OPINI
Holopis Kuntul Baris, Coro Anies Sareng Rakyat
Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari Anies R Baswedan bagaikan mendayung di dua pulau. Di satu sisi mengemban kehendak rakyat, di sisi lain bercengkerama dengan partai politik yang mengemban amanat konstitusi. Anies dituntut kepiawaiannya menciptakan keselarasan aspirasi rakyat dan mekanisme yang ada dalam partai politik. Sebuah tantangan saat partai politik tidak serta merta dan selalu menjadi representasi kepentingan rakyat. Saat kepentingan oligarki begitu dominan, mengharapkan demokrasi yang ideal merupakan sebuah keniscayaan. Meskipun mengusung kepentingan bersama, ketika pragmatisme politik menjadi pilihan dan kesepakatan, maka suara rakyat sering terpinggirkan, setidaknya menjadi nomor dua. Realitas politik seringkali memunculkan betapa berjaraknya aspirasi rakyat dengan sistem demokrasi liberal yang sarat kapitalistik dan transaksional. Menjadi sangat menarik bagi Anies ke depan, khususnya dalam menyiapkan diri menghadapi kontestasi pilpres 2024. Anies bersama timnya harus mampu membangun konsolidasi yang kuat di tengah rakyat yang kian hari kian euforia mendukungnya. Maraknya antusiasme capres Anies di seluruh Indonesia, tetaplah ditentukan oleh sikap partai. Oleh karena itu, kemampuan personal dalam negosiasi dan bargaining posisi pada partai politik, mutlak dilakukan Anies. Kemampuan Anies meyakinkan publik dan partai politik secara luas, harus bisa menembus jantung rakyat melampaui batas-batas wilayah dan entitas sosial politik. Ceruk politik dan keseimbangan pendulum ideologi harus dibentangkan secara luas dan harmonis. Elaborasi dan sinergi kekuatan ideologi, memerlukan sentuhan elegan dari Anies yang bisa didapat dari irisan atau yang menjadi anasir partai politik. Anies Baswedan sepatutnya menjadi pemimpin bagi semua agama, bagi semua suku, bagi semua ras, dan bagi semua komunitas antar golongan. Terus merajut kebangsaan, menenun renda-renda kebhinnekaan dan kemajemukan Indonesia. Payung politik Anies, harus bisa dibentangkan lebar dan tinggi untuk melindungi seluruh anak bangsa. Menjadi perahu besar mengarungi masa depan Indonesia yang lebih baik. Kalau saja ini bisa dilakukan Anies, In syaa Allah rakyat akan mengapresiasi dalam wujud loyalitas dan miltansi. Begitupun juga bagi partai politik, memungkinkan manifestasi kedaulatan rakyat dalam ranah konstitusi itu. Berpeluang menggunakan logika dan rasionalitas politiknya, dalam memperjuangkan orientasi partainya menangkap animo dan keinginan rakyat. Saiyeg Saeka Praya Saiyeg Saeka Praya, peribahasa dari kultur Jawa yang pada akhirnya menginspirasi salah satu nilai-nilai Panca Sila. Sepertinya akan menjadi ruh sekaligus enegi dari persfektif politik capres seorang Anies. Prinsip-prinsip gotong-royong dalam slogan holopis kuntul baris, oleh Bung Karno sering dipakai untuk menggelorakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Potensial diserap sekaligus dimanfaatkan Anies untuk membangun kecerahan publik, yang akhir-akhir ini meredup. Bukan hanya relevan, semangat holopis kuntul baris bia jadi merekonstruksi kembali kerapuhan bangunan kebangsaan Indonesia. Holopis kuntul baris menjadi begitu dibutuhkan bagi pemimpin dan rakyatnya, terutama ketika nasionslisme negeri ini seakan berada di ujung tanduk. Krisis multidimensi yang melanda negeri, ada baiknya dicari solusinya dengan hikmat kebijaksanaan yang berakar pada tradisi adiluhung holopis kuntul baris. Nilai-nilai yang diadopsi ke dalam Panca Sila menjadi sila persatuan Indonesia itu. Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang akan menjadi problem solving bagi republik ini yang sedang terpapar gejala degradasi sosial dan disintegrasi nasional. Pada akhirnya, bagi Anies Baswedan, bagi semua partai politik dan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada pilihan terbaik selain menjejaki dan menulari semangat holopis kuntul baris secara lebih terstruktur, sistemik dan masif. Betapapun dinamika dan konstelasi politik pilpres 2024 begitu tinggi dan menyita perhatian publik nasional dan internasional. \"Lets go\", all of you Indonesian\". Holopis kuntul baris, berhimpun bersama Anies dalam satu baris. Satu barisan kebangsaan Indonesia. (*)
Zigzag Pemindahan Ibukota Negara dan (Potensi) Pelanggaran Konstitusi
Oleh Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) PEMINDAHAN ibu kota sebuah negara merupakan hal biasa. Terjadi di banyak negara di dunia. Meskipun tidak semuanya sukses. Ada yang gagal seperti Nay Pyi Taw, ibukota baru Myanmar yang ditetapkan tahun 2005. Yang kini, konon, menjadi “kota hantu”. Mohon frasa “kota hantu” ini jangan diplintir. Frasa ini bukan mau menghina penduduk Nay Pyi Taw. Tetapi hanya sebagai arti kiasan, menunjukkan sebuah kota yang sepi. Bukan kota yang benar-benar dihuni oleh hantu. Sebelum dipolisikan, saya mohon maaf kepada penduduk Nay Pyi Taw. Tetapi, pemindahan Ibu kota akan menjadi tidak biasa kalau prosesnya penuh misteri, di luar prosedur umum. Terkesan sebagai kolaborasi antara eksekutif dan legislatif: antara pemerintah dan DPR. Ada yang memaknai “kolaborasi” sebagai persekongkolan. Silakan saja. Meskipun kata persekongkolan mengandung arti negatif. Pembentukan ibu kota negara (IKN) baru yang dinamakan Nusantara memang terkesan tidak lazim. Proses pengesahan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) sangat cepat, bagaikan kilat. Dan terkesan menghindari diskusi publik. Pembentukan dan pemindahan ibu kota seharusnya sangat mudah. Karena semua prosedur sudah tertulis jelas di dalam UU dan Konstitusi. Hal ini diatur di Bab VI, Penataan Daerah, dari Pasal 31 hingga Pasal 56, UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya Bagian Ketiga: Penyesuaian Daerah, Pasal 48 hingga Pasal 56, yang mengatur antara lain pemindahan ibukota: Pasal 48 ayat (1) huruf d. UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut merupakan perintah Konstitusi UUD yang tertuang di dalam BAB VI, Pasal 18 hingga 18B, tentang Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (7) berbunyi Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Karena itu, pembentukan kota dan pemindahan Ibu Kota yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut di atas melanggar UU Pemerintahan Daerah, dan juga melanggar Konstitusi. Pembentukan dan penetapan Ibukota Negara (IKN) Nusantara jelas tidak sesuai peraturan perundang-undangan seperti dijelaskan di atas. Tidak sesuai Konstitusi. Kondisi ini diperparah dengan upaya “zigzag” dalam penetapan IKN Nusantara, yang hasilnya juga melanggar UU dan Konstitusi. Upaya “zigzag” ini untuk mengambil jalan pintas. Mencari kelemahan hukum, menghindari prosedur normal sesuai UU dan Konstitusi. Yang menyedihkan, upaya “zigzag” hukum ini semakin sering dilakukan. Dan terbukti, beberapa UU (atau Pasal dalam UU) dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Begitu juga dengan IKN Nusantara, yang tidak lagi dalam bentuk kota (atau daerah). Tetapi dianggap sebagai sebuah kawasan (administrasi) dalam bentuk Otorita. Hal ini dilakukan agar pembentukan kota dan Ibu Kota dapat dilakukan secepat kilat. Tidak perlu persetujuan DPRD setempat dan persyaratan lainnya seperti perintah UU Pemerintah Daerah. Kedua, agar “kepala daerah” IKN tidak perlu dipilih secara demokratis seperti perintah Pasal 18 ayat (4) UUD. Karena, Kawasan Otorita IKN Nusantara rencananya diketuai oleh Ketua Otorita yang dapat diangkat secara langsung oleh Presiden. Selain itu, Kawasan Otorita juga tidak mempunyai perwakilan rakyat daerah (DPRD). Konsep hasil “zigzag” hukum ini juga melanggar UU dan Konstitusi. Pertama, Ibu Kota adalah sebuah kota, di antara kota-kota yang tersebar di sebuah negara, yang kemudian ditunjuk sebagai IBU KOTA, dan biasanya menjadi pusat kegiatan resmi pemerintah, serta menjadi domisili perwakilan negara lain (kedutaan besar) dan organisasi internasional. Bisa saja ibu kota negara diberi status khusus sebagai Provinsi, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hal ini sesuai dengan UUD, Pasal 18 ayat (1) yang berbuni Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Artinya, Ibu Kota tidak boleh dalam bentuk sebuah Kawasan. Selain tidak dikenal di dalam (susunan Pemerintahan Daerah di dalam) UUD, Kawasan umumnya terdiri dari beberapa kota atau desa (daerah) seperti Daerah Industri Pulau Batam (di bawah pengelolaan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam). Kawasan juga bisa mencakup lintas Kabupaten yang di dalamnya terdiri dari berbagai Kota seperti Kawasan Pariwisata Danau Toba (di bawah pengelolaan Badan Otorita Pengelola Kawasan Wisata Danau Toba). Karena itu, Kawasan tidak mungkin bisa berwujud Kota, dan tidak bisa menjadi ibu kota. Kemudian, pembentukan Kawasan tidak bisa menghilangkan status kota (daerah). Sehingga status Kota (dan desa) di dalam sebuah Kawasan (IKN) masih tetap ada, dan berada di bawah kekuasaan Pemerintah Daerah (Kabupaten Penajam Paser Utara). Kawasan juga tidak bisa menjalankan fungsi administrasi Pemerintahan Daerah. Kawasan tidak bisa mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk. Kawasan juga tidak boleh mempunyai satuan keamanan. Karena, semua itu fungsi dari Pemerintah Daerah. Terakhir, pembentukan Kawasan pada hakekatnya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditugaskan untuk tujuan tertentu. Misalnya pengembangan industri (Batam), pengembangan pariwisata (Danau Toba, Labuan Bajo), dan lainnya. Bukan untuk fungsi Pemerintahan Daerah, apalagi sebagai ibu kota. Kesimpulan, Kawasan Ibu Kota Negara Nusantara cacat hukum, karena bukan sebagai kota, dan tidak bisa menjadi Ibu Kota. (*)
Kasus Edy Mulyadi Menunjukkan Besarnya Kekuasaan Oligarki Cukong
Oleh Asyari Usman, jurnalis senior FNN AKHIRNYA Edy Mulyadi (EM) ditahan. Dengan tuduhan ujaran kebencian. Dia dikatakan menghina orang Kalimantan. Edy adalah seorang wartawan yang tak bisa tinggal diam melihat kesewenangan. Dia menentang pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Paser di Kalimantan Timur (Kaltim). Bagi Edy, pemindahan ini adalah langkah sewenang-wenang. Tanpa urgensi yang mengharuskan pindah. Lebih dari itu, Edy menangkap sesuatu yang lebih besar lagi. Dia melihat ancaman terhadap kedaulatan negara di balik pemindahan IKN. Apa yang dia lihat, diakui pula oleh banyak orang termasuk para pemerhati geopolitik dan persaingan internasional. Berawal dari ancaman inilah Edy kemudian berargumentasi bahwa pemindahan IKN ke Kaltim sarat dengan alasan yang tidak rasional. Antara lain dia berpendapat lokasi IKN baru itu terpencil dan sangat jauh. Sampai-sampai Edy menggunakan istilah yang dirasakan menyinggung orang Kalimantan. Inilah yang diangkat sebagai pelanggaran pidana. Dia pun ditahan. Tetapi, apakah sesederhana itu pemicu proses hukum terhadap Edy? Jelaslah tidak. Kekhilapan kecil ini dibesarkan dengan bantuan proyektor milik cukong. Kaki tangan cukong menyimpulkan bahwa Edy Mulyadi sangat “mengganggu” bagi agenda besar mereka. Kalau kasus Edy diproses sesuai standar hukum, maka hari ini juga para buzzer upahan harus masuk penjara. Tak terhitung lagi berapa banyak pelecehan, fitnah, dan uajaran kebencian yang mereka lakukan. Tidak tanggung-tanggung. Mereka menghina agama, menghina dan merendahkan Nabi serta kitab suci, ulama, dlsb. Begitu juga sejumlah petinggi. Termasuk Menteri Sosial Tri Risma yang melecehkan Papua dengan mengancam PNS untuk dipindahkan ke Papua. Tersirat makna bahwa Papua adalah tempat pembuangan. Tapi, Sang Menteri aman-aman saja. Kemudian ada anggota DPR RI, Arteria Dahlan. Dia rasis. Merendahkan orang Sunda. Arteria jelas-jelas mengungkapkan kebenciannya terhadap bahasa Sunda. Ini terkait peristiwa seorang pejabat kejaksaan tinggi Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda di dalam rapat. Kalau hukum mau ditegakkan seperti terhadap Edy Mulyadi, maka kedua petinggi ini haruslah mengalami perlakuan yang sama. Tapi, tidak demikian halnya. Diskriminasi penegakan hukum ini akan terus terjadi terhadap orang-orang yang berseberangan dengan penguasa. Hari ini, berseberangan dengan penguasa berarti berseberangan dengan oligarki cukong. Sebab, para penguasa adalah kaki tangan cukong itu. Proses hukum terhadap Edy menunjukkan besarnya kekuasaan para cukung. Merekalah yang memegang kendali. Mengapa begitu? Karena “penghinaan” yang dituduhan kepada Edy juga dilakukan oleh banyak orang selama ini. Idiom “jin”-nya pun persis sama. Jadi, kita semua paham. Kasus Edy bukan murni soal pelecehan atau ujaran kebencian. Melainkan soal gangguan terhadap pemindahan ibu kota yang di sekelilingnya ada para cukong rakus pencari untung besar. Mereka ini pula yang pantas diduga akan, sekaligus, menjadi agen penggadaian kedaulatan negara. Sekarang, lewat kasus Edy Mulyadi, para cukong memberikan peringatan kepada rakyat tentang konsekuensi melawan mereka.[]
Interfaith dan Islamophobia - 01
Al-Qur’an menegaskan berkali-kali dengan makna seperti ini: “siapa yang berkeinginan maka hendaklah beriman. Dan siapa yang berkeinginan hendaklah mengkafiri”. Atau dengan bunyi: “sesungguhnya Allah akan memberikan Hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation TULISAN ini adalah intisari dari sebuah ceramah yang pernah saya sampaikan di sebuah forum pertemuan Imam di ICNA Convention beberapa tahun lalu. ICNA atau Islamic Circle of North America adalah satu dari beberapa organisasi Islam Nasional di Amerika. Saat itu saya khusus diminta menyampaikan ceramah dengan tema: “The role of interfaith in combating Islamophobia in US”. Saya tuliskan dalam bahasa Indonesia untuk kemanfaatan luas bagi yang memahaminya. Insya Allah tulisan ini akan bersambung dalam beberapa seri ke depan. Harapan saya semoga tulisan ini memperjelas hal yang belum jelas. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak pernah terlibat tapi cenderung menghakimi. Pada tulisan ini saya memilih memakai kata “interfaith”, bukan dialog antar agama. Walaupun sesungguhnya dua terminologi itu semakna. Hanya saja kata “Dialog” antar agama bisa saja disalah pahami oleh sebagian seolah agama-agama disejajarkan bahkan disamakan. Lazimnya Dialog itu hanya terjadi antara dua hal yang setingkat. Antara dua Jenderal misalnya. Seorang prajurit rendahan tidak bisa berdialog dengan seorang jenderal. Karena prajurit rendahan pastinya hanya menunggu perintah atau instruksi dari sang Jenderal. Karena interfaith terasa lebih sesuai. Apalagi kata ini juga telah menjadi sebuah terminologi yang pepuler di kalangan praktisi interfaith. Apa Interfaith Itu? Kata interfaith masih sering disalah pahami oleh sebagian orang. Biasanya yang memahami salah tentang interfaith ini adalah orang-orang yang berada di salah satu dari dua kubu ekstrim dalam pemahaman beragama. Ada ekstrim kanan dan ada juga ekstrim kiri. Ekstrim kanan salah paham karena memang ketidak tahuan semata atau minimal kesalah pahaman yang berujung kepada pengharaman. Alasan yang sering disampaikan adalah karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya. Seringkali juga interfaith dipahami oleh mereka secara salah sebagai penyamaan atau bahkan penyatuan agama-agama (religious unification). Atau biasa juga dicurigai jika interfaith itu adalah ajang “penggerogotan” iman. Sebaliknya ekstrim kiri adalah mereka yang memang menjalankan apa yang dituduhkan oleh ekstrim kanan. Interfaith bagi ekstrim kiri adalah \"menyamakan atau menyatukan\" semua agama-agama (unification of religions). Biasanya pemahaman mereka dibangun di atas asumsi jika semua agama itu sesungguhnya sama, menuju ke satu tujuan yang sama. Yaitu menuju kepada Tuhan yang satu. Yang berbeda hanya cara dan jalan semata. Karenanya dalam pandangan mereka sesungguhnya kebenaran agama itu bersifat relatif dan tidak absolut. Pandangan ekstrim kiri akhir-akhir ini menguat dengan sebuah konsep penyatuan agama-agama samawi dengan nama agama Ibrahim (Abrahamic Faith). Konsep ini telah mendapat penolakan dari tokoh-tokoh agama dunia, termasuk dari Syeikh Al-Azhar. Dalam pandangan saya kedua pendapat di atas adalah paham ekstrim dan berbahaya. Ekstrim kanan berada dalam rana keangkuhan beragama, bahkan mengarah kepada karakter takfiri. Yaitu sikap yang dengan mudah mengkafirkan sesama Muslim yang tidak sependapat. Sementara ekstrim kiri juga berbahaya karena mereduksi agama-agama ke ruang relatif, yang bisa diubah dan dicelup sesuai kehendak hawa nafsunya. Sehingga agama tidak lagi pada posisi menunjuki atau mengatur. Tapi agama diarahkan dan diatur sesuai kecenderungan hawa nafsu manusia. Karenanya perlu dipahami jika interfaith bukan bertujuan menggadaikan agama. Bukan pula untuk menyatukan agama-agama. Interfaith juga tidak dimaksudkan minimal pada pemahaman saya sebagai Muslim untuk menggerogoti iman penganut agama masing-masing. Interfaith hanya akan dipahami secara benar ketika seseorang memiliki pemahaman yang benar tentang agamanya di satu sisi. Dan juga memiliki pemahaman yang benar tentang realita dunia (lingkungan sekitar) di sisi lain. Interfaith dan Al-Qur\'an Secara literal kata interfaith (al-hiwaar baena al-asyaan) memang tidak akan pernah ditemukan dalam Al-Quran. Tapi secara makna dan konteks akan ditemukan berbagai ayat-ayat yang mendukung kegiatan interfaith ini. Jika kita lihat secara dekat dan jeli ayat-ayat Al-Quran akan kita dapat ragam ayat yang mengarah kepada pemaknaan kegiatan interfaith dan interaksi antar pemeluk agama yang ragam. Beberapa pemaknaan itu dapat kita lihat seperti berikut. Pertama, dalam Al-Qur’an komunikasi dan relasi antar manusia tidak terhalangi oleh perbedaan keyakinan atau agama. Bahwa keyakinan agama yang dianut adalah pilihan setiap orang berdasarkan kesadaran (atau di luar alam sadar) masing-masing orang. Oleh karenanya Islam dengan tegas menggariskan: \"tiada paksaan dalam agama\" (Al-Baqarah). Bahkan ditegaskan \"bagimu agamamu dan bagiku agamaku\" (Al-Kafirun). Oleh karena agama adalah pilihan masing-masing manusia, maka manusia sebagai makhluk sosial tidak seharusnya terhalangi untuk membangun relasi dan kerjasama dalam hal-hal yang menjadi \"common interest\" (kepentingan bersama dalam kemanusiaan). Kedua, agama Islam adalah agama yang membuka diri untuk membangun relasi, persahabatan, dan kerjasama dengan siapa saja. Bahkan Allah memerintahkan umat ini untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja, selama relasi, persahabatan dan kerjasama itu tidak merendahkan dan merugikan. Allah menegaskan dalam Al-Qurab: \"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusir kamu dari negeri kamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil\" (Al-Mumtahanah: 8). Ketiga, dalam agama Islam ruh kebajikan (al-ihsan) tidak terbatasi oleh batas-batas keyakinan. Tapi menyeluruh untuk seluruh manusia dan makhluk lainnya. Ayat-ayat kebaikan (ihsan) misalnya dimaksudkan sebagai kebaikan universal: \"Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu\" (Al-Qashas: 77). Memahami kebaikan (ihsan) yang bersifat universal ini tentunya juga sejalan dengan semangat Islam sebagai agama yang membawa kasih sayang (rahmah) universal dan tanpa batas: \"dan tidaklah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai kasih sayang ke seluruh alam (rahmatan lil-alamin)\". Maka dengan sendirinya membangun dialog, komunikasi, relasi dan kerjasama adalah realisasi atau aktualisasi langsung dari Islam yang bersifat \"rahmatan lil-alamin\" itu. Keempat, Al-Quran mengakui persaudaraan universal manusia (ukhuwah basyariyah). Dan karenanya segala upaya harus dilakukan untuk menjaga keutuhan persaudaraan kemanusiaan itu. Al-Qur\'an menegaskan: \"Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang lelaki (Adam) dan seorang wanita (Hawa), lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (ta\'aruf). Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang paling bartakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal\" (Al-Hujurat: 13). Dalam dunia modern yang bersifat global saat ini, terjemahan yang paling tepat, yang sejalan dengan sikon dunia kita dari kata “ta’aruf” adalah \"relasi antar komunitas yang ragam\" itu. Dan itulah hakikat dari interfaith. Karenanya “interfaith” dapat dimaknai sebagai proses untuk saling mengenal (ta’aruf) diantara manusia dengan segala keragaman latar belakangnya. Baik latar belakang suku, budaya, tradisi, maupun keyakinan agamanya. Kelima, agama Islam walaupun diakui secara teologi (keimanan) oleh umat Islam sebagai \"satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah\" (Ali Imran) bukan berarti pengingkaran terhadap eksistensi agama-agama lain. Kenyataannya Al-Quran mengakui “eksistensi” agama-agama lain. Surah Al-Kafirun menegaskan itu: “bagimu agamu dan bagiku agamaku”. Pada poin ini saya harus pertegas bahwa mengakui eksistensi agama lain tidak berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut. Sebuah agama boleh saja eksis walau tidak benar menurut pandangan penganut agama lain. Islam misalnya oleh penganut Kristiani pastinya tidak benar karena mengingkari Jesus sebagai anak Tuhan atau Tuhan. Keenam, bahwa salah satu ajaran yang mendasar dalam agama Islam adalah pengakuan akan wujud atau eksistensi keragaman (diversity) dalam ciptaan Allah. Termasuk keragaman umat dengan keragaman keyakinannya. Allah menegaskan: “Dan kalaulah Tuhanmu berkehendak maka dia jadikan manusia menjadi satu Umat”. (Hud: 118). Dengan kata lain, keragaman dalam pandangan Islam, termasuk keragaman dalam agama dan keyakinan, selain dipandang sebagai bagian dari penciptaan yang alami (thabiat al-khalq), juga merupakan amanah teologi Islam. Mengakui keragaman itu adalah bagian dari akidah umat ini. Ketujuah, Islam juga dengan tegas menegaskan bahwa keputusan untuk seseorang memeluk atau meyakini sebuah agama adalah hak sepenuhnya. Hak sepenuhnya di sini tentu ada pada dua sisi. Hak orang itu untuk memeluk agama atau keyakinannya. Tapi juga dalam pandangan Islam, Hidayah itu memang sepenuhnya ada di tangan Allah SWT. Al-Qur’an menegaskan berkali-kali dengan makna seperti ini: “siapa yang berkeinginan maka hendaklah beriman. Dan siapa yang berkeinginan hendaklah mengkafiri”. Atau dengan bunyi: “sesungguhnya Allah akan memberikan Hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”. Dengan demikian adanya agama dan keyakinan lain yang dianut atau diyakini oleh orang lain merupakan konsekwensi dari kesadaran akan hak pribadi ini. Sehingga dengan sendirinya interfaith menjadi Urgen sekaligus pembuktian bahwa masalah pilihan agama dan keyakinan adalah pilihan pribadi. Dan pilihan pribadi itu tidak seharusnya menghalangi manusia untuk berinteraksi dan kerjasama. Lalu bagaimana Rasulullah SAW mengaktualkan makna-makna ayat di atas pada zamannya? New York, 1 Februari 2022. (Bersambung)
Natal, Tahun Baru, dan Imlek Tepat Waktu
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan HARI ini Imlek dan kalender pun merah menandakan hari libur. Bukan persoalan turun hujan tetapi kebebasan merayakan imlek tanpa ada pengunduran hari libur sebagaimana dahulu terjadi pada Tahun Baru Hijriyah dan Maulid Nabi. Hari Natal dan Tahun Baru juga \"tepat waktu\" antara perayaan dengan liburnya padahal saat itu pandemi masih berlangsung bahkan ada ancaman varian baru Omicron. Pada Iedhul Adha 2021 umat Islam mengalami pembatasan ketat. Satgas membuat Surat Edaran No 15 tahun 2021 yang berisi pembatasan mobilitas masyarakat, pembatasan peribadatan, kegiatan keagamaan ditiadakan, pembatasan silaturahmi yang diarahkan virtual, hingga pembatasan kunjungan tempat wisata. Ketika Luhut Binsar Panjaitan meramalkan bahwa Covid 19 akan meningkat pada bulan Februari Maret maka komentar nyinyir muncul yang mengaitkan peningkatan itu dengan pelaksanaan puasa umat Islam. Berujung nantinya pembatasan ibadah Tarawih, Iedul Fitri, dan tentu saja mudik. Meski keterkaitan itu belum tentu benar namun telah terbentuk praduga negatif yang menjadi \"common sense\" umat Islam. Keadilan adalah persoalan utama dan yang kurang dimiliki Pemerintah. Semestinya libur Natal, Tahu Baru, dan Imlek diundur juga untuk menghindari kerumunan sekaligus wujud dari sikap konsisten dalam membangun kewaspadaan menghadapi pandemi Covid 19. Dibuat juga aturan pembatasan yang cukup ketat. Budaya waspada harus tetap dipertahankan. Dengan Natal, Tahun Baru, dan Imlek lolos-lolos saja wajar akhirnya publik, khususnya umat Islam, mencurigai adanya diskriminasi perlakuan dalam kontek keagamaan. Apalagi digembor-gemborkan Covid 19 akan terus semakin meningkat. Lalu bergerak menuju gerbang peribadahan umat IsIam, Ramadhan dan Iedul Fitri. Covid 19 yang awal muncul dari Wuhan Cina rupanya masih berlanjut episodenya. Hanya di Indonesia terus memakan korban hingga peribadahan agama-agama. Agama Islam tidak terkecuali. Bahkan kini terancam kembali. Kebijakan politik mengatasi pandemi tidak boleh bersifat diskriminatif. Jika diskriminatif, maka umat wajar jika beranggapan bahwa Covid 19 memang ditunggangi dan sarat akan kepentingan pragmatik baik kepentingan bisnis maupun politik. Natal, Tahun Baru, dan Imlek tepat waktu. (*)
Meski Kita Pancasila, Mengapa Kalian Benci Islam?
Tak cukupkah keringat kami teteskan?. Tak cukupkah air mata kami tumpahkan?. Tak cukupkah darah kami mengalir?. Tak terlihatkah oleh kalian, tubuh-tubuh ini berdiri tegak dengan bahu yang kekar menopang Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Rasanya, semua jiwa raga telah kami serahkan untuk selama-lamanya Indonesia tercinta. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BADAI intrik dan fitnah telah kami lalui. Jeruji besi sering membelenggu kami. Tak terhitung kain kafan menyelimuti saudara-saudara kami. Apa yang kurang yang telah kami berikan pada kalian?. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Seperti air hujan yang membasahi dan matahari yang menyinari bumi. Begitu juga cinta kami menyirami dan menghangatkan pertiwi. Kami telah bersumpah menjaga persada Indonesia, sampai kami berkalang tanah. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Lahir batin kami sudah tercabik-cabik dan terkoyak. Kenapa pesantren kami kalian satroni?. Kenapa masjid-masjid kami kalian tandai?. Tak cukupkah hanya pada kami, kenapa harus lingkungan kami juga kalian usik?. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Kami masih punya catatan sejarah dan kalian semua tahu itu. Keringat dan darah kami mengucur deras saat persalinan bayi republik ini. Lewat asuhan dan pengayoman kami, NKRi tumbuh sehat, besar dan gagah hingga saat ini. Tak cukup sekedar waktu, tenaga dan harta yang kami punya yang kami berikan. Kasih sayang dan cinta kami untuk negeri ini tak pernah surut sepanjang jaman. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Kami juga pernah dikhianati. Saat kami harus bergandengan tangan, berangkulan dan menerima ideologi lain bersama kami demi keutuhan bangsa ini. Kami masih ingat namanya NASAKOM, sehingga kami harus bisa menerimanya. Tapi tak seperti sekarang ini, kami begitu amat sangat dimusuhi. Kurang apa lagi kami menjaga kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa ini?. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Terkadang kami menahan rasa sakit dan harus mengabaikannya. Melihat penderitaan saudara-saudara seiman kami nun jauh di seberang lain dunia. Tapi kami tak bisa menyamakan itu dengan kami di negeri sendiri, meski kami membatin. Kami terus bertahan, tanpa yang seharusnya layak kami terima. Kami bergeming meski terasa menyesakkan. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam? Cukup, cukup, cukup sudah. Kami tak bisa menerima lagi. Kami tak bisa terus seperti ini. Kami dididik menjunjung kesabaran yang tiada batasnya. Tapi bukan seperti ini juga. Sampai hari ini, kami masih menjadi sasaran penjara dan kematian. Kalau kalian tak berubah, kami akan mengadu. Kami akan mencari tempat bersandar dan meminta ampun serta keselamatan. Memohon perlindungan dan pertolongan hanya kepada Allah azza wa jalla. Cukuplah Allah sebagai penolong kami. Hanya itu yang dapat kami lakukan. Hanya itu yang terbaik buat kami. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam? Kami tak ingin kekayaan yang berlimpah di negara ini. Apalagi sampai mengambil hak yang lain. Kami tak ingin memiliki dan menguasai semua itu. Kami juga tak ingin diperlakukan istimewa, sehingga mengabaikan yang lain. Bukan materi dan kebendaan yang kami inginkan yang menjadi tujuan kami. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam? Kami hanya ingin keadilan. Kami hanya ingin kedamaian. Kami hanya ingin beribadah menjalankan syariat, sama seperti kalian menjalankan agama dan keyakinannya. Kami ingin kesetaraan dan respek dalam pergaulan semua. Kami ingin ada persaudaraan diantara kita, dalam satu napas kebangsaan. Menerima dan diterima sebagai sesama anak bangsa. Kami hanya ingin yang sepantasnya dan sewajarnya. Kami tak minta lebih dari semua itu. Kami Islam, kami nasionalis dan kami bersama yang lainnya, menjadi segala kebaikan buat negara bangsa Indonesia. Jadi, mengapa dan mengapa?. Meski kita Panca Sila, tapi mengapa kalian benci Islam? *) Tulisan ini didedikasikan teruntuk semua anak bangsa yang masih bersetia dan menggandrungi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Dengan ketulusan cinta dan kasih sayang, utamanya untuk aktifis pergerakan, para pejuang dan syuhada yang menukarkan kebebasan dan seluruh jiwa raganyanya, dengan keberlangsungan negara bangsa Indonesia. Tabiik.
Beringas, Minoritas Menindas Mayoritas
Tudingan politik identitas yang dialamatkan ke umat Islam, terus digiring sebagai momok yang menakutkan. Selain sebagai gerakan intoleran, politik identitas itu kerap dianggap mengancam kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Sejalan dengan itu, tirani minoritas terus menunjukkan superioritasnya pada mayoritas. Segelintir orang dan kelompok yang sesungguhnya juga menjadi bagian dari politik identitas, bebas melenggang menguasai hajat hidup orang banyak dengan kekuasaannya terhadap negara dan kekayaan sumber daya alam di dalamnya. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BUKAN hoax apalagi fitnah adanya berita tentang lahan di Indonesia dikuasai tidak lebih dari 1% penduduk. Selain pengelolaan sumber daya alam dan produksi-produksi kebutuhan pokok rakyat. Pemilik modal perorangan dan dalam bentuk korporasi itu, bahkan mampu menggeser peran negara. Pemerintah dan fungsi regulasinya telah diambil mesin-mesin kapitalisme dalam wujud perusahaan transnasional maupun multinasional. Konstitusi berikut aparatur pemerintahan telah dibeli dan menjadi cabang-cabang kekuatan industri borjuasi korporasi. Kepemilikan modal besar mampu melemahkan eksistensi negara, untuk selanjutnya melumpuhkan kekuatan rakyat. Demokrasi dilumpuhkan, institusi-intusi negara dan kelembagaan politik telah menjadi alat sekaligus tameng birokrat dan pengusaha. Taipan-taipan itu menggandeng pemerintahan dan kemudian menjadi oligarki yang membajak Indonesia. Kesadaran kritis dan gerakan perlawanan semakin tak berdaya. Rezim kekuasaan yang ditunggangi mafia ekonomi dan politik, melancarkan represi dan atau fasilitas berupa harta dan jabatan. Rakyat terbelah, sebagian turut mengekor pada kekuasaan dan tunduk pada pengusaha pengendali pemerintahan. Sebagian besar lainnya pasrah dan sedikit yang menentangnya secara sporadis dan parsial. Itupun kalau masih bisa selamat dari rezim. Pemimpin-pemimpin intelektual dan agama tiarap dan mencari jalan aman dengan melakukan kompromi pada kekuasaan. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri dalam keterbatasan menghadapi kesulitan ekonomi, tekanan kebijakan politik rezim dan mulai merasakan kesulitan hidup. Rakyat mulai kehilangan semangat persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa. Konflik horisontal terus menghantar ke jurang disintegrasi sosial. Semakin komplit penderitaan rakyat banyak, hidup dalam kemiskinan dan terpecah-belah. Semua itu umat Islam yang paling merasakannya. Politik Adu Domba dan Maraknya Penghianatan Sebagai rakyat mayoritas, umat Islam selalu menjadi korban eksploitasi. Selain sistem yang membatasi umat Islam secara syariat dan sosial. Keberadaan umat Islam juga sejak dulu sudah mengalami politisasi dan menjadi korban kebijakan rezim. Bukan hanya termarginalkan, umat Islam juga intens dilanda proses deislamisasi. Tak cukup stigma dan stereotif, umat Islam terus menjadi target pembunuhan karakter dan kriminalisasi. Tidak hanya dari distorsi kebijakan dan aparat institusi tertentu, umat Islam khususnya para ulama rentan dari penganiaan dan kebiadaban pembunuhan, dari operasi oknum aparat intelejen maupun intitusi negara. Tidak hanya dalam kehidupan internasional, di negerinya sendiri nasib umat Islam begitu memprihatinkan. Umat Islam secara ekonomi telah menjadi pasar yang menggiurkan bagi kepentingan global, dalam ranah politik ditempatkan sebagai potensi kekuatan yang harus ditaklukan dengan pelbagai cara. Dalam koridor hukum, syariat Islam menjadi momok sekaligus musuh yang dianggap berbahaya bagi ideologi-ideologi dunia yang menganut materialisme dan kebebasan tanpa batas. Sekulerisasi, liberalisasi dan tumbukan-tumbukan atheisme menjadi belenggu sekaligus benteng kokoh bagi kebangkitan dan kejayaan umat Islam baik di Indonesia khususnya maupun umat Islam di dunia pada umumnya. Umat Islam yang mayoritas, secara peran politik, ekonomi dan hukum belum bisa beranjak dari aspek kuantitas menuju kualitas. Entitas keagamaan yang pernah mengalami masa-masa jejayaan dunia itu. Kini terus mengalami kemerosotan aqidah dan ghiroh Islam. Terus diperdaya dan dalam keterpurukan yang amat dalam. Telalu jauh umat Islam terperosok dalam lubang dekadensi moral keislaman dan banyaknya penghianatan dari dalam yang sejatinya menjadi musuh umat Islam juga. Rasanya memang tragis dan mengenaskan pada apa yang terjadi yang dialami umat Islam. Dunia seperti memusuhinya tanpa pernah berhenti sebelum benar-benar hancur dan hilang dari muka bumi. Kalangan kafirun anti Islam, para munafikun dan fasikun dari umat Islam sendiri, berkolaborasi merusak umat Islam. Begitupun di bumi dalam helaan nafas Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI, dimana umat Islam menjadi rahim yang melahirkannya. Umat Islam, seperti jasad yang tanpa ruh di dalamnya. Umat Islam bukan tidak punya panduan hidup sebagaimana adanya Al Quran dan hadis. Namun ia lebih nyaman menyukai dan gigih menjalani cara hidup yang jauh dari Al Quran dan hadis itu sendiri. Umat Islam banyak tapi sesungguhnya sedikit. Umat Islam memiliki persatuan atau ukuwah, tapi sesungguhnya tercerai-berai. Umat Islam kuat tapi sesungguhnya lemah. Kenyataan-kenyataan ini yang harusnya menjadi kesadaran umat Islam, untuk kembali kepada Al Quran dan sunah agar selamat di dunia dan akhirat. Termasuk bagaimana menghadapi situasi yang dialami umat Islam di Indonesia saat ini. Tercabik-cabik dan terkoyak, karena beringasnya minoritas menindas mayoritas. (*)
Anggota DPR RI Desak Perusahaan Non Esensial Segera Terapkan "WFH"
Jakarta, FNN - Anggota Komisi IX DPR Elva Hartati mendesak perusahaan non esensial segera menerapkan sistem bekerja dari rumah atau work from home (WFH) oleh karena kasus positif COVID-19 semakin meningkat. Elva Hartati dalam keterangannya diterima di Jakarta, Senin, mengatakan per Minggu, 30 Januari 2022, kasus aktif COVID-19 mencapai 61.718 setelah ada penambahan kasus sebanyak 9.163. Ia meminta kenaikan kasus tersebut harus menjadi perhatian semua kalangan, termasuk juga dari dunia usaha. \"Presiden Joko Widodo telah mengimbau dengan sangat jelas bahwa bagi pekerja yang bisa menerapkan \'WFH\' segera melaksanakan, mengingat kasus positif COVID-19 meningkat dengan terus meningkatnya transmisi lokal varian Omicron,\" ujarnya. Elva menyampaikan kebijakan pemerintah sudah jelas bahwa hanya sektor esensial saja yang masih bisa beroperasi normal dengan protokol kesehatan ketat. \"Komisi IX mendukung seluruh program safety net untuk siap dilaksanakan membantu masyarakat yang terdampak,\" ucapnya. Dia mengatakan Komisi IX DPR melaksanakan rapat kerja dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Satgas COVID-19 pada dua pekan lalu untuk memitigasi gelombang ketiga COVID-19. Komisi IX DPR mengusulkan agar pemerintah menjadikan data bed occupancy rate (BOR) atau tingkat keterisian tempat tidur untuk pasien COVID-19 di rumah sakit atau ICU sebagai patokan dalam memutuskan pelaksanaan PPKM. \"Kami masih yakin hanya dengan pengendalian pandemi dari sisi kesehatan dapat mendorong pemulihan ekonomi secara maksimal,\" katanya. Menurut Elva pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah mitigasi pengendalian pandemi di bidang kesehatan yang juga memikirkan keberlangsungan dunia usaha. Beroperasinya 11 sektor bidang usaha esensial menjadi salah satu langkah solutif agar seluruh denyut perekonomian terus berlanjut sembari memastikan pandemi terkendali. \"Kami meminta dunia usaha sedikit bersabar sembari mendukung penuh upaya pemerintah dan parlemen mengendalikan pandemi sehingga perekonomian dapat pulih kembali,\" ujarnya. Sedangkan Anggota Komisi IX DPR Saniatul Lativa mengingatkan bahwa peningkatan kasus COVID-19 sekarang lebih banyak dari transmisi lokal. \"Jika perusahaan tetap mempekerjakan karyawannya, maka harus dipastikan bahwa karyawannya aman dari Omicron dan aman dari transmisi lokal penularan Omicron,\" imbuh Saniatul. Meski demikian, dia mengatakan sementara penambahan kasus COVID-19 di Indonesia paling terkendali dibandingkan lima negara lain di Asia, India, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Berdasarkan data ourwordindata.org, kasus COVID-19 baru yang dikonfirmasi per 1 juta penduduk terlihat grafik penambahan kasus di Indonesia dominan landai.Dia melanjutkan per 26 Januari 2022, angka konfirmasi positif di Indonesia sebesar 13,27 per 1 juta penduduk. Menurut dia, hal itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura dengan konfirmasi positif sebesar 825,80 per 1 juta penduduk.Begitu juga dengan Filipina sebesar 233,71 per 1 juta penduduk, India sebesar 220,71 per 1 juta penduduk, Malaysia sebesar 121,19 per 1 juta penduduk, dan Thailand sebesar 110,20 per 1 juta penduduk.\"Namun, pemerintah dalam hal ini Kemenkes RI harus tetap menyediakan fasilitas di rumah sakit, terutama tempat tidur perawatan agar disediakan secara maksimal,\" ujarnya. (mth)
Shin Berharap Proses Naturalisasi Pemain Keturunan Dipercepat
Jakarta, FNN - Pelatih Tim Nasional Indonesia Shin Tae-yong berharap proses naturalisasi empat pemain keturunan Indonesia bisa dipercepat agar mereka dapat memperkuat skuad \"Garuda\" mulai tahun 2022.\"Saya berharap naturalisasi itu dipercepat. Saya akan sangat berterima kasih kepada pemerintah Indonesia dan PSSI jika itu bisa dilakukan,\" ujar Shin, dikutip dari keterangan PSSI yang diterima di Jakarta, Minggu (30/1) malam.PSSI tengah mengusahakan naturalissi empat pemain yaitu Sandy Walsh, Jordi Amat, Mees Hilgers dan Ragnar Oratmangoen.Sandi Walsh (26 tahun) berposisi sebagai bek kanan dan berkewarganegaraan Belanda. Sekarang dia memperkuat klub Liga Belgia KV Mechelen.Lalu Jordi Amat (29 tahun), bek tengah klub Liga Belgia KAS Eupen dan saat ini memegang paspor Spanyol.Mees Hilgers merupakan bek tengah berumur 20 tahun yang berkarier di klub Twente FC di Liga Belanda. Dia berstatus sebagai warga negara Belanda.Warga Belanda lain, Ragnar Oratmangoen yaitu pemain sayap klub Go Ahead Eagles di Liga Belanda yang baru berusia 23 tahun.Andai semua proses tuntas dan menjadi WNI, mereka dapat langsung memperkuat skuad \"Garuda\" karena memiliki garis keturunan Indonesia dan belum pernah memperkuat timnas senior di negaranya saat ini.Dari pihak PSSI, upaya naturalisasi mereka dipimpin oleh anggota Komite Eksekutif Hasani Abdulgani.Hasani sempat mengunggah pernyataan di media sosial Instagramnya @hasaniabdulgani yang menyatakan harapan naturalisasi dapat dilakukan maksimal April 2022.\"Apabila terjadi, Insyaallah pemain tersebut bisa bermain di kualifikasi Piala Asia, Juni mendatang. Target Ketua Umum PSSI adalah para pemain keturunan tersebut dapat membela timnas di babak kualifikasi Piala Asia dan Piala AFF 2022,\" tulis Hasani. (mth)
Kemerdekaan Jiwa
Negara begitu terbuka menyediakan ruang dan waktu bagi setiap kesadaran. Pada Jiwa yang hidup, tak akan pernah lepas dari domain dan irisan negara. Sebagian besar mengambil peran sebagai aktifis, sebagian kecil memilih jalan sebagai pejuang. Aktifis pergerakan lebih banyak meniti karir politik dan ekonomi, ikut menikmati kue kekuasaan, sementara pejuang menyusuri jejak langkah idealisme, berujung penjara atau kematian. Sama-sama memiliki keyakinan dan membangun catatan sejarahnya masing-masing. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari KEDUANYA seperti serupa tapi tak sama. Memiliki perbedaan yang sangat tipis, meski prinsip dan mendasar. Dituntun oleh eksistensi yang berbeda, dinamika kelompok-kelompok perubahan itu, sering hadir dan dinilai dalam keragaman sudut pandang. Proses dan cara menikmati hasilnya, sering menunjukkan betapa masing-masing memiliki motif dan keinginan sendiri. Pertemuan keduanya kerapkali tidak bisa dihindarkan, saat yang satu berada dalam kekuasaan dan yang lainnya berada di luar sistem. Apa yang dulu diperjuangkan dan dilawan bersama, kini menjadi sebaliknya. Sebagian menjadi barisan pendukung kekuasaan, sebagian lagi mengambil sikap oposisional. Kesadaran krisis dan kesadaran makna pada setiap orang, menuntunnya pada pilihan-pilihan dan tujuan hidupnya. Pada satu ketika perjalanan akan membawanya menemukan sebuah persimpangan, menuju jalan rasional atau jalan pengabdian. Jalan mainstream yang ramai juga penuh sesak karena menawarkan peluang dan fasilitas hidup berlimpah. Atau jalan kesunyian yang sering dianggap terbelakang dan jauh dari penghormatan. Betapa bengisnya kehidupan, karena menawarkan kehormatan pada orang yang berharta dan memangku jabatan walau dipenuhi kemunkaran. Sementara kehinaan dan pandangan rendah manusia, terus menghinggapi kesahajaan dan yang memilih hidup sederhana meski mengusung kebenaran dan keadilan. Seoertinya tak ada tempat dan kesempatan hidup bagi kemiskinan. Tanpa disadari, sifat mengagungkan materi dan kebendaan itu membangun podasi kapitalisme yang kokoh, yang dideklarasi sebagai musuh bersama. Melawan Hasrat Memiliki Dunia Seringnya terjebak dan gagal menciptakan keseimbangan di antara kesadaran rasional materil dan kesadaran ideal spiritual. Membuat banyak orang mengambil pilihan lebih karena tekanan dan tuntutan hidupnya. Berada pada wilayah nyaman, menjadi tempat yang banyak dibanjiri orang. Berbondong-bondong mengejar status sosial, sangat bergantung dan membutuhkan pengakuan publik. Terkadang mengambil jalan pintas, menjadi pilihan yang terbaik dalam mencapai tujuan. Sikap ini cenderung lebih suka menerima dan mengambil sesuatu dari negara atau orang lain. \"Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan untukmu, tapi tanyakanlah apa yang telah engkau berikan untuk negara\". Boleh jadi kata-kata bijak itu, menjadi kegelisahan dan reaksi pada keadaan yang demikian. Sementara di luar itu, saat keberanian bergumul dengan nilai-nilai spiritual. Gandrung menelusuri kedalaman hakekat dan hubungan sosial dan tresedental. Menjalani hidup dengan melepaskan semua potensi yang ada dan dimilikinya untuk khalayak. Mewujudkan penyerahan dirinya bagi kemanusiaan dan Ketuhanan. Telah menjadi pilihan yang tidak populer, tidak realistis bahkan dianggap gila. Mentalitas ini yang enggan digeluti orang, karena memiliki banyak keterbatasan dan seringnya ketiadaan dalam ukuran materi. Menjadi terasing karena tidak menjadi tempat orang menghamba, meminta dan mengemis. Kehadiran anak istri dan keluarga lainnya semakin mengokohkan kehadiran dan pengakuan akal sehat. Seiring waktu, suasana batin dan keinginan juga akan berubah. Rela meninggalkan komitmen dan konsistensinya pada daya juang. Hal-hal yang terkait idealisme menjadi lebih kecil dan terbatas, dari negara dan bangsa bergeser untuk orang-orang terdekat yang dicintai. Pengabdian kepada sesama dan kepada Tuhan, lebih banyak muncul sebagai kata-kata mutiara. Sama halnya moralitas dan agama yang indah dan mudah terdengar, namun sulit mewujud dalam laku. Banyak yang kemudian menjadikan revolusi baik diri dan negara bangsa sebagai sesuatu yang tabu, karena harus terpaksa berhadapan dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai bagian dari rakyat yang tercerahkan. Aktivis pergerakan baik sebagai sekedar aktivis semata maupun sebagai pejuang. Keduanya sama-sama memiliki kesalehan sosial dan ketrampilan sosial. Mengemban amanat penderitaan rakyat yang tak mudah dipikulnya. Meskipun banyak mengeluarkan waktu, tenaga bahkan biaya yang tidak sedikit. Harus berhadapan dengan realitas, menjadi nilai-nilai yang berbeda atau seperti kebanyakan orang pada umumnya. Menjadi aktivis pergerakan yang telah mendarah-daging dalam hidupnya, namun tetap dapat berkompromi dengan keadaan. Pada pilihan berat, harus menanggung perihnya menjadi pejuang yang terkadang harus mengabaikan dirinya dan menumpahkan darahnya sendiri. Di satu sisi mengikuti kehendak bersama, seiring sejalan meski dengan keakuan. Di lain sisi hidup menggenggam idealisme dalam kesendirian. Aktivis pergerakan dan pejuang yang sesungguhnya, mungkin akrab dengan dilema. Bertahan dalam keterbatasan atau tak sanggup lagi hidup sengsara. Masih ada pilihan untuk menjadi ofortunis atau setia pada perjuangannya. Biarlah sejarah yang akan mencatat hitam putihnya. Menjadi pahlawan dan dihujat sebagai penghianat. Menerima kekalahan idealisme sebagai pecundang atau teguh berkarakter memiliki kemerdekaan jiwa. (*)