“Membaca” Maksud Jenderal Andika Perkasa
Yang dilihat itu keterpengaruhannya. Mulai dari tes kita lihat, begitu lulus tes kita lihat. Begitu pendidikan kita lihat. Begitu naik pangkat/tingkat kita lihat. Begitu lulus, naik pangkat, mau sekolah kita lihat, diawasi terus.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN
STATEMENT Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa soal anak keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) boleh mendaftar sebagai prajurit TNI telah memicu “kontroversi” di kalangan masyarakat.
Ada yang mendukung pernyataan Jenderal Andika itu, juga tidak sedikit yang menolaknya. Sebaiknya, kita coba cermati dulu pernyataan Jenderal Andika yang tayang di YouTube, Rabu (30/3/2022) di medsos itu.
Pernyataan tersebut disampaikannya saat memimpin rapat penerimaan Taruna Akademi TNI, Perwira Prajurit Karier TNI, Bintara Prajurit Karier TNI dan Tamtama Prajurit Karier TNI Tahun Anggaran 2022.
Awalnya, Jenderal Andika bertanya kepada Direktur D BAIS TNI Kolonel A Dwiyanto soal aturan yang tercantum pada nomor 4.
“Oke, nomor 4 yang mau dinilai apa? Kalau dia ada keturunan dari apa?” tanya Panglima TNI melalui YouTube Jenderal Andika Perkasa.
“Pelaku kejadian tahun 65-66,” jawab Kolonel Dwiyanto.
“Itu berarti gagal, bentuknya apa itu? Dasar hukumnya apa?” timpal Andika.
“Izin TAP MPRS Nomor 25 (Tahun 1966),” jawab Kolonel Dwiyanto.
“Oke sebutkan apa yang dilarang TAP MPRS,” pinta Andika.
Kolonel Dwiyanto kemudian menjelaskan bahwa yang dilarang TAP MPRS ialah ajaran komunisme, organisasi komunis maupun organisasi underbow dari komunis tahun 1965. Andika lantas memintanya untuk membuka kembali isi dari TAP MPRS.
Andika menegaskan kalau tidak ada diksi pelarangan untuk underbow atau keturunan komunis dalam TAP MPRS.
“Saya kasih tahu nih, TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Satu menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang, tidak ada kata-kata underbow segala macam, kedua, menyatakan komunisme, leninisme, marxisme sebagai ajaran terlarang, itu isinya,” tegas Andika.
“Ini adalah dasar hukum, legal ini, tapi tadi yang dilarang itu PKI, kedua adalah ajaran komunisme, lenisisme, marxisme, itu yang tertulis. keturunan ini melanggar TAP MPRS, dasar hukum apa yang dilanggar sama dia?” sambungnya.
Kolonel A Dwiyanto langsung menjawab tidak ada yang dilanggar apabila TNI menerima calon prajurit dari keturunan PKI.
Andika menegaskan kalau dirinya patuh terhadap peraturan perundang-undangan. Kalau misalkan adanya pelarangan keturunan PKI untuk masuk menjadi prajurit TNI, maka harus ada aturan hukumnya.
“Jadi jangan kita mengada-ada, saya orang yang patuh peraturan perundang-undangan yang ada, kalau kita melarang pastikan kita punya dasar hukum. Zaman saya tak ada lagi keturunan dari apa, tidak, karena saya menggunakan dasar hukum,” ujarnya.
“Oke? Hilang (aturan) nomor 4,” tegas Andika.
Pegiat hak asasi manusia menyambut baik pernyataan Panglima TNI yang menegaskan bahwa keturunan anggota atau simpatisan PKI boleh menjadi prajurit sebagai upaya untuk mengakhiri diskriminasi sosial.
Jenderal Andika dinilai telah berupaya meluruskan kekeliruan pemahaman segelintir masyarakat bahwa Tap MPRS 25 Tahun 1966 melarang keturunan kader atau simpatisan PKI untuk masuk dalam pemerintahan atau menjadi tentara.
“Ini seharusnya menjadi momentum rekonsiliasi politik nasional agar stigma buruk dan diskriminasi terhadap keturunan PKI bisa disudahi,” tutur Wakil Direktur Organisasi Pembela HAM Imparsial, Ardi Manto Adiputra.
Ardi mengatakan komunisme kerap menjadi isu politik untuk meraup suara dan dukungan menjelang pemilihan umum.
Peneliti Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono menilai bahwa Andika telah bersikap tepat.
“Itu bagus sekali karena ia mengingatkan kita bahwa TAP MPRS itu tidak melarang keturunan PKI untuk berbakti kepada negara ini. Bahwa sejatinya tidak ada aspek hukum yang melarang anak-cucu orang komunis untuk bekerja buat negara,” tambahnya.
Menurutnya, isu komunisme dan PKI serta potensi kebangkitannya selama ini masih kerap digaungkan segelintir kelompok dan tokoh untuk melarang diskusi pelanggaran HAM 1965 atau peredaran buku yang dianggap “berbau komunisme”, terutama menjelang peringatan peristiwa 30 September.
Hal itu pun diakui Ilham Aidit, putra mantan Ketua PKI D.N. Aidit kepada BenarNews pada 2016. Ilham sempat mengaku, ia pernah gagal menjadi pegawai negeri sipil (PNS) karena berstatus putra pimpinan PKI.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo bahkan berulang kali menyuarakan kebangkitan PKI dan menyerukan masyarakat untuk menonton kembali film G30S/PKI yang dibuat pada era Presiden Soeharto, kendati dikritik banyak pihak.
Pasalnya, dari sejumlah lembaga survei masih menyatakan bahwa PKI dan potensi kebangkitannya masih menjadi isu yang laku di tengah masyarakat, selain LGBT dan agama.
“Mengurangi sentimen negatif masyarakat tentu tidak secepat itu. Tapi jika mau maju, pernyataan Jenderal Andika itu harus didukung. Seperti halnya kala ia menghapus tes keperawanan,” lanjut Andreas.
Kepercayaan masyarakat terhadap ancaman dan kebangkitan PKI, antara lain, terlihat dari hasil tilik Media Survei Nasional (Median) pada September tahun lalu yang menyatakan bahwa 46,6 persen masyarakat masih percaya bahwa PKI bakal bangkit.
Salah satu parameter yang diyakini masyarakat menjadi kebangkitan PKI, merujuk survei, adalah keberadaan tenaga kerja asal China di Indonesia.
Keluarga penyintas peristiwa 1965 Pipit Ambarmirah, dikutip dari BBC Indonesia, mengapresiasi keputusan Andika dan TNI secara keseluruhan yang disebutnya, “kemajuan bagi keluarga 1965”.
“Positive thinking, berarti baik kalau dia (Andika) seperti itu,” ujar Pipit.
Upaya penghapusan diskriminasi terhadap keturunan kader dan simpatisan PKI sempat beberapa kali diupayakan, salah satunya yaitu saat membentuk Simposium Nasional: “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Jakarta pada April 2016.
Namun alih-alih beroleh titik terang penyelesaian, kegiatan itu mendapat tentangan, salah satunya lewat gelaran simposium tandingan, dua bulan setelahnya.
Dalam Perspektif Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD), Senin, 04 April 2022, Jam 13.30 sd 14.30 WIB: “Seleksi TNI Underbouw dan atau Keturunan PKI Menurut Para Jendral Purnawirawan”, ada penjelasan mantan Kepala BAIS Laksamana Muda (Purn) Soleman B. Ponto yang menarik.
Menurut Laksamana Ponto, kalau kita perhatikan apa yang terjadi kemarin itu di dalam ruang rapat ketika Panglima bertanya, mengapa orang ini tidak lulus. Lalu si kolonel menjawab, karena dia anak PKI katanya.
Kemudian Panglima menjawab, anak PKI boleh mendaftar. Kemudian muncul persepsi bahwa anak PKI boleh masuk TNI. Padahal judulnya itu, anak PKI boleh mendaftar masuk TNI.
“Dibacanya anak PKI dan keturunannya boleh masuk TNI. Nah, ini yang bikin ramai,” ungkap Laksamana Ponto.
Jadi, dari sini ia akan meluruskan dulu bahwa untuk mendaftar ]jadi anggota TNI itu tidak melihat itu anaknya siapa. “Siapa saja, yang penting warga NKRI, ya itu boleh mendaftar,” tambahnya.
Nah, persyaratan mendaftar itu sudah tertuang dalam pasal 28 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI itu. Sangat jelas di situ. Tidak ada persyaratan di situ bahwa kecuali keturunan anak anggota PKI, tidak ada.
“Saya tahun 1973 juga mendaftar, tidak ada persyaratan itu. Jadi, apa yang disampaikan panglima itu, dia hanya menegaskan dan mengingatkan kembali si Kolonel ini lupa atau tidak melihat aturan, sebenarnya tidak ada aturan itu. Karena secara aturan hukum memang itu tidak ada,” tegas Ponto.
Yang dilihat itu keterpengaruhannya. Mulai dari tes kita lihat, begitu lulus tes kita lihat. Begitu pendidikan kita lihat. Begitu naik pangkat/tingkat kita lihat. Begitu lulus, naik pangkat, mau sekolah kita lihat, diawasi terus.
Jadi, keterpengaruhan kalau di BAIS tidak hanya Eki (ekstrim kiri) saja. Tapi, juga Eka (ekstrimis kanan), dan Ela (ekstrimis lainnya).
“Itu diawasi terus-menerus, apalagi ada yang ingin memberontak. Itu ada alat pengawasan seperti itu sehingga untuk lolos kecil sekali kemungkinannya,” ungkap Laksamana Ponto.
Karena pengawasannya berlapis-lapis, sehingga kalau kita kaitkan dengan apa yang disampaikan panglima, saya kira itu hanya penegasan untuk menjawab si Kolonel ini. Dan saya yakin juga si Kolonel ini salah dan asal jawab saja dia. Kalau bintang empat tanya ke Kolonel ya si Kolonel ini panik juga.
Makanya ketika ditanya kenapa tidak lulus, ya jawaban yang paling cepat itu: “Anak PKI!” Dipikir mungkin panglima merespon, oh ya ya benar. Nanti ketika dilitsus bukan dilihat dia itu siapa, anak keturunan siapa.
“Tapi dilihat keterpengaruhannya Eka, Eki, atau Ela. Itu saja,” tegas Soleman Ponto. (*)