Indonesia Terbelah Tiga?
Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Forum Diaspora Indonesia
BULAN Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan yang tenang bagi ummat Islam Indonesia, sepertinya ibarat air sungai Mahakam yang tenang di atas, tetapi menyimpan arus kuat di bawahnya yang setiap saat bahkan bisa menggelamkan kapal tanker sekalipun.
Kenapa demikian? Karena kesulitan ekonomi serta akrobatik para politisi bangsa inilah yang membuat suasana seakan tak bisa tenang.
Belum reda kelangkaan minyak goreng yang bikin pusing emak-emak ibu rumah tangga, tiba-tiba BBM pertamax dan kelangkaan solar melanda. Tidak hanya itu, kisruh upaya suatu kelompok yang ingin “memaksakan” perpanjangan periode pemerintahan juga semakin masif. Tolak ukurnya adalah mobilisasi para perangkat desa dan juga stateman dari para pejabat aktif negara yang arahnya semakin jelas menuju ke sana.
Kondisi pro dan kontra ini, puncaknya akan membelah bangsa ini setidaknya menjadi tiga kelompok besar. Di antaranya adalah :
Pertama, kelompok yang ingin berupaya “memaksakan kehendaknya” untuk memperpanjang masa jabatan Presiden atau menjadikan jabatan Presiden menjadi tiga periode atau bahkan mungkin bisa tanpa batas.
Kenapa ada kata-kata “memaksakan kehendak” di sini? Karena prosesi perpanjangan atau menambah periode jabatan Presiden secara aturan hukum harus melalui amandemen konstitusi UUD 1945. Padahal secara prinsip hukum tata negara, melakukan amandemen konstitusi itu sama saja dengan “upaya merubah bentuk negara” (Prof Sri Soemantri :2001).
Sedangkan kita semua tahu, salah satu amanat reformasi 1998 yang juga meng amandemen UUD 1945 secara radikal itu adalah membatasi masa kekuasaan Presiden dimasa Orde Baru. Lalu saat ini, demi ambisi kekuasaannya, ada sekelompok manusia di Indonesia mau kembali balik ke belakang ? Lalu apa gunanya reformasi 1998?
Kelompok manusia pertama ini adalah terdiri dari para kaki tangan oligharki yang tentu adalah kelompok yang paling menikmati syurga kekuasaan hari ini.
Para loyalis Presiden dan “Lord Opung” sebagai komandannya. Jadi tak usah heran, banyak ucapan para menteri, tokoh politik (ketua partai), pengamat opportunis, dan media massa berpacu padu menyuarakan upaya pemaksaan kehendak perpanjangan masa jabatan dan menambah periodesisasi jabatan Presiden.
Karena mereka semua pasti akan ketakutan, tidak siap, masa jabatan dan kekuasaan yang mereka pegang dan nikmati hari ini akan berakhir. Kenapa tidak siap dan takut? Berarti sudah begitu banyak dosa dan kesalahan yang mereka lakukan selama menjabat. Apakah itu dosa korupsi, dosa kriminalisasi, dosa mengintimidasi, dosa merampok kekayaan negara, serta dosa menjadi pengkhianat bangsa demi menjilat oligharki di belakangnya.
Kalau mereka tak melakukan dosa dan kejahatan, tentu kelompok ini akan legowo dan menerima apa adanya amanat konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita ini. Meskipun juga ada beberapa oknum yang “terpaksa” ikut mendukung karena sedang mengalami “rawat jalan” kasus dengan penegak hukum. Tersandera oleh dosanya sendiri.
Kedua, adalah kelompok yang ingin Pemilu dan Pilpres tetap dijalankan sampai 2024. Kelompok kedua ini terdiri dari dua versi juga. Versi pertama adalah mereka yang sebelumnya adalah bahagian dari kekuasaan oligharki saat ini, tetapi juga bernafsu, berambisi untuk menjadi pemegang utama tampuk kekuasaan. Versi mereka ini adalah seperti dari kelompok PDIP yang ingin memajukan Puan Maharani jadi Capres, kelompok Gerindra yang ingin memajukan Prabowo sebagai Capres 2024, dan beberapa nama yang muncul aktif membranding dirinya menjadi Capres 2024 seperti Erick Thohir, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Sedangkan versi kedua adalah, mereka yang berpikiran linear, kaca mata kuda, main aman, bagaimana ikut lurus sesuai amanat konstitusi semata alias netral pasif. Kelompok ini biasanya berasal dari kalangan ASN, birokrat, kelompok middle trap, wiraswasta, dan akademisi.
Kelompok kedua ini, tidak mau terlibat kisruh perpanjangan masa jabatan atau penambahan periode masa jabatan Presiden, karena mereka juga sudah punya orientasi sasaran sendiri, dan juga tak mau melakukan akrobatik politik yang “radikal” melalui upaya pemaksaan kehendak mengamandemen UUD 1945. Namun tetap, kelompok kedua ini cenderung adalah kelompok opportunis semata yang hidup normatif saja (silent majority).
Ketiga, adalah kelompok yang sudah tak sabar dan berharap justru Pemilu dan Pilpres dipercepat. Bagaimana proses percepatannya, apakah itu dengan cara konstitusional atau semi konstitusional seperti 1965 dan 1998. Ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, dari Soeharto ke BJ Habibie menjadi fase awal era reformasi.
Kenapa kelompok ketiga ini begitu ingin percepatan Pemilu atau Pilpres. Karena kelompok ketika ini adalah kelompok yang tertindas, ter
Kelompok ketiga ini juga berasal dari kelompok masyarakat yang rasional, kritis, dan agresif, kecewa melihat kerusakan yang terjadi sejak rezim hari ini berkuasa.
Intinya adalah : Kelompok ketiga ini adalah gabungan dari banyak kelompok masyarakat yang rasional, patriotik, religius, intelektual, akademisi, keluarga besar purnawirawan TNI, masyarakat adat, serikat buruh-pekerja, PA 212, kelompok Islam, mahasiswa, kalangan grass root dan tengah, hingga emak-emak militan.
Meskipun kelompok ketiga ini identik dengan pendukung 02 masa Pilpres 2019 yang lalu, namun sekarang ini mereka sudah berkolaborasi dengan berbagai macam elemen kekuatan masyarakat yang semakin hari, semakin besar tak terbendung.
Kelompok ketiga ini adalah mereka yang selama rezim berkuasa saat ini merasakan ketidak adilan di berbagai bidang. Baik dalam hal ketidakadilan hukum, ekonomi, sosial budaya hingga hak/hak dalam menjalankan ibadahnya saja juga dikebiri rezim saat ini.
Situasi bangsa Indonesia saat ini juga bagaikan kombinasi masa 1965 dan 1998. Keterbelahan yang bisa terjadi karena dendam dan sejarah ideologi seperti kelompok Islam-TNI Versus PKI. Maupun karena alasan opportunitis pragmatis semata dan ketidakadilan.
Kalau dalam teori konflik Herman Fisher itu mengatakan bahwa, konflik di tengah masyarakat itu terjadi oleh dua hal yaitu ; karena “identity conflict” berupan konflik identitas, hak, ego, ideologis, dan SARA serta karena “distribution conflict” yaitu konflik distribusi ekonomi, distribusi keadilan, dan distribusi kesejahteraan.
Ketiga kelompok ini mempunyai massa, arus, power, dan kelebihannya masing-masing. Dan mesti dicatat, keterlibatan kekuatan global dan elit oligharki juga sangat kuat di sini.
Jadi, pertarungan tiga kelompok ini akan terus bergulat untuk saling mempengaruhi dan menaklukkan satu sama lain. Siapa yang akan memenangkan pertarungan ini? Biarlah waktu yang akan menjawabnya.
Namun sebagai rakyat, kita hanya bisa berharap, agar peralihan kekuasaan apapun itu, tetap seminimal mungkin dapat dihindarkan. Karena apapun itu namanya sebuah konflik, pasti yang akan jadi korban adalah masyarakat itu sendiri.
Dan semoga Ramadhan ini memberikan inspirasi, motivasi kepada kita semua untuk memberikan yang terbaik buat bangsa dan negara kita. InsyaAllah.
(05 Maret-2022. Penulisl menetap di Perth Australia).