Demokrasi Rp 110,4 Triliun: Semakin Melenceng dari Tujuan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sistem presidensil basisnya Individualisme. Maka kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kuat-kuatan, pertarungan, kalah menang. Yang menang mayoritas dan yang kalah minoritas.
Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila
HANYA bangsa yang bodoh yang melakukan demokrasi liberal untuk memilih pemimpin yang yang tak jelas kapasitasnya dengan anggaran Rp 110,4 triliun.
Kita dibodohkan dan dimiskinkan oleh sebuah sistem, itu kata Bung Karno.
Padahal pendiri negeri ini sudah sangat canggih memikirkan negara yang bagaimana yang akan dibentuk dari sejak negara ini akan didirikan sudah menjadi kesepakatan dasar negara kita adalah Pancasila.
Jadi, sistem negara bukan Liberal, bukan Kapitalisme seperti sekarang ini. Negara ini sistem yang dipilih adalah negara berdasarkan Pancasila dengan demokrasinya '”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Oleh sebab itu, sistemnya Kolektivisme Kekeluargaan, bukan Presidensial dengan basis individualisme banyak-banyakan suara yang kalah-menang pertarungan, kuat-kuatan, kaya-kayaan yang menuju keterbelahan bangsa.
Mari kita semua mengisyafi keadaan bangsa ini, apa para pemimpin sadar dan memikirkan nasib keterpurukan bangsanya.
Apakah negara ini masih bertujuan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kalau unsur individualisme kapitalisme dimasukan, disusupkan di dalam UUD hasil amandemen?
Jadi, Negara berdasar Pancasila itu mempunyai sistem sendiri, bukan sistem Presidensil maupun sistem Parlementer.
Sistem sendiri atau sistem MPR tersebut pengejawantahan dari negara bahwa semua untuk semua. Pengejawantahan negara Gotongroyong. Oleh sebab itu, sistem keanggotaan MPR adalah keterwakilan, bukan keterpilihan dari banyak suara, ini bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika.
Keanggotaan MPR bukan hanya DPR dan DPD tetapi ada juga utusan utusan golongan dengan sistem keterwakilan. Bukan keterpilihan dari hasil banyak-banyakan suara. Yang pada akhirnya menghasilkan mayoritas yang banyak suaranya, minoritas yang sedikit suaranya.
Model menang-kalah, banyak-banyakan suara Pilkada, Pilsung, seperti ini bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus bertentangan dengan Pancasila.
Pancasila itu antitesis dari Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme.
Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme telah melahirkan kolonialisme penjajahan dan menimbulkan perang dunia kesatu dan perang dunia kedua. Padahal negara ini didirikan anti penjajahan, bahkan di pembukaan UUD 1945 ditulis dan satu-satunya negara yang mengatakan Penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dianggapnya UUD 1945 tidak ada HAM-nya diamandemen dimasukannya pasal pasal yang diambil dari piagam PBB dimasukan ke UUD1945.
Kegoblokan pengamandemen UUD1945, tidak memahami UUD 1945. PBB dan Dua Barat masih menjajah bangsa lain, Indonesia sudah mengatakan anti penjajahan dan harus dimusnahkan di muka dunia.
Tidak ada HAM tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila itulah sumber HAM, kok justru kita copy paste dan mengamandemen UUD 1945 kita setubuhkan dengan Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme.
Oleh sebab itu, pendiri negeri ini tidak mau memilih sistem Presidensil atau Parlementer. Sebab kedua sistem ini basisnya individual, dianggap salah, tidak sesuai dengan bangsa ini yang anti penjajahan.
Maka dilahirkanlah sistem sendiri yang disebut sistem MPR berbasis gotong-royong, tolong-menolong, kebersamaan kekeluargaan.
Jadi, seluruh elemen bangsa duduk di MPR sebagai utusan golongan bertugas merumuskan politik rakyat yang disebut GBHN.
Setelah itu dipilih Presiden untuk menjalankan GBHN. Maka Presiden adalah mandataris MPR, bukan petugas partai seperti saat ini.
Tidak mungkin tujuan negara masyarakat yang adil dan makmur diletakkan pada sistem individualisme, liberalisme, dan kapitalisme yang serba serakah.
Jadi, negara telah melenceng dari tujuan bernegara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Saat Amandemen UUD 1945 banyak rakyat tidak mengetahui sesungguhnya amandemen yang telah dilakukan sejak tahun 2002 telah mengubah negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dari negara berdasarkan Pancasila menjadi negara yang berdasar liberalisme, kapitalisme.
Ternyata amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 juga berimplikasi terhadap perubahan sistem ketatanegaraan, berubahnya negara berideologi Pancasila menjadi sistem Presidensil yang dasarnya Individualisme Liberalisme Kapitalisme.
Kita perlu membedah perbedaan negara bersistem MPR berideologi Pancasila dan Negara dengan sistem Presidensil berideologi Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme agar kita semua paham dan mengerti telah terjadi penyimpangan terhadap Ideologi Pancasila.
Sistem MPR basisnya elemen rakyat yang duduk sebagai anggota MPR yang disebut Golongan Politik diwakili DPR, sedang golongan Fungsional diwakili utusan Golongan-golongan dan Utusan daerah.
Tugasnya merumuskan politik rakyat berdasarkan visi misi negara yang kemudian disebut GBHN. Setelah GBHN terbentuk dipilihlah Presiden untuk menjalankan GBHN. Oleh sebab itu, presiden adalah mandataris MPR dan Presiden di masa akhir jabatannya mempertangungjawabkan GBHN yang sudah dijalankan.
Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri atau politik golongannya, apalagi Presiden sebagai petugas partai, seperti di negara komunis.
Demokrasi berdasarkan Pancasila adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan.
Jadi, pemilihan Presiden dilakukan dengan permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan, artinya tidak semua orang bisa bermusyawarah yang dipimpin oleh Hikmah, hanya para pemimpin yang punya ilmu yang bisa bermusyawarah, sebab musyawaran bukan kalah menang, bukan pertaruhan, tetapi memilih yang terbaik dari yang baik.
Pemilihan didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan, nilai persatuan Indonesia, Permusyawaratan perwakilan yang bertujuan untuk Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan semua hasil itu semata-mata untuk mencari ridho Allah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan sistem MPR maka pelaksanaan demokrasi asli Indonesia berdasarkan Pancasila tidak menguras 110,4 triliun rupiah, tidak ada pengerahan massa, tidak ada kampanye, tidak ada pengumpulan massa yang tidak perlu. Sebab yang di pertarungkan adalah pemikiran gagasan, tidak membutuhkan korban seperti tahun 2019 yang hampir 900 petugas KPPS meninggal tidak jelas juntrungannya.
Sistem presidensil basisnya Individualisme. Maka kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kuat-kuatan, pertarungan, kalah menang. Yang menang mayoritas dan yang kalah minoritas.
Demokrasi dengan cara-cara Liberal, Kapitalis, membutuhkan biaya yang besar menguras dana rakyat Triliunan rupian untuk memilih pemimpin pilkada, pileg, pilpres dengan sistem pemilu yang serba uang, bisa kita tebak maka menghasilkan para koruptor hampir 80% kepala daerah terlibat korupsi, dan yang lebih miris korupsi seperti hal yang lumrah di negeri ini.
Begitu juga dengan petugas KPU-nya, bagian dari sistem korup, kecurangan bagian dari strategi pemilu.
Demokrasi bisa dibeli geser-mengeser caleg, memindakan suara adalah bagian dari permainan KPU. Ini bukan isapan jempol. Bukannya sudah dua anggota Komisioner KPU yang dipecat karena terlibat permaian uang.
Dalam sistem Presidensil, Presiden yang menang melantik dirinya sendiri dan menjalankan janji-janji kampanyenya. Kalau tidak ditepati janjinya ya harap maklum.
Artinya, pada akhir masa jabatan presiden tidak mempertangungjawabkan kekuasaannya.
Bagaimana sistem Presidensil ini yang mampu menggulung Ideologi Pancasila sementara BPIP mencoba bermain-main dengan Ideologi Pancasila yang disetubuhkan dengan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme.
Entah apa yang ada di pikiran Megawati Soekarnoputri dan punggawa yang ada di BPIP. Sudah jelas mana mungkin keadilan sosial diletakan pada sistem Liberalisme Kapitalisme jelas bertentangan dengan Pancasila.
Pancasila itu antitesis dari Individualisme Liberalisme Kapitalisme?
Sudah saatnya bangsa ini bangkit dan mahasiswa harusnya mengusung isu yang membumi kembali ke UUD 1945 dan Pancasila dan segera MPR melakukan Sidang Istimewah, jika bangsa ini ingin selamat. (*)