OPINI

Dukungan untuk Aksi Mahasiswa

Oleh  M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM waktu kurang satu bulan mahasiswa telah melakukan aksi tiga kali 28 Maret, 1April, dan hari ini 11 April. Mengarah ke  Istana dengan isu utama perpanjangan masa jabatan Presiden. Masyarakat menyambut gembira akan geliat mahasiswa ini. Ada kerinduan dan harapan.  Media sosial dipenuhi berita dan percakapan atas agenda aksi mahasiswa. Mulai ajakan aksi kepada seluruh mahasiswa, BEM yang didekati hingga pertemuan Panglima TNI Andika dengan Ketua DPD Lanyalla soal rencana aksi 11 April 2022. Menghindari tindakan represif.  BEM Seluruh Indonesia akan mengajukan 6 tuntutan yaitu penolakan perpanjangan masa jabatan Presiden, evaluasi UU IKN, stabilitas harga, usut mafia minyak goreng, menyelesaikan konflik agraria serta penuntasan janji-janji kampanye Jokowi. Enam tuntutan ini menurut BEM SI akan menjadi panduan gerakan.  Ada gairah dan harapan rakyat atas gerakan mahasiswa yang berkelanjutan. Secara psiko-politis membangun semangat baru untuk \"turun\" mendukung tuntutan para mahasiswa tersebut. Mungkin buruh melakukan aksi sendiri atau bersama-sama, demikian juga dengan PA 212 yang membawa komunitas umat. Cukup banyak persoalan keumatan akibat kezaliman  rezim.   Rakyat di sekitar akan mendukung dengan segenap kemampuannya. Jika gerakan yang melibatkan masyarakat menjadi masif maka terjadilah \"people power\". Jokowi tentu akan kerepotan menghadapinya. Represivitas tinggi, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa, justru boomerang bagi rezim sendiri dan mempercepat keruntuhan.  Mahasiswa masih melakukan aksi dengan membatasi tuntutan pada penggagalan perpanjangan masa jabatan Presiden. Tentu harapannya Jokowi menyerah. Jika maju terus atau ambigu, maka waktu akan menghukum dan keterlambatan sulit untuk dimaafkan. Bola telah bergulir menuju gawang.  Aksi jalan terus, pasukan juga didatangkan untuk \"menghadang\". Aksi mahasiswa di bulan ramadhan saat mahasiswa melaksanakan puasa  tentu cukup unik dan heroik. Ibrah nubuwwah menjadi rujukan. Puasa itu tidak menghalangi perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.  Mahasiswa tengah mengibarkan panji-panji untuk melawan arogansi kekuasaan. Menyanyi menyindir Jokowi : Potong bebek angsa, masak di kuali Gagal ngurus bangsa, minta tiga kali Bohong ke sana, Bohong ke sini Lalalalalala...lala Selamat menikmati  bapak yang ingin tiga periode.. Lalala lalala.. lala Bandung, 11 April 2022

Akhirnya, Sebagian Tuntutan Mahasiswa Dipenuhi Presiden: Percaya?

 Jika menyimak tuntutan janji-janji kampanye di atas, itu berarti mahasiswa masih memberi kesempatan Jokowi untuk menuntaskan jabatannya hingga berakhir pada 2024. Persoalannya, masih percayakah? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN SETIDAKNYA ada dua peristiwa menarik pada Jum’at dan Sabtu (8 dan9 April 2022) akhir pekan lalu. Kemunculan Jenderal TNI Purn Wiranto, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang bertemu BEM Nusantara. Pertemuan Wiranto di depan publik untuk yang pertama kalinya dengan BEM Nusantara ini dituding sebagai upaya penggembosan terhadap rencana aksi unjuk rasa BEM Seluruh Indonesia, Senin (11 April 2022) pekan ini. Yang menarik, dalam kesempatan jumpa persnya, Wiranto sempat menyentil soal klaim Big Data masyarakat yang ingin Pemilu 2024 ditunda yang pernah disampaikan Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan. Wiranto meminta apabila memang benar ada big data itu untuk diperlihatkan kepadanya. “Ya, sudah ndak mungkin. Kalau ada datanya sini kasihkan saya, saya bisa jawab,” kata Wiranto di kantor Wantimpres, Jumat (8/4/2022). Kalau memang big data itu hanya sekedar ucapan, maka Wiranto menganggap isu penundaan pemilu tersebut hanya menjadi pembahasan yang tidak akan kunjung selesai. Apalagi ia lebih memilih untuk berpikir secara rasional terkait isu penundaan pemilu tersebut. “Satu debatable yang tidak akan (pernah) selesai. Ya, kita bicara rasionalitas,” ujarnya. Pada kesempatan yang sama, Wiranto juga menegaskan kalau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode itu harus melewati proses yang tidak mudah. Menurutnya, untuk mengabulkan perpanjangan masa jabatan presiden itu butuh jalan yang panjang dan berat karena menyangkut amandemen UUD 1945. Dari sisi masyarakatnya harus sepakat terlebih dahulu, kemudian MPR RI juga harus menyetujui adanya perubahan UUD 1945. MPR sendiri merupakan gabungan DPR RI dan DPD RI yang tergabung dalam 9 parpol, lanjut Wiranto, sehingga perjalanannya tidak akan semudah yang dibayangkan. “DPR sendiri dari 9 parpol hanya 3 parpol yang setuju mengubah itu, 6 parpol tidak setuju. Dibawa ke MPR, ditambah DPD, DPD tidak setuju. Jadi, mana mungkin terjadi perubahan amandemen UUD 1945 mengenai jabatan presiden 3 periode?” tegasnya. Kemunculan Wiranto bersama BEM Nusantara ini seolah memberi penegasan bahwa Presiden Joko Widodo tidak sepakat dengan manuver isu perpanjangan masa jabatan maupun penundaan pemilu 2024. Di sini Wiranto sudah menjadi “juru bicara” dan kepanjangan tangan Presiden Jokowi, karena Jokowi sendiri tidak pernah secara tegas menolak usulan tiga parpol (PKB, PAN, dan Golkar) tersebut. Sebagai Ketua Wantimpres, seharusnya Wiranto memberikan masukan pada Presiden Jokowi sebelum persoalan perpanjangan jabatan dan penundaan itu menjadi isu liar yang semakin berkembang di masyarakat. Itulah peristiwa menarik pertama yang menyita perhatian publik. Manuver  perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu menjadi “bola liar” di kalangan elit politik dan pemerintah. Bahkan Luhut pernah mengklaim ada 110 juta big data di media sosial yang setuju terkait wacana penundaan Pemilu 2024. Ia mengatakan bahwa ratusan juta orang itu menginginkan Jokowi memperpanjang masa jabatannya. Peristiwa menarik kedua adalah kunjungan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa ke Rumah Dinas Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti untuk membahas dinamika yang terjadi belakangan ini, Sabtu (9/4/2022). Terutama aksi-aksi mahasiswa di beberapa kota, termasuk rencana aksi besar BEM SI yang akan digelar pada Senin, 11 April 2022. Jenderal Andika menyatakan dukungan terhadap pernyataan Ketua DPD agar aparat keamanan tidak represif dalam menghadapi aksi mahasiswa.  “Kami berterima kasih sudah diingatkan oleh Ketua DPD RI. Memang pasukan kami sudah di-BKO ke Polda dan Polres untuk antisipasi aksi. Tetapi kami tegaskan bahwa TNI dan seluruh jajaran tetap disiplin, sesuai tugas pokok dan fungsi serta kewenangannya,” katanya. Melansir FNN.co.id, Sabtu (09 April 2022 18:57:17), menurut Jenderal Andika, demonstrasi itu merupakan hak politik yakni hak berpendapat yang dijamin konstitusi dan dilindungi Undang-undang. Namun jangan sampai merusak fasilitas umum dan infrastruktur yang ada, karena yang rugi kita semua. Suara rakyat pasti didengar oleh pemerintah. “Termasuk suara dari Pak Ketua DPD yang merupakan tokoh di negeri ini,” ujarnya. Sebelumnya, LaNyalla Mahmud Mattalitti sudah menjelaskan bahwa aspirasi mahasiswa merupakan arus yang tidak bisa dibendung. Enam tuntutan yang disampaikan mahasiswa adalah suara rakyat kebanyakan. “Adik-adik mahasiswa ini sebagai saluran dari suara rakyat. Itu harus dihargai dan diterima dengan baik,” ujarnya. Karena itu, ia mengingatkan pada aparat keamanan agar kebebasan berpendapat itu harus difasilitasi dengan baik. “Saya sudah telepon langsung Kapolri (Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo), saya minta agar kepolisian, jangan represif terhadap aksi demonstrasi penyampaian pendapat dan sikap,” tegas Senator asal Jawa Timur itu. Terkait suara-suara yang minta agar Jokowi mundur, LaNyalla dan lembaga DPD RI sudah menyampaikan komitmennya, akan mengawal pemerintahan Presiden Jokowi hingga 2024. “Saya dan anggota DPD RI mengawal pemerintahan ini hingga akhir masa jabatan, tahun 2024. Kita taat terhadap konstitusi. Jadi jangan tanyakan komitmen kami soal konstitusi,” paparnya. Ditambahkan LaNyalla, dia juga menyampaikan ke para mahasiswa melalui siaran persnya, bahwa terkait tuntutan tentang janji kampanye yang belum ditepati, harus kita beri kesempatan sampai 2024. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan aparat penegak hukum tidak boleh ada kekerasan saat menjaga dan mengawal aksi unjuk rasa mahasiswa.Mahfud menyampaikan pesan itu salah satunya kepada Wakil Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Irjen Pol Merdisyam yang mewakili Kapolri saat Rapat Koordinasi Terbatas di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Sabtu.“Dalam menghadapi rencana unjuk rasa itu, pemerintah sudah melakukan koordinasi dengan aparat keamanan dan penegak hukum, agar melakukan pelayanan dan pengamanan sebaik-baiknya, tidak boleh ada kekerasan, tidak membawa peluru tajam, juga jangan sampai terpancing provokasi,” katanya. Dari enam tuntutan yang disampaikan mahasiswa, satu diantaranya seperti yang disampaikan LaNyalla. Yakni, mahasiswa menuntut Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin supaya menuntaskan janji-janji kampanye sebelum masa jabatannya berakhir pada 2024. Jika menyimak tuntutan janji-janji kampanye di atas, itu berarti mahasiswa masih memberi kesempatan Jokowi untuk menuntaskan jabatannya hingga berakhir pada 2024. Persoalannya, masih percayakah? Apalagi, Ahad (10/4/2022), melalui YouTube Sekretariat Negara, Jokowi telah menugaskan menterinya agar menjelaskan kepada masyarakat bahwa tanggal Pemilu telah disepakati 14 Februari 2024. Sedangkan Pilkada serentak digelar pada November 2024.Jokowi sebelumnya meminta jajarannya memastikan agar tidak lagi muncul spekulasi di masyarakat, pemerintah sedang melakukan upaya penundaan Pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Presiden Jokowi sampaikan hal itu dalam pengantar rapat Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Ramainya rencana aksi mahasiswa pada 11 April ternyata tidak saja ingin menyuarakan aspirasi tolak tunda Pemilu dan tolak tiga periode Jokowi. Mahasiswa ternyata juga ingin Jokowi meletakkan jabatan Presiden. “Semestinya Presiden Jokowi tahu diri dan mundur. Semua persoalan bangsa ini juga tak lepas dari ketidakcakapan Jokowi mengelola pemerintahan,” ujar Rizky Awal, Ketua GP-PMI dalam diskusi online di YouTube Ahmad Khozinudin Channel, pada Ahad (10/4/2022) Afandi Ismail selaku Ketua Umum PB HMI juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, sangat disayangkan kalau aspirasi tuntutan mahasiswa tidak sampai pada menuntut Jokowi mundur. “Kami dari HMI tegas menyampaikan aspirasi tuntutan pada aksi 11 April 2022, agar Presiden Jokowi turun,” ungkap Afandi. Afandi melihat, problem bangsa Indonesia sangat kompleks. Benalu oligarki yang menunggangi Jokowi harus dipangkas, agar tidak merusak bangsa Indonesia. Kapitalisme liberal telah menggerogoti bangsa Indonesia. (*)

Mengapa Jokowi Gelisah Terhadap Demo Besar 11 April?

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik BESOK, 11 April 2022, mahasiswa akan kembali menggelar unjuk rasa. Dalam 10 hari ini, mereka sukses membuat Presiden Jokowi gelisahj dengan demo-demo di banyak kota. Demonstrasi besok pastilah membuat Jokowi lebih gelisah lagi. Sebab, diperkirakan skala aksi ini akan sangat besar. Bisa ratusan ribu massa yang berasal dari elemen-elemen masyarakat umum. Tidak hanya mahasiswa. Meskipun mahasiswalah yang menjadi motornya. Respon masyarakat sangat antusias, terutama emak-emak. Bahkan, menurut berbagai sumber, para pensiunan perwira tinggi TNI dan Polri pun akan turun gunung. Begitu juga para tokoh ormas besar yang pro-rakyat. Ini yang membuat para penguasa khawatir. Kegelisahan Jokowi terhadap demo mahasiswa terlihat dari reaksi Polri yang mencerminkan bahwa mereka akan bertindak represif. Memang di sejumlah tempat Polisi membuktikan mereka represif. Main pukul, main tendang. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattaliti meminta agar polisi tidak represif menghadapi mahasiswa. La Nyalla langsung menelefon Kapolri untuk menyampaikan permintaan itu. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, ketika berkunjung ke kantor La Nyalla beberapa hari lalu juga menyatakan setuju dengan Ketua DPD. Panglima sempat menyindir polisi. Dia mengatakan anggota TNI yang dikerahkan untuk mengamankan demo 11 April bersama aparat kepolisian tidak akan bertindak represif. Aksi unjuk rasa mahasiswa, khususnya skala besar besok, jelas sangat tak diinginkan oleh Jokowi dan Polri. Ada kekhawatiran demo akan melebar dari tuntutan penurunan harga-harga, stop wacana penundaan pemilu dan tiga periode, ke tuntutan agar Jokowi mundur. Selama ini pun sudah diteriakkan “Jokowi mundur sekarang juga” dalam unjuk rasa di berbagai kota yang hanya dilakukan oleh mahasiswa. Para penguasa sangat khawatir teriakan itu akan digemakan dalam aksi besar besok. Kalau sampai tuntutan “Jokowi mundur” menjadi tema utama, alamat situasi akan semakin ruwet. Teriakan ini pasti akan “trending” dengan cepat. Ini sangat tidak diinginkan oleh penguasa. Sebab, begitu tuntutan ini menjadi populer dan viral, tidak bisa lagi ditarik atau diralat oleh para demonstran. Target menjadi berubah. Dan taruhannya menjadi makin tinggi. Ruwetnya ada di sini. Polisi dipastikan tidak akan membiarkan itu terjadi. Mereka akan menindas tuntutan Jokowi mundur. Suasana akan bergeser menjadi panas jika mahasiswa dan peserta dari elemen lain tidak mau berhenti meneriakkan “Jokowi mundur sekarang juga”. Karena itu, polisi akan “tukar persneling”. Mereka akan ganti ke gigi represif.  Misalnya, meminta agar unjuk rasa segera diakhiri. Atau bahkan dibubarkan secara paksa. Langkah inilah yang mungkin akan “menaikkan tensi”. Dalam arti, jika tindakan represif polisi menyebabkan korban-korban luka berat atau bahkan tewas, maka percaturan akan berubah drastis. Bola salju akan mulai bergulir. Besar kemungkinan demonstrasi lebih besar tak terhindarkan. Para penguasa menjadi terperangkap ke dalam situasi “meminum air laut”. Semakin banyak ditenggak, semakin haus. Korban yang semula sekian orang, akan bertambah terus menjadi “berkian-kian” orang. Kalau sampai ke titik ini, maka penyelesaiannya tidak mudah. Konsititusi negara bisa terancam dilanggar atau bahkan dibekukan. Pambangkangan sipil dan hukum rimba akan menjadi aturan baru. Inilah yang sangat ditakutkan Jokowi. Apakah ini bisa dielakkan? Bisa. Kalau para pimpinan institusi keamanan mengutamakan kepentingan rakyat. Bukan kepentingan satu-dua orang atau segelintir orang yang memiliki dominasi kekuatan finansial. Kita yakin Kapolri dan Panglima TNI sadar betul bahwa mereka hadir untuk rakyat. Bukan untuk boneka kekuasaan dan bukan pula untuk para penggarong kekayaan negara.[] Medan, 10 April 2022

Rakyat Menggugat Sepak Terjang LBP (2): Manipulasi Informasi Big Data

Oleh Marwan Batubara, IRESS - PNKN SETELAH membahas dugaan kasus gratifikasi Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) pada tulisan pertama, pada tulisan kedua ini diurai sepak terjang LBP pada kasus Big Data. LBP mengklaim memiliki Big Data tentang “aspirasi 110 juta suara warganet”, yang disebut telah menyatakan keinginan agar Pemilu 2024 ditunda.  Aspirasi politik 110 juta warganet tersebut tampaknya hanya utopia. LBP pun tidak mampu menunjukkan kebenarannya. Meski telah diminta berbagai kalangan, LBP tidak pernah mengungkap esensi klaim. Artinya, jika hanya bicara jumlah, tanpa kejelasan profil warga dan aspirasi politiknya, maka Big Data 110 juta warganet tersebut memang tidak ada dan tidak merepresentasikan apapun. Artinya hal itu hanya klaim tanpa dasar atau big bluff menggiring opini publik guna mencapai target politik, sambil menggunakan posisi sebagai penguasa. LBP menganggap ungkapan Big Data merupakan informasi normal yang harus diterima publik. Tampaknya sikap arogan, otoriter, serta melanggar prinsip moral dan hukum ini sangat confident dijalankan, karena LBP merasa sangat berkuasa, serta diduga direstui dan didukung pula oleh pemimpin tertinggi atau “The Real President” dan oligarki. Tujuannya, meraih agenda politik penguasa oligarkis, terutama agar Presiden Jokowi dapat menduduki jabatan Presiden RI periode ke-3.   Di sisi lain, meski diduga berada pada arah dan tujuan yang sama, tampaknya Presiden Jokowi merasa perlu menjaga jarak terhadap berbagai agenda dan aksi-aksi yang dijalankan LBP, sang master mind utama Jokowi 3 periode. Jika hasil “test the water” tidak sesuai harapan atau “unfavourable”, maka “The Real President” seolah tidak terlibat dan bisa pula tampil sebagai pahlawan demokrasi yang taat amanat reformasi dan konstitusi. Pada sidang Kabinet Paripurna (Istana Merdeka, 6/4/2022), Presiden Jokowi mengatakan: \"Jangan menimbulkan polemik di masyarakat. Fokus pada bekerja dalam penanganan kesulitan-kesulitan yang kita hadapi\". Jokowi pun juga menyatakan: \"Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan mengenai penundaan perpanjangan, ndak, saya rasa itu yang ingin saya sampaikan, terima kasih\".   Karena telah faham sikapnya selama ini, tampaknya mayoritas publik tidak akan percaya pernyataan Presiden Jokowi di atas. Salah satunya, belajar dari hasil evaluasi dan penilaian BEM Universitas Indonesia terhadap Jokowi yang menyebutnya sebagai “The King of Lip Service” atau “Raja Pembohong” (26/2/202). Jokowi memang perlu membuat pernyataan tersebut karena “permainan” Big Data sarat masalah dan LBP perlu bertanggungjawab.  Namun karena bagian penting dari permainan, diperkirakan Presiden Jokowi tidak akan menindak LBP yang telah melakukan kebohongan Big Data.  Faktanya hampir semua lembaga survei menyatakan mayoritas masyarakat tidak setuju perpanjangan masa jabatan Presiden. Tidak ada satu pun lembaga survei yang mengonfirmasi hasil analisis Big Data LBP. Sejumlah lembaga justru mengkonter klaim manipulatif yang disampaikan LBP. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyampaikan hasil survei yang dilakukan pada Maret 2022. Hasil survei SMRC disampaikan pada 3 April 2022. Terungkap 85% publik di medsos tetap ingin pemilu dilaksanakan pada 14 Februari 2024.   Sedangkan menurut Lingkaran Survey Indonesia (LSI) mayoritas warga (di atas 70%) yang disurvei menolak usul penundaan pemilu, terutama karena alasan ekonomi, pandemi Civid-19, dan rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru (3/3/2022). Lembaga Survei Nasional (LSN) juga mengungkap yang hasil yang sama (3/3/2022). Mayoritas publik (68,1%) yang disurvei tidak setuju penundaan pemilu dan sekaligus perpanjangan masa jabatan Jokowi. Secara umum hasil survei lembaga-lembaga di atas menunjukkan klaim big data LBP penuh misteri, sarat kebohongan dan sangat tidak layak dipercaya. Dengan begitu para penggagas dan desainer agenda anti demokrasi tersebut harus tahu diri dan segera mengakhiri rencana busuk. Namun begitu, setelah sekian testing atau permainan, karena belum berhasil sesuai harapan, bisa saja muncul modus atau permainan baru penundaan pemilu (baca: Jokowi 3 Periode), di bawah koordinasi dan kendali “The Real President”, LBP.  Sebelum modus baru tersebut muncul, rakyat harus menggugat kebohongan Big Data LBP. Terutama terkait aspek-aspek landasan hukum, metode hingga tujuan pengumpulan data. Lembaga penegak hukum, Komisi Informasi dan lembaga terkait harus mengungkap landasan hukum yang digunakan LBP mengumpulkan Big Data. Lalu perlu dijelaskan kapan dan bagaimana metode pengumpulan, serta harus dijelaskan pula siapa saja 110 juta pengguna internet yang dimaksud LBP, dan apa tujuan LBP mengumpulkan data tersebut. Dalam Pasal 11 ayat (1) huruf f UU No.14/2008 diatur bahwa informasi yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan terbuka untuk umum harus dapat dijelaskan kepada masyarakat secara rinci sesuai kaidah yang berlaku. Karena sangat ambius mencapai target Jokowi 3 Periode, untuk kasus Big Data, LBP telah membuat pernyataan sepihak dan cenderung menghalalkan segala cara.  Karena banyak pihak menggugat klaim Big Data, LBP menyatakan: \"Ya pasti ada lah (Big Data), masa bohong. Tapi janganlah (dibuka ke publik), buat apa dibuka,\" katanya (16/3/2022). Kita tidak tahu apakah LBP paham dengan ketentuan UU No.14/2008 di atas. Sebaliknya, seandainyapun paham, bisa saja LBP mengabaikan. Rezim ini tampaknya sudah biasa berdiri di atas UU. Sesuai dengan perintah UU No.14/2008 pula, pada 30 Maret 2022, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah menyampaikan surat permintaan informasi publik kepada LBP di kantor Kemenko Marves. Saat itu LBP belum memberi jawaban. Namun sesuai Pasal 22 ayat (7) UU No.14/2008, surat permintaan informasi publik harus dijawab dalam rentang waktu sepuluh hari kerja. Merujuk pernyataan sikap LBP pada 16 Maret 2022, ICW tampaknya tidak akan memperoleh jawaban dari LBP.   Kebijakan pro oligarki yang dijalankan Pemerintahan Jokowi selama ini sudah sangat banyak merugikan rakyat dan negara seperti UU Ciptaker, UU Minerba, Perppu Korona, pembangunan smelter nikel China, TKA China, listrik swasta skema take or pay, impor pangan, harga minyak goreng pro oligarki, dll. Kebijakan tersebut akan ditambah pula dengan proyek IKN yang pada dasarnya memang dibangun untuk kepentingan oligarki! Tampaknya, jaminan realisasi proyek IKN inilah mengapa masa jabatan Presiden Jokowi harus diperpanjang: 3 periode!  Sebelum pemerintah pro oligarki semakin merusak demokrasi, mengkudeta suara rakyat dan merugikan kehidupan berbangsa, maka salah satu master mind utama yang terus menggulirkan agenda penundaan pemilu secara sistematis di lingkaran kekuasaan, yakni LBP, harus dihentikan. Meskipun “dilindungi” oleh Presiden Jokowi, LBP harus dituntut secara hukum karena diduga telah melakukan kebohongan publik. LBP pun harus diproses secara hukum karena diduga telah melanggar UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).  Jakarta, 10 April 2022

Teriakan Ganjar Wadas dan Anies Presiden: Suara Kemarahan dan Harapan

Oleh Ady Amar - Kolumnis MEMANG tidaklah nyaman dan pastilah amat tersiksa seseorang dengan kesalahan serius, yang--karena kesalahannya itu--dipakai alat untuk menyerangnya. Apalagi kesalahan dibuat seorang pemimpin, yang karenanya menyengsarakan rakyat yang dipimpinnya. Kesalahan kebijakan, atau memang kebijakan yang dibuat dengan kesadaran sebagai kebijakan salah. Kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu, tapi menyengsarakan rakyat kebanyakan. Apapun kebijakan itu, membuat rakyat melawan dengan caranya sendiri. Bahkan melawan dengan cara paling sederhana, tapi memukul telak pemimpin yang dianggapnya zalim. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang berperkara dengan rakyat yang dipimpinnya, dan itu di desa Wadas, Kabupaten Purworejo. Kebijakan yang dibuat dianggap menyengsarakan rakyatnya. Pecah perlawanan rakyat melawan aparat TNI, Polisi dan Satpol PP, (9 Februari), \"mengamankan\" apa yang disebut pengukuran tanah. Padahal sebagian rakyat keberatan tanah tempat ia hidup akan dialih fungsikan. Pecahlah tragedi Wadas, dan menyita perhatian publik. Kemarahan rakyat tidak berhenti dengan pecahnya perlawanan saat itu. Sepertinya terus dibawanya, entah sampai waktu kapan. Kemarahan yang terus dimuntahkan, memilih saat yang tepat. Kemarahan yang dimuntahkan pada Ganjar Pranowo--sebagai pihak yang memberi izin pengalihan status tanah mereka--muncul pada waktu dan tempat yang diluar kepatutan. Tapi mau apa lagi jika itu dianggap efektif mampu melawan kesewenang-wenangan. Dan, benarlah kemarahan itu dimuntahkan pada saat Ganjar Pranowo diundang sebagai penceramah Tarawih Ramadhan di Masjid UGM. Tengah Ganjar berbicara di podium, muncul teriakan Wadas. Tidak cukup teriakan, tapi spanduk protes ukuran cukup besar dibentangkan. Memang tidak biasa hal itu dilakukan di masjid. Tidak bisa dibayangkan lunglainya emosi Ganjar Pranowo, sang Ustadz dadakan itu. Tapi itu tadi, bahwa memuntahkan kemarahan, bisa memilih waktu yang dianggap tepat. Meski di tempat tidak biasa, dan tidak semestinya. Panitia dan takmir masjid tidak menduga jika akan muncul aksi protes kemarahan diluar kepatutan. Dan, itu terjadi. Kemarahan acap memilih tempat tidak biasa, tidak perduli pantas-tidak pantas. Kemarahan memilih suasana yang dimungkinkan. Ganjar Pranowo akan terus dikejar kemarahan rakyat Wadas, atas kebijakan yang dibuatnya. Wajar jika rasa cemas melanda, takut muncul protes susulan di tempat lain yang tidak semestinya. Pastilah menguras emosinya. Ganjar seperti dikejar bayangannya sendiri. Teriakan Wadas dan bentangan spanduk besar #SaveWadas di Masjid UGM, itu sepertinya akan terus dilakukan di tempat lainnya. Dianggap efektif memuntahkan kemarahan, yang bisa disorot media luas. Rakyat Wadas memakai saluran tidak biasa untuk mengabarkan, bahwa kasus Wadas belum selesai, jika izin yang diberikan belum dicabut. Izin yang diberikan Ganjar Pranowo pada investor yang entah siapa orangnya. Pastilah ia bukan siluman. Pastilah orang kuat, yang bisa buat Ganjar bertekuk lutut tak berdaya. Teriakan Presiden pun Muncul Peristiwa Ganjar Pranowo diteriaki Wadas, itu bentuk protes kemarahan, Rabu (6 April). Dan pada Kamis (7 April), Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, dihadirkan di tempat yang sama. Sebelum Ganjar Pranowo hadir pula Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat memenuhi Undangan Ceramah Tarawih Ramadhan di Masjid UGM. Artinya, tiga Gubernur di Jawa diundang. Dan memang Ganjar, Anies, dan Ridwan Kamil itu punya elektabilitas tinggi versi berberapa lembaga survei. Diundangnya mereka seolah sebagai _feet and proper test_ setidaknya dihadapan keluarga besar Universitas Gajah Mada. Dari ketiga orang itu, meski prematur, silahkan dinilai sendiri mana yang layak dipilih jadi pemimpin negeri ini. Anies memang tampil memukau. Ia tampil rileks tanpa beban.  Layaknya Ustadz beneran. Fasih memulai dengan doa pembuka. Anies _enjoy_ seperti sedang pulang kampung. Anies memang alumni UGM, seperti juga Ganjar Pranowo. Maka kenangan pada Yogyakarta itu menempel dan disampaikan dengan baik. Sesekali candaan darinya muncul dan buat gerr tawa membahana. Sebelum Anies tampil, panitia tidak ingin kecolongan munculnya teriakan dari yang hadir apalagi bentangan spanduk segala. Maka, panitia menyampaikan agar tidak ada spanduk dibentangkan di dalam masjid, dan tidak diperkenankan bertepuk tangan. Spanduk memang tidak muncul, tapi tepuk tangan tak bisa dihindari. Setiap Anies menyampaikan sesuatu yang dianggap memukau, suara tepuk tangan bergemuruh. Itu berkali-kali. Tak ada yang mampu membendung suka cita, seperti juga tak ada yang bisa menggagalkan kemarahan menghantam Ganjar Pranowo sehari sebelumnya. Anies dapat jatah satu jam berbicara, seperti juga yang lainnya. Tapi sepertinya Anies kelebihan sedikit dari waktu yang diberikan. Tidak tampak protes merasa kepanjangan. Justru serasa tampak kurang. Itu muncul dari beberapa yang hadir saat ditanya apakah puas dengan apa yang disampaikan Anies. Semua merasa puas, hanya saja Anies tampil kurang panjang, protesnya. Pantas saja protes itu muncul, karena sejak siang hari ia sudah \"mukim\" di masjid itu untuk mendapatkan tempat terdepan. Setelah.ceramah Ustadz Anies Baswedan disudahi, animo yang hadir berebut bersalaman dengannya tak bisa dibendung. Anies seolah tersandera di podiumnya. Ia layani jabat tangan tak henti dari jamaah yang membeludak. Banyak video dibuat dan diviralkan berbagai versi, dan dari berbagai sudut pengambilan gambar, bagaimana Anies kesulitan untuk jalan meninggalkan masjid. Dihadang jamaah. Dielu-elukan. Muncul suara bersahutan tanpa ada yang mengkoordir, Anies Presiden... Anies Presiden... Eufhoria hadirnya pemimpin negeri ditampakkan. Anies Presiden... Anies Presiden... terus bergemuruh, dan itu disuarakan di dalam masjid. Bagai doa dipanjatkan, dan berharap diijabah. Meski tidak hadir langsung, tapi melihat video-video beterbaran itu, merinding bulu kuduk ini. Larut dalam atmosfer kebahagiaan. Masjid UGM dalam dua hari itu, 6 dan 7 April, telah jadi saksi, mengabarkan dua peristiwa sekaligus, yang bisa diingat dalam waktu lama: Ganjar Wadas, dan Anies Presiden. Suara kemarahan di satu sisi, dan disisi lain suka cita harapan munculnya Presiden baru dirindukan. (*)

Presiden Mundur atau Dipaksa Mundur

Mengundurkan diri dari jabatan dapat ditempuh oleh Presiden sebagai cara paling elegan untuk menunjukan sikap bertanggungjawab, namun sangat jarang ada yang mau melakukan, kecuali dengan jiwa besar seperti yang dilakukan oleh Presiden Suharto. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KEGADUHAN munculnya tuntutan Presiden Joko Widodo mengundurkan diri menyisakan pertanyaan: - Mengapa hanya Presiden Jokowi yang diminta/dituntut mundur. - Bagaimana dengan kesan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang tidak berfungsi tetapi dalam Pilpres adalah satu paket. - Kegagalan dalam menjalankan pemerintahan dan berakhir munculnya Presiden agar turun dengan suka rela atau dipaksa turun oleh rakyat adalah tanggung jawab bersama Presiden dengan Wakil Presiden. Gelombang demo sejak 2021 terus terjadi menuntut Jokowi mengundurkan diri secara sukarela dan terjadi ancaman dari masyarakat apabila tetap bandel ada keinginan untuk diturunkan secara paksa, akibat trust kepada Presiden melemah, bahkan menghilang. “Masyarakat tidak terdengar menyuarakan tuntutan mundur secara vulgar untuk wakil Presiden, bukan karena prestasi dan kepercayaan masyarakat yang utuh kepada Wakil Presiden tetapi nampak jelas karena masyarakat apriori karena selama ini kosong peran dan fungsinya sebagai Wapres, sampai pada persepsi Wakil Presiden sudah tidak ada”. Sekalipun dalam Pilpres 2019 adalah merupakan satu paket (Presiden dan Wapres), tetapi tanggung jawab kegagalan sampai terjadi mosi tidak percaya rakyat kepada Presiden karena semua akibat yang terjadi atas pengelolaan negara adalah center pada kuasa Presiden. Tuntutan rakyat meminta Jokowi mundur oleh pemilik kekuasan yaitu rakyat dibenarkan secara konstitusi dan selanjutnya akan berakibat hukum sebagai konsekuensinya. Tuntutan mundur kepada Presiden berbanding lurus karena kepercayaan atau trust memudar, dan menguap. Trust tersebut begitu penting dalam membina keberlangsungan dan keutuhan hubungan Presiden dengan rakyatnya. Ketika kekuasaan mulai berubah menjadi tirani bahkan mengarah ke otoriter dengan ditandai komunikasi rakyat dengan penguasa macet, akibat aspirasi/ suara rakyat diabaikan – muncullah oligarki (riil pengendali dan pengemudi negara) dengan ciri kapitalis berlaku ugal-ugalan memeras sumber daya alam dan tidak lagi peduli urusan rakyat sesuai amanah tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 45. Pada posisi puncak kemarahannya, rakyat menarik kembali amanah yang telah dititipkan kepada Presiden. Presiden juga akan dimintai pertanggung-jawabannya baik secara administrasi, perdata hingga pidana. Lunturnya trust dari rakyat berakhir pada pemakzulan (impeachment) terhadap seseorang pemimpin yang dahulu pernah dititipi sebuah amanah, melalui Pemilihan Presiden. Pemakzulan adalah berhenti memegang jabatan atau turun tahta. Pemakzulan terhadap seorang Presiden diatur dalam konstitusi kita, UUD NRI 1945, yaitu pada Pasal 7A. Pasal 7A selengkapnya berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Proses pemakzulan itu melibatkan tiga lembaga. Yakni, DPR (proses politik), Mahkamah Konstitusi (MK) (proses hukum), dan MPR (proses politik). MK itu yang akan menilai apakah presiden memenuhi perbuatan melanggar hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945. Pemakzulan Presiden yang secara legal dijamin oleh konstitusi, ada cara lain untuk mengakhiri kekuasaan rezim pemerintahan tertentu, yaitu dengan mekanisme pengunduran diri sebagai Presiden dan Wapres. Mengundurkan diri dari jabatan dapat ditempuh oleh Presiden sebagai cara paling elegan untuk menunjukan sikap bertanggungjawab, namun sangat jarang ada yang mau melakukan, kecuali dengan jiwa besar seperti yang dilakukan oleh Presiden Suharto. Proses pengunduran diri ini juga dilindungi secara konstitusional berdasarkan Tap MPR RI No. VI/MPR-RI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.   Disebutkan bahwa: “Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.   Pertanyaannya bagaimana kalau hanya Presiden yang diminta dan atau telah mengundurkan diri atau dipaksa untuk mundur? Maka sesuai pasal 8 UUD 1945 mengatur keadaan Presiden yang tidak dapat lagi menjalankan jabatan kepresidenan untuk sisa masa jabatannya. Isi Pasal 8 UUD 1945 Setelah Amandemen. Pada pasal 8 ayat (1): Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Apabila Wapres, juga bernasib sama terjadi mosi tidak percaya kepada Wapres karena kapasitas dan kemampuan dan kesehatan yang sangat lemah, bahkan selama ini sudah dianggap tidak ada, maka aturannya seperti berikut: “Jika Presiden dan Wakil Presiden berhenti, diberhentikan, dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama”. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapes yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol yang pasangan calon Presiden dan Wapresnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. Terhadap kekuasaan yang telah berubah menjadi tirani dan otoriter tidak boleh ada kompromi dan tidak boleh ada jalan tengah – Presiden harus mundur atau dipaksa mundur. (*)

Jokowi Ngomong Dong

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan WACANA perpanjangan masa jabatan Presiden baik melalui penundaan Pemilu maupun amandemen UUD 1945, telah menyedot perhatian. Wacana digulirkan sehingga diduga menjadi agenda. Pernyataan tiga Ketum Partai soal penundaan Pemilu dan mobilisasi Kepala Desa yang bersiap untuk deklarasi adalah bukti keseriusan itu.  Dilain pihak aksi Mahasiswa juga menghangat. Mereka mendesak agar gagasan inkonstitusional di atas segera dihentikan atau dicabut. No way untuk penundaan Pemilu dan amandemen 3 periode. Jokowi sedikit mereaksi dengan meminta para pembantunya tidak berbicara lagi soal perpanjangan masa jabatan tersebut.  Rakyat tidak percaya pada ketulusan instruksi tersebut.  Jokowi masih bermain-main. Besok mungkin ia akan mengatakan bahwa dirinya tidak bisa melarang aspirasi masyarakat yang mendukung perpanjangan. Ini bagian dari demokrasi, bagian dari dinamika politik dan bla bla bla lainnya. Intinya ia bahagia sukses melakukan mobilisasi dukungan palsu. Luhut Binsar menjadi komandan tertinggi dari operasi jokowi maju terus dan menjadi raja lagi.  Jika Jokowi tidak memiliki niat untuk memperpanjang masa jabatan caranya bukan dengan melarang pembantu-pembantunya atau mengutus Moeldoko dan Wiranto untuk meredam, tetapi Jokowi sendiri yang harus  tampil di depan publik dengan berpidato menegaskan bahwa ia tidak akan memperpanjang masa jabatan. Selesai.  Masalahnya adalah benarkah omongan dulu soal \"menjerumuskan\" dan \"menampar muka\" masih berlaku dan serius akan dilaksanakan ? Ini yang diragukan sebab bohong dan omong doang disadari atau tidak telah melekat menjadi \"trade mark\" Jokowi sendiri. Membuat kepercayaan rakyat kepadanya menjadi habis kecuali para penjilat, penampar, dan penjerumus.  Sebenarnya jika arif dan berkalkulasi maka pilihan untuk segera ngomong berpidato tentang tidak akan memperpanjang jabatan menjadi modal lumayan untuk mengakhiri dengan baik. Tetapi jika tidak, maka teriakan perlawanan atas perpanjangan itu akan semakin keras. Lalu menggelinding kuat pada desakan mundur.  Celakanya justru berujung pada dimundurkan.  Jokowi berada di ujung tanduk sejarah. Cobalah belusukan kembali tanpa menjadi sinterklas yang membagi-bagi hadiah atau membawa minyak goreng, rasakan denyut rakyat secara obyektif. Mereka tidak ingin ada perpanjangan, mereka sudah ingin mengakhiri penderitaan, mereka sudah ingin perubahan, dan pastinya mereka sudah ingin ganti Presiden.  Sejak mulai masuk got maka Jokowi menjadi gotik sebagaimana kaum barbarian Jerman Timur Gothic. Negara ini dikelola  dengan orientasi investasi yang nyatanya hanya menyuburkan kroni dan memperkuat oligarki. Lalu mengacak-acak politik, ekonomi, hukum maupun agama. Terkesan dibawa semau-maunya.  Kaum Ghotik adalah satanik yang paganistik, kejam, dan mengalienasi agama. Porak poranda oleh Romawi dan menyisakan kelompok terbesar Visigoth. Meski rontok tetapi masih mampu mengganggu. Visigoth bertahan dan berhasil memperpanjang kekuasaannya.  Semoga Pak Jokowi tidak ngotot untuk memperpanjang masa jabatan. Karenanya cepat ngomong dong. Jangan sampai terlambat. Pidato lah bahwa ia tidak akan menunda Pemilu atau mendorong amandemen Konstitusi. Lalu stop wacana atau gerakan yang mendorong ke arah perpanjangan tersebut. Fokus untuk  mengakhiri jabatan dengan baik.  Atau memang Pak Jokowi ingin merealisasikan visi got yaitu visi untuk tetap mengalir di lorong panjang yang tak berbatas dan berair kotor  ? Cara barbar kaum Goth.  Bandung, 10 April 2022

Permainam Fakta dan Fiksi: Rezim dalam Kepanikan dan Segera Jatuh!

Menciptakan banyak kabut akan menyulitkan rezim mampu membaca dan mengamati kita. Di saat inilah akan ada ruang bermanuver ganti peran guna sesatkan pemerintah sekalian. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PENYESATAN terbaik adalah kemenduaan mencampur fakta dengan fiksi sehingga yang satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain. Realitas selalu didampingi dan dibungkus dengan kebohongan. Satu satunya senjata rezim saat ini adalah amunisi penyesatan sebagai unggulan untuk pertahanannya. Penyesatan membutuhkan ekspresi seolah- olah dirinya bisa tampil prima sebagai: manusia sederhana, lurus, dan jujur. Semua pidato pejabat negara saat ini selalu tampil dengan narasi penyesatan dipaksakan mirip dengan realita. Mereka menggunakan strategi bahwa “apa yang diangankan akan langsung diyakini, tetapi apa yang dipikirkan/ dibayangkan juga sedang dipikirkan dan dibayangkan orang lain”. Terus memutar-balikan keadaan yang sedang diamati oleh rakyat, mendistorsi dan memanipulasi agar sesuai dengan apa yang sedang diminta dan dipikirkan rakyat. Kita harus cermat dan hati-hati menelaah perkataan mereka, penampilan mereka, nada suara mereka, tindakan tertentu yang tampaknya berarti khusus. Semua yang dilakukan seseorang dalam dunia sosial adalah tanda. Tidak ada pertimbangan moral dalam penyesatan, yang penting memperoleh keunggulan menggunakan kamuflase agar kekuasaan tetap bisa bertahan dan mendapatkan kemenangan tetap bisa menguasai keadaan. Mereka berkeyakinan bahwa apabila pemerintah sampai tumbang hanya kecelakaan, bencana, keburukan dan semua akan menanggung akibat yang sangat mengerikan. Adanya sindiran Joko Widodo sesama marah kepada Presiden. Presiden tiba-tiba mengambil kebijakan untuk membagikan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Terakhir di kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto selaku Ketua Wantimpres memanggil mahasiswa berlabel BEM Nusantara itu, setelah sebelumnya kelompok Cipayung dipanggil ke Istana, semuanya adalah bentuk penyesatan, untuk menenangkan rakyat dan mahasiswa tetap terkendali. Rezim seringkali menggunakan cara lama untuk pencitraannya dengan ucapan dan tindakan semu, berkamuflase, pola hipnotis sampai pada informasi semua, dan melaksanakan bayang-bayang dalam bayang-bayang semua muncul dan nampak secara bersamaan. Rekayasa di atas sesungguhnya tanda-tanda rezim sudah berada dalam kepanikan dan menuju kehancurannya, mental mereka telah jatuh. Cara membalikkan serangan fakta yang dikemas dengan fiksi. Lakukan perlawanan kabut – dengan (cara) pembalikan membuat kabut yang akan menjadikan bentuk dan warna sulit dikenali. Menciptakan banyak kabut akan menyulitkan rezim mampu membaca dan mengamati kita. Di saat inilah akan ada ruang bermanuver ganti peran guna sesatkan pemerintah sekalian. Mereka akan semakin gelisah, kemudian bingung dan semakin dalam. Dalam kabut, perlawanan rakyat muncul dengan macam-macam bentuknya. Di sinilah rezim mudah untuk jatuh, dijatuhkan dan akan jatuh! (*)

Aktor Utama Kegaduhan Hari Ini adalah Pemerintah Itu Sendiri

Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Forum Diaspora Indonesia. DEMO mahasiswa di bulan Puasa saat ini agak sedikit berbeda dari pada yang sebelumnya. Karena lebih tersistem, kontennya jelas, rapi, dan militan. Padahal, saat ini para adik mahasiswa ini masih dalam kondisi libur kuliah belum tatap muka 100 persen. Meskipun ada isu, terbentuk beberapa faksi di tubuh gerakan mahasiswa baik yang pro dan kontra terhadap pemerintah. Tanggal 11 April 2022, Senin yang akan datang, akan menjadi momentum dan tolak ukur penting bagi keberlangsungan pemerintahan ini ke depan. Karena gerakan demo serentak ini ibarat gelombang akumulasi dari berbagai muara persoalan yang diciptakan justru oleh pemerintah itu sendiri, misalnya; Pertama, tema utama tuntutan mahasiswa hari ini adalah jelas dan tegas, stop perpanjangan masa jabatan Presiden yang itu jelas melanggar konstitusi. Meskipun pemerintah “berakrobatik” membuat standar ganda bahwa yang mengungkapkan itu adalah para menteri dan ketua Parpol, namun publik sudah jenuh dan bosan dengan gerakan akrobatik pemerintah itu. Alasannya, toh para menteri dan ketua parpol itu adalah bahagian dari kelompok penguasa hari ini. Dan sangat tidak mungkin berani berbicara tanpa restu Presiden. Apalagi ada istilah tegas “Yang ada Visi Presiden tidak ada visi menteri”. Upaya kudeta konstitusi ini oleh pemerintah adalah sebuah kejahatan besar dalam negara demokrasi. Sangat wajar para mahasiswa, intelektual dan kelompok “civil society” bangkit, marah, dan melakukan perlawanan. Adapun kemudian tiba-tiba muncul Wiranto selaku Wantimpres menyatakan itu baru wacana, sudah sangat terlambat dan dianggap ucapan itu keluar karena pemerintah “shock” tak menduga penolakan rakyat begitu besar. Kedua, terjadinya krisis dan resesi ekonomi berupa kelangkaan minyak goreng, BBM pertamax naik dan pertalite mulai langka. Kenaikan harga sembako yang diam-diam, ditambah lagi berbagai macam pajak dinaikkan dan dibebankan kepada banyak sektor, mulai dari sembako,kendaraan bekas, hingga banguna dan renovasi rumah sendiri pun dipajak. Semua kebijakan itu sangat memukul jantung ekonomi masyarakat bawah. Yang membuat emak-emak frustasi, sedangkan peluang kerja semakin hilang dan harga-harga sudah melambung tinggi. Dan yang buat kebijakan adalah pemerintah. Mahasiswa, yang dua tahun ini banyak di rumah tentu juga jadi merasakan beban orang tuanya. Dan melihat semua ini adalah akibat dari kebijakan pemerintah yang “memakan” rakyatnya sendiri. Tak becus mengelola negeri. Ketiga. Mati dan lumpuhnya trias politika negara ini sebagai negara demokrasi. Pihak legislatif maupun yudikatif cenderung saat ini menjadi alat kekuasaan semata. Tak ada lagi proses “check and balance”. Penyebabnya bisa beragam, bisa berupa sudah terjadi permufakatan jahat bersama, atau juga politik sandera dan politik KKN.  Mati dan lumpuhnya trias politika di negeri ini, dimana secara kasat mata arah kebijakan pemerintahan hari ini banyak menguntungkan “perut pejabat” dan kelompok oligharki, maka rakyat juga melakukan perlawanan. Karena dampak kebijakan pemerintah hari ini banyak merugikan rakyat. Hutang yang ugal-ugalan demi sebuah pembangunan yang tidak jelas. Pencabutan subsidi dan naiknya pajak, yang harusnya dinikmati masyarakat sekarang, justru jadi beban yang mencekik kehidupan rakyat. Karena trias politika ini dianggap sudah mati, makanya mahasiswa turun ke jalan dan menyampaikan aspirasi dan kemarahan ini. Tapi kalau legislatif dan yudikatifnya berfungsi baik, tak mungkin mahasiswa sampai turun gelar demonstrasi. Keempat. Matinya hukum dan semakin maraknya terjadi ketidakadilan terhadap masyarakat atas kuasa pemerintah.  Hal ini juga sangat menyakitkan hati masyarakat. Ketika dengan menggunakan kekuatan tangan aparat yang menjelma menjadi alat kekuasaan, merampok, menindas, mengintimidasi dan mengkriminalisasi masyarakat bawah.  Seperti kejadian di Wadas, penggusuran-penggusuran tanpa ganti rugi yang layak, perampasan tanah adat untuk tambang para cukong, hingga penangkapan terhadap para aktifis dan kelompok yang menyuarakan kebenaran. Sudah tak terhitung rakyat yang mencoba melawan kezaliman pemerintah yang mendapatkan perlakuan kejam dan sadis. Mulai dari pemenjaraan secara sepihak para aktifis KAMI, FPI, HTI, buruh, Ulama, Ustad, dan Mahasiswa. Kasus pembunuhan seperti KM50, penangkapan dan pembantaian oleh Densus 88 terhadap umat Islam dengan alasan terorisme, persekusi terhadap para da’i yang melakukan dakwah, semua terjadi sangat masif oleh pemerintah hari ini. Namun di satu sisi lain, kita bagaimana melihat para koruptor trilyunan rupiah divonis ringan bahkan ada yang bebas. Para penista agama, para buzzer seperti Abu Janda, Ade Armando, Deny Siregar, Dewi Tanjung, Sukmawati hingga koruptor Harun Masiku sampai hari ini bebas melenggang belum ditangkap. Padahal semua sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian. Artinya dari kesimpulan singkat yang kita dapat bahwa : Yang menjadi otak dan penyebab utama dari semua kegaduhan di negeri ini adalah akibat prilaku dan kebijakan pemerintah itu sendiri yang dengan sewenang-wenang, tanpa mempedulikan hukum dan konstitusi. Tanpa mempedulikan jeritan hati dan suara rakyat. Menghalalkan segala cara demi kepentingan kelompok oligharki.  Lalu dengan seenaknya melalui rekayasa inteligent, membangun opini, pemerintah berupaya mengalihkan semua kegaduhan ini seolah-olah dilakukan oleh kelompok oposisi dan radikal? Sungguh semua rekayasa itu sudah usang dan tak laku lagi saat ini. Masyarakat sudah cerdas dan bisa membedakan. Justru upaya fitnah ini akan semakin meningkatkan gelombang perlawanan rakyat yang semakin “jijik” melihat permainan politik kotor penguasa untuk melindungi dirinya. Gelombang perlawanan rakyat ini semua, juga bentuk akumulasi sudah tidak ada lagi kepercayaan masyarakat terhadap rezim hari ini.  Kewibawaan pemerintah sudah jatuh hancur lebur. Kebohongan demi kebohongan serta trik dan intrik manipulasi berita media menggunakan tangan-tangan buzzer sudah tidak mempan lagi saat ini. Para generasi milenial dan mahasiswa lebih cerdas dari pada buzzer bayaran itu. Kita semua tidak tahu bagaimana kelanjutan dari aksi demo mahasiswa 11 April nantinya. Apakah cukup sampai di situ dan berhasil kembali dipadamkan penguasa ? Atau akan terus menggelinding ibarat bola salju sampai pemerintah hari ini jatuh ? Kita tidak tahu dan juga bisa anggap sepele. Karena apapun bisa terjadi saat ini. Karena konstalasi politik global juga mulai berkonstraksi melihat Indonesia. Seperti kebijakan terbaru resolusi PBB tentang “Hari Anti Islamphobia” yang dimotori Amerika. Hal ini adalah sinyal positif konsolidasi dunia Islam dan Barat dalam menghadapi cengkraman komunisme khususnya di Indonesia. Ditambah, konflik kedatangan Rusia dan penolakan Amerika Cs dalam KTT G20 nanti di Bali juga semakin panas.  Belum lagi perpecahan di tubuh istana antara yang pro perpanjangan dengan yang Pilpres tetap sampai 2024. Semua ini adalah, tanda-tanda bahwa rezim ini sudah goyah dan akan sulit bertahan. Apalagi kalau ditambah dengan kondisi keuangan yang boleh dikatakan negara ini sudah “bangkrut”. Menambah tanda-tanda kejatuhan rezim saat ini sudah semakin dekat dan nyata. Satu kata yang kita bisa ucapkan saat ini hanyalah, semoga apapun yang terjadi ke depan, semua tetap adalah proses terbaik untuk masa depan negeri ini. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa, adalah lambang kekuatan civil society dalam melawan pemerintah yang tidak amanah dan berpihak pada oligharki. Semoga perjuangan para mahasiswa kita hari ini bersih dari segala upaya infiltrasi dan pembusukan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sehingga mahasiswa, aktivis, tokoh masyarakat yang murni berjuang untuk masyarakat tidak dijadikan tumbal dan korban fitnah kegaduhan yang diciptakan oleh penguasa itu sendiri. InsyaAllah. Perth-Australia. 08 April 2022

Mati Rasa dan Mati Gaya Ala Jokowi

Menarik mengupas tulisan lempar batu sembunyi tangan dari Adian Napitupulu, aktifis 98 yang kini berada dalam lingkar kekuasaan. Dalam paparannya pemilik panggilan kakek ini, seolah-olah menegaskan wacana penundaan pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden bukan berasal dari Jokowi. Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI ADIAN secara tersurat mengatakan bergulirnya isu penundaan pemilu 2024 yang menjadi bola panas dan menimbulkan resistensi secara nasional, lebih disebabkan oleh empat unsur. Pertama, dari orang-orang yang ingin mencari muka sebagaimana yang pernah dilansir Jokowi sendiri. Kedua, dari release beberapa lembaga survey yang dianggap mewakili aspirasi dan keinginan rakyat. Ketiga, dari para petinggi partai yakni Zulkifli Hasan-PAN, Airlanggga Hartarto-Golkar dan Muhaimin Iskandar-PPP. Keempat dari pelbagai pernyataan para  menteri yang notabene menjadi pembantu presiden. Pemaparan pentolan organ gerakan  Forkot saat menjelang bergulirnya gerakan reformasi, seperti menjadi penguatan alibi atau setidaknya menjadi bagian dari parade dukungan terhadap Jokowi yang berusaha menolak terseret-seret usulan presiden 3 periode dan segala macam modusnya. Pernyataan Adian menjadi semacam  iringan paduan suara  dari yang pernah dilontarkan Luhut Binsar Panjaitan beserta orang-orang di seputar Istana, organisasi APDESI dan banyak lagi penganut dan penjilat kepentingan kekuasaan lainnya. Menjadi layak ditelisik, bisa dibilang ahistoris dan cenderung mengalami amnesia politik. Analisa anggota DPR RI dari Fraksi PDIP ini secara tersirat mengatakan Jokowi tidak berinisiasi, tidak bersalah dan tidak bertanggungjawab terhadap bergulirnya rencana politik yang kental dengan premis kejahatan konstitusi.  Secara tidak langsung Adian juga ingin memberi kesan ke publik bahwasanya Jokowi begitu polos, tidak terlibat dan jujur mengatakan apa adanya tentang polemik dan kotroversi itu yang begitu penuh distorsi. Aldian sepertinya  ingin menegakkan kembali citra diri Jokowi yang identik sederhana, merakyat dan pro wong cilik, yang semakin hari semakin terus tergerus dan runtuh akibat ulah kebijakan politiknya sendiri. Lebih dari itu dan menjadi penting juga, aktifis yang mendirikan komunitas Bendera dan Pospera ini. Mengusik sikap PDIP yang direpresentasikan oleh  Ketua umum, sekjend dan bahkan kadernya yang menjadi ketua DPR RI. Baik Megawati Soekarno Putri, Hasto Kristianto dan Puan Maharani,  berulangkali menyampaikan penolakan terhadap  apapun keinginan dan anasir politik yang menginginkan penundaan pemilu 2024 atau perpanjangan jabatan presiden dan segala  retorika dan jastifikasi didalamnya. Apakah ini bisa dinilai sebagai pembangkangan kepada Megawati dari Adian sebagai kader  sekaligus petugas partainya yang lain?. Atau bisa jadi ungkapan Adian sebagai sinyal telah terjadi pergeseran sikap PDIP dari Menentang menjadi akomodatif terhadap konten penundaan pemilu atau perpanjangan jabatan presiden yang sudah semakin terlihat konspiratif. Mungkin saja itu bisa dimaklumi dan dibenarkan, karena politik itu juga berarti peluang dan kesepakatan. Rakyat hanya bisa menunggu akhir skenario sikap politik PDIP yang sesungguhnya. Modifikasi Disfungsi Sayangnya, ikhtiar aktifis yang dinilai lincah dan gesit bermanuver  memainkan entitas politik sebagian besar eksponen 98 ini, tak cukup berwibawa dan bermakna mengatrol politik bunglon Jokowi. Narasi tendensius Adian yang justru mengarah pada kelompok kepentingan yang ada dalam lingkungan kekuasaan maupun yang memiliki agenda ingin merebut kekuasaan. Tak mampu menyelamatkan muka presiden yang telah hilang dan sebelumnya sering ditampar berkali-berkali. Betapapun sejak awal, Jokowi mengatakan tak kepikiran dan tak ada niat menjadi presiden untuk perode ketiga. Meskipun telah berkepanjangan dan  menuai respon keras dari rakyat,  Jokowi memberikan statemen agar semua menteri mengentikan wacana penundaan pemilu.  Rakyat belum lupa dan tak akan pernah lupa, saat dalam kampanye pilpres 2014 dan 2019, Jokowi menghembuskan topan angin surga. Propaganda  mengadakan mobil Esemka, membuka jutaan lapangan kerja, membatasi utang negara, menolak impor, menciptakan kesejahteraan  buruh tani nelayan, kartu sehat, kartu cerdas, kartu sejahtera, dan segunung  janji yang terlontar tanpa beban dan dosa. Semuanya alhamdulillah tak ada yang terealisasi, lain janjinya lain pula kenyataannya. Tanpa malu dan harga diri, malah bangga  seolah-olah penuh prestasi. Jokowi sebagai presiden sudah dianggap sebagai pemimpin yang terbiasa melanggar janji. Mulai dari janji kampanye hingga janji  upaya-upaya kongkrit mengatasi pandemi, krisis dan kompleksitas permasalahan bangsa. Selain tak terbukti menunaikan janji, Jokowi oleh mahasiswa, buruh tani nelayan, akademisi dan dunia usaha berbasis ekonomi kerakyatan serta hampir seluruh rakyat Indonesia, dijuluki *\"King Of  Lip Service\"*. Ambisi dan orientasi kepentingan politiknya tak bisa lagi ditutupi   kamuflase dan manipulasi. Ditambah lagi tabiat Jokowi yang sering menggunakan tangan dan meminjam mulut orang lain, sering menjadikannya ahli membuat tameng dalam melindungi citra dan kepentingan politik  tersembunyi. Apapun   wacana dan kebijakan yang dianggap kontroversi dan mengancam eksistensi kekuasaan baik dalan tatanan usulan maupun yang sudah menjadi regulasi. Selalu saja ada upaya mencari kambing hitam dan para pencuci piring kotor. Jokowi harus sesuai dengan identifikasi dan klasifikasi sebagai orang bersih meskipun dipenuhi kotoran dan dibentuk dari pencitraan semu. Tak bisa dicegah,  Jokowi akhirnya dikenal publik lihai dan piawai menjadikan  setiap orang atau kelompok tertentu menjadi korban ambisi   kepentingan politiknya. Mirisnya lagi, tidak hanya membersihkan tangan kotornya, Jokowi juga cekatan membangun kesan pahlawan dalam dirinya dari konflik yang merugikan kepentingan rakyat, keberadaan dan eksistensi NKRI,  oleh perilaku kekuasaannya. Episode dari drama penundaan pemilu, memperpanjang jabatan presiden dan berujung amandemen UUD 1945  terkait presiden 3 periode. Semakin membuktikan Jokowi menjadi sosok yang sudah tak pantas lagi menjadi pemimpin dan tak ada lagi yang bisa dipercaya dari mulut maupun tindakannya. Jokowi tak ubahnya barang rongsokan yang betapapun dimodifikasi tetap tak berfungsi, apalagi sampai bisa bermanfaat. Kalaupun ada pemaksaan dan rekayasa apapun yang dilakukan, presiden  boneka itu hanya akan menjadi kelinci percobaan yang mengalami eksperimen modifikasi disfungsi. Jokowi yang meskipun telah didandani dengan kosmetik paling canggih dan berbiaya tinggi sekalipun. Tak akan pernah menjadi keindahan yang hakiki dan sejati. Pikirannya tak disertai batin, bahasanya terpisah dari jiwa dan tindakannya tanpa  spiritual. Meminjam istilah Rocky Gerung, kedunguan tidak akan berubah hanya oleh karena harta dan jabatan. Begitupun kepintarannya tak akan bermakna dengan menjadi penghianat dan pelacur politik kekuasaan. Di tengah deru bising  mesin kebohongan  kekuasan dan produk-produk politik kemunafikan. Jokowi menjadi contoh kasus,  sirkus dan akrobat politik tak selamanya menghibur dan pasti ada batas masanya. Begitupun pesona pencitraan akan memudar seiring kesadaran tak lagi melulu membutuhkan kecantikan dan keelokan. Bius sihir massal dalam diri jokowi, perlahan mulai menipis. Jokowi tak mampu lagi menyembunyikan  Watak asli yang semakin menyeruak. Setelah hampir 8 tahun berkuasa, Jokowi kini telah mati rasa dan mati gaya di hadapan rakyat, negara dan bangsa. Mati rasa dan mati gaya yang pada akhirnya menjadi korban dan kebusukan dari sebuah citra. (*)