Membantah Opini Arya Wedakarna
Atas dasar apa tuduhan itu muncul? Atas dasar apa menuding mahasiswa ingin mengganti NKRI? Analisisnya bagaimana, buktinya seperti apa? Apa sebenarnya defenisi radikal? Bukankah untuk satu istilah ini saja masih menjadi polemik?
Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD MPR RI
DARI beberapa kawan, saya menerima potongan video narasi Anggota DPD RI asal Bali Dr. Arya Wedakarna (AWK) melalui whatsapp (WA). Karena video ini dibuat untuk konsumsi publik, maka tanggapan saya ini pun terbuka untuk publik.
Narasi AWK begini: “Saudara-saudara, saya Wedakarna, Anggota DPD RI utusan Bali dan juga Sekjen Gerakan Pemuda Marhaenis Indonesia. Terkait dengan isu tentang demo mahasiswa 11 April 2022 besok yang salah satu tuntutannya adalah menurunkan bapak presiden. Sekarang pertanyaannya gampang aja. Kalau presiden Joko Widodo turun, lalu yang gantiin siapa? Kita ini perlu mempertahankan Pak Jokowi, agar cita-cita negara khilafah itu tidak akan pernah terjadi di Indonesia. Yang kita lawan ini kadrun, yang kita lawan ini adalah radikal, yang ingin mengganti NKRI. Dan sasaran tembaknya adalah…”
Narasi AWK, sayangnya, terpotong hingga di sana. Potongan video yang saya terima hanya berdurasi satu menit. Namun dari satu menit narasi AWK, telah cukup memberi gambaran perihal pokok pikirannya. Satu menit narasi AWK juga telah cukup membuat banyak telinga Anggota DPD memerah. Sebagian lagi bahkan merasa malu ketika di preambul dia memperkenalkan diri sebagai senator DPD.
Kontroversi AWK bukan kali ini saja. Tapi kita tak perlu melebar ke mana-mana, cukup menanggapi narasi satu menit itu. Sanggahan ini penting, agar publik tidak merespon pikiran AWK sebagai pendapat lembaga DPD.
Pertama, aksi demo Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) tidak menuntut presiden turun. Kesimpulan AWK terlalu dini dan tendensius. Tuntutan mahasiswa sejatinya merupakan masalah aktual bangsa, yang dipicu oleh ketidakbecusan pemerintah menunaikan tugasnya.
Enam tuntutan BEM SI tersebut adalah stabilisasi harga komoditi, tolak penundaan pemilu, kaji ulang UU Ibukota Negara baru, usut mafia minyak goreng, selesaikan konflik agraria, dan tuntaskan janji kampanye Jokowi-Maruf.
Memang, di media sosial sempat viral poster turunkan Jokowi. Tetapi media telah mengonfirmasi bahwa poster tersebut hoax dan dibuat oleh orang tak bertanggungjawab. Di banyak pemberitaan lainnya, BEM SI telah memberi bantahan, sembari menegaskan enam tuntutan mereka. Lagi pula, agenda menggulingkan pemerintahan yang sah berpotensi dituding makar sehingga aparat punya alasan kuat untuk membubarkan paksa.
Kedua, diksi khilafah tiba-tiba dimunculkan. “Kita,” demikian AWK, “perlu mempertahankan Pak Jokowi, agar cita-cita negara khilafah itu tidak akan pernah terjadi di Indonesia.” Apakah AWK paham sepenuhnya konsepsi khilafah? Kalau belum paham, sebaiknya dipelajari dulu sebelum menarasikannya secara tendensius.
Tidak sedikit pihak yang mendefnisikan khilafah. Ayo kita petik saja pandangan versi Menkopolhukam Mahfud MD. Menurut Mahfud, dalam Al-Quran, yang dimaksud khilafah adalah negara yang memiliki pemerintahan. Islam tidak mengajarkan soal sistem. Artinya, negara bisa menentukan sendiri sistem pemerintahannya (Tempo.co, 27 Oktober 2019).
Jadi, khilafah bukan ideologi. Khilafah, dalam defenisi Menkopolhukam, justru meniscayakan pengakuan terhadap sistem dan pemerintahan yang berdaulat. Khilafah bercita-cita mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan, yang tidak harus ditempuh dengan mengganti ideologi negara. Semangat khilafah sejatinya tersimpulkan dalam sila-sila Pancasila.
Menuju pemahaman komprehensif tentang khilafah, tentu membutuhkan diskusi yang panjang. Bila AWK tidak begitu paham arti khilafah, sebaiknya perbanyak referensi sebelum beropini. Mengutip pendapat Imam Syamsi Ali, dalam konteks negara Indonesia, asal saja konsisten dengan semangat founding fathers yang tertuang dalam falsafah dan dasar negara, sejatinya secara substantif sudah sejalan dengan khilafah. Lebih jauh, asal saja kita mematuhi konstitusi, maka kepatuhan terhadap hukum tertinggi dan turunannya, secara substantif adalah sejalan dengan khilafah.
Pertanyannya, apakah penundaan pemilu sesuai dengan konstitusi? Bila tidak, lalu siapa sesungguhnya yang harus kita takuti? Khilafah yang notabene menuntut ketundukan kita terhadap konstitusi atau mereka yang mencoba mengangkangi konstitusi?
Ketiga, tentang narasi AWK “yang kita lawan ini kadrun, yang kita lawan ini adalah radikal, yang ingin mengganti NKRI.” Karena pada bagian awal video AWK mengaku menanggapi demo mahasiswa 11 April, maka tidak keliru bila AWK dipandang memersepsikan mahasiswa yang demo sebagai para kadrun dan (kaum) radikalis.
Atas dasar apa tuduhan itu muncul? Atas dasar apa menuding mahasiswa ingin mengganti NKRI? Analisisnya bagaimana, buktinya seperti apa? Apa sebenarnya defenisi radikal? Bukankah untuk satu istilah ini saja masih menjadi polemik?
Demonstrasi mahasiswa adalah refleksi dari proses demokrasi sekaligus ekspresi kebebasan berpendapat atau menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang dipandang keliru. Karena itu, unjuk rasa mahasiswa pada 11 April 2022 sebaiknya tetap kita hormati sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan kepedulian pemuda terhadap problem pokok bangsa. Jangan menutup mata atas kebenaran tuntutan mereka, apalagi menuduh arah perjuangan mahasiswa adalah mengganti NKRI. Ini off side, kecuali Anda memiliki bukti kuat.
Sepanjang sejarahnya, mahasiswa selalu berada di garda terdepan perubahan bangsa. Negeri ini justru harus bangga masih memiliki intelektual muda yang senafas dengan rakyat, yang merasakan dan memperjuangkan persoalan masyarakat.
Sebagai wakil rakyat, ada baiknya kita melontarkan narasi yang sifatnya menyemangati, mencerahkan, sekaligus membimbing agar mahasiswa tetap merawat jati diri sebagai agent of change. Bukan malah ikut-ikutan mempertahankan istilah kadrun (tentu versus kampret) yang berpotensi mempertebal keterbelahan.
Tuduhan AWK terhadap demo mahasiswa 11 April 2022 sangat serius. Sepantasnyalah Badan Kehormatan DPD RI mengusut, tuduhan ini hoax atau fakta? (*)