Negara Ini Negara Kebangsaan Bukan Negara Demokrasi

Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila.

Kita memasuki era di mana menurut rezim ini Pancasila disetubuhkan dengan liberalisme, kapitalisme, padahal Pancasila itu antitesis dari individualisme, liberalisme, dan kapitalisme.

Oleh : Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila

BANYAK yang tidak memahami bahwa negara yang diproklamasikan itu dasarnya Pancasila, dan dalam perdebatan selalu muncul berbagai rumusan Pancasila versi 1 Juni, 22 Juni Piagam Jakarta dan versi Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.

Ketidak-mauan membuka sejarah dan dokumen BPUPKI, sehingga banyak yang tidak bisa berargumentasi dengan benar, betul Pancasila itu ide Bung Karno, tetapi Pancasila itu kemudian dirumuskan kembali di panitia 9 untuk mendapatkan kompromi, kesepakatan, dan penyempurnaan, baik tata letak urutan maupun penambahan literasi, maka terjadilah kesepakatan yang kemudian dinamakan Piagam Jakarta.

Apakah Bung Karno sebagai Ketua Panitia 9 bisa menerima penyempurnaan rumusan Pancasila itu? Kata Bung Karno:

Rumusan Pancasila dan Bung Karno bisa menerima semua itu tidak merasa paling benar, kok sekarang ada yang menafsirkan Pancasila itu 1 Juni 1945, padahal Bung Karno sendiri tidak pernah mengatakan begitu. Sebab Pancasila 1 Juni adalah konsep yang perlu disempurnakan dan disetujui oleh seluruh Bangsa Indonesia.

Pancasila itu yang final adalah Pancasila yang diuraikan dalam Alinea ke IV Pembukaan UUD 1945.

Mengapa? Sebab, di alinea ke IV itulah Pancasila sebagai desain negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Sebab, Proklamasi dan pembukaan UUD 1945 adalah loro-loroning atunggal yang tidak bisa dipisahkan, kata Bung Karno.

Desain Negara berdasarkan Pancasila itu adalah: “.…Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia….”

Bagaimana desain negara berdasarkan Pancasila itu dijalankan? Oleh pendiri negeri ini kemudian diuraikan pada batang tubuh UUD 1945 yang berupa pasal-pasal. Dalam pasal-pasal UUD 1945 itulah sistem negara berdasarkan Pancasila.

Sekarang kita menjiplak demokrasi liberal yang kita jalankan saat ini, padahal para pendiri negeri ini sudah bersepakat dan tidak akan mendirikan negara dengan dasar Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme.

Amandemen UUD 1945 adalah UUD 2002 berbeda dengan UUD 1945. Artinya, UUD 2002 adalah UUD yang tidak berdasarkan Pancasila, UUD yang tidak ada hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945. Bahkan tidak ada hubungannya dengan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Negara ini sudah dikudeta oleh mereka yang mengatakan dirinya reformis, jelas bertolak belakang dengan negara Pancasila yang mempunyai sistem sendri yang disebut sistem MPR, kita menciptakan sendiri sistem, yaitu sistem MPR. Jadi negara berdasarkan Pancasila itu sistemnya MPR, di mana seluruh elemen bangsa terwakili di lembaga tersebut, sebab negara ini semua untuk semua, bukan untuk sebagian orang yang merasa menang saat pemilu, bukan hanya golongan politik saja.

Maka dari itu anggota MPR adalah disamping DPR dari golongan politik juga utusan golongan, utusan daerah sehingga di MPR-lah kedaulatan tertinggi itu terwujud, kemudian tugas MPR adalah menyusun GBHN dan mengangkat presiden untuk menjalankan GBHN, maka Presiden adalah Mandataris MPR.

Kita telah terjerumus dengan penipuan dan kebohongan bahwa UUD 2002 masih dikatakan UUD 1945, padahal tidak ada hubungannya sama sekali, berbeda. Dan tidak ada hubungannya dengan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Sejak UUD 1945 diamandemen bukan saja menghabisi Ideologi Pancasila yang terdapat dalam UUD 1945 yang berakibat hilangnya pedoman-pedoman pokok yang ada di Pembukaan UUD 1945.

Sebagaimana diketahui, mengenai negara dan hukum terdapat soal-soal pokok yang telah berabad-abad selalu menjadi pikiran dan selama-lamanya tetap aktuil, sepertinya soal hakekat, sifat, tujuan dan lapangan tugas bekerjanya negara dalam teori dan dalam praktik.

Untuk memperdalam kajian ideologi Pancasila tentu kita harus mengerti apa itu hakekat, sifat, tujuan dan tugas negara di dalam ketatanegaraan dengan mengerti hal tersebut maka kita menjadi paham apa itu ideologi Pancasila.

Cuplikan Tesis Prof Dr Noto Nagoro

Soal sifat manusia sebagai dasar kenegaraan. Di dalam Pembukaan terdapat unsur-unsur, jang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam hal soal-soal pokok itu.

Pembukaan mulai dengan pernjataan, “bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Hak akan kemerdekaan jang dimaksudkan adalah daripada segala bangsa, bukannja hak kemerdekaan daripada individu, dan untuk mempertanggung djawabkan lebih landjut, bahwa “pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan” djuga bukan hak kemerdekaan individu jang dipergunakan sebagai dasar, akan tetapi “perikemanusiaan dan perikeadilan”, kedua-duanja  pengertian dalam arti abstrak dan hakekat. Djangan sekali-kalli lalu timbul anggapan, bahwa di dalam pernjataan hak kemerdekaan bangsa daripada Pembukaan itu tidak ada tempat bagi hak kebebasan perseorangan. Tidak demikian halnja, akan tetapi perseorangan ditempatkan dalam hubungannya dengan bangsa, dalam kedudukannja sebagai anggauta bangsa dan sebagai manusia dalam kedudukannja spesimen atas dasar atau dalam lingkngan djenisnja (genus), ialah “perikemanusiaan”. Sebaliknja bukan maksudnja djuga untuk menjatakan, bahwa perseorangan adalah seolah-olah anggauta bangsa, melulu pendjelmaan djenis, akan tetapi seraja itu djuga merupakan diri sendiri dan berdiri pribadi.

Pemakaian “perikemanusiaan” djuga sebagai alasan untuk menghapuskan pendjadjahan, lagipula termasuknja sila “kemanusiaan jang adil dan beradab” dalam asas kerohanian Negara menundjukkan, bahwa dikehendaki untuk unsur kesesuaian dengan hakekat manusia itu sebagai pokok sendi bagi Negara, dan hakekat manusia adalah machluk jang bersusun dalam sifatnja, ialah individu dan machluk sosial kedua-duanja.

Terkandung di dalam unsur-unsur Pembukaan itu tidak hanja hal Negara didasarkan atas pokok pikiran bersendi pada dan terdiri atas manusia jang mempunjai sifat individu dan machluk sosial kedua-duanja, akan tetapi djuga tidak menitik beratkan kepada salah satunja. Jang dikehendaki bukan Negara jang bersusun individualistis, atomistis, mechanis atau sebaliknja Negara jang bersusun kolektif atau organis, sebagai kesatuan total jang menjampingkan diri daripada manusia perseorangan. Akan tetapi jang dimaksud ialah Negara jang bersusun dwi-tunggal, kedua-duanja sifat manusia sebagai individu dan machluk sosial terpakai sebagai dasar jang sama kedudukannja.

Pentingnja arti daripada soal sifat manusia dalam hal merupakan dasar kenegaraan, tidak perlu dipertanggungdjawabkan lagi, sebagaimana diketahui sudah menjadi pendapat umum, bahwa itu mempunjai arti jang menentukan dalam hal-hal pokok kenegaraan, sepertinja sudah disinggung-singgung di atas tadi menentukan hakekat, sifat daripda negara sendiri, djuga menentukan susunan, tudjuan dan tugas bekerdjanja negara, kedudukan warga negara dalam negara dan hubungannja dengan negara, begitu pula susunan pemerintahan negara.

Kesimpulan jang didasarkan atas unsur-unsur jang terdapat dalam Pembukaan tadi, ternjata sesuai dengan dan memperoleh penegasan resmi sebagaimana dimuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II nomer 7.

Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan, Negara jang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnja. Djadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnja. Inilah suatu dasar Negara jang tidak boleh dilupakan”.

Selandjutnya dikatakan, bahwa “pokok jang ketiga jang terkandung dalam “pembukaan” ialah Negara jang berkedaulatan rakjat, berdasar atas kerakjatan dan permusjawaratan/perwakilan. Oleh karena itu sistem Negara jang harus terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakjat jang berdasar atas permusjawaratan/perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masjarakat Indonesia”.

Dengan lain perkataan sistim negara harus demokratis, djadi di sini dititikberatkan kepada unsur sifat individu daripada manusia, dan demokrasi jang sesuai dengan sifat masjarakat Indonesia jang telah terdapat dan terselenggara padanja, ialah kedaulatan rakjat atas dasar permusjawaratan/ perwakilan.

Lain dari itu ditegaskan, bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (Rechsstaat tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat) …… Pemerintahan berdasar atas sistim Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan jang tidak terbatas)”.

Dengan diamandemennya pasal 1 ayat 2 UUD 1945 Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhkan oleh MPR. Setelah diamandemen Pasal 1 ayat 2 menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.

Akibat amandemen UUD 1945 pasal 1 ayat 2 menjadi tidak jelas secara makna apalagi secara hakekat, secara makna apa mungkin UUD menjalankan UUD? Siapa yang menjalankan Kedaulatan rakyat itu pasal berapa? Juga tidak jelas.

Soal Tudjuan Negara

Disamping pedoman pokok dalam hal hakekat dan sifat Negara, di dalam Pembukaan terdapat pula pedoman pokok mengenai tudjuan Negara dan tugas bekerdjanya bagi tertjapainja tudjuan itu.

Pertama ada pedoman jang dapat disimpulkan dari hakekat dan sifat Negara, jang dwitunggal perseorangan – machluk sosial dalam kedudukan sama-sama tadi.

Jaitu ada kepentingan perseorangan dan ada kepentingan bersama, jang kedudukannja djuga sama. Tidak ada dalam prinsipnja kepentingan jang umum itu harus diutamakan atau sebaliknja kepentingan jang chusus harus dimenangkan djuga tidak ada. Di dalam keadaan tertentu, kedua-duanja dalam prinsipnja sama, harus mengingat keadaannja, jang mana diantara dua matjam kepentingan jang harus diutamakan.

Kepentingan perseorangan dalam dasarnja tidak sama sekali diserahkan kepada perseorangan sendiri berdasarkan atas kekuasaannja sendiri, atau sebaliknja sama sekali diselenggarakan oleh Negara, akan tetapi Negara memelihara baik kepentingan umum maupun kepentingan warga negaranja perseorangan, jang dalam prinsipnja menjadi pemeliharaan perseorangan sendiri.

Negara memberi kesempatan, dan menjelenggarakan bantuan jang sebaik-baiknja kepada perseorangan, sendiri-sendiri atau bersama-sama, untuk berusaha sendiri memenuhi keingingan, kebutuhan dan kepentingan sendiri.

Dengan demikian tudjuan dan lapangan tugas bekerdjanja Negara tidak hanja negatif, ialah memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian ke dalam dan keluar, atau sebaliknja bersifat positif (absolut) semua kepentingan, termasuk kepentingan perseorangan, sama sekali dipelihara oleh Negara. Akan tetapi bersifat kesatuan negatif dan positif ketjuali menudju ketertiban, keamanan dan perdamaian (tudjuan negatif), djuga menudju keadilan, kesedjahteraan serta kebahagian (tudjuan positif).

Visi Negara Republik Indonesia di dalam Pembukaan dituliskan Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.

Misi Negara Republik Indonesia ada pedoman, jang dalam Pembukaan sendiri ditentukan sebagai tudjuan dan tugas bekerdjanja Negara dalam kalimat keempat:

bersifat nasional, ialah ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum serta mentjerdaskan kehidupan bangsa”;

bersifat internasional, ”ialah ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Dua pedoman tersebut apabila dipersatukan, maka merupakan perudjudan daripada matjam-matjam kepentingan jang mendjadi tugas pemeliharaan Negara tidak tjuma bangsa Indonesia dalam keseluruhannja harus dilindungi, djuga suku bangsa, golongan warga negara, keluarga, warga negara perseorangan;

Tidak tjukup ada kesedjahteraan dan ketinggian martabat kehidupan umum bagi seluruh bangsa, djuga harus ada kesedjahteraan dan martabat kehidupan tinggi bagi setiap suku bangsa, setiap golongan warga negara, setiap keluarga, setiap warga negara perseorangan. Dengan lain perkataan harus ada keadilan sosial, jang pemeliharaannja baik diselenggarakan oleh Negara maupun oleh perseorangan sendiri, tidak dengan atau dengan bantuan Negara.

Di sinilah ketika amandemen UUD 1945 rupanya banyak yang tidak mengerti bawah Keadilan sosial itu adalah protes keras para pendiri negeri ini pada Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme.

Cuplikan Sidang BPUPKI

Soepomo IIN:

1. “Negara, jang – begitoe boenjinja – negara jang melindoengi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia dengan berdasar persatoean, dengan mewoedjoedkan keadilan bagi seloeroeh rakjat Indonesia”. Ini terkandoeng dalam pemboekaan.

Tadi soedah saja katakan, oleh karena itoe kita menolak bentoekan negara jang berdasar individualisme dan djoega kita menolak bentoekan negara sebagai klasse-staat, sebagai negara jang hanja mengoetamakan satoe klasses, satoe golongan, oempamanja sadja, negara menoeroet sistem sovjet, jang ada sekarang, ialah mengoetamakan klasse pekerdja, proletariaat, klasse pekerdja dan tani, – itoe jang dioetamakan, maka itoe poen kita tolak dengan mengerimanja pemboekaan ini, sebab dalam pemboekaan ini kita menerima aliran, pengertian negara persatoean, negara jang melindoengi dan melipoeti segenap bangsa seloeroehnja. Djadi negara mengatasi segala golongan, mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Akan tetapi negara, menoeroet pengertian di sini, menghendaki seloeroehnja, seloeroeh rakjat. Itoe satoe hal jang haroes tidak boleh tidak kita loepakan.

2. Tadi soedah dioeraikan oleh Ketoea Panitia Penjelenggara Oendang-oendang Dasar, negara kekeloeargaan jang berdasar atas hidoep kekeloeargaan dan boekan sadja hidoep kekeloeargaan ke dalam, akan tetapi djoega keloear.

Di sini telah termaktoeb dalam pemboekaan negara jang menimboelkan hidoep kekeloeargaan Asia Timoer Raja.

Djadi dengan ini, dengan menerima ini, kita djoega menerima aliran pikiran jang akan membentoek negara jang berdasar atas kekeloeargaan, tidak sadja terhadap kepada keloearga negaranja, akan tetapi terhadap keloear, jaitoe kita sebagai anggota dari persaudaraan bangsa-bangsa dalam lingkoengan Asia Timoer Raja. Dengan inipoen kita insaf kepada kedoedoekan Indonesia sebagai negara dalam lingkoengan Asia Timoer Raja.

3. Pokok jang ketiga jang terkandoeng dalam pemboekaan, ialah negara jang berkedaulatan rakjat, berdasar kerakjatan dan permoesjawaratan perwakilan. Itoe pokok jang terkandoeng dalam pemboekaan.

Oleh karena itoe sistem negara jang nanti akan terbentoek dalam oendang2 dasar djoega haroes demikian berdasar atas kedaulatan rakjat dan berdasar atas permoesjawaratan perwakilan. Memang aliran-aliran ini sesoeai dnegan sifat-sifat masjarakat Indonesia jang pada waktoe persidangan Dokuritsu Zyumbi Tyosakai pertama djoega soedah saja oeraikan di sini.

Pokok pikiran jang ke-4, jang terkandoeng dalam pemboekaan, ialah negara berdasar kepada ke-Toehanan, menoeroet dasar kamanoesiaan jang adil dan beradab. Oleh karena itoe, oendang-oendang dasar haroes mengandoeng isi jang mewadjibkan pemerintah dan pemerintah negara d.l.l. penjelenggara negara oentoek memelihara boedi-pekerti kemanoesiaan jang loehoer dan memegang tegoeh tjita-tjita moraal rakjat jang loehoer.

5. Aliran pokok pikiran jang ke-5 dalam pemboekaan, ialah negara Indonesia memperhatikan keistimewaannja pendoedoek terbesar dalam lingkoengan daerahnja, ialah pendoedoek jang beragama Islam, oleh karena di sini dengan begitoe terang dikatakan, negara berdasar kepada ke-Toehanan dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeloek-pemeloeknja. Dengan itoe negara memperhatikan keistimewaannja pendoedoek jang terbesar, ialah jang beragama Islam sebagai kemarin dengan pandjang lebar djoega telah dioeraikan dan sesoedahnja toean Abikoesno berpidatoe, sidang dewan boelat moefakat, tentang pasal ini.

Perkataan-perkataan ini hasil dari gentement agreement, dari 2 golongan jang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan agama. Oleh karena itoe pasal ini haroes kita pegang tegoeh. Artinja soedah kita kompromis, soepaja kita dapat mempersatoekan kedoeanja. Kemarin djoega, gentlement agreement itoe berarti memberi dan menerima, tetapi atas dasar kompromis itoe, gentlement agreement itoe, kedoea-doea pihak tidak boleh menghendaki lebih daripada jang dikompromis. Sebab kalau begitoe, melanggar kepada dasar kemanoesiaan jang telah kita terima dan dasar keoetamaan jang kita telah terima dalam pemboekaan.

Dalam panitia sebetoelnja panitia malah bertindak lebih daripada hanja kata-kata jang dalam pemboekaan ini. Panitia, maka termasoek anggota-anggota baik dari golongan Islam jaitoe Kjai Wachid Hasjim dan Agoes Salim dan djoega wakil-wakil dari golongan lain jang tidak golongan Islam misalnja toean Latuharhary, Maramis djoega ada di sitoe. ……………..

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Soepomo IIN : ………………

“Negara Indonesia ialah negara kesatoean jang berbentoek republik”. Dan ajat 2 ialah mengandoeng isi pokok pikiran kedaulatan rakjat:

“Kedaulatan adalah di tangan rakjat dan dilakoekan sepenoehnja oleh ……”, jaitoe jang kami toelis “Medjelis Permoesjawaratan Rakjat”. Kedaulatan rakjat adalah di tangan rakjat. Artinja rakjat itoe berpengertian sebagai pendjelmaan rakjat tadi, ialah panitia perantjang menjeboet “Madjelis Pemoesjawaratan Rakjat” itoelah sebagai pendjelmaan rakjat. Djadi dengan lain perkataan “Madjelis Permoesjawaratan Rakjat” ialah penjelenggara negara jang tertinggi. Oleh karena, itoe pendjelmaan rakjat sendiri, pendjelmaan seloeroeh rakjat.

Dan oleh karena itoe djoega jang dikehendaki oleh panitia, madjelis permoesjawaratan rakjat itoe hendak dibentoek sedemikian, sehingga betoel2 seloeroeh rakjat mempoenjai wakil di sitoe.

Tentang soesoenannja, tentang bentoeknja, itoe terserah kepada oendang-oendang, hanja panitia mengoesoelkan satoe dasar, ialah jang termasoek dalam pasal 17 ajat 1: “Madjelis Permoesjawaratan Rakjat terdiri atas anggota2 dewan perwakilan rakjat ditambah dengan oetoesan2 dari daerah2 dan golongan2 menoeroet atoeran2 jang ditetapkan dengan oendang2”.

Djadi dengan pasal ini, dengan ajat ini, panitia berkejakinan, bahwa seloeroeh rakjat, seloeroeh golongan, seloeroeh daerah2 akan mempoenjai wakil dalam Madjelis Permoesjawaratan Rakjat itoe, sehingga madjelis itoe memang dapat dianggap sebagai betoel2 pendjelamaan rakjat, jang memegang kedaulatan rakjat.

Soedah tentoe badan jang begitoe besar tidak bisa dan djoega tidak perloe bersidang saban hari. Maka badan jang begitoe besar menoeroet ajat 2 daripada pasal 17, ialah bersidang sedikit-dikitnja sekali dalam 5 tahoen di iboe kota negara.

Sedikit-dikitnja sekali 5 tahoen, djadi kalau perloe itoe dalam 5 tahoen tentoe boleh bersidang lebih dari satoe kali.

Dan apa pekerdjaannja ialah termasoek dalam pasal 18: “Madjelis Permoesjawaratan Rakjat menetapkan oendang2 dasar dan garis besar daripada haloean negara”.

Oleh karena Madjelis Permoesjawaratan Rakjat itoelah jang memegang haloean rakjat jang memang mempoenjai kekoeasaan tertinggi jang tak terbatas.

Maka soedah selajaknja Madjelis Permoesjawaratan Rakjat jang akan menetapkan oendang2 dasar dan garis2 besar daripada haloean negara, dan madjelis ini bersidang 5 tahoen sekali sedikitnja, djoega kita mengingat dinamik, kehidoepan, toemboehnja masjarakat. Djadi sekali dalam 5 tahoen itoe, sesoedahnja 5 tahoen soedah tentoe rakjat atau badan permoesjawaratannja ingat, apa jang terdjadi dan aliran apa di waktoe itoe, dan apa haloean jang baik oentoek di kemoedian hari. dan jika perloe soedah tentoe akan merobah oendang2 dasar.

Jadi, dengan demikian kita bisa mempelajari aliran pemikiran yang dibangun oleh The Founding Fathers republik ini dalam merancang UUD 1945. Dengan dasar kolektivisme, sistem ini justru menjadi antitesis dari individualisme, liberalisme yang melahirkan kolonialisme.

Dengan uraian di atas kiranya kita perlu mempertanyakan pada Presiden Joko Widodo atas pidatonya.

Cuplikan pidato Jokowi;

…”Ideologi Pancasila adalah satu satunya ideologi bangsa yang setiap warga negara harus jadi bagian darinya.

Dalam demokrasi mendukung kandidat mati-matian itu boleh, menjadi oposisi juga sangat mulia.

Silakan jadi oposisi asal jangan oposisi yang menimbulkan dendam, kebencian, apalagi disertai hinaan, cacian, makian.

Bapak ibu, kita ini memiliki norma-norma agama, memiliki etika ketimuran memiliki budaya yang luhur, kita harus ingat ini.

Pancasila adalah rumah kita bersama. Sebangsa setanah air tak ada toleransi sedikitpun bagi yang mengganggu Pancasila.

Yang mempermasalahkan, yang mempermasalahkan Pancasila, tidak ada lagi orang Indonesia yang tak mau berbineka tunggal ika, tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak toleran, tidak menghormati agama lain, ideologi kita adalah Pancasila, rukun itu indah, bersaudara itu indah, bersatu itu juga indah, bersatu itu indah saya yakin kita semua berkomitmen berdemokrasi yang berkeadaban yang menjunjung tinggi martabat Indonesia yang membawa menjadi Indonesia maju adil dan makmur……”

Dalam pidato ini jelas Jokowi tidak mengerti apa itu ideologi Pancasila. Di dalam negara berdasarkan Pancasila itu tidak mengenal yang namanya oposisi. Dan sistem negara berdasarkan Pancasila bukan model pilpres yang dimenangkan dengan banyak-banyakan suara, kalah-menang, kuat-kuatan.

Jadi benar apa yang dikatakan Presiden Jokowi merubah paradigma lama, yaitu merubah aliran pemikiran ke-Indonesia-an. Jadi Indonesia sudah ditafsir lain oleh pidato Jokowi yang sesungguhnya Pancasila juga menurut tafsirnya.

Kita memasuki era di mana menurut rezim ini Pancasila disetubuhkan dengan liberalisme, kapitalisme, padahal Pancasila itu antitesis dari individualisme, liberalisme, dan kapitalisme.

Maka akan dibuka seluas-luasnya investasi di negeri ini, tanda dikuburnya aliran pemikiran ke-Indonesia-an yang anti kolonialisme.

Sadarkah kita sebagai anak bangsa tentang keadaan negara ini, sadarkah mahasiswa dalam demonya mengusung isu yang tidak membumi? Harusnya mahasiswa mengusung mengembalikan negara yang dimerdekakan melalui  Proklamasi 17 Agustus 1945, dan meminta MPR menggelar Sidang Istimewa untuk kembali ke UUD 1945 Asli. (*)

411

Related Post