OPINI
Sensititivitas vs Literasi Beragama
Jika selama ini Ade Armando dengan terang-terangan melakukan penghinaan kepada agama dan pemeluk agama kenapa masih saja berkeliaran, bahkan mengaku dilindungi? Oleh: Imam Shamsi Ali, Putra Kajang di Paman Sam SEBUAH peristiwa menjadi viral dari acara demontrasi mahasiswa se-Indonesia di Jakarta kemarin. Pemukulan atau kekerasan terjadi kepada seorang aktivis media sosial, Ade Armando, yang didahului dengan cekcok mulut dengan beberapa pihak, termasuk dengan emak-emak yang hadir. Saya memakai kata “salah satu” karena peristiwa yang ‘terkecam’ ini sudah sering kita saksikan. Beberapa kali demonstrasi ada-ada saja yang menjadi korban, bahkan nyawa pun hilang begitu mudah dan murah. Hanya saja kali ini dibuat berbeda. Berita-berita media, termasuk media mainstream nampak tidak terlalu peduli dengan ‘substansi’ tuntutan mahasiswa. Hampir semuanya mengarah kepada kekerasan yang menimpa Ade Armando. Saya kemudian menjadi terheran-heran, bahkan kebingungan. Selama ini ketika terjadi kekerasan, baik kepada rakyat biasa, mahasiswa, bahkan kepada polisi itu sendiri, rasanya biasa-biasa saja. Tapi Ade Armando kok heboh sedunia? Siapa dan apa kelebihan, dan sebenarnya apa yang sedang diperankan Ade Armando? Sekali lagi saya tegaskan, jika saya menentang kekerasan apapun. Siapapun dan apapun yang dilakukan oleh seseorang, termasuk Ade Armando, harusnya direspon melalui kanal hukum dan aturan maupun etika akhlak yang ada. Dalam sebuah tatanan masyarakat yang memiliki pemerintahan sah, warga tidak diperbolehkan main hakim sendiri. Dan, karenanya saya menyerukan agar pelaku maupun ‘otak pelaku’ harus segera ditangkap untuk mempertanggung jawabkan perlakuannya. Namun, pada saat yang sama saya juga ingatkan hendaknya setiap peristiwa menjadikan kita mampu melakukan introspeksi dan perenungan. Sebenarnya kenapa sebuah peristiwa itu terjadi? Apa penyebab dan motivasinya? Di saat itulah harusnya kita bisa menemukan bahwa pada alam semesta ini ada hukum ‘sebab akibat’. Adanya reaksi karena disebabkan oleh aksi yang mendahului. Jika kita mengikuti sepak terjang Ade Armando dalam beberapa tahun terakhir pastinya memang banyak yang terhentak sensitifitasnya. Dari opini yang jelas menentang “dasar-dasar keyakinan dan praktek agama” hingga ke kata-kata merendahkan dan menghina pemeluk agama tertentu. Dan lebih mengherankan lagi agama itu adalah agama yang diakui sebagai agamanya sendiri. Dari Syariah itu tidak ada, saya Muslim tapi tidak percaya Syariah, azan itu panggilan biasa, Al-Quran itu bisa dibaca dengan cara Minang, Sunda, Jawa, dan lain-lain. Dari sholat lima waktu tidak diperintahkan dalam Al-Quran, hingga usulan menghapuskan Haji dan Umrah karena hanya memiskinkan Umat. Bahkan dengan kasar menuduh orang Islam dungu karena banyak mikirin selangkangan. Semua itu dan banyak lagi yang lain menjadi bagian dari “insensitifitas” Ade Armando dalam menyampaikan opini-opini yang diakuinya itu sebagai opini keagamaan. Sebenarnya tidak saja tidak sensitif kepada agama dan Umat ini. Tetapi, sekaligus menggambarkan “illiterasi” (kejahilan/kebodohan) Ade Armando dalam memahami agama. Sekaligus kejahilan dan kebodohannya dalam mengkomunikasikan ide-ide nyelenah binti tersesat dan menyesatkan itu. Padahal ditenggarai sebagai ahli komunikasi. Hal yang ingin saya tekankan kali ini adalah mengingatkan pentingnya semua pihak untuk menumbuh suburkan dua hal. Satu, Urgensi menumbuhkan “religious sensitivity”. Yaitu membangun rasa sensitif dan kepedulian rasa (sense) terhadap agama dan rasa beragama orang lain. Dua, lebih dari sekedar sensitif, seseorang yang berakal itu akan berusaha membangun religious literacy (literasi beragama). Yaitu berusaha memahami agama dan rasa beragama orang lain. Dalam bahasa Al-Qur’an inilah yang disebut dengan “lita’arafu” atau mengenal dan memahami (Surah 49:13). Hal penting lainnya yang diingatkan oleh peristiwa semacam ini adalah urgensi penegakan hukum secara serius dan merata. Jika selama ini Ade Armando dengan terang-terangan melakukan penghinaan kepada agama dan pemeluk agama kenapa masih saja berkeliaran, bahkan mengaku dilindungi? Itulah yang saya maksud dan sebut pernyataan baru-baru ini, bahwa ketika sense of justice hilang pastinya akan menimbulkan keresahan publik. Ketika rasa keadilan hilang, maka akan timbul keresahan (ketidak amanan) di tengah masyarakat. Pada akhirnya apa yang menimpa Ade Armando juga menunjukkan bahwa kita tidak selalu hidup dalam dunia maya. Ada masanya akan menjadi dunia nyata. Dunia nyata itulah yang dirasakan oleh Ade Armando setelah sekian lama terbuai oleh pelukan dunia mayanya. Tapi ingat, setelah dunia nyata saat ini akan ada dunia nyata yang pasti lagi. Dunia di mana segalanya akan hadir kembali dan dipertanggung tawabkan. Masalahnya yakinkah Ade Armando dengan itu? Allahu a’lam! NYC Subway, 12 April 2022. (*)
Demo Mahasiswa Akhirnya Lebih Viral Berita Ade Armando Digebukin
Dengan Tuntutan Demo kembali ke UUD 1945, maka rakyat akan berdaulat melalui elemen bangsa yang duduk di MPR. Kemudian merumuskan politik rakyat yang disebut GBHN. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila MENGIKUTI Demo mahasiswa 11 April baik secara live dan berbagai potongan jalannya demo yang sedang berlangsung dan berbagai isu yang tersaji begitu mengharu-biru. Bagaimana tidak, bukan ormas underbow partai politik yang bisa dipecah-pecah, BEM pun dipecah menjadi lima. Ada BEM SI ada dua BEM SI. Ada BEM Nusantara, juga ada dua BEM Nusantara. Dan ada Aliansi BEM. Sukses memecah-belah mahasiswa sehingga tuntutan demo pun tidak bisa didengar Masyarakat. Skenario untuk mengkambing-hitamkan Mahasiswa dengan kekerasan dengan lakon Ade Armando gagal menstikma demo mahasiswa anarkhis. Dari lemahnya BEM yang bisa dipecah-pecah menunjukan bahwa ada banyak kepentingan yang memfaatkan mahasiswa untuk memperlemah kebersamaan, dan rupanya tidak mengkristalnya isu tuntutan yang disuarakan dan seakan hambar, tidak membumi karena isu yang dibangun tidak pada akar masalah. Ambil contoh minyak goreng. Kalau hanya meminta harga diturunkan mudah bagi oligarki untuk menurunkan. Seharusnya tuntutan itu lebih pada akar masalah. Misal, tuntutan Kembali ke UUD 1945 dan Pancasila segera diadakan Sidang Istimewa MPR untuk kembali ke UUD 1945 asli dan demonya ke Gedung MPR, pasti akan ribut. Sebab, akan kembali pada Pasal 33 UUD 1945,maka tidak boleh ada swasta menguasai jutaan hektar tanah untuk sawit, harus kembali dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Soal Agraria juga begitu, seluruh konsensi tanah yang dikuasai swasta harus dikembalikan pada negara. Bahkan sejak Proklamasi diikrarkan, maka detik itu juga tidak ada lagi tanah milik penjajah, harus kembali pada NKRI. Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Mengapa sampai detik ini masih ada sertifikat egendowm, sertifikat Belanda? Seharunya sudah diserahkan pada NKRI dalam tempo sesingkatsingkatnya. Dengan Tuntutan Demo kembali ke UUD 1945, maka rakyat akan berdaulat melalui elemen bangsa yang duduk di MPR. Kemudian merumuskan politik rakyat yang disebut GBHN. Oleh sebab itu presiden menjadi mandataris MPR, tidak seperti sekarang ini memindahkan Ibu Kota Negara tidak minta persetujuan rakyat sebab rakyat tidak berdaulat. Kedaulatan di tangan partai politik, yang jadi sumber korupsi itu adalah partai politik dengan model pemilu berbiaya tinggi. Sekarang saja butuh Rp 86 triliun dan hanya menghasilkan para koruptor. Sebaiknya Mahasiswa melakukan konsolidasi, sehingga lagi menjadi satu yang kompak tuntutan jangan banyak-banyak. Segera geruduk gedung MPR minta Sidang Istimewa kembali pada UUD 1945 asli dan Pancasila. Selamat berjuang, masa depan ada di tanganmu. Hari ini kamu menentukan menjadi bangsa yang besar atau bangsa kuli di negeri sendiri. Pojok Stasiun Tugu, Jogjakarta. (*)
Pelihara Oligarki Pejabat Kaya Raya, Rakyat Kere
Oleh La Nyalla Mattalitti - Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Para pendiri bangsa telah menyusun redaksi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan sangat cermat. Sebab Pasal tersebut, dalam naskah asli UUD 1945, ditulis dalam Bab Kesejahteraan Sosial. Artinya sangat jelas, bahwa orientasi perekonomian bangsa ini mutlak dan wajib mensejahterakan rakyat. Apalagi salah satu cita cita nasional bangsa ini adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu tertulis dengan sangat jelas pada Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3), bahwa norma dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam didasarkan kepada kedaulatan negara. Karena sumber daya alam harus dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat. Konsepsi ini sama dan sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang sumber daya alam. Dalam Islam, komoditas kepemilikan publik atau Public Good ini meliputi air, ladang atau hutan milik negara, serta api, yaitu energi baik mineral, batubara, panas bumi, angin, maupun minyak dan gas. Semua itu harus dikuasai Negara. Bahkan dalam hadist Riwayat Ahmad, diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersialkan menjadi Commercial Good. Seperti tertulis dalam Hadit Riwayat Ahmad, yang artinya; “Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya.” Jadi, jelas bahwa air, hutan, dan api atau energi itu merupakan Infrastruktur penyangga kehidupan rakyat, yang tidak boleh di komersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi perorangan yang kemudian dikomersialkan menjadi bisnis pribadi. Contoh konkrit dalam perspektif di atas adalah bagaimana Sahabat Usman bin Affan berusaha membeli sumur air milik seorang Yahudi di Madinah saat itu, yang kemudian setelah dibeli, dia gratiskan airnya untuk seluruh penduduk Madinah. Sehingga sampai hari ini sumur itu dikenal dengan nama sumur Usman. Karena memang komoditas publik itu harus dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Pertanyaannya, bukankah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam mineral? Dimana di dalamnya terdapat emas, perak, timah, tembaga, nikel, bauksit, pasir besi dan lain-lain. Bukankah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam batubara? Bukankah belasan juta hektar hutan di Indonesia telah berubah menjadi perkebunan sawit? Tapi mengapa Lembaga Internasional OXFAM yang meneliti tentang ketimpangan sosial dan gap kekayaan menyatakan bahwa harta dari empat orang terkaya di Indonesia, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia. Dan OXFAM juga mencatat, sejak Amandemen Konstitusi tahun 2002 silam, jumlah milyoner di Indonesia telah meningkat 20 kali lipat. Tapi kenapa ratusan juta penduduk Indonesia tetap kere? Pasti ada yang salah dengan sistem atau metode yang dipilih oleh bangsa ini dalam mengelola kakayaan yang diberikan oleh Allah kepada bangsa ini. Indonesia itu punya dua pilihan dalam sistem ekonomi. Pertama, sistem ekonomi untuk memperkaya negara dan rakyatnya. Atau, kedua, sistem ekonomi untuk memperkaya oligarki pengusaha yang juga penguasa. Kedua opsi ini tinggal dipilih oleh bangsa Indonesia. Oligarki yang diperkaya memang akan bisa membiayai Pilpres dan menjadikan seseorang sebagai presiden. Tetapi setelah itu, semua kebijakan negara harus menguntungkan dan berpihak kepada mereka. Pilihan kedua itulah yang terjadi di Indonesia, terutama sejak Amandemen Konstitusi 2002 yang menghasilkan sistem Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung. Sehingga lahirlah bandar-bandar atau cukong pemberi biaya Pilpres dan Pilkada. Akibatnya, sumber daya alam negara ini kita berikan kepada mereka dengan skema hak Kelola Tambang dan hak Konsesi Lahan. Negara hanya mendapat uang Royalti dan Bea Pajak Ekspor ketika mereka menjual mineral dan hasil bumi kita ke luar negeri. Menurut catatan Saudara Salamudin Daeng, pemerhati masalah energi, disebutkan bahwa hasil produksi Batubara nasional mencapai 610 juta ton atau senilai 158,6 miliar dolar atau dalam rupiah menjadi 2.299 triliun rupiah. Jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa membayar seluruh utangnya hanya dalam tempo tujuh tahun lunas. Produksi Sawit sebanyak 47 juta ton atau senilai 950 triliun rupiah, maka jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa gratiskan biaya Pendidikan dan memberi gaji Guru Hononer yang layak. Mungkin masih ada sisa dana untuk gratiskan minyak goreng untuk masyarakat kurang mampu. Itu baru dari dua komoditi, Batubara dan Sawit. Bagaimana yang lain. Coba kita lihat datanya. Masih menurut catatan Salamudin Daeng, Indonesia merupakan produsen Tembaga ke-9 terbesar di dunia. Urutan pertama produsen Nikel terbesar di dunia. Urutan ke-13 produsen Bauksit di dunia. Urutan ke-2 produksi Timah di dunia. Urutan ke-6 produksi Emas di dunia. Urutan ke-16 produksi Perak di dunia. Urutan ke-11 produksi Gas Alam di dunia. Urutan ke-4 produsen Batubara di dunia. Urutan pertama dan terbesar di dunia untuk produksi CPO Sawit. Urutan ke-8 penghasil kertas di dunia. Urutan ke-22 penghasil minyak di dunia. Urutan ke-2 produsen kayu di dunia, dan lain sebagainya. Dan Indonesia masih memiliki cadangan besar yang meliputi Gas Alam, Batubara, Tembaga, Emas, Timah, Bauksit, Nikel, Timber, dan Minyak, serta kekayaan hayati dan biodiversitas yang besar. Tapi coba kita lihat berapa Dana yang masuk ke Negara dari Royalti dan Bea Ekspor dari Sektor Mineral dan Batubara. Dari tahun 2014 hingga 2020, berdasarkan data di Kementerian ESDM, Dana yang masuk dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor Minerba, setiap tahunnya tidak pernah mencapai 50 Triliun Rupiah. Kecuali di tahun 2021 kemarin, dimana harga Batubara dan sejumlah komoditi Mineral mengalami kenaikan drastis, sehingga tembus 75 Triliun Rupiah. Itu adalah angka yang disumbang dari sumber daya alam Mineral dan Batubara. Artinya sudah termasuk Emas, Perak, Nikel, Tembaga dan lain-lain. Padahal hasil produksi Batubara nasional saja mencapai 2.299 triliun rupiah. Jadi kembali kepada kita. Mau memilih sistem ekonomi yang memperkaya negara atau memperkaya oligarki. Tinggal kita putuskan. Tidak ada yang tidak bisa. Kedaulatan negara adalah mutlak dalam mengatur dan mengelola suatu negara yang merdeka. Karena kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi negara untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingannya, selama tidak melanggar kedaulatan negara lain. Dan karena itu, dalam hukum internasional kedaulatan memiliki tiga aspek, yaitu; yang pertama, kedaulatan yang bersifat eksternal, yaitu hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan dengan negara lain atau kelompok lain, tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain. Yang kedua, kedaulatan yang bersifat internal, yaitu hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga, cara kerja dan hak membuat aturan dalam menjalankan. Yang ketiga, kedaulatan teritorial, yang berarti kekuasaan penuh yang dimiliki negara atas individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah itu. Baik yang ada di darat, laut maupun udara. Jadi sekarang tergantung dari leadership kita. Apakah pemimpin kita mau ‘memelihara’ dan ‘dipelihara’ oleh Oligarki, sehingga tinggal duduk manis dapat saham dan setoran. Atau memikirkan saat dia dilantik dan membaca sumpah jabatan yang diucapkan dengan menyebut nama Allah. Jika memilih duduk manis dan terima setoran serta punya saham untuk anak cucu dan cicit, ya kita akan terus menerus berada dalam situasi seperti hari ini. APBN defisit. Kemudian ditutupi dengan Utang Luar Negeri. Lalu rakyat disuap dengan BLT-BLT untuk sekian puluh juta rakyat dan seterusnya. Meskipun tidak ada satu pihak pun yang bisa mengecek angka itu di lapangan. Oleh karena itu, kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi. Bahwa Sistem Ekonomi Pancasila, yang disusun sebagai usaha bersama untuk kemakmuran rakyat, yang sudah kita tinggalkan itu, mutlak dan wajib untuk kita kembalikan. Tanpa itu, negeri ini hanya akan dikuasai oleh Oligarki yang rakus menumpuk kekayaan, dan rakyat akan tetap kere. (*)
Presiden Yang Tahu Diri dan Yang Tidak Tahu Diri
Saat ini pun, kita tahu Durna-nya siapa. Dia yang menggosok-gosok agar ada perpanjangan atau amandemen terhadap UUD 1945 lagi agar periode bisa ditambahkan. Oleh: Dr. Tifauzia Tyassuma, Akademisi dan Pakar Epidemiologi SAYA Teringat Peristiwa turunnya Soeharto sebagai Presiden. Setelah Pak Harto menyelesaikan Periode ke-5-nya. Sebetulnya beliau sudah ingin lengser, sudah sepuh, dan sudah menyelesaikan PELITA-nya yang ke-5. Sudah berhasil membuat rakyat sehat, selamat, dan bahagia, secara relatif. Ada korupsi-korupsi juga, tentulah, tapi tidak vulgar. Semua rapi di bawah meja. Tidak membuat rakyat merasa bagaimana-bagaimana. Pada waktu itu juga beliau sudah mempersiapkan penggantinya, seseorang yang sudah lama diperhatikan, dibimbing, dimentoring: BJ Habibie. Tetapi ada orang terdekatnya, orang yang paling dipercayainya, seorang Durna, yang membisiki, bahwa: “Rakyat masih menghendaki Bapak jadi Presiden”. Jadilah. Pak Harto naik lagi masuk periode ke-6. Dan gagal menyelesaikan tugasnya sebagai Presiden dengan gemilang. Turun karena ia dilengserkan dengan menyedihkan. Dan menjadi catatan sejarah yang tidak akan hilang. Seperti Pendahulunya. Presiden Soekarno. Yang turun secara menyedihkan gara-gara mengamandemen UUD 1945, yang menjadikannya Presiden Seumur Hidup. Durnanya yang membisiki dia bahwa Rakyat yang menghendaki. Hanya Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden yang menyelesaikan Periode kepresidenannya dengan mulus. Dua kali menjabat, 10 tahun persis. Dan selesai masa jabatan pada masa kegemilangan. Seandainya pada waktu itu beliau ingin mengubah amandemen pun sesungguhnya bisa, karena semua kekuatan ada di bawah kendalinya. Tetapi tidak dilakukan Pak SBY. Dari lubuk hati kecil saya yang paling dalam, sesungguhnya pada 2019 kemarin, saya ingin sekali beliau maju lagi, mencalonkan diri lagi jadi Presiden. Karena Amandemen UUD 1945 mengizinkan untuk itu. Selesai masa jabatan. Diganti orang lain. Lalu maju lagi. Sangat boleh. Ternyata beliau tidak berkehendak. Ibu Ani Yudhoyono sakit kanker, yang mungkin membuat beliau tak punya semangat lagi, walau sebetulnya masih memungkinkan. Pada 2024, sesungguhnya di lubuk hati saya yang paling dalam lagi, saya ingin Pak SBY maju lagi jadi Presiden. Usia beliau pada 2024 insya’ Allah 75 tahun. Masih lebih tua Joe Biden yang jadi Presiden di usia 78 tahun. Saya akan lebih dari bersedia mendukung beliau. Tetapi saat ini beliau sakit Kanker. Saya tidak sampai hati. Kesehatan beliau paling utama. Penyakit kanker memberi kesempatan kepada siapapun untuk mempersiapkan husnul khatimah. Itu lebih baik dari pak SBY. Jadi sebetulnya, orang yang paling jahat, adalah Durna-Durna di sekitar Penguasa Tertinggi. Saat ini pun, kita tahu Durna-nya siapa. Dia yang menggosok-gosok agar ada perpanjangan atau amandemen terhadap UUD 1945 lagi agar periode bisa ditambahkan. Dia, Durna itu yang paling berkepentingan, kepentingan pribadinya. Masih belum puas mengisi perutnya sampai ke leher dengan harta bertumpuk-tumpuk. Mungkin sampai meledak perutnya baru dia puas. Kini, dia menghilang, sementara. Kambing hitam-kambing hitam dikeluarkan agar dia bisa tiarap menghindari sambitan mahasiswa, dan pelorotan celana oleh rakyat. Biarlah yang mengalami dipelorotin celananya si tumbal, bukan dia. Saat ini, sejenak saya tidak peduli kepadanya. Saya ingin bicara dengan Presiden Jokowi. Enough is enough, Pak! Menjabat dua kali saja babak belur begini. Apa yang mau diraih lagi sih? Anak mantunya sudah pada jadi Pejabat. Anak-anak semua dapat jatah Komisaris ini itu, dan suntikan modal puluhan miliar. Pensiun Presiden juga tidak tanggung-tanggung, Rp 250 miliar ditambah lagi rumah di Menteng, Patrajasa, atau Kebayoran silakan pilih, harga kisaran Rp 200-250 miliar juga. Tinggal dua tahun ini. Bekerjalah semampunya walau tidak mampu juga sih. Tetapi, jangan bikin aneh-aneh, bikin rakyat tambah jengkel. Jangan banyak cakap, bikin rakyat tambah geram. Dan jangan terlalu banyak cengengesan. Bikin rakyat yang pilu karena minyak goreng, BBM, dan sembako yang harganya naik gila-gilaan, akan semakin naik pitam. Diam-diam saja, main-main sama cucu di Istana Bogor sambil bikin konten, sepedaan kek, mainan rusa kek, atau mainan kodok di kolam. Pokoknya jangan bikin rakyat puasanya batal saja. (*)
Tragedi Ade Armando, dan Kerja Buzzer Setengah-setengah
Oleh Ady Amar - Kolumnis ENTAH malam sebelum peristiwa itu terjadi, Ade Armando sebenarnya mimpi apa. Kemarin, Senin (11 April) sore hari. Sekitar pukul 16.00. Peristiwa itu terjadi. Peristiwa dahsyat yang dialami dosen Ilmu Komunikasi, Fisip UI, dan pegiat media sosial. Dalam hitungan menit, peristiwa menghajar Ade Armando (selanjutnya disebut AA) menyebar ke pelosok bumi. Tidak saja scope Indonesia. Dunia saat ini terasa kecil, dan bisa ditempuh dalam hitungan menit bahkan detik, pesan yang disebar menyeruak kebelahan dunia. Maka, berita tidak selayaknya saat Aksi Demonstrasi Mahasiswa, yang diawaki BEM SI, itu menyita perhatian publik. Tidak saja para mahasiswa yang hadir di sana, tapi juga mereka yang simpati pada isu tuntutan mahasiswa. Maka, semua unsur dalam masyarakat hadir di sana. Tidak ketinggalan Emak-emak militan, yang pusing mengatur uang belanja, karena hampir semua kebutuhan primer naik mencekik. Maka, gerakan mahasiswa dengan isu yang digulirkan itu mendapat kesesuaian dengan apa yang dirasakan publik luas. Demonstrasi di mana pun yang melibatkan banyak orang, ribuan bahkan puluhan ribu, pastilah ada kelompok yang punya agenda lain dengan mencoba bermain di air keruh. Biasa disebut juga dengan penumpang gelap. Punya misi mengacaukan gerakan dari tujuan yang digagas semula. Agar dari gerakan simpati menjadi antipati. Orang menyebut ini kerja \"intelijen\". (Sengaja diberi tanda kutip pada kata intelijen, agar tidak bias makna seolah itu digerakkan lembaga intelijen resmi/BIN). Kerja \"intelijen\" dengan misi khusus itu mestinya tugas Kepolisian untuk membongkarnya, jika benar ingin mencari tahu aktor penggerak penganiayaan pada AA. Pada awal kejadian AA diperlakukan dengan brutal dan keluar dari norma kepatutan, itu bisa jadi mayoritas khususnya massa yang pernah tersakiti khususnya umat Islam, senang dengan perlakuan atasnya. Narasi yang muncul, misal rasain lho, sesuai dengan apa yang diperbuatnya, dibayar kontan sesuai dengan sumpahnya, Alhamdulillah... dan seterusnya. Sepertinya, semua merasa puas atas upaya penghakiman itu. Foto-foto dan bahkan video sadistis perlakuan terhadap AA menyebar ke ruang publik. Bahkan fotonya tertelungkup di aspal tanpa baju dan hanya menyisakan celana dalam warna hitam, itu tersebar luas. Wajah AA yang babak belur dengan wajah dan kepala mengucur darah, jalan tertatih-tatih dengan pengawalan polisi itu menyebar dengan angle pengambilan sudut gambar berbeda menyebar lewat WhatsApp khususnya. Semua merasa terpuaskan, lalu berlomba-lomba mengabarkan pada yang lain. Ada kepuasan massa atas tragedi itu. AA memang menyimpan bara kemarahan umat yang belum terselesaikan--yang muncul pada saat ia sebenarnya, sebagaimana pengakuannya--memonitor gerakan mahasiswa. Menurutnya, ia sepakat dengan tuntutan mahasiswa, utamanya menolak Jokowi 3 Periode atau penundaan pemilu. AA konsen pada demokratisasi, yang tidak boleh dicederai. Tapi AA lupa, bahwa di lapangan ia lebih dikenal sebagai buzzer penista agama, yang kebal hukum. Banyak kasus hukumnya yang dilaporkan, bahkan sejak 2017 ia tersangka pada satu kasus, dan sampai sekarang kasusnya mandek di Kepolisian. Sebagai buzzer ia punya semacam privilage untuk tidak disentuh. Sikap jumawa merasa kuat. Maka ia aktif memproduksi ujaran kebencian yang nyerempet penghinaan atas agama (Islam). AA lupa dan merasa kuat juga di alam nyata, bukan alam maya (medsos). AA tidak memahami psikologi massa, yang melihatnya sebagai penista agama. Munculnya ia di hadapan para demonstran heterogen, yang dengan kepentingannya masing-masing, memunculkan kejadian mengerikan bahkan sadistis itu. Lalu, yang jadi sasaran melakukan perbuatan menghakimi sendiri itu umat Islam. Gaung bahwa pelakunya itu kelompok intoleran, radikal, dan bahkan kadrun (julukan para buzzerRp pada kelompok yang aktif mengkritisi rezim). Tampak Denny Siregar, Abu Janda dan lainnya mengambil kesempatan menyudutkan kelompok Islam, yang disebutnya intoleran ada di belakang perlakuan menghajar AA dengan sadistis itu. Denny Siregar dan Abu Janda muncul dengan \"menantang-nantang\" massa yang disebutnya kaum intoleran/kadrun, yang cuma beraninya menghajar AA dengan cara beramai-ramai. BuzzerRp semacamnya itu memang cuma dibekali narasi menghantam pihak yang mengkritisi rezim, entah itu tokoh, pemimpin partai politik, pengamat politik, ulama. Pokoknya siapa saja yang mengkritisi rezim, muncul pembelaan mereka dengan narasi gonggongan tidak berkelas. AA tentu beda dengan buzzerRp yang tanpa nalar itu. AA masih punya daya kritis pada hal-hal tertentu, khususnya yang berkaitan dengan demokratisasi dan hak asasi manusia. AA masih bisa bersikap lempeng soal-soal itu. AA tidak bisa \"dijinakkan\" sejinak-jinaknya. AA menjadi tampak serba tanggung, yang bisa dihantam kiri-kanan pada waktunya. Dan, kejadian kemarin itu, pastilah bisa ditarik sebagai sebuah analisa, siapa sebenarnya yang bermain di situ. Bermain menggebuki AA sampai babak belur. Tentu paling mudah adalah menyudutkan kelompok yang dinarasikan buzzerRp sebagai kaum intoleran/radikal/kadrun. Padahal analisa lain bisa diambil, misal bahwa AA sudah dianggap melenceng dari khittah buzzer, yang harus terus menggonggong sambil membuang nalar ke tong sampah. Maka, menyudahi \"kontrak kerja\" dengan AA sudah waktunya diputus. Dan itu dengan dihajar babak belur sebagai sinyal pada yang lain agar tidak bermain-main dengan kerjanya. Semua analisa bisa dibuat atas peristiwa yang menimpa AA. Berharap AA tersadar dan mengambil ibrah dari kejadian yang menimpanya, bahwa jangan bermain-main dengan sesuatu yang beraroma keyakinan/keimanan. Apalagi dipakai bahan candaan. Bagus jika ia jadikan itu peringatan dari Tuhan untuk introspeksi diri. Dan satu lagi, sebaiknya bekerjalah pada tempat yang sesuai dengan nalar yang masih bisa dipakai dengan sempurna. Jangan setengah-setengah. Itu bisa mengakibatkan peristiwa tidak mengenakkan, sebagainana yang dialaminya... Wallahu a\'lam (*)
Ade Armando, Korban Kesewenangannya Sendiri
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik SEPINTAS lalu, Ade Armando terkesan menjadi korban kesewenangan massa. Dari kaca mata kesewenangan penguasa dan kesewenangan dosen UI itu, kesimpulan ini ada benarnya. Bahwa orang-orang yang mengeroyok dia sampai babak belur di tengah demo mahasiswa 11 April di komplek DPR, telah berlaku sewenang-wenang. Sekali lagi, ini seratus persen benar. Dan ini tidak boleh terjadi. Sangat setuju. Tapi, beginilah cara pandang yang sewenang-wenang di pihak yang terbiasa sewenang-wenang. Cara pandang ini disebut sewenang-wenang karena mengabaikan kronologi panjang yang melibatkan kesewenang-wenangan mulut Ade Armando. Ade bisa sewenang-wenang melakukan berkali-kali peninstaan agama dengan proses hukum yang sewenang-wenang. Padahal, untuk salah satu atau beberapa kasus, dia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, tidak berlanjut karena pihak yang berwenang bertindak sewenang-wenang. Jadi, peristiwa kemarin itu adalah kesewenangan massa yang menjadi episode penutup dari serial kesewenangan Ade Armando sendiri. Pusing! Tidak juga. Sederhana sekali masalahnya. Pertama, tidak ada alasan apa pun yang membenarkan perlakuan buruk terhadap Pak Dosen. Tapi, yang kedua, aduan tentang provokasi yang dia lakukan selama ini selalu bisa dibelokkan oleh semua lembaga penegak hukum di semua tingkatan. Ketiga, Ade selalu bisa lepas melenggang dengan jumawa sambil busung dada. Lagi-lagi kita kembali ke isu ketidakadilan. Yang telah menumpuk tinggi, bergunung-guung, di masa Presiden Jokowi ini. Sampai akhirnya rakyat megap di bawah tumpukan ketidakadilan itu. Kemarin, massa rakyat menemukan celah kecil untuk menghirup udara keadilan. Mereka pun berlomba-lomba menggapainya. Udara keadilan menjadi langka dan mahal bagi orang-orang yang berseberangan dengan penguasa negeri. Bisa dipahami kalau mereka berdesak-desakan ketika melihat ada udara keadilan yang bocor halus di Senayan. Sekadar melepas rindu mereka untuk mencium aroma keadilan itu. Para penguasa seharusnya bisa mengambil pelajaran dari ketidakadilan yang mereka jadikan kebijakan setengah resmi. Pelajarannya adalah bahwa peristiwa yang menimpa Ade Armando itu adalah “proses peradilan” atas ketidakadilan itu. Bahwa kemarin publik melakukan sidang kilat terhadap ketidakadilan yang selama ini merajalela di Indonesia. Kita tidak perlu bicarakan aspek-aspek sekunder dari pengeroyokan Ade. Misalnya, ada yang berteori bahwa peristiwa kemarin itu adalah desain untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu besar yang sedang dipersoalkan oleh massa pendemo. Bisa jadi benar. Tapi saya yakin tidak benar. Kalau pun benar, itu bukan kepingan penting dari kekacauan pengelolaan negara Ketidakadilan adalah sumber kekacauan yang melanda bangsa dan negara. Ade Armando ada di pusaran itu. Kesewenangan yang dia nikmati mungkin tidak sebesar yang ditumpuk oleh para bandit politik dan bandit bisnis yang menguasai Indonesia. Tetapi, celakanya, kilauan kesewenangan Ade Armando itu sangat mencarang, membuat banyak orang marah bercampur iri. Pantas ditambahkan di sini ucapan Ade dari tempat tidur perawatannya di rumah sakit bahwa dia tidak takut. Bahwa dia akan makin gila lagi setelah ini. Yang bisa diartikan dia akan semakin sewenang-wenang lagi.[] MEDAN, 12 April 2022
Ketika “Street Justice” Menimpa Ade Armando
Kalau hanya sekedar “memantau” demontrasi mahasiswa, mengapa dia justru menampakkan diri di depan umum, bahkan secara atraktif terkesan gembira saat diwawancarai wartawan? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN ENTAH siapa yang menugaskan dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando untuk memantau unjuk rasa mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/4/2022). Kehadiran Ade berbarengan dengan para mahasiswa dari BEM SI yang ingin demonstrasi menolak presiden tiga periode. Ade juga sepakat dengan salah satu tuntutan BEM SI yakni menolak perpanjangan masa jabatan Presiden. “Kalau gugatannya agar tidak diperpanjang, agar dihentikan wacana tiga periode, saya juga setuju,” kata Ade yang dikenal di media sosial sebagai pendukung Presiden Joko Widodo ini di lokasi, Senin (11/4/2022). Ade mengaku tak ikut demonstrasi. Hanya sekadar memantau. “Saya tidak ikut demo, cuma sepakat saja,” ungkap Ade yang mengenakan kaos hitam bertuliskan “Pergerakan Indonesia untuk Semua” ini. Namun, kehadiran Ade ini justru “memicu” kemarahan Emak-emak yang juga ikut unjuk rasa mahasiswa. Dalam video yang beredar, Ade langsung diumpat dengan ucapan buzzer, munafik, pengkhianat, dan sadar kamu, sehingga ia tampak marah. Rupanya, kemarahan Ade karena diumpat emak-emak itu telah memancing massa yang ada di sekitarnya. Bogem mentah pun melayang di tubuh Ade. Melihat ada yang mukulin Ade, massa yang lain ikut memukulinya. Wajah Ade tampak babak belur. Ade kemudian ditolong dan dipapah 2 polisi dalam keadaan tanpa celana (panjang). Salah satu petugas yang memapahnya adalah Wakapolres Metro Jakarta Pusat AKBP Setyo. Rupanya ketika dipukuli oleh massa itu, celana Ade diplorotin hingga hanya tampak celana dalamnya saja. Tak hanya itu. Hidung Ade juga mengeluarkan darah dan matanya bonyok. Menurut penilaian Managing Director Political Economy & Policy Studies Anthony, pengeroyokan yang dialami Ade Armando saat aksi unjuk rasa BEM SI di depan Gedung DPR itu merupakan dampak dari sistem hukum yang tak adil di Indonesia. Sehingga, ketidakadilan itu memicu pengadilan jalanan. “Ade Armando korban sistem hukum yang tidak adil, dari pemeriksaan hingga pengadilan. Sebagian masyarakat tidak tersentuh hukum, yang lainnya dicari-cari untuk dihukum: memicu pengadilan jalanan. Semoga jadi pelajaran, tegakkan hukum sesuai hukum berlaku,” tulis Anthony melalui akun Twitternya, @AnthonyBudiawan, Senin (11/4/2022). Perlu dicatat, Ade telah berkali-kali dilaporkan ke polisi karena kasus penistaan agama dan ujaran kebencian. Bahkan pada 2017 Ade telah ditetapkan sebagai tersangka karena mengatakan \'Allah bukan orang Arab\', tetapi hingga kini ia tetap tak tersentuh hukum. Di sisi lain, hanya karena menyelenggarakan resepsi pernikahan anaknya, Habib Rizieq Shihab (HRS) dan panitia pernikahan tersebut, dipenjarakan. Bahkan Ustadz Maaher At-Thuwailibi yang dilaporkan karena menghina Habib Luthfi, meninggal dunia di Rutan Bareskrim Polri pada Februari 2021. HRS kemudian divonis 4 tahun karena menyatakan dirinya baik-baik saja sebelum hasil swab test yang dilakukan oleh Mer-C saat HRS dirawat di RS Ummi Kota Bogor pada November 2020, belum keluar. Selain itu, seperti halnya Denny Siregar dan Permadi Arya (Abu Janda), Ade Armando memang kerap membuat kubu oposisi, khususnya umat Islam, marah dengan pernyataan-pernyataannya di media sosial. Seperti Ade, meski sering dilaporkan, Denny dan Abu Janda, nyaris tak tersentuh hukum. Memang sangat tidak aman bagi Ade berada di tempat terbuka, apalagi berada di tengah massa yang berseberangan dengan pemerintah yang dibela dan didukungnya itu. Jika aparat penegak hukum tetap tidak berlaku adil di tengah masyarakat, bukan tidak mungkin Denny dan Abu Janda suatu saat juga akan mengalami nasib serupa dengan Ade Armando: Street Justice alias “Pengadilan Jalanan”. Apalagi, dari pengakuan Denny Siregar di FB-nya, ternyata dia berhasil “menyusup” di tengah-tengah peserta unjuk rasa mahasiswa BEM SI pada Senin (11/4/2022). Dengan bangganya Denny memamerkan foto sebelum dan sesudah aksi. Pengeroyokan terhadap Ade Armando itu terjadi setelah massa mahasiswa membubarkan diri di depan Gedung DPR. Beberapa saat setelah peristiwa tersebut, tersebar foto empat orang yang diduga sebagai pelakunya berikut identitasnya. Tapi, tidak sampai sejam, soal dugaan keterlibatan satu diantaranya, Try Setia Budi Purwanto, Jl. Inpres RT 002/RW 001, Kelurahan Lembasung, Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Waykanan, Lampung, telah dibantah Michael Azriel Ibrahim selaku Kepala Kampung Lembasung. Bahwa, tentang keterlibatannya adalah tidak benar. “Karena beliau sampai saat ini masih berada di kampung Lembasung bersama keluarganya. Semoga dapat menjadi perhatian kita semua soal berita-berita yang sudah viral yang tidak benar beritanya,” tegasnya melalui akun FB-nya. Terlepas dari apakah mereka benar-benar terlibat, semua ini sepertinya sudah direncanakan, sehingga menjadi bola liar untuk diarahkan bahwa unjuk rasa mahasiswa 11 April 2022 tersebut tercoreng. Karena telah disusupi kelompok radikal dan intoleran. Entah siapa yang “bermain”. Apakah Ade Armando memang sengaja dipasang dan dihadirkan di tengah-tengah massa karena wajahnya mudah dikenalinya. Artinya, bisa saja Ade berperan sebagai “provokator” untuk memancing massa sehingga marah atas kehadirannya? Sementara jauh sebelumnya sudah “dipersiapkan” beberapa orang yang akan bertindak sebagai “eksekutor” Ade Armando hanya untuk memancing supaya massa lainnya ikut memukulinya? Target: “tidak boleh” ada lagi demonstrasi di wilayah DKI Jakarta karena dikhawatirkan anarkis. Kalau hanya sekedar “memantau” demontrasi mahasiswa, mengapa dia justru menampakkan diri di depan umum, bahkan secara atraktif terkesan gembira saat diwawancarai wartawan? Mengapa Ade Armando tidak meniru Denny Siregar yang dengan bangganya berhasil “menyusup” di tengah-tengah massa? Lebih menarik lagi, ketika dijenguk Wakil Ketua Umum PSI), Grace Natalie, di rumah sakit, Ade Armando bukannya jera. Ini terlihat dari akun Grace yang dibagikan melalui unggahan akun Instagram pribadinya, @gracenet. Melalui caption di unggahan tersebut, Grace menyebutkan terindikasi pelaku bukan kalangan mahasiswa. Menurutnya, pengroyokan terhadap Ade terjadi setelah aksi membubarkan diri. “Kebanyakan mahasiswa mulai berangsur pulang. Kalau melihat video dan bahasa yang mereka pakai, para pelaku adalah kelompok penyusup, orang-orang cacat logika yang sering dikritisi Bang Ade selama ini,” katanya dalam unggahan tersebut, Senin (11/4/2022). Seperti dilansir Okezone, Grace Natali menyebutkan, dengan tragedi ini tidak membuat rekannya itu takut. Tapi sebaliknya, dengan apa yang ia alami akan membuatnya semakin berani. “Tadi dia bilang dengan suara tidak gentar sedikitpun: jangan kalian pikir saya akan takut dan diam. Saya justru akan semakin gila setelah ini,” tulis Grace menirukan apa yang diucapkan Ade. Benarkah Ade Armando bakal “semakin gila” seperti kata Grace Natali ketika menjenguk tokoh yang dinilai “kebal hukum” ini? (*)
Menelanjangi Ade Armando
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DUA berita penting aksi mahasiswa BEM SI di depan Gedung DPR 11 April 2022 sore adalah kericuhan aksi dan pemukulan pegiat medsos Dosen UI Ade Armando. Ade babak belur dan ditelanjangi dengan menyisakan celana dalam. Itupun melorot. Berita Ade Armando lebih menawan dan menyita perhatian. Ade yang dikenal sebagai buzzer dan pembela Jokowi membuat kejutan dengan tiba-tiba hadir untuk mendukung tuntutan mahasiswa. Entah siapa pemukul pertama yang membuat Ade seberantakan itu, spontanitas atau disain ? Apalagi ada teriakan buzzer, munafik, dan tudingan lain kepadanya. Muncul dirinya di arena tentu menjadi pertanyaan. Mendukung tuntutan mahasiswa berarti melawan kemauan Istana. Di balik misteri, ada secercah keceriaan dari kalangan umat Islam yang merasa sering disakiti oleh Ade Armando. Rasain, lu. Sungguh luar biasa penganiayaan sekejap yang membuat sang Dosen ini nyaris telanjang. Minta ampun dan menangis dia. Rupanya takut mati juga, apalagi dikeroyok. Aksi 11 April ini menegangkan. Diawali oleh orasi di mobil komando Kapolri Listyo Sigit dan Pimpinan DPR. Sebelumnya ditandai adanya pertemuan Panglima TNI dengan Ketua DPD. Kelompok misterius baik \"komunitas hitam\", anak-anak \"sekolah\" maupun \"pemulung\" sudah tersebar di berbagai tempat. Video Ade Armando yang tergeletak nyaris telanjang cukup untuk mengingatkan pada kaum sodomi Pompeii korban letusan gunung Vesuvius. Ade sendiri menganggap LGBT tidak menjadi perbuatan terlarang dalam agama. Qur\'an tidak melarang, katanya. Hampir saja massa mengaraknya jika tidak dicegah dan dilindungi aparat kepolisian. Ade Armando sang jagoan yang selalu tampil angkuh itu kini berwajah payah, memelas, dan terengah-engah. Mahasiswa telah menciptakan neraka baginya. Orang mulai menelanjangi rekam jejak Ade yang menghina habis HRS soal chat mesum hingga sempat \"bermubahalah\" untuk ini. Mengedit HRS dan barisan ulama berpakaian Santai Claus. Qur\'an bisa dibaca dengan langgam atau gaya minang, blues, dan hip hop. Menyatakan haji tidak wajib dan umroh pemborosan. Shalat lima waktu tak ada dalam Qur\'an, Hadits tidak persis sama yang dijalankan Nabi. Biasa menyakiti umat Islam, kini Ade Armando merasakan sakit dan dibuat bonyok oleh entah siapapun yang melakukan itu. Ade terpaksa harus mempertontonkan fakta untuk minta ampun dengan termewek-mewek. Foto nyaris bugilnya viral, memilukan, dan memalukan. Catatan manis seumur hidup dari seorang penghina agama yang merasa kebal hukum dan dimanja kekuasaan. Allah telah menelanjangi Ade Armando dan kini ia menderita lahir batin. Netizen bertanya tajam kapan hal ini terjadi pada dua tokoh kebal hukum lainnya yaitu Denny Siregar dan Abu Janda ? Keduanya juga dikenal sebagai musuh umat yang selalu tercatat dan terekam dalam memori kemarin, hari ini dan esok. -Jika Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman \"Sesungguhnya Aku membenci si fulan, maka bencilah dia\" Jibril pun membencinya. Rosullah bersabda \"Lalu Jibril menyeru penduduk langit \'sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia\'. Penduduk langit membenci si fulan, kemudian dia pun dibenci oleh penduduk bumi--(HR Bukhari dan Muslim). Bandung, 12 April 2022
Menyikapi Demo 1104
Oleh karena itu, unjuk rasa mahasiswa sebaiknya tetap dihormati sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan kepedulian pemuda terhadap problem pokok bangsa. Perlawanan mereka adalah jihad konstitusi. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD MPR RI ADA yang berubah dari substansi narasi Presiden Joko Widodo. Sebulan lalu, Presiden bilang siapapun boleh-boleh saja memunculkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Tapi, sebulan kemudian, Jokowi menegaskan penyelenggaraan pemilu tetap dilaksanakan sesuai agenda agar tidak ada lagi isu dan spekulasi soal penundaan pemilu atau presiden tiga periode. Penegasan itu disampaikan dalam Rapat Terbatas di Istana Negara, sehari sebelum demo besar BEM SI. Mengapa Jokowi berubah? Kalau melihat momentumnya, boleh jadi karena eskalasi gerakan mahasiswa. Sebelum demo besar 11 April 2022, berbagai demonstrasi pendahuluan telah marak terjadi di daerah. Di Jambi, kunjungan kerja presiden yang disambut demo mahasiswa bahkan membuat orang nomor satu di tanah air itu dikabarkan mengambil langkah seribu. Perubahan sikap Jokowi terkait penundaan Pemilu tidak merubah rencana mahasiswa. Lagi pula, demo kali ini tidak cuma terkait penundaan pemilu semata. Banyak aspirasi lain yang harus disampaikan, sehingga unjuk rasa pada 11 April 2022 tetap dilakukan. Alhasil, jalan-jalan kembali menjadi podium, mobil komando kembali menjadi panggung penyampai aspirasi. Lautan manusia membanjiri depan Gedung Parlemen. Jakarta dan sejumlah kota besar lain gegap gempita, tetapi media sepi meliput. Minimnya pemberitaan media tak membuat bara api semangat mahasiswa meredup. Media sosial menjadi sarana alternatif penyampai informasi. Sayangnya, aksi demo diwarnai insiden pengeroyokan terhadap Dosen UI Ade Armando. Peristiwa tersebut jelas melawan hukum. Namun, sebagai bahan renungan, tidak juga keliru bila melihatnya sebagai warning kian menajamnya polarisasi. Ketidakadilan jangan-jangan telah membuat luka hati masyarakat mengendap seperti magma di perut bumi. Ketika endapannya semakin besar, magma terdorong kuat dan akhirnya menyembur melalui gunung api begitu menemukan momentum. Kita menyerahkan penyelesaian pengeroyokan Ade Armando kepada aparat kepolisian. Sang pengeroyok tentu harus diusut tuntas. Di saat bersamaan pula, status tersangka Ade Armando sejak 2017 melalui putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus pula diselesaikan hingga berkekuatan hukum tetap, agar rakyat merasakan keadilan. Di luar persoalan itu, demonstrasi mahasiswa adalah refleksi dari proses demokrasi sekaligus ekspresi kebebasan berpendapat atau menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang dipandang. Terlebih lagi, undang-undang menjamin kebebasan berpendapat di muka umum dan demokrasi memang menginginkan partisipasi masyarakat mengawal jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, unjuk rasa mahasiswa sebaiknya tetap dihormati sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan kepedulian pemuda terhadap problem pokok bangsa. Perlawanan mereka adalah jihad konstitusi. Mahasiswa menolak penundaan pemilu, sebab penundaan Pemilu adalah itikad buruk yang mengangkangi konstitusi. Mahasiswa meminta stabilitas harga pangan, sebab kebutuhan pokok yang terjangkau merupakan hak rakyat sekaligus kewajiban negara. Mahasiswa juga meminta evaluasi UU IKN, sebab UU IKN dipandang banyak menimbulkan masalah, di samping sangat minim partisipasi publik, dan memang belum layak di tengah berbagai problem ekonomi bangsa. Pun dengan tuntutan lainnya: usut tuntas mafia minyak goreng, selesaikan konflik agraria, dan realisasi janji kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin adalah hal lumrah yang layak ditagih. Maka, negeri ini harus bangga masih memiliki kaum intelektual muda yang senafas dengan rakyat, yang merasakan dan memperjuangkan persoalan mereka. Itulah sejatinya jati diri mahasiswa, yang tidak akan diam melihat pembungkaman, ketidakadilan, atau penghilangan hak-hak rakyat. Gerakan mahasiswa adalah reaksi atas aksi-aksi kegagalan pemerintah dalam melakukan tugasnya. Kegagalan tersebut memuncak pada rapuhnya ekonomi bangsa yang, sayangnya, diiringi belitan hutang negara yang menembus angka Rp 7.000 triliun. Sayangnya, berbagai kebijakan yang ditempuh itu justru semakin membuat bangsa terpuruk lebih dalam. Apa urgensinya IKN di tengah problem ekonomi kita? Mengapa harus ada pembelahan di sana-sini? BEM SI diadu dengan BEM Nusantara yang terkesan sebagai bentukan pemerintah. APDESI diadu dengan APDESI “baru” yang palsu karena tidak terdaftar di Kemenkumhan. Semakin bangsa ini terbelah, semakin lemah NKRI, walau semakin keras dielukan sebagai harga mati. Kini, pascademo, apa yang harus dilakukan? Tidak lain dan tidak bukan, pemerintah harus introspeksi diri, segera melakukan perubahan kebijakan yang signifikan, dan memenuhi tuntutan mahasiswa. Bila tidak, maka tidak menutup kemungkinan aksi-aksi mahasiswa berikutnya terus terjadi dan justru berpotensi memicu gerakan-gerakan dari elemen masyarakat lainnya. Sejarah menuliskan, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia. Soeharto yang berkuasa 32 tahun saja harus tumbang. Kita tidak ingin itu terjadi pada Pemerintahan Joko Widodo. Maka, Presiden Jokowi harus pula belajar dari sejarah itu. (*)
Peringatan Terakhir Makar Terhadap Konstitusi
Arus Gerakan mahasiswa yang hari ini menjadi harapan, bisa jadi benih terhadap repetisi sejarah pembaruan di negeri ini jika telinga dan mata kekuasaan tidak mau mendengar dan menyaksikan betapa sulitnya kehidupan rakyat di bawah. Betapa kemarahan rakyat telah menggumpal. Terakumulasi oleh kebijakan yang tak berpihak. Oleh Tamsil Linrung - Ketua Kelompok DPD di MPR RI ESKALASI demonstrasi menyergap dari berbagai penjuru negeri. Gairah pergerakan kembali bersemi. Gelombang protes mahasiswa menggema. Tampak ada orkestrasi yang terkonsolidasi. Dipicu oleh kegelisahan nurani. Lalu menjadi komando perlawanan dengan fokus isu dan tuntutan yang menjadi problem mendasar dan aktual bangsa ini. Menyelamatkan demokrasi. Kebanggaan sebagai salah satu bangsa paling demokratis memang perlahan sirna. Indeks Kebebasan Sipil sebagai salah satu indikator penting negara demokratis yang dilansir oleh Bank Dunia, tercatat merosot secara tajam. Bahkan, kini berada di bawah rata-rata dunia. Skor Civil Liberties Indonesia melorot dari angka 0,66 tahun 2015 menjadi 0,59 pada tahun 2020. Lima komponen penting dari kebebasan sipil ini adalah kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan beragama, kebebasan aktivisme, dan jaminan keamanan pribadi, yang masing-masing mencerminkan konsep inti dalam literatur hak asasi manusia. Pada tahun 2020, secara umum indeks demokrasi Indonesia bahkan mencatatkan angka terendah sejak Indeks Demokrasi diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU). Problem demokrasi tidak sebatas isu-isu politik dan kebijakan publik. Tapi juga mencakup demokrasi ekonomi yang merupakan dampak turunan dari acakadut perpolitikan di negeri ini. Problem ketimpangan, pengangguran, dan ketidakadilan terhadap akses-akses ekonomi sudah menjadi perbincangan yang populer di negeri ini. Namun, kebijakan publik yang dilansir oleh pemerintah tidak pernah bisa menyelesaikan masalah itu. Sebaliknya, bahkan melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan. APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sebagai manifestasi kedaulatan rakyat yang dilembagakan untuk redistribusi, gagal menjadi indikator pemersatu bangsa. Nilai jumbo anggaran negara, tidak banyak yang betul-betul sampai kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan, akumulasi utang yang semakin mencemaskan, tidak bisa menyelesaikan malapraktik pengelolaan anggaran negara. Gairah gerakan mahasiswa yang kembali bangkit setelah lama dinanti, tentu saja layak kita harapkan mengoreksi arah bangsa yang melenceng. Meski upaya ini akan menghadapi ujian. Apalagi pergerakan mahasiswa sempat dianggap mati suri. Lantaran banyak isu penting yang dilewatkan tanpa perlawanan berarti. Belakangan terjadi degradasi gerakan. Ditandai oleh elit organisasi mahasiswa sowan ke Istana Negara. Ritual yang pantang dilakukan oleh gerakan moral. Sebagai moral force, mahasiswa dituntut berada di barisan gerakan yang memilih tetap berdiri di atas aspirasi murni dari rakyat. Kini, almamater perjuangan dikenakan. Agen perubahan turun ke jalan. Menggelar mimbar-mimbar demokrasi. Lantang berorasi. Menyuarakan aspirasi. Menyoroti ancaman terhadap mandat reformasi. Melawan ambisi penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden yang menghianati konstitusi. Gugatan dari seantero penjuru negeri menjadi peringatan terakhir sebelum mandat reformasi dan cita-cita demokrasi dimakamkan di pelataran pusara kekuasaan. Peringatan ini mungkin tidak datang dua kali. Karena wacana penundaan pemilu dan penambahan jabatan presiden adalah makar terhadap konstitusi. UUD NRI 1945 hanya mengenal lima tahun masa jabatan presiden. Dibatasi dua periode. Dimotori oleh mahasiswa, rakyat akan bergerak jika agenda penghianatan itu berlanjut. Meski ada upaya cooling down yang diisyaratkan dengan pengumuman jadwal pemilu maupun rencana pelantikan Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) oleh presiden, namun wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden tidak bisa dianggap selesai. Ancaman terhadap demokrasi ini bukan angin lalu. Jika dibiarkan, akan terus terulang dengan pendekatan dan strategi baru. Patut pula dicatat, agenda itu dilontarkan langsung oleh orang yang dianggap paling dekat dengan Presiden Jokowi di kabinet. Diucapkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Menteri yang karena kedekatannya dengan Jokowi, bahkan didapuk merangkap 14 jabatan. Tak sampai di situ, penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden, juga disahuti secara serius dan berulang oleh beberapa menteri dan Ketua Umum Partai Politik kolisi pemerintah. Wacana ini datang dari orang-orang dekat presiden. Mencuat dari istana. Bukan basa-basi obrolan warung kopi. Nalar kita sulit menerima untuk tidak mengatakan bahwa agenda penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden dipersiapkan secara serius. Terorganisir dengan rapi. Sejumlah indikasi terbaca oleh publik. Termasuk peristiwa yang amat disayangkan ketika acara pertemuan nasional perangkat desa jadi ajang mengamplifikasi wacana tersebut. Namun kini, kita bisa sedikit punya harapan. Masih ada nurani yang siuman. Paling tidak, hal itu diperlihatkan dari gelombang demonstarsi mahasiswa yang meminta presiden bersikap tegas terhadap wacana yang dilontarkan para menterinya. Bukan sebatas menyudahi wacana penundaan pemilu, tetapi juga bertindak konkret atas kegaduhan yang ditimbulkan tersebut. Memang, muruah pemerintah kadung jatuh. Kredibilitas pernyataan yang disampaikan secara lisan, bahkan yang didengungkan di depan rekaman dan jepretan media, kini tak lagi mudah ditelan mentah-mentah. Sudah amat sering publik terkecoh oleh sesuatu yang tidak berkesesuaian antara kata dan perbuatan. Bahkan muncul lelucon bahwa pernyataan itu “harus dibaca terbalik”. Arus Gerakan mahasiswa yang hari ini menjadi harapan, bisa jadi benih terhadap repetisi sejarah pembaruan di negeri ini jika telinga dan mata kekuasaan tidak mau mendengar dan menyaksikan betapa sulitnya kehidupan rakyat di bawah. Betapa kemarahan rakyat telah menggumpal. Terakumulasi oleh kebijakan yang tak berpihak. Bahkan urusan teknis pun tidak pernah bisa tuntas. Dari problem banjir produk impor yang memukul UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikri) lokal, hingga minyak goreng langka dan mahal. Pemerintah bahkan mengakui tak berdaya di hadapan mafia. Demikian pula harga BBM yang melambung dengan alasan relaksasi fiskal mengatasi pembengkakan subsidi. Ditimpali dengan pungutan pajak berbasis konsumsi dikerek dalam situasi daya beli yang terengah-engah. Situasi kebatinan serba sulit yang tengah dihadapi, membuat rasa sabar rakyat semakin menipis. Diperparah oleh perbincangan elit yang hanya berkutat pada soal jabatan. (*)