisme PKS dan gairah interes publik. Menuntut PKS berdandan lebih humanis tanpa pencitraan semu kecuali dengan kerja tulus dan tujuan kemaslahatan. PKS sepatutnya tetap giat menjaga amanah dan kepercayaan rakyat. PKS harus mampu bekerja yang memikul dan terpikul natur Indonesia. Tat kala gotong royong, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah harga yang tak bisa ditawar-tawar. Seperti senandung lagu Dewa 19 yang puitis dan bernuansa kasih sayang, namun penuh makna. Ada baiknya kesadaran massal di negeri ini menyimak. PKS kamulah satu-satunya. (*)

Anies Membayar Kontan Bukan Kredit

Anies mengemban amanat warga Jakarta hampir tuntas. Janji-janji kampanye yang penting dan strategis telah ditunaikan. Anies terus  berprestasi bahkan di tengah badai kritik dan kebencian. Pria intelek dan berwibawa yang \"eye catching\" nan memesona itu, berhasil membangun warisan kemaslahatan buat warga di ibu kota negara yang historis. Pemimpin Jakarta yang akrab dengan tekanan. Faktanya mampu membayar tanggungjawabnya secara kontan  bukan dengan kredit. Apalagi sampai menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari SEMENJAK menjabat gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan  terbiasa menikmati dinamika kota metropolitan itu dengan serius tapi santai. Bukan hanya  mengurus problematika Jakarta, Birokrat berlatar akademis itu kerap melahap menu gunjingan saban hari. Silih berganti pujian dan penghargaan datang,  namun tak kalah sengitnya agitasi bejibun menghampiri. Anies seperti punya resep untuk mengelola    semua resistensi. Modus menjegal dan menjatuhkan kepemimpinannya, sejauh ini leluasa dapat dihindari. Menyerang figurnya, menggugat kinerja kepemimpinan hingga perangai anti Anies,  dilakukan  secara diam-diam maupun terbuka oleh lawan politiknya. Beragam habitat sempit hati dan kerdil jiwa bagai  mata elang atau debt kolektor yang bengis mengintainya. Para buzzer dan politisi murahan berserakan di tiap tikungan kebijakan, menunggu momen kesalahan dan siap menyerangnya. Berusaha menyergap Anies di tengah jalan dan merampas amanahnya.  Belum usai mengemban amanah menahkodai DKI, sekonyong-konyong Anies sudah dicegah menjadi pemimpin negeri. Tak cukup isu, intrik dan fitnah. Anies   telah menjadi sasaran dan target framing jahat. Menciptakan konspirasi \"Asal Bukan Anies\" (ABA), padahal Anies identik dengan ABW. Tapi seperti kata pepatah atau ilmu hikmah lainnya. Aroma wangi akan terus semerbak menembus batas ruang dan udara, meski ditutup-tutupi atau diungkep serapat mungkin. Semakin Anies dibebes oleh pembencinya, semakin Anies menjadi the best di mata rakyat. Lewat simponi karya dan prestasinya, Anies  membawa harmoni bagi kemajuan kotanya dan kebahagiaan warganya. Anies telah  belanja masalah  kota Jakarta dan membayarnya dengan  solusi bagi warganya. Ya dengan solusi.  Membayar kontan bukan dengan kredit. (*)

Pemindahan Ibukota Negara Bukan Kewenangan Presiden

Bila La Ode benar, maka dapat dipahami jika ada desakan-desakan untuk segera pindah ibu kota negara. Tetapi di sisi lain, jikalau inilah kenyataan yang terjadi, Pribumi Nusantara Indonesia wajib bertanya: pembangunan ini untuk siapa sesungguhnya? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN ADA sebuah kajian menarik dari Pusat Kajian Sunda “Varman Institute”. Ini saya kutip dari varmaninstitute.wordpress.com yang tayang pada 25 Januari 2020. Disebutkan, Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia adalah bagian dari sejarah berdirinya NKRI. Secara de facto Jakarta sebagai Ibu Kota Negara adalah bagian dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pengambil alihan kekuasaan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dari Ibukota Hindia Belanda adalah bentuk nyata pengambil alihan kedaulatan Pemerintah Kolonial Belanda ke dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia. Penetapan Jakarta sebagai Ibukota Negara menyatu tak terpisahkan dengan Proklamasi kemerdekaan itu sendiri. Jakarta sebagai Ibukota NKRI bukan ditetapkan oleh sebuah kekuasaan Lembaga Negara yang manapun akan tetapi lahir bersama lahirnya NKRI. Sebagai bentuk atau lambang pengambil alihan Kedaulatan wilayah Hindia Belanda ke dalam Wilayah Kedaulatan Republik Indonesia. Menjadikan Jakarta sebagai Ibukota NKRI yang semula sebagai Ibu Kota Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, bukanlah aib bagi Bangsa Indonesia, melainkan sebuah prestasi luar biasa. Karena Jakarta bukan dihadiahkan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai Ibukota Republik Indonesia, melainkan direbut melalui sebuah perjuangan. Maka Jakarta sebagai Ibukota NKRI bukan warisan Penjajahan tapi sebagai Monumen Bersejarah Perjuangan Bangsa Indonesia merebut Indonesia dari Pemerintah Kolonial Belanda. Disebutkan, wacana memindahkan Ibukota NKRI dari Jakarta adalah sebuah pengkhianatan terhadap sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, sebuah upaya merobohkan monumen bersejarah berdirinya NKRI. Seorang Presiden sama sekali Tidak Mempunyai Kewenangan untuk memindahkan Ibukota Negara kecuali Negara dalam keadaan Darurat. UU Nomor 10 Tahun 1964, bukanlah sebuah penetapan Jakarta sebagai Ibukota Negara, melainkan penetapan status Pemerintahan Daerah dalam wilayah Ibukota Negara. Penetapan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota dalam struktur Pemerintah Daerah, tanpa mengubah kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara, yang disebut pada: Pasal 1.Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya dinyatakan tetap sebagai Ibu-kota Negara Republik Indonesia dengan nama JAKARTA. Dalam penjelasan UU Nomor 10 Tahun 1964 dengan jelas disebutkan secara Umum: Bahwa dianggap perlu, Daerah khusus Ibu-Kota Jakarta Raya dengan Undang-undang dinyatakan dengan tegas tetap sebagai Ibu-Kota Negara Republik Indonesia dengan nama JAKARTA, mengingat telah termasyhur dan dikenal, serta kedudukannya yang, karena merupakan kota pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pusat penggerak segala kegiatan, serta merupakan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar ideologi Panca Sila keseluruh penjuru dunia. Penjelasan UU Nomor 10 Tahun 1964 di atas menyatakan dengan jelas bahwa Jakarta sebagai Ibukota Negara bukan ditetapkan oleh Lembaga Negara yang lahir bersama UUD 45, melainkan sebagai SUMBER HUKUM yang bersama Proklamasi melahirkan UUD 45. Posisi Jakarta sebagai Ibukota Negara sebagai Sumber Hukum yang lebih tinggi dari UUD 45 itu sendiri. Dari kenyataanj ini tampak dengan jelas tak satupun Lembaga Negara yang berwenang memindahkan Ibukota Negara, apalagi hanya seorang Presiden yang kewenangannya terbatas pada masa jabatannya. Apakah Ibukota Negara tidak bisa dipindahkan?Jawabnya BISA! Jakarta sebagai Ibukota Negara bisa dipindahkan dengan syarat dilakukan oleh Pemilik Kedaulatan tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disebut dalam Pembukaan UUD 45, yaitu RAKYAT INDONESIA. Maka Pemindahan Ibukota NKRI hanya bisa dilakukan melalui referendum yang disetujui oleh Mayoritas mutlak Rakyat Indonesia. Untuk Siapa? DR Masri Sitanggang pada 16 September 2019 pernah menulis artikel yang sangat menarik. Kalimantan Timur sangat menjanjikan. Tidak perlu repot dan berbiaya mahal menimbun laut untuk menampung pemukiman para pendukung, seperti reklamasi teluk Jakarta. Kaltim masih berupa “lahan kosong” murah dan luas. Diperkirakan tidak akan ada hambatan, apalagi persaingan yang berarti, dalam menguasai lahan luas di “ibu kota NKRI” Kaltim itu. Apalagi, mayoritas penduduk asli Indonesia selalu senang menjual lahan dengan harga yang dapat sekedar memenuhi standar hidupnya. Perlu juga diteliti, jangan-jangan lahan yang ada di Kaltim itu pun memang sudah lama dikuasai kelompok tertentu itu. Dominasi mereka di Kaltim (bila menjadi Ibu Kota NKRI) akan nyata, bukan lagi isapan jempol. Tak perlulah dibantah lagi. Merekalah yang paling siap untuk membangun dan bermigrasi ke sana karena mereka yang berkuasa secara ekonomi di Indonesia sekarang ini.  Demografi akan drastis berubah. Migrasi besar-besaran (entah dari mana) ke Kaltim untuk mengisi real estate, kondominium, apartemen, kompleks bisnis sampai rumah susun. Selanjutnya, melalui saluran demokrasi yang liberalistis sekarang, mereka – yang demikian exclussive mendukung sesamanya – akan mudah “lenggang kangkung” menuju kursi Gubernur dan DPRD Kaltim. Ibu kota NKRI akan sepenuhnya dikuasai. Dengan kekuatan ekonomi dan politik, mereka akan dengan mudah pula menyulap Kaltim menjadi daerah khusus kelompok “kekuatan politik tertentu”. Tak akan ada lawan politik yang berarti. Ambisi mereka tercapai, tinggal menyempurnakan capaian tujuan politik yang lebih besar: Kuasai NKRI. Belajar dari Lee Kwan Yew yang sukses menganeksasi kekuasaan Melayu atas Singapura. Kata La Ode (Trilogi Pribumisme, 2018 ), setelah Lee Kwan Yew memerintah Singapura, yang pertama kali dilakukan adalah dengan menggusur kampung-kampung dan menggantikannnya dengan rumah susun dan apartemen. Alasannya adalah: pembangunan kualitas hidup manusia. Warga Melayu menempati rumah susun dan apartemen dengan cara sewa. Satu saat warga melayu tidak sanggup bayar sewa, karena harga sewa ditingkatkan,  langsung diusir dan diganti dengan Etnis China Singapura. Akhirnya warga Melayu tersingkir dari negaranya sendiri dan digantikan oleh imigran China dari Taiwan, Hongkong dan RRC. Inilah strategi Sun Tzu yang jitu: “menang perang tanpa perang”. Singapura – tanah  Melayu yang di dalam Sumpah Palapa Gadjah Mada disebut Tumasek, telah dianeksasi Etnis China. Aneksasi serupa itu, kata La Ode, sedang diusahakan untuk diterapkan oleh kelompok ECI (Etnis China Indonesia) di Indonesia dalam tempo 2 kali 5 tahun ke depan. La Ode memperkirakan, pada 2027 atau 2029 ECI sudah berhasil menganeksasi pemerintahan Indonesia dari kekuasaan Pribumi Nusantara Indonesia.  Langkah Lee Kwan Yew, menurut La Ode, sesungguhnya telah diterapkan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di DKI dalam rangka menjadikan Jakarta sebagai Singapura kedua. Tetapi ambisi mereka di DKI kandas. Pilkada terlalu cepat mendahului reklamasi dan Ahok terlalu percaya diri (untuk menghindari kata menyombongkan diri) sehingga terlalu cepat pula menunjukkan  wajah aslinya. Seperti hendak mewanti-wanti, La Ode dalam bukunya itu merasa perlu menulis satu bab khusus tentang tujuan strategi politik ECI, yakni menganeksasi NKRI. Demokrasi kita yang sudah bercorak liberal ini adalah jalan tol bebas hambatan bagi kelompok ECI –yang telah menguasai ekonomi Indonesia, untuk bertarung di bidang politik menguasai partai politik, menjadi kepala daerah, menjadi anggota legislatif dan menjadi apparatus yudikatif.  Dalam kata pengantarnya La Ode menulis  “…bahwa ECI sebagai imigran China di Indonesia akan ‘mengambil alih’ kekuasan Pribumi Nusantara Indonesia atas NKRI melalui saluran demokrasi dalam tempo dua kali lima tahun ke depan. Rencana politik itu terhitung mulai 2019 – 2029. Upaya itu tidak disadari oleh hampir seluruh Pribumi Nusantara Indonesia.” Akankah dimulai dari pemindahan ibu kota negara? Tahun 2019-2029! Bila La Ode benar, maka dapat dipahami jika ada desakan-desakan untuk segera pindah ibu kota negara. Tetapi di sisi lain, jikalau inilah kenyataan yang terjadi, Pribumi Nusantara Indonesia wajib bertanya: pembangunan ini untuk siapa sesungguhnya? Ada beberapa contoh di dunia yang gagal dengan ibu kota negara barunya. Ibukota Myanmar, Naypyidaw, berfungsi sebagai pusat administratif negara yang kini dikuasai junta militer. Alhasil, Naypyidaw lebih banyak dihuni pegawai negeri sipil (PNS) serta anggota hingga pejabat militer Myanmar. Sudah 16 tahun Naypyidaw menjadi ibukota Nyanmar. Jadi, tidak terlalu berhasil. Brazilia, kota di tengah hutan juga gagal. Ibukota Tanzania pindah dari Dar es Salam gagal. Aussie juga sempat ramai dengan rencana pindah ibukota, tapi karena ribut terus, akhirnya gagal. Hanya Putrajaya dan New Delhi yang pindahnya kurang dari 100 km dari ibukota lama yang berhasil. Coba sekarang kita tengok kondisi IKN Penajam Paser Utara (PPU), Kaltim. Daya dukung lahan: a) PPU sangat sukar air baku, akuifer tipis; b) Untuk air dangkal, membutuhkan rekayasa embung, ada sungai tetapi berbasis musim; c) Terdapat silangan sesar-sesar gempa; d) Membutuhkan teknologi yang cukup tinggi untuk mengolah lahan yang super mahal; e) Banjir karena air rob. Apakah ekonomi perkotaan sekitarnya cukup kuat? a) PPU cukup jauh dari Balikpapan; b) Balikpapan dan Samarinda apakah cukup kuat mendukung IKN; c) Berbeda dengan Jakarta yang memiliki daya ungkit poleksosbud yang sangat tinggi; d) Jarak pemindahan tidak boleh terlalu jauh dari ibukota lama; e) Mohon lebih Rasional kalau IKN Lebih dekat Jakarta. Menurut Prof. Widi A. Pratikto, Guru Besar ITS Alumni PPSA XV Lemhanas, dari analisa Hankam Negara – PPU sangat rawan serangan dari Darat, Laut, dan Udara. (*)

Di Bawah Bendera Oligarki (DBO)

Di Bawah Bendera Oligarki, sepintas sangat  jauh berbeda dengan Di bawah Bendera Revolusi yang menjadi buah pikir Soekarno. Buku yang terkesan dianggap \"kitab suci\" banyak kalangan Marhaenis dan kiri itu, lebih tekun mengupas pergulatan ideologi, suasana revolusi dan kebangkitan nasionalisme. Sementara kalau bicara oligarki, bisa dipastikan identik dengan neo kolonialisme dan neo imperialisme yang menguasai \"objective gigeven\"  sekaligus yang ditentang Putra Sang Fajar dan  The Founding Fathers lainnya. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari NAMUN sesungguhnya, secara esensi keadaan negara  Di Bawah bendera Oligarki saat ini,  memiliki situasi  seperti bangsa Indonesia yang masih dalam penjajahan fisik. Ia hanya berbeda judul, berbeda kemasan dan berbeda jaman. Sementara isinya, suasana kebatinan, kondisi obyektif dan subyektif yang dialami rakyat,  persis memiliki kesamaan. Buku Di Bawah Bendera Revolusi yang menuangkan saripati nilai-nilai sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan. Lebih banyak menggambarkan tentang bagaimana kapitalisme yang merupakan hawa nafsu  dari  sebuah sistem yang jahat. Penguasaan sumber daya alam, adanya perbudakan, upaya  menciptakan kebodohan dan kemiskinan rakyat dalam suatu negara, telah menjadi realitas dari apa yang disebut Soekarno sebagai \"exploitation de l\'long par long, ekspoitation de l\'homme par homme\". Termasuk nasionalisme sebagai perkakasnya Tuhan, juga lunglai ketika liberalisasi dan sekulerisasi beringas merasukinya. Revolusi atau Tenggelam Selamanya Begitu kuatnya cengkeraman oligarki mengengam Indonesia. Nyaris tak ada sektor-sektor kehidupan rakyat yang tidak bisa lepas dari pengaruhnya, dari dominasi dan hegemoni oligarki. Apa yang disebut sebagai masa kegelapan bangsa saat berada dalam jaman kolonialime, kini seperti hadir kembali di era modern. Kehidupan sosial ekonomi, sosial politik, sosial hukum, sosial budaya dan sosial kemanan hancur luluh berantakan. Kesengsaraan hidup dan penderitaan rakyat menjadi manifestasi dari kegagalan membangun kedaulatan dalam bidang politik, kemandirian dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Gejala agama sebagai candu masyarakat juga mulai digalakkan  kaum atheis. Kekayaan alam dirampok oleh asing maupun aseng, jurang si miskin dan kaya semakin curam, serta terlalu banyak penghianat yang menjual negara dan memecah belah bangsa. Rakyat pribumi bumiputera atau marhaen menjadi budak di negeri sendiri. UUD 1945, Pancasila dan NKRI dalam proses \"take down\". Berada pada bibir kemelut konflik sosial krusial dan terpapar virus disintegrasi bangsa yang akut. Kebhinnekaan dan kemajemukan yang tersusun dalam rangkaian kedamaian, menjadi artifisial dan rentan menjadi huru-hara tak terkira. Semua yang terkesan indah dan  yang baik dalam permukaan keindonesiaan, sejatinya adalah semu  dan penuh kepalsuan. Keharmonisan dan keselarasan cenderung berdurasi singkat. Kebanyakan komponen bangsa dijangkiti pandemi hipokrit dan mental inlander. TNI, Polri, Ulama, Intelektual, mahasiswa, buruh, nelayan dan petani, serta semua pemilik sah negeri ini. Nyaris skeptis, takut dan atau memilih menjual diri  menjadi barang dagangan yang murah. Hanya sedikit dari mereka yang mampu mewujudkan keberaniannya, meski harus menempuh jalan merdeka atau mati, jika memilih dalam kesadaran kritis dan sikap perlawanan. Bersikap untuk  bangkit melawan atau diam tertindas, menjadi pilihan yang maha berat. Karena memang sangat mustahil jika berhadapan dengan kekuatan oligarki yang  memiliki segalanya. Rakyat dibungkam dan tak dapat melawannya. Oligarki dengan semua uang dan instrumen kekuasaannya, melalui aparat dan birokratnya, ditambah politisi dan para buzzer yang dibayar. Semakin melanggengkan kolonialisme dan imperialisme modern di bumi nusantara ini. Akankah Indonesia berubah menjadi negara koloni baru?. Mungkinkan NKRI akan tenggelam dan tinggal kenangannya yang tersisa?. Hanya rakyat Indonesia sendiri yang mampu menjawabnya.  Adakah ini menjadi momentum dan keberanian rakyat Indonesia melakukan perubahan dan penyelamatan bangsa.  Jika tak ingin suatu saat NKRI tidak ada lagi dalam peta dunia. Seperti kata Soekarno, suatu saat akan hilang   tenggelam suatu bangsa karena tak ada  keberanian dalam dirinya. Hanya ada pilihan revolusi atau mati. Sebuah revolusi Di Bawah Bendera Oligarki. (*)

Api Bandung Menghangatkan Purnawirawan

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Tanggal 24 Januari 2022 di area Monumen Perjuangan Jawa Barat depan Kampus UNPAD para Purnawirawan TNI-Polri mendeklarasikan berdirinya organisasi yang menghimpun kebersamaan para Purnawirawan untuk menjaga spirit perjuangan sebagaimana saat aktif sebagai tentara atau aparat negara. Dengan bermotto \"old soldier never die\" organisasi tersebut diberi nama Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia (FPPI).  Pendirian organisasi atau forum adalah hal yang biasa, demikian juga forum Purnawirawan. Akan tetapi jika dilihat dari latar belakang pembentukannya, maka Forum Purnawirawan Pejuang Indonesia ini menjadi  agak istimewa. Dibentuk dan dihadiri oleh beberapa Purnawirawan Perwira  Tinggi seperti Kivlan Zein, Slamet Subiyanto, Soenarko, Robby Win Kadir, Nasuha,  Koen Priyambodo dan lainnya juga \"vokalis\" seperti Sugeng Waras, Ruslan Buton, dan M Saleh.  Dari sambutan-sambutan yang bersemangat juang berlatar belakang spanduk bergambar Jenderal Soedirman tersebut, para Purnawirawan itu melihat bahwa kondisi negara saat ini sangat memprihatinkan yang ditandai oleh : Pertama, otoritarianisme dimana pengelolaan negara tidak berbasis pada penghormatan atas asas kedaulatan rakyat. Oligarkhi mendominasi dan mengendalikan politik, ekonomi, hukum, dan lainnya.  Kedua, kondisi ekonomi yang timpang dimana segelintir orang menguasai banyak aset negara dan rakyat. Rakyat susah berhadapan dengan korporat yang senang dan senantiasa bersenang-senang. Jalur bisnis yang menjadi jalan bagi kaum imperialis.  Ketiga, Pancasila dan UUD 1945 yang tidak dijalankan dengan utuh dan menyeluruh, murni dan konsekuen, serta lebih pada sloganistik yang bertentangan dengan perilaku dan praktek kehidupannya. Ambivalensi dan penghianatan oleh penyelenggara negara.  Keempat, nilai-nilai persatuan dan kemanusian yang terdegradasi, rentan perpecahan akibat serangan masif semburan fitnah. Pelanggaran HAM yang dipertontonkan terang-terangan termasuk pembunuhan 6 laskar FPI. Pelanggaran HAM harus dihentikan dan pelanggar HAM harus dihukum.  Kelima, TNI dan Polri harus kembali kepada jati diri sebagai pembela dan pengawal rakyat bukan mengabdi kepada penguasa yang berkuasa sesaat. Menempatkan diri sesuai dengan fungsinya bukan multi-fungsi yang merambah kemana-mana.  Para Purnawirawan bertekad untuk berjuang \"sampai titik darah penghabisan\" dalam rangka menegakkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Mengingatkan seluruh elemen bangsa agar tidak menjual atau menggadaikan kedaulatan negara kepada para penjajah politik, ekonomi, dan budaya. Pertahanan dan keamanan negara yang harus selalu dijaga.  Kematian adalah kehidupan panjang untuk membangun monumen kemuliaan bukan monumen kehinaan dan penghianatan.  Monumen Juang adalah api Bandung yang menghangatkan atau membakar semangat perjuangan dulu, kini, dan esok.  Panglima Besar Jenderal Soedirman telah banyak memberi pelajaran dan keteladanan.  Old soldier never die  !  (*)

Jin Buang Anak, Istilah yang Dipelintir (Bukan) SARA

Oleh Ady Amar, Kolumnis Jin buang anak, itu sekadar istilah untuk menyebut satu tempat yang jauh dan terpencil. Boleh juga jika mau ditambah, karena jauh dan terpencil, maka ia menyeramkan. Tentu menyeramkan itu tidak berarti ada jin apalagi kuntilanak atau genderuwo di sana. Sekadar istilah, itu bukan makna sebenarnya. Bukan seolah itu benar-benar tempat jin buang anak. Adalah hal biasa, jika istilah itu jadi sebutan keseharian untuk penyebutan suatu tempat yang sulit dijangkau. Bahkan, istilah itu kerap jadi _guyonan_ pada seseorang yang lokasi tempat tinggalnya jauh dan sepi, lalu disebut dengan tempat jin buang anak. Istilah apapun itu memang mudah dipelintir menjadi seolah itu penghinaan. Itu lebih pada siapa yang berbicara dan dalam konteks apa ia berbicara. Maka ribut-ribut, seperti sengaja diributkan, itu yang hari-hari ini mengena pada Edy Mulyadi. Beritanya seolah dibuat besar mengalahkan berita besar lainnya, yang memang besar. Maka, Edy Mulyadi, seorang jurnalis senior yang kebetulan memilih bersikap kritis pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Maka pilihannya memakai \"istilah\" untuk menggambarkan sesuatu yang jarak tempuhnya jauh, itu dengan \"jin buang anak\" ditarik menjadi masalah besar. Seolah istilah yang disampaikannya itu mengandung unsur SARA. Maka, pada kasus tertentu penyebutan pada suatu istilah, itu pun bisa (dianggap) berunsur SARA. Meski tidak ditemukan sedikit pun unsur SARA. Tetap ditarik pada delik, dan itu kriminalisasi. Menakutkan. Maka, pilihan narasi dan penggunaan istilah pada mereka yang acap bersinggungan dengan rezim, itu mesti hati-hati dan disampaikan dengan bahasa terukur. Tidak bisa bebas seperti mereka yang (sepertinya) kebal hukum, yang boleh seenaknya mengumbar narasi, bahkan sampai _nerobos_ unsur SARA sekalipun. Kepekaan menggunakan sebuah istilah, itu perlu. Sepertinya kepekaan itu agak kendor dipunya seorang Edy Mulyadi. Karenanya, istilah \"jin buang anak\" seolah jadi kejahatan luar biasa, yang pelakunya jadi bulan-bulanan pihak yang tidak suka dengan gaya narasi yang dipilih Edy Mulyadi dalam aksi-aksinya selama ini yang kritis. Maka, momen istilah yang digunakan atas penolakan ditetapkannya Ibu kota negara (IKN) di Kalimantan, itu dipelintir pihak-pihak yang tidak menyukai pandangan politiknya. Dan istilah yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa dibuat menjadi kesalahan luar biasa. Korban Istilah Sikap Edy Mulyadi memang ksatria. Ia meminta maaf, jika ujarannya itu dianggap menyakiti warga Kalimantan. Sikapnya itu tidak perlu harus menunggu lama, atau setelah didesak-desak berbagai pihak. Edy Mulyadi tidak _mempeng_ merasa tidak bersalah. Menganggap apa yang disampaikannya itu cuma sekadar istilah untuk menggambarkan sesuatu tempat yang jauh atau terpencil. Pilihannya untuk sesegera mungkin meminta maaf, itu mestinya disikapi dengan baik. Dengan legowo. Pilihan Edy Mulyadi meminta maaf, itu bagian dari kebesaran hatinya. Beda jauh dari Arteria Dahlan, yang pada awalnya menolak untuk meminta maaf pada etnis Sunda. Dan kemudian karena desakan berbagai pihak, mungkin juga desakan Ketua Umum partainya, PDIP, ia lalu meminta maaf. Apa yang disampaikan Arteria itu bukan istilah, tapi narasi yang jelas, bahwa ia keberatan bahasa Sunda digunakan di internal kalangan Sunda sendiri pada saat-saat rapat. Narasinya itu tafsir tunggal yang tidak bisa disangkal, bahwa ada unsur ketidaksukaan. Jadi tentu lebih dahsyat, jika ditarik pada proses hukum, dibanding istilah yang disampaikan Edy Mulyadi. Tapi setelah Arteria meminta maaf, maka berbagai protes masyarakat di Jawa Barat nyaris mereda. Meminta maaf itu bentuk toleransi dahsyat, meski ia sebenarnya (bisa) dinilai tidak bersalah. Tapi seorang Edy Mulyadi memilih berdamai, itu sikap terpuji. Ia tidak ingin persoalan ini disalah tafsir tidak sebenarnya. Mestinya, sikapnya itu disambut warga Kalimantan, khususnya para pemimpin daerah, baik sipil maupun politik, terutama para Ketua Adat (Dayak) dengan uluran tangan tulus. Janganlah kita yang sudah lebih dari tujuh dekade merdeka, tapi masih baperan membawa hal-hal remeh menjadi sesuatu. Istilah apapun itu mestinya tetap istilah yang tidak boleh ditarik pada sesuatu yang tidak semestinya. Apalagi ditarik pada politik karena unsur suka atau tidak suka. Istilah \"jin buang anak\" janganlah dianggap, seolah itu penghinaan. Justru jadikan itu modal pemecut, bahwa Kalimantan bukanlah tempat untuk jin buang anak. Selesai. Banyak kasus besar tengah membelit negeri ini. Tentu itu bukan kasus istilah yang diujarkan Edy Mulyadi, yang seupil yang hari-hari ini digoreng dahsyat dianggap mampu menutup kasus-kasus besar dan seksi yang bertebaran. Edy Mulyadi sedang \"disembelih\" oleh mereka yang tidak menyukai langkah politiknya. Media mainstrim pun mengadili dengan tidak sebenarnya. Menghilangkan peran mengajarkan pada publik, yang belum mampu membaca sebuah istilah, apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana mesti menyikapinya. Kasihan Edy Mulyadi, dijebak oleh sebuah istilah yang pasti bukan SARA, tapi maknanya ditarik sekenanya. (*)

Edi Mulyadi, Prabowo dan Suku Dayak, Bersandar di Ibu Kota Baru

Entahlah, sampai kapan kekuasaan  terus menggunakan pengalihan isu. Ketidakmampuan mengatasi pelbagai problem bangsa, rezim kerapkali menutupinya dengan masalah-masalah yang tidak urgens, kotor dan menjijikan. Rekayasa sosial dan politik itu, selain mengaburkan masalah mendasar dan krusial. Juga beresiko tinggi berdampak konflik horisontal dan disintegrasi bangsa. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari RAMAI di dunia maya terkait pernyataan Edi Mulyadi soal Macan mengeong dan tempat Jin buang anak. Statemen itu ditujukan kepada Prabowo dan daerah Kalimantan Timur yang menjadi ibu kota baru. Omongan yang viral itu sesungguhmya hanya menjadi sisipan atau bagian dari rangkaian pesan terkait polemik dan kontroversi pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara. Menariknya, yang jadi heboh bukan pembahasan masalah mendasar dan krusial dari sikap menteri pertahanan RI dan pemindahan ibu kota negara, yang debatebel  dengan persoalan kedaulatan negara, situasi ekonomi politik, dan dampaknya terhadap kelangsungan kehidupan rakyat dan NKRI. Seolah-olah mengabaikan permasalahan-permasalah prinsip itu, alih-alih justru masalah Macan mengeong yang dialamatkan ke Prabowo dan penyebutan Kalimantan Timur sebagai tempat Jin buang anak, yang mengemuka. Dengan tidak menghilangkan rasa hormat kepada Prabowo dan warga Kalimantan Timur. Kalau memperhatikan struktur pembahasan materi secara   secara utuh dari narasi  yang disampaian Edi Mulyadi. Pada substansinya lebih mengangkat hal-hal yang terkait sistem,  kebijajakan dan orientasi politik pembangunan. Termasuk pola kepemimpinan yang memahami aspek-aspek geografis, geopolitis dan geostrategis. Sebagai salah satu contoh, misalnya penempatan Ibu kota negara yang tidak boleh terletak dekat dengan perbatasan negara atau mudah dijangkau dari potensi musuh atau serangan dari luar. Hal itu penting sebagai faktor utama keamanan negara. Tidak seperti Jakarta yang berada pada posisi sentral dan dikelilingi buffer zone sebagai pelindung. Dalam hal ini, gugatan terhadap seorang Prabowo yang menteri pertahanan itu, patut menjadi perhatian. Apalagi Prabowo termasuk sosok yang paling lantang bicara nasionalisme dan utamanya menjaga kedaulatan dan pertahanan NKRI. Prabowo lah yang sering mengusung tagline Indonesia akan menjadi Macan Asia atau wacana NKRI bubar tahun 2032. Wajar saja jika Edi Mulyadi membawa representasi itu pada persoalan pemindahan ibu kota dengan sosok Prabowo. Kemudian, menyoal Jin buang anak yang tertuju pada wilayah Kalimantan Timur oleh lontaran Edi Mulyadi. Pada hakekatnya tidak ada tendensius atau motif tertentu untuk merendahkan, melecehkan atau menghina warga Kalimantan Timur. Ungkapan Jin buang anak yang terucap spontan itu hanya merupakan ilustrasi atau padanan kata kalau tidak bisa dibilang satir terhadap kondisi geografis ibu kota baru tersebut. Istilah Jin buang anak itu, telah menjadi perumpamaan umum yang sering dipakai publik untuk menggambarkan tempat yang jauh, sulit dijangkau dan mungkin melalui medan yang berat jika ditempuhnya.  Jangankan di Kalimantan, dibeberapa tempat di Pulau Jawa pun masih banyak daerah yang bisa disebut tempat Jin buang anak. Bahkan kalau mau jujur, di wilayah yang berada dan tidak jauh dari jabodetabek masih ada tempat yang relatif susah aksesnya atau  terisolir dan seperti lokasi Jin buang anak. Jadi, mengenai tempat Jin buang anak ini seperti yang disampaikan Edi Mulyadi memang tidak ada maksud buruk atau itikad jelek, termasuk pada wilayah Kalimantan Timur. Sehingga tidak perlu mendapatkan reaksi yang berlebihan dari siapapun. Kebisingan Menutupi Masalah Mendasar dan Krusial Pemindahan ibu kota negara yang baru memang sangat dipaksakan. Selain beraroma kepentingan borjuasi korporasi berbalut oligarki. Kebijakan yang proses pembahasan dan legislasinya serampangan itu. Terlalu beresiko mengundang bahaya dan resiko tinggi. Selain dampak  lingkungan fisik dan sosial budaya akibat dari konsep pembangunan yang tidak berbasis riset dan kajian kompeten. Publik masih ingat saat, Penajam Paser Utara dilanda banjir besar yang tidak surut hampir selama 1 bulan. Sepertinya rezim ini gagal fatal membangun pranata sosial dan pranata lingkungan bahkan sebelum Ibu kota baru dibangun. Pembabatan hutan, mengikis kekayaan adat dan menggusur kearifan lokal, menjadi  alas kapitalisme berwujud kota mercusuar rezim.   Belum lagi Anggaran pembangunan berbiaya hampir 500 triliun  itu, 52%nya kini dibebankan pada ABN.  Lagi, aksi tanpa kemaluan rezim yang awalnya tidak akan menggunakan APBN untuk proyek dengan akomodasi nyaman dan mewah bukan buat pribumi bumiputra. Di lain sisi, sosok Prabowo yang meninggalkan catatan hitam dan kelam bagi pendukungnya saat memilih bergabung dengan rezim Jokowi. Bukan hanya menggugurkan karakter kepemimpinannya semata. Tak lagi dipercaya sebagai sosok negarawan yang tegas dan berwibawa. Pendukungnya dan atau sebagian besar rakyat kini menganggapnya pecundang berjiwa kerdil. Menghapus kepribadiannya yang sempat dielu-elukan rakyat sebagai pemimpin negara yang mengaum bagai Macan di Asia. Prabowo kini macan yang mengeong ketika menghadapi realitas kebangsaan dan perbagai persoalan yang menimbulkan penderitaan rakyat. Boleh jadi satir Edi Mulyadi benar adanya, bahwasanya Prabowo telah jauh berubah.  Berubah karena kekuasaan dan kekuasaan yang merubahnya. Dengan demikian, bagi Prabowo dan warga Kalimantan Timur. Manakah yang lebih merendahkan, melecehkan dan menghina baik kepada Prabowo maupun Warga Kalimantan Timur?. Perampasan lahan hutan dan dampaknya yang telah membunuh peradaban lokal dan ekosistem lingkungan. Serta kedok oligarki dan borjuasi korporasi yang sejatinya adalah neo kolonialisme dan imperialisme. Mereka semua itu yang berpotensi menghancurkan NKRI?. Atau istilah Macan mengeong dan tempat itu yang harus dihadapi dengan perang?. Bangkitlah seluruh rakyat Indonesia. Sadarlah dan gunakan akal sehat. Tetaplah mampu membedakan mana yang responsif dan mana yang reaksioner. Jangan biarkan terus negeri ini diselimuti kebisingan yang menutupi masalah mendasar dan krusial.  Semoga logika tidak ikut jungkir balik juga. (*)