OPINI
Mengenal Anies Secara Humanis
Seiring waktu, rakyat mulai paham dan memiliki kesadaran akan pentingnya keberadaan pemimpin sejati. Mana figur yang lahir dari proses dan jejak rekam dengan sumbangsihnya bagi negara bangsa?. Mana yang sekonyong-konyong muncul tanpa prestasi, dengan bermodal citra yang dipaksakan bahkan dengan catatan noda pernah membuat luka bagi anak bangsa? Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SUATU waktu penulis diajak senior Dr. Tony Rasyid seorang pengamat sosial politik juga kolumnis terkenal, berkesempatan bertemu dengan Anies Baswedan dalam momen puasa Ramadhan menikmati acara buka puasa bersama yang penuh kehangatan. Meski baru pertama kali bertemu dan hanya mengenal Anies Baswedan dari publikasi dan pemberitaan nasional. Penulis benar-benar merasakan suasana keakraban dan persaudaraan dari Gubernur Jakarta yang kini terus berkelindan dengan kepemimpinannya yang mendapat sambutan luas dan antusias tinggi publik. Sebagai orang kecil dan menjadi bagian dari kebanyakan rakyat jelata, penulis merasakan kehormatan sekaligus kebangggaan bisa bercengkerama sembari diskusi kecil dengan figur yang digadang-gadang menjadi pemimpin potensial dan meniadi presiden dalam geliat pilpres 2024. Bagaimana tidak, dengan status orang pinggiran berlatar belakang kelas bawah sosial, penulis mendapat perlakuan yang dalam dan berkesan dari Anies. Awalnya penulis begitu segan dan canggung berhadapan langsung dengan Anies, figur yang kuat ketokohannya itu. Namun semua menjadi cair ketika interaksi terasa penuh penghargaan, respek, egaliter dan tentu saja diliputi keterbukaan. Anies Baswedan yang banyak dari hari ke hari diidolakan rakyat, benar-benar menghadirkan karakter dan sifat pemimpin yang sarat wawasan, runut berpikir dan sangat tertata tiap kata dan bahasa dalam komunikasinya. Anies juga menonjolkan betapa karakter kepemimpinannya sangat mengayomi, memberikan rasa aman dan nyaman serta terukur memberikan solusi pada persoalan kebangsaan sekalipun. Dari situ penulis merasakan kenyataan Anies memang nyata pemimpin yang cerdas, santun dan berwibawa tanpa sekat dan batasan apapun kepada setiap orang. Setidaknya bagi penulis yang sudah lebih dari 20 tahun menggeluti dunia sosial dan sejatinya menjadi representasi wong cilik juga. Lebih Utuh Tentang Anies Meski tidak terlalu formal dan berlama-lama dalam diskusi. Penulis dengan mudahnya menangkap pembahasannya dengan sederhana dan penuh makna. Mulai dari soal pola pikir, ucapan dan tindakannya. Dari situ berkembang dan mengalir pembicaraan tentang visi misi kepemimpinan, program dan capaian yang sudah dilakukan Anies. Termasuk bagaiman Anies menghadapi tantangan dan ujian kepemimpinannya baik dari aspek politik, ekonomi maupun dinamika demokrasi dan suasana kebangsaan yang menyelimuti kehidupan rakyat akhir-akhir ini, dalam ranah nasional pada umunya maupun Jakarta khususnya. Ada ungkapan Anies yang menarik dan layak menjadi tolok ukur bagi semua komponen bangsa, ketika penulis menanyakan bagaimana Anies menyikapi kepemimpinan dan korelasinya dengan komitmen pada tujuan dan masa depan bernegara bangsa. Anies dengan lugas namun tegas menyatakan bahwasanya Indonesia kedepan yang dicita-citakan bisa diwujudkan dengan apa yang telah dilakukan hari ini. Begitu juga dengan soal kepemimpinan, Anies sangat konsern dan menempatkan masalah jejak rekam dan prestasi menjadi hal signifikan yang mutlak dan tidak dapat diabaikan. Anies seakan menyiratkan, pemimpin sepatutnya memiliki kemampuan untuk membangun komunikasi publik yang baik sekaligus upaya pemenuhan keragaman kebutuhan publik. Pembangunan harus mampu menyentuh kepentingan-kepentingan yang mewakili semua kbhinennekaan dan kemajemukan bangsa. Seperti yang diucapkan berulang-ulang dalam kesempatannya berbicara di ruang publik, Kemerdekaan Indonesia menjadi tujuan bersama dan untuk mewujudkannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk meeujudkan kemakmuran dan keadilan bersama. Menjadi tujuan bersama semua anak bangsa, bukan untuk tujuan satu kelompok atau satu golongan suku, agama, dan ras tertentu. Dengan perspektif kepemimpinan seperti itu, penulis kemudian merangkai apa yang ada dalam jiwa dengan laku yang sudah ditoreh selama mengelola Jakarta. Bagi Anies yang palung prinsip dan mendasar, pemimpin harus bisa menghindari dirinya dari praktek-praktek KKN dan kecenderungan kejahatan-kejahatan konstitusi dan distorsi kebijakan. Tak cukup sampai disitu, pemimpin juga harus total mengupayakan kekuasaan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Akhirnya penulis paham, tatkala Anies membangun perumahan di kampung aquarium yang sempat tergusur. Atau saat Anies memberikan pembebasan biaya PBB bagi para veteran pejuang dan perhatian penuh pada komunitas lansia dan disabilitas. Selain itu Anies yang menata estetika dan modernitas kota Jakarta, melengkapinya dengan mahakarya Jakarta Internasional Stadium (JIS), sebuah stadion yang mewah dan berstandar internasional. Tak cukup pembangunan fisik, Anies juga mengokohkan bangunan pluralitas dan toleransi kehidupan keagamaan di Jakarta dengan kemudahan produk IMB bagi rumah peribadatan semua agama dan fasilitas bagi pengelola rumah ibadah. Terlebih bagi perijinan pembangunan gereja yang selama ini sering terkendala. Uniknya dan patut diapresiasi, Anies juga menjawab keraguan banyak pihak melalui penegakan hukum dan tata aturan pelaksanaan pembangunan daerah dengan menghentikan perijinan proyek reklamasi di pesisir pantai Jakarta Utara. Saat menguatnya resistensi rakyat terhadap dominasi olgarki, Anies mrngeluarkan kebijakan yang sesungguhnya tidak anti investasi tetapi mengutamakan kepentikan dan kedaulatan rakyat menjadi prioritas dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masih banyak lagi komitmen dan keberpihakan Anies yang membela dan mengutamakan kepentingan rakyat, ketimbang kelompok atau golongan tertentu yang sangat memengaruhi penyelenggaraan negara dan roda pemerintahan. Begitulah penulis mencoba menuangkan figur Anies dengan sederet karya dan prestasi dari konsep dan program populis kepemimpinannya. Bukan saja penulis, boleh jadi sebagian besar rakyat Indonesia bisa mengenal dan memahami Anies dengan cara yang sederhana. Dengan pikiran dan bahasa rakyat kecil pada umumnya. Semua yang ada pada diri Anies, menjadi lebih mudah dijangkau oleh kesadaran dan harapan seluruh rakyat Indonesia. Anies yang teguh memanjakan kedaulatan rakyat di atas anasir-anasir kepentingan politik jangka pendek dan sesaat apapun, tetap gigih dalam menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial. Atas realitas itu, baik penulis maupun seluruh rakyat Indonesia terasa lebih mudah mengenal Anies secara humanis dan lebih utuh tentang figurnya. (*)
Arah Baru Polarisasi Politik Indonesia
Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Forum Diaspora Pemuda Pelajar Indonesia TULISAN saya terdahulu berjudul “Indonesia terbelah tiga” yang menyatakan saat ini bangsa Indonesia terpecah tiga kelompok politik yaitu : Pro perpanjangan masa jabatan Presiden 2027 atau tiga periode, kelompok tetap Pilpres 2024, dan kelompok pro perobahan Pilpres/pemilu dipercepat akhirnya terbukti dan benar. Benar dan terbuktinya ketika kita mencermati secara dalam dan komprehensif demo 11 April di depan Senayan kemaren. Plus ada sequel tambahan pembugilan tokoh buzzer istana Ade Armando”. Kenapa benar dan terbukti? Berikut jawaban dan analisanya : Pertama, ada yang aneh ketika terjadi pergeseran fokus demonstrasi dari titik kumpul istana beralih ke Senayan Gedung DPR-RI. Pergeseran yang tiba-tiba dan boleh dikatakan mulus. Akhirnya, goal dari demonstrasi untuk mendapatkan jawaban langsung dan bertemu langsung dari Jokowipun tidak terealisasi. Artinya di sini dapat kita asumsikan bahwa, kelompok Istana pro 2027 yang berhasil menggeser titik fokus demonstrasi mahasiswa untuk membuat istana clear dan menggeser “beban” demonstrasi ke DPR-RI. Yang disana sudah ditunggu Sufmi Dasco selaku wakil ketua DPR/RI dan Kapolri Jendral Pol Sigit Sulistiyo. Kedua. Meskipun digembosi, disekat, dan ada sedikit intimidasi terhadap mahasiswa, namun demonstrasi boleh dikatakan sukses dalam artian “gerakan nyata itu tetap ada”. Namun yang mesti kita akui bagi yang paham sejarah mobilisasi massa pasca periode kedua Jokowi ini adalah ; border dan tekanan aparat penegak hukum khususnya Polisi dan BIN, boleh dikatakan sedikit melunak dan renggang. Tidak seperti demo 212, FPI, dan aksi lainnya dengan tema berbeda. Polisi sangat begitu represif. Hal yang dapat kita simpulkan di sini adalah kelompok pro 2024, yang di dalamnya juga terdapat partai penguasa juga berperan untuk bagaimana demonstrasi ini tetap ada dan berjalan. Karena ada kesamaan tema dan tuntutan demo yaitu : menolak perpanjangan masa jabatan Presiden atau Presiden tiga periode. Ketiga. Kejadian memalukan pembugilan Ade Armando oleh massa demonstrasi. Ini jelas sekali permainan inteligen untuk membuat kegaduhan, dengan tujuan merusak suasana, men”decoy” isu dan opini, serta permainan “playing victim” untuk menyudutkan kelompok pro perubahan yang juga berisikan kelompok oposisi. Buktinya juga, momen ini langsung dijadikan ajang caci maki, bully terhadap kelompok oposisi dan mahasiswa dengan narasi “khas” ala buzzer rezim yaitu ; radikalisme, kadrun, dan bertindak seolah jadi korban. Meskipun secara fakta nyata juga, publik mengetahui bahwa semua itu adalah “permainan inteligent” semata. Mulai dari pelaku, provokasi, hulu dan hilir di lakukan oleh kelompok yang sama. Dimana Ade Armando teropinikan hanyalah jadi “umpan korban” terlepas beliau sadar atau pura-pura tidak tahu. Artinya. Dapat juga kita simpulkan bahwa, insiden ini juga upaya kelompok pro 2027 yaitu istana atau Jokower mengadu domba kelompok 2024 dengan mahasiswa dan oposisi. Agar lengah dan bias dari tuntutan utamanya. Meskipun demonstrasi 11 April boleh dikatakan anti klimaks, sedikit angka buat penguasa karena berhasil men”decoy” isu melewati operasi inteligennya. Namun bagi kelompok pro perubahan mahasiswa dan oposisi, hal ini justru merupakan momentum penting ibarat “warming up” gerakan pasca pamdemi covid 2 tahun belakangan ini. Mesti dicatat, mahasiswa semua kampus baru saat ini mulai berkumpul dan masuk kampus kembali. Setelah dua tahun off kampus. Jadi, suasana covid menyebabkan terputusnya komunikasi, konsolidasi, dan sosialisasi lintas mahasiswa itu sendiri. Bisa menghadirkan seratusan ribu demonstrasi 11 April kemaren, dan serentak bertahap di beberapa kota lainnya adalah merupakan sebuah “prestasi” luar biasa bagi gerakan mahasiswa. Dan saya yakin, gelombang perlawanan mahasiswa bersama kelompok oposisi ini akan terus meningkat dan tinggi eskalasinya. Kebosanan terbelenggu aturan-aturan copad-copid telah melahirkan titik pantul perlawanan. Apalagi, di dalam kelompok istana itu sendiri juga terjadi perpecahan. Yaitu antara kelompok jokower pro perpanjangan masa jabatan atau tiga periode, dengan pro status quo Pilpres 2024 yang dikomandani PDIP. Kita akan lihat, polarisasi peta kekuatan kelompok politik ini mana yang akan menjadi pemenang. Karena masing-masing kelompok menpunyai basis keunggulan. Meskipun kelompok satu dan dua adalah penguasa saat ini, namun jangan anggap remeh kelompok tiga yang pro-perubahan. Karena gerakan ini murni lahir dari rahim rakyat. Muncul karena tidak adilan dan semangat perlawanan atas penindasan. Yang tentu saja secara etos, militansi, semangat, dan ruh perjuangan akan berbeda dengan kelompok satu dan dua di atas yang sudah “berlemak” tubuhnya sebagai penikmat kekuasaan. Namun semua tinggal momentum, dan siapa yang paling bisa mengambil dan memanfaatkan momentum itu dialah pemenangnya. Perth-Australia. 14 April 2022.
Demokrasi Rp 110,4 Triliun: Semakin Melenceng dari Tujuan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sistem presidensil basisnya Individualisme. Maka kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kuat-kuatan, pertarungan, kalah menang. Yang menang mayoritas dan yang kalah minoritas. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila HANYA bangsa yang bodoh yang melakukan demokrasi liberal untuk memilih pemimpin yang yang tak jelas kapasitasnya dengan anggaran Rp 110,4 triliun. Kita dibodohkan dan dimiskinkan oleh sebuah sistem, itu kata Bung Karno. Padahal pendiri negeri ini sudah sangat canggih memikirkan negara yang bagaimana yang akan dibentuk dari sejak negara ini akan didirikan sudah menjadi kesepakatan dasar negara kita adalah Pancasila. Jadi, sistem negara bukan Liberal, bukan Kapitalisme seperti sekarang ini. Negara ini sistem yang dipilih adalah negara berdasarkan Pancasila dengan demokrasinya \'”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Oleh sebab itu, sistemnya Kolektivisme Kekeluargaan, bukan Presidensial dengan basis individualisme banyak-banyakan suara yang kalah-menang pertarungan, kuat-kuatan, kaya-kayaan yang menuju keterbelahan bangsa. Mari kita semua mengisyafi keadaan bangsa ini, apa para pemimpin sadar dan memikirkan nasib keterpurukan bangsanya. Apakah negara ini masih bertujuan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kalau unsur individualisme kapitalisme dimasukan, disusupkan di dalam UUD hasil amandemen? Jadi, Negara berdasar Pancasila itu mempunyai sistem sendiri, bukan sistem Presidensil maupun sistem Parlementer. Sistem sendiri atau sistem MPR tersebut pengejawantahan dari negara bahwa semua untuk semua. Pengejawantahan negara Gotongroyong. Oleh sebab itu, sistem keanggotaan MPR adalah keterwakilan, bukan keterpilihan dari banyak suara, ini bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika. Keanggotaan MPR bukan hanya DPR dan DPD tetapi ada juga utusan utusan golongan dengan sistem keterwakilan. Bukan keterpilihan dari hasil banyak-banyakan suara. Yang pada akhirnya menghasilkan mayoritas yang banyak suaranya, minoritas yang sedikit suaranya. Model menang-kalah, banyak-banyakan suara Pilkada, Pilsung, seperti ini bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus bertentangan dengan Pancasila. Pancasila itu antitesis dari Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme telah melahirkan kolonialisme penjajahan dan menimbulkan perang dunia kesatu dan perang dunia kedua. Padahal negara ini didirikan anti penjajahan, bahkan di pembukaan UUD 1945 ditulis dan satu-satunya negara yang mengatakan Penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan yang adil dan beradab. Dianggapnya UUD 1945 tidak ada HAM-nya diamandemen dimasukannya pasal pasal yang diambil dari piagam PBB dimasukan ke UUD1945. Kegoblokan pengamandemen UUD1945, tidak memahami UUD 1945. PBB dan Dua Barat masih menjajah bangsa lain, Indonesia sudah mengatakan anti penjajahan dan harus dimusnahkan di muka dunia. Tidak ada HAM tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila itulah sumber HAM, kok justru kita copy paste dan mengamandemen UUD 1945 kita setubuhkan dengan Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Oleh sebab itu, pendiri negeri ini tidak mau memilih sistem Presidensil atau Parlementer. Sebab kedua sistem ini basisnya individual, dianggap salah, tidak sesuai dengan bangsa ini yang anti penjajahan. Maka dilahirkanlah sistem sendiri yang disebut sistem MPR berbasis gotong-royong, tolong-menolong, kebersamaan kekeluargaan. Jadi, seluruh elemen bangsa duduk di MPR sebagai utusan golongan bertugas merumuskan politik rakyat yang disebut GBHN. Setelah itu dipilih Presiden untuk menjalankan GBHN. Maka Presiden adalah mandataris MPR, bukan petugas partai seperti saat ini. Tidak mungkin tujuan negara masyarakat yang adil dan makmur diletakkan pada sistem individualisme, liberalisme, dan kapitalisme yang serba serakah. Jadi, negara telah melenceng dari tujuan bernegara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Saat Amandemen UUD 1945 banyak rakyat tidak mengetahui sesungguhnya amandemen yang telah dilakukan sejak tahun 2002 telah mengubah negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dari negara berdasarkan Pancasila menjadi negara yang berdasar liberalisme, kapitalisme. Ternyata amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 juga berimplikasi terhadap perubahan sistem ketatanegaraan, berubahnya negara berideologi Pancasila menjadi sistem Presidensil yang dasarnya Individualisme Liberalisme Kapitalisme. Kita perlu membedah perbedaan negara bersistem MPR berideologi Pancasila dan Negara dengan sistem Presidensil berideologi Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme agar kita semua paham dan mengerti telah terjadi penyimpangan terhadap Ideologi Pancasila. Sistem MPR basisnya elemen rakyat yang duduk sebagai anggota MPR yang disebut Golongan Politik diwakili DPR, sedang golongan Fungsional diwakili utusan Golongan-golongan dan Utusan daerah. Tugasnya merumuskan politik rakyat berdasarkan visi misi negara yang kemudian disebut GBHN. Setelah GBHN terbentuk dipilihlah Presiden untuk menjalankan GBHN. Oleh sebab itu, presiden adalah mandataris MPR dan Presiden di masa akhir jabatannya mempertangungjawabkan GBHN yang sudah dijalankan. Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri atau politik golongannya, apalagi Presiden sebagai petugas partai, seperti di negara komunis. Demokrasi berdasarkan Pancasila adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan. Jadi, pemilihan Presiden dilakukan dengan permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan, artinya tidak semua orang bisa bermusyawarah yang dipimpin oleh Hikmah, hanya para pemimpin yang punya ilmu yang bisa bermusyawarah, sebab musyawaran bukan kalah menang, bukan pertaruhan, tetapi memilih yang terbaik dari yang baik. Pemilihan didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan, nilai persatuan Indonesia, Permusyawaratan perwakilan yang bertujuan untuk Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan semua hasil itu semata-mata untuk mencari ridho Allah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sistem MPR maka pelaksanaan demokrasi asli Indonesia berdasarkan Pancasila tidak menguras 110,4 triliun rupiah, tidak ada pengerahan massa, tidak ada kampanye, tidak ada pengumpulan massa yang tidak perlu. Sebab yang di pertarungkan adalah pemikiran gagasan, tidak membutuhkan korban seperti tahun 2019 yang hampir 900 petugas KPPS meninggal tidak jelas juntrungannya. Sistem presidensil basisnya Individualisme. Maka kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kuat-kuatan, pertarungan, kalah menang. Yang menang mayoritas dan yang kalah minoritas. Demokrasi dengan cara-cara Liberal, Kapitalis, membutuhkan biaya yang besar menguras dana rakyat Triliunan rupian untuk memilih pemimpin pilkada, pileg, pilpres dengan sistem pemilu yang serba uang, bisa kita tebak maka menghasilkan para koruptor hampir 80% kepala daerah terlibat korupsi, dan yang lebih miris korupsi seperti hal yang lumrah di negeri ini. Begitu juga dengan petugas KPU-nya, bagian dari sistem korup, kecurangan bagian dari strategi pemilu. Demokrasi bisa dibeli geser-mengeser caleg, memindakan suara adalah bagian dari permainan KPU. Ini bukan isapan jempol. Bukannya sudah dua anggota Komisioner KPU yang dipecat karena terlibat permaian uang. Dalam sistem Presidensil, Presiden yang menang melantik dirinya sendiri dan menjalankan janji-janji kampanyenya. Kalau tidak ditepati janjinya ya harap maklum. Artinya, pada akhir masa jabatan presiden tidak mempertangungjawabkan kekuasaannya. Bagaimana sistem Presidensil ini yang mampu menggulung Ideologi Pancasila sementara BPIP mencoba bermain-main dengan Ideologi Pancasila yang disetubuhkan dengan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme. Entah apa yang ada di pikiran Megawati Soekarnoputri dan punggawa yang ada di BPIP. Sudah jelas mana mungkin keadilan sosial diletakan pada sistem Liberalisme Kapitalisme jelas bertentangan dengan Pancasila. Pancasila itu antitesis dari Individualisme Liberalisme Kapitalisme? Sudah saatnya bangsa ini bangkit dan mahasiswa harusnya mengusung isu yang membumi kembali ke UUD 1945 dan Pancasila dan segera MPR melakukan Sidang Istimewah, jika bangsa ini ingin selamat. (*)
Anies Baswedan, Barack Obama Versi Indonesia
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik KALAU Anies Baswedan akhirnya masuk ke Istana lewat pilpres 2024, banyak orang yang mungkin terkenang dengan gebrakan Barack Obama masuk ke Gedung Putih pada pilpres 4 November 2008. Obama menggoreskan sejarah penting dalam perpolitikan Amerika Serikat (AS). Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menduduki kursi presiden. Memecahkan ketabuan yang berlangsung lebih dari 200 tahun sejarah kepresidenan AS. “Yes, we can,” adalah slogan kampanye Obama yang sangat kuat menghunjam nurani rakyat Amerika. Slogan ini menghimpun warga kulit putih dan kulit hitam ke dalam ikatan emosinal yang kemudian melenyapkan konvensi “presiden hanya kulit putih”. Di Indonesia, besar kemungkinan konvensi “presiden hanya orang Jawa” juga akan mengalami perubahan. Anies Baswedan kemungkinan besar akan memerankan “Obama versi Indonesia” pada pilpres 2024. Akan terpilih sebagai presiden non-Jawa pertama. Indonesia pernah punya presiden non-Jawa, yaitu almarhum BJ Habibie. Tetapi beliau duduk di kursi presiden pada 1998 karena Presiden Suharto mengundurkan diri. Habibie menjadi presiden ketiga, menggantikan Pak Harto tanpa pilpres langsung. Sejauh ini, sejumlah faktor pendukung untuk merevisi konvensi “presiden hanya orang Jawa” itu ada pada diri Anies. Antara lain, dia tidak akan mengubah konvensi itu secara drastis. Dalam arti, Anies tetap bisa disebut sebagai “orang Jawa” dari beberapa aspek. Misalnya, kejawaannya cukup kental. Dia lahir di Jawa, dibesarkan di tengah lingkungan Jawa tulen. Anies memahami adat-istiadat Jawa. Kakek dan ayah Anies lahir di Jawa. Kakek beliau, Abdurrahman Baswedan, kelahiran Surabaya. Dianugerahi gelar Pahlawan Nasional paa 2018. Ia ikut berjuang merebut kemerdekaan bersama tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya. Ayah Anies, yaitu Rasyid Baswedan, malah bermukim di tanah terbaik urusan Jawa, yaitu Jogjakarta. Jadi, kalau Anies Baswedan bakal mengamandemen konvensi “presiden hanya orang Jawa”, sesungguhnya bukanlah perubahan yang serius. Sebagai contoh, bahasa ibu (mother tongue) Anies itu bahasa Jawa. Begitu juga makanan sehari-hari dan tatakrama serta kultur pergaulannya, sangat Jawa. Aspek kejawaan yang agak minus di dalam diri Anies adalah nama dan silsilah beliau yang terkoneksi ke Tanah Arab. Kalau darah yang mengalir di badannya seratus persen darah yang sel-selnya terbentuk dari ‘gudheg’, ‘gethuk’, ‘pecal’, dlsb. Cuma, bagi banyak orang Indonesia, Anies tampaknya dianggap bukan orang Jawa. Nah, di sinilah kita mulai pembahasan Anies sebagai Obama versi Indonesia. Dalam makna, sekiranya silsilah Anies itu diperkirakan akan menghambat beliau masuk ke Istana, itu berarti slogan “Yes, we can” yang digemakan oleh Obama dan timnya di AS kelihatannya bisa diadopsi. Saya yakin, kearaban Anies tidak akan menjadi hambatan. Sebab, sebagian besar orang Jawa sudah terbiasa dengan prinsip ‘egaliter’ . Hingga hari ini, sebagai contoh, tidak ada percakapan publik yang serius tentang kearaban Anies yang akan menjadi sandungan. Ini merupakan isyarat bahwa sosialisasi Anies ke masyarakat Jawa tidak sulit. Mungkin akan ada pengecualian di beberapa kawasan. Bisa dimaklumi. Justru, kesulitan inilah yang akan menjadi ruh “Yes, we can”-nya versi Anies. Sekarang saja, kita bisa menyaksikan sambutan gegap-gempita ketika Anies berkunjung ke banyak pelosok di pulau Jawa. Tidak ada terlihat sama sekali isu Anies keturunan Arab. Jadi, secara keseluruhan, Anies tidaklah sesulit Obama ketika mengubah konvensi “presiden AS hanya kulit putih”. Sebab, dari waktu ke waktu semakin sedikit orang Jawa yang menganggap “non-Jawa” tak berhak menjadi presiden. Anies memiliki kemampuan komunikasi dan karisma. Sama seperti Obama. Dua hal ini memukau rakyat AS –hitam maupun putih. Anies sangat artikulat seperti Obama. Estetik ketika berbicara. Memiliki perbendaharaan luas dalam narasi dan diksi, baik untuk kalangan atas maupun lapisan bawah. Di atas itu semua, prestasi kerja Anies boleh dikatakan terbaik di antara semua pejabat eksekutif Indonesia. Rakyat di luar Jakarta tahu soal ini. Itulah sebabnya banyak orang di luar Jakarta yang mengharapkan agar Anies melakukan itu untuk Indonesia. Dari sisi ini, Anies lebih beruntung dari Obama. Anies sudah menunjukkan bahwa dia bisa menjadikan Jakarta jauh lebih baik. Kini menjadi “a stunning city” (kota yang mencengangkan). Sedangkan Obama saat itu hanya sebagai seorang senator. Bukan eksekutif yang telah banyak berbuat. Jadi, “Yes, we can” versi Anies, in-sya Allah, jauh lebih mudah untuk digapai.[] Medan,14 April 2022
Menteri Bahlil Lahadalia Jadi Sumber Kegaduhan Bangsa (Bagian-1)
Oleh Samson Yasir Alkatiri Ambon FNN – Senin 11 April (11) lalu demonstarsi besar-besaran terjadi di hampir di seluruh tanah air. Demonstrasi dilakukan para mahasiswa, pemuda dan masyarakat di sebagian besar wilayah Indonesia. Demonstrasi 114 itu sebagai wujud kegaduhan politik dan sosial terbesar sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia awal 2019 lalu. Pandemi yang telah meluluh-lantahkan hampir seluruh pranata sosial dan ekonomi nasional, bahkan menimpa masyarakat dunia. Perlu kebersamaan kolektif untuk memulihkan kembali fundadmental ekonomi nasional yang berantakan saat ini. Dibutuhkan kekompakan seluruh komponen bangsa untuk bangkit. Untuk itu, sebaiknya kita semua harus menahan diri berbicara yang memproduksi kegaduhan politik. Kalaupun harus berbicara, maka hanya sebatas lingkup bidang tugas atau leading sector yang ditugaskan kepadanya. Tidak usah wira-wiri sana-sini di bidang-bidang lain. Para menteri bidang ekonomi, sebaiknya tidak usah bicara politik. Fokus saja ke pemulihan ekonomi. Apalagi kalau bicara itu ujung-ujungnya hanya menimbulkan kegaduhan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang terjadi Senin 11 April lalu. Energi besar bangsa harus terkuras untuk hal-hal yang tidak perlu. Sampai-sampai Presiden Jokowi seperti dikejar ketakutan politik, sehingga harus menggelar rapat terbatas kabinet bidang Politik Hukum dan Keamanan pada hari Minggu (10/04) lalu. Jike ditelurusuri berdasarkan jejak digital, siapa sumber kegaduhan politik tersebut? Ternyata awal-mula kegaduhan politik itu datang dari Menteri Investasi/Kepala Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Mantan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BP HIPMI) itu yang mengklaim bahwa “pengusaha minta agar pemilu 2024 diundur”. Alasan para pengusaha yang disampaikan melalui Meneteri Bahlil karena soal pemulihan ekonomi nasional dan penanganan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. Sayangnya, Bahlil tidak menyebut siapa saja pengusaha yang menghendaki pemilu presiden 2024 ditunda tersebut? Apakah mereka berasal dari kalangan oligarki dan konglomerat? Atau apakah mereka dari kalangan Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) serta Koperasi? Semuanya kabur dan tidak jelas. Hanya katanya dan katanya saja. Dengan demikian, wajar kalau masyarakat beranggapan bahwa “original ide tentang penundaan pemilihan presiden 2024 itu datang dari Menteri Balil sendiri”. Mungkin saja Bahlil hanya atau seakan-akan mengatasnamakan kalangan pengusaha. Padahal ide tersebut adalah keinginan Bahlil sendiri. Tujuanya untuk cari muka kepada Presiden Jokowi. Apalagi saat ini Bahlil merangkap sebagai Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) ad interim sejak Arifin Tasrif jatuh sakit. Kalau terjadi reshuffle kabinet, maka mungkin saja Bahlil berharap diangkat Presiden Jokowi sebagai Menteri ESDM yang definitif. Kemungkinan lainnya Bahlil sedang bekerja dengan kekuatan politik di belakang layar (the mind behind the scren) untuk menjerumuskan Presiden Jokowi ke jurang. Sebab yang namanya pejabat pemerintah itu haram hukumnya untuk berbicara sesuatu yang erat kaitannya dengan perubahan konstitusi. Setiap menteri maupun organ pemerintah lain hanya punya kewajiban melaksanakan konstitusi yang berlaku. Begitu sumpahnya setiap menteri ketika dilantik oleh Presiden. Sekarang ko genit untuk bicara tentang penundaan pemilu presiden? Belajar konstitusi bernegra di planet mana sih Pak Menteri Bahlil dan Pak Menteri Luhut itu? Tidak ada pengecualian untuk semua organ pemerintah tidak melaksanakan perintah konstitusi. Karena bisa dianggap sebagai pengkhianat konstitusi. Apalagi kontitusi UUD 1945 yang telah diamandemen tahun 2002, pasal 7 dengan tegas dan jelas menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” . Dengan demikian, tidak tersedia ruang untuk siapapun menteri, terutama di bidang ekonomi mengungkapkan pendapat siapa saja, yang datang dari manapun, yang berkaitan dengan penundaan pemilu presiden. Sebab upaya menunda pemilu presiden dapat dianggap sebagai pengkhianatan yang nyata-nyata kepada konstitusi negara. Hukumannya itu bisa hukuman mati. Para ahli hukum tata negara menyebutnya dengan “kudeta kontitusi”. Hanya partai politik yang boleh bicara di ruang publik tentang amandemen konstitusi UUD 1945. Kalau ada aspirasi dari masyarakat yang disampaikan kepada Menteri Bahlil atau Menteri Luhut agar menunda pemilu Presiden, maka silahkan tersebut disampaikan lagi kepada partai politik yang punya fraksi-fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bukan malah menteri di bidang ekonomi yang genit untuk bicara ke publik. Menunda pemilu presiden atau memperpanjang masa jabatan presiden berarti harus melakukan amandemen terhadap konstitusi UUD 1945. Ahli hukum tata negara Doktor Margarito Kamis menyatakan bahwa “Presiden, MPR, DPR, DPD dan KPU tidak punyai kewenangan berdasarkan konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden satu hari sekalipun, kecuali dilakukan melalui amandemen terhadap pasal 7 UUD 1945. Celah lainnya hanya malalui Dekrit Presiden. Hanya itu Setelah Bahlil bicara tenang penundaan pemilu presiden, giliran Menteri Kordinator Maritim dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang angkat bicara. Luhut bilang kalau “isu terkait penundaan pemuli presiden itu bergulir setelah dirinya banyak mendengar masukan dari masyarakat. Pemilu 2024 tidak perlu terlalu terburu-buru”. Menanggapi Bahlil dan Luhut itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto bilang “kepentingan pengusaha itu fokus membangun usahanya, agar maju dan mendapatkan keuntungan. Saya tau penguasaha itu berharap usahanya maju dan mendapat keuntungan. Juga kemampuan membangun organisasi bisnisnya agar survive, dan bisa menjadi pemimpin dalam dunia bisnis yang dimasuki untuk masa depan. Bukan bicara penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden\". Kegaduhan politik bangsa belakangan ini yang diproduksi dan dimulai dari Menteri Bahlil Lahadalia, telah berakibat pada buruknya performance Presiden Jokowi di mata masyarakat Indonesia. Keresahan politik merata di seluruh tanah air. Akibatnya, Jokowi sempat dianggap sebagai Presiden yang gagal paham tentang demokrasi di Indonesia. Padahal Jokowi bisa menjadi presiden hari ini karena berasal dari produk demokrasi. Untuk saja Presiden Jokowi cepat-cepat bersikap. Presiden pada minggu 10 April 2022 lalu menggelar rapat terbatas kabinet bidang Polhukam. Rapatnya bertujuan untuk memastiakan bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden tetap dilaksanakan 14 Februari 2024 mendatang. Itu berarti tidak akan ada penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Sebagai konsekwensi dari kegaduhan politik bangsa yang diproduksinya, maka Presiden Jokowi seharusnya mencopot Menteri Bahlil Lahadalia dari semua jabatan pemerintahan yang melekat pada dirinya. Tujuannya agar para menteri lain tidak ikut-ikutan berbicara yang berakibat pada kegaduhan politik bangsa. Pencopotan itu harus dilakukan Presiden Jokowi secepatnya. Tidak harus menunggu bersama-sama dengan reshuffle kabinet para menteri yang lain. (bersambung). Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.
Lahar Panas Akan Meluap
Para penguasa sadar atau tidak sadar telah membuka Kotak Pandora, lahar panas akan meluap. Bagi sebagian umat Islam jangankan disiksa, dibunuh pun darahnya halal. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih JENDERAL “Merah” yang dominan sebagai kakak pembina Buzer benar-benar menyepelekan ingatan dan kesabaran masyarakat menahan diri. Khususnya Umat Islam terlalu sabar dihantam, dituduh dan dihasut dari segala penjuru oleh rezim Oligarki via tangan - mulut dan polah Buzer. “Yang menghasut bukan ulama, Buzerlah yang menghasut dengan caci-maki dan fitnah”. Buzer adalah binaan para Herder yang kolaborasi dengan Peking (kolonialisme baru ) terus membuat gaduh dan memecah-belah bangsa ini dengan jargon-jargon songong dan mengaum seperti Anjing Peking. Buzer bayaran dimainkan seperi orang kesurupan ketika berhadapan dengan akal sehat. Umat Islam semakin paham negara dalam genggaman para Herder Jenderal Merah dan Oligarki Politik (Badut Politik) - Oligargi Ekonomi (Bandar Politik) dan Oligarki Sosial (Bandit Politik). Kondisi kekacauan diperluas dengan tendensi kekuasan “timokrasi” (kekuasaan gila popularitas), tata kelola negara, bahkan di tengah ancaman wabah, cenderung mengedepankan proyek mercusuar dan kehebatan permukaan ketimbang meringankan derita rakyat karena aneka impitan. “Ya Indonesia sudah berubah menjadi “negara panggung” alias theater state” . Simbolisme, persepsi, narasi, dan drama lebih penting ketimbang realitas. Diri sejati kesadaran negara adalah adalah kepentingan rakyat (keadilan, kesejahteraan, ketenangan, kedamaian dan keamanan rakyat) sebagai rooh absolut negara), keluar dari diri sendiri dan berjuang untuk sesuatu yang lebih (natus sum), Tuhan YME/Allah SWT. “Ad maiora natus sum - Aku hidup untuk sesuatu yang lebih”. Yang suaranya adalah suara Tuhan dan kepentingan kemaslahatan umumnya adalah hukum tertinggi (Vox populi vox Dei, salus populi suprema lex). Yang terjadi, hukum negara sudah diambil alih oleh hukum kekuasaan dan apabila rakyat tak berani mengeluh, itu artinya sudah gawat dan apabila omongan penguasa tidak boleh dibantah dengan kebenaran, itu artinya negara terancam. Hukum berjalan “Suka-Suka Penguasa”. Sampailah pada cerita Ade Armando, sejak 2015 yang bersangkutan sudah membuat masalah pelecehan, penodaan agama dan penghinaan kepada khususnya Umat Islam. Bergelombang rakyat mengadukan yang bersangkutan ke pihak berwajib dan status tersangka sejak 2017 telah disandangnya. Semua kandas, semua menguap dan Ade Armando, Buzer terus dan makin menggila karena merasa terlindungi oleh para Herder kekuasaan. Tiba waktunya di arena demo mahasiswa yang Ade Armando kena pukul dan ditelanjangi massa. Di luar dugaan aparat keamanan begitu gesit dan cepat bertindak melindungi dan akan memproses hukum bagi masa yang telah menganiaya Ade Armando. Para kakak pembina (nota bene penguasa) tidak kalah gesit berbusa-busa pers release melakukan pembelaan, bahkan tersirat menempatkan Ade Armando sebagai pahlawan dan pihak yang menyerang langsung kena stigma sebagai pelanggaran HAM. Para penguasa sadar atau tidak sadar telah membuka Kotak Pandora, lahar panas akan meluap. Bagi sebagian umat Islam jangankan disiksa, dibunuh pun darahnya halal. Yang akan menjadi lahar panas adalah lahar keadilan akan menerjang sang penguasa, mencuat kembali tuntutan keadilan 6 laskar FPI yang dibunuh dengan sadis tanpa keadilan. Sebanyak 50 orang meninggal karena sejak 2019 tragedi politik menguap begitu saja. “Tuntutan keadilan adalah titik picu akan melahirkan gelombang demo besar dan bertemu dengan lahar betapa rakusnya Oligargi berbuat kerusakan atas negara dengan macam-macam bentuknya dengan pongahnya merasa memiliki kuasa yang full sehingga telah bisa mengendalikan Presiden, DPR dan lembaga pengadilan dalam genggamannya”. Tipuan-Kebohongan Politisi Busuk dan Buzer bayaran akan berakhir. Rakyat bagaikan lahar panas akan bangkit melawan. Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun sang penguasa tidak jujur, kebohongan, tirani bahkan otoriter mulai melekat menjadi tabiatnya sulit untuk diperbaiki - jalan keluarnya harus di tumbangkan. (*)
Potensi Perang Dunia III
Tak bisa dibayangkan, bila satu bom nuklir meledak, akibatnya demikian. Bagaimana dengan 6.800 bom nuklir ditambah dengan 6.300 bom nuklir? Mungkin bumi akan pecah berkeping-keping. Oleh: Dr. Tifauzia Tyassuma, Akademisi dan Pakar Epidemiologi SEPANJANG peradaban manusia yang sudah berjalan puluhan ribu tahun, Perang selalu membayangi. Sama dengan Pandemi. Keduanya bagaikan matahari dan bulan bagi bumi, silih berganti kedatangannya. Sesungguhnya di beberapa tempat di bumi, beberapa negara, selama 100 tahun tak pernah ada hari tanpa perang. Perang yang dicatat sejarah sebagai Perang Bumi, disebut Perang Dunia, terjadi dua kali. Perang Dunia I dan Perang Dunia II, keduanya terjadi di Abad 20. Para Ahli meramalkan, apabila sampai terjadi Perang Dunia III, itu adalah kiamat bagi bumi. Karena Perang Dunia III sudah pasti menggunakan senjata nuklir, dimana beberapa negara telah mempersiapkan senjata nuklir, sejak 80 tahun yang lalu, dan kini siap digunakan. Artinya, ketika senjata nuklir yang menjadi keniscayaan Perang Dunia III digunakan, boleh dikata tidak ada satupun negara yang tidak hancur luluh lantak, bahkan si negara pemilik nuklir sekalipun. Rusia yang memiliki 6.800 bom nuklir, dan Amerika Serikat yang memiliki 6.300 bom yang sama, akan saling menembakkan nuklirnya satu sama lain. Kekuatan bom nuklir terbesar, Tsar Bomba, disebut-sebut memiliki kekuatan 3.300 kali kekuatan bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Bila Tsar Bomba diledakkan, maka setengah bumi akan terkena imbasnya. Kekuatan Tsar Bomba, setara dengan kekuatan ledakan Gunung Toba, yang meledak 75.000 tahun lalu, yang menghancurleburkan seluruh bumi. Bumi baru terisi kembali dengan kehidupan dan manusia, di sekira 66.000 tahun lalu. Artinya dampak dari letusan Gunung Toba yang membuat bumi tak berpenghuni selama 9.000 tahun. Berbeda dengan ledakan magma gunung Toba, Tsar Bomba menghasilkan efek tambahan, yaitu efek radiasi, yang diperkirakan akan melemah setelah 18 abad, 1800 tahun. Tak bisa dibayangkan, bila satu bom nuklir meledak, akibatnya demikian. Bagaimana dengan 6.800 bom nuklir ditambah dengan 6.300 bom nuklir? Mungkin bumi akan pecah berkeping-keping. Pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa para pemimpin negara-negara yang memiliki bom nuklir super dahsyat itu, seperti tidak punya rasa takut? Vladimir Putin, Presiden Rusia, yang jempolnya adalah penentu kapan Tsar Bomba dan teman-temannya diledakkan. Demikian juga dengan Joe Biden, yang jempolnya memiliki kekuasaan sama besarnya dengan Putin saat ini. Di jempol mereka, keputusan kapan 13.000 nuklir itu diledakkan, dan kemana arah ledakannya. Apakah mereka tidak takut, diri mereka sendiri juga akan hangus binasa? Di sinilah bedanya, kualitas pemimpin dari kedua negara tersebut dengan pemimpin kelas bulu. Begitu mereka menjadi Presiden, mereka tahu bahwa hidup mati mereka untuk negara. Dan mereka adalah Panglima Militer Tertinggi di negara masing-masing. Sebagai Panglima Tertinggi, mereka tahu bahwa bila terjadi Perang Dunia III, merekalah yang akan memimpin peperangan, dengan risiko, menang atau kalah, hidup atau mati. Pendeknya, sebagai pemimpin negara adidaya, yang sudah siap menanti sesuatu yang sudah pasti, yaitu Perang Dunia III, kematian sudah di tangan. Ketika kematian sudah di tangan, tak ada lagi yang menjadi sumber ketakutan. Yang ada, adalah bertempur sampai titik darah penghabisan. Epic Mahabarata, dalam episode terakhir, Perang Baratayuda, adalah peperangan terakhir, paling besar, paling bengis, dengan akhir perang, tak ada yang menang. Semua tumpas, habis, tak bersisa, kecuali pohon-pohon yang terbakar, dan bekas-bekas rumah yang tinggal puing-puingnya. Tak ada lagi jenderal dan rakyat. Semua binasa, menyatu dalam kematian. Jadi, itulah kunci dari, bagaimana Perang Dunia III menjadi suatu niscaya. Perang Dunia I masih menyisakan kemungkinan menang dan selamat. Dan memang ada yang selamat. Perang Dunia II masih menyisakan kemungkinan menang dan selamat. Dan memang ada yang selamat. Perang Dunia III adalah perang, dimana Kiamat itu memang ada. Memang absurd perang itu. Perang itu, tak pernah masuk akal. Tetapi it always happen. Selalu terjadi. Entah mengapa. Anyway, Sementara penduduk bumi di belahan dunia yang lain sibuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan Perang Dunia III. Di sini pemimpinnya masih sibuk menimbun harta, sibuk bikin konten, sibuk ingin memperpanjang jabatan. Tak peduli rakyatnya kian hari kian tercekik beban kehidupan. (*)
Luhut Memang Dahsyat, Banteng Sekandang Dibuat Tak Berkutik
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik Tak keliru Jokowi menempatkan kepercayaan penuh ke Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Jenderal pensiunan ini memang hebat. Harus diakui dengan jujur. Ini penilaian objektif. Meskipun ‘output’ kehebatan Luhut bisa dinilai macam-macam secara kualitatif. Luhut adalah “can do anything person”. Orang yang bisa mengerjakan apa saja. Dia bisa mengolah dan mengelola semua hal. Mulai dari ekonomi, bisnis, investasi, pertambangan, epidemiologi, sampai strategi politik, intrik, dll. Bisa dipahami mengapa Jokowi lebih percaya kepada Luhut ketimbang orang-orang partai pendukungnya, PDIP. Di tangan Luhut, kepresidenan Jokowi bisa aman. Atas kehebatan Luhut pulalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bisa dipaksa agar tetap mendukung Jokowi. Padahal, Bu Mega tidak lagi didengarkan oleh Jokowi. Luhut membuat Banteng sekandang tak berkutik. Hanya bisa manggut-manggut mengikuti apa kata Pak Menko. Jokowi yang semula diremehkan sebagai petugas PDIP, sekarang seratus persen independen dari Bu Mega. Tidak ada lagi dikte dari Bu Ketum. Bahkan hari ini bisa berbalik. Jokowi (cq Luhut) yang akan mendikte posisi politik PDIP. Sebagai contoh, Jokowi (lewat Luhut) bisa memerintahkan elit bisnis untuk memboikot PDIP. Bisa dibayangkan dampaknya jika ini terjadi. Independensi Jokowi dari PDIP dan Bu Ketum terlihat pada upaya untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi 2-3 tahun lewat penundaan pemilu atau amandemen UUD yang akan memungkinkan Jokowi tiga periode. Di sini, Jokowi (lewat tangan Luhut) mencoba penambahan masa kekuasaan itu lewat parpol-parpol lain. Tidak lewat PDIP. Karena Bu Mega tidak mendukung. Keinginan Jokowi ini nyaris gol andaikata tidak ada protes keras dari publik. Meskipun pada saat ini penundaan pemilu atau amandemen sudah tertutup karena sikap tegas Bu Mega dan belakangan aksi unjuk rasa mahasiswa yang juga menentang, Luhut masih belum menyerah. Di balik layar terus berlangsung kasak-kusuk, lobi-lobi, untuk menggolkan perpanjangan masa jabatan Jokowi. Bagaimana jika upaya ini benar-benar gagal? Sudah disiapkan Plan B. Yaitu, memperjuangkan Ganjar Pranowo habis-habisan di pilpres 2024. Skenario 2019 tampaknya akan di-copy-paste. Ganjar harus menang dengan segala cara. Boleh jadi, Luhut akan terbentur tembok PDIP. Sebab, di pilpres 2024 nanti Bu Mega punya misi pribadi untuk menaikkan karir anaknya, Puan Maharani, menjadi presiden atau wakil presiden (yang lebih logis). Ini momen terakhir untuk Puan. Pilpres 2029 terlalu jauh bagi Bu Mega. Dua tahun ke depan ini Luhut akan sangat sibuk. Bagusnya, Luhut sudah melihat peta politik dengan jelas. Dia paham PDIP tidak akan mendukung Ganjar. Tetapi, bisa juga berubah menjadi mendukung. Pak Luhut sangat piawai menanganinya. Pak Menko pasti tahu isi kepala dan isi perut PDIP. Artinya, sangat mungkin Luhut bisa sekali lagi menjinakkan Bangeng sekandang di pilpres 2024. Bu Mega bisa dibikin pragmatis oleh Luhut agar mendukung Ganjar. Menko “Segala Urusan” ini sudah paham bagaimana cara merayu Bu Mega. Kubu Jokowi sudah terlihat menyiapkan Plan B ini. Semua pintu penting dalam proses pilpres 2024 sudah dikondisikan sejak sekarang. Sebagai contoh, sangat jauh dari kebetulan ketika kemarin (12/4/2022) Hasyim Asy’ari (yang pernah menjadi pimpinan Banser Jawa Tengah (2018-2018) terpilih sebagai ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2022-2027. Memang Hasyim adalah komisioner petahana. Tapi, sulit untuk menepis dugaan publik bahwa keterpilihan Hasyim itu terkait dengan keinginan Jokowi (dan Luhut) agar Ganjar keluar sebagai pemenang pilpres 2024. Jadi, percaturan politik Indonesia saat ini ada di tangan Luhut. Bu Mega dan PDIP termasuk kekuatan yang sudah diukur oleh Pak Menko. Kalau pendekatan lunak (soft approach) tak mempan, Luhut masih bisa melakukan pendekatan lain yang membuat Bu Mega sulit menolak. Pendekatan jumbo plus yang menghanyutkan. Sebagai penutup, mengapa Jokowi dan Luhut perlu Ganjar sebagai presiden? Hanya untuk satu tujuan. Ganjar diarahkan untuk membangun ibu kota baru di Kalimantan Timur sampai pada tahap yang tak mungkin dibatalkan lagi.[] Medan, 13 April 2022.
Rakyat Menggugat Sepak Terjang LBP (3): Pelindung Konglomerat Pengembang Properti Terlibat Dugaan KKN
Oleh Marwan Batubara - IRESS - PNKN DALAM tulisan ke-3 ini dibahas peran Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dalam kasus yang melibatkan sejumlah konglomerat pengembang properti. Dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta, hampir semua pengembang properti terkemuka mendapat jatah membangun “pulau-pulau” reklamasi. Proyek rekalamasi adalah contoh nyata proyek oligarki kekuasaan di Indonesia. Misalnya, merekalah yang mengusung Ahok pada Pilkada DKI 2017. Karena sarat pelanggaran dan digugat publik, Menko Rizal Ramli menghentikan proyek tersebut. Karena berani menghentikan proyek ini, justru Rizal digusur oligarki. Rizal kemudian digantikan oleh LBP yang bertekad melanjutkan proyek. Kata LBP: \"Iya (tetap lanjut). Tidak ada masalah kok. Kamu kalau temukan ada masalah, tunjukkan, kesalahannya ada dimana\" (11/7/2017). Proyek yang sebelumnya dihentikan Rizal, kembali dilanjutkan LBP. Setelah Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI, proyek reklamasi dihentikan, kecuali 4 pulau (C, D, G dan N) yang terlanjur dibangun secara illegal. Pada 6 September 2018, Anies mencabut izin 13 pulau reklamasi melalui SK No.1409/2018. Mega proyek reklamasi adalah bisnis properti 17 pulau (A s.d M) seluas 70.000 ha (Jakarta Pusat hanya 48.000 ha) oleh puluhan konglomerat dan potensi untung Rp 516 triliun. Nilai sangat besar menjadi alasan mengapa LBP pasang badan untuk bisnis para konglo. Proyek oligarki yang harus berlanjut. LBP pernah mengancam Anies karena penghentian proyek: \"Saya enggak lihat ada alasan, tapi kalau mau disetop, ya, bikin aja situ setop, nanti kalau sudah Jakarta tenggelam atau menurun, tanggung jawab. Jadi, jangan lari tanggung jawab\" (8/5/2017). LBP mengingatkan kewenangan pejabat pemerintah, baik menteri, gubernur, bahkan presiden sekalipun. LBP bilang Anies harus taat aturan dan kewenangan ketika stop reklamasi. \"Jangan anggap jadi Gubernur DKI lantas semua bisa dikerjakan, tidak dapat begitu\" kata LBP. Pada 24 April 2018 LBP mengingatkan Anies: \"Kalau dia resisten, ya lihat aja. Silahkan ditunjukkan resistensinya dimana. Saya enggak ada urusan. *Tapi jangan bilang macam-macam sama saya, saya kejar siapa pun dia”*. Terkait kepastian investasi LBP bilang: “Ya, secara profesional saya pertanggungjawabkan, siapa pun dia. *Mau siapa dia ngomong ke sini. Jangan asal ngomong aja republik ini dia pikir apa. Emang dia siapa? Ngomong yang benar gitu\"*. Inilah gaya bicara LBP yang arogan! Jawaban Anies: “Justru karena kita menggunakan aturan, maka kita mau tertibkan”. Menurut Anies dalam Pasal 4 Kepres No.52/1995 wewenang reklamasi di tangan gubernur. Yang terjadi sekarang, ada pengembang yang sudah bikin gedung tinggi dan besar tanpa ikut aturan. Belakangan mereka minta diberi izin karena sudah keluar uang banyak, sudah investasi. Ternyata para pengembang bukan saja melanggar hukum, tapi merusak lingkungan, mengganggu mata pencaharian nelayan dan terlibat suap-menyuap. Hal ini terbukti dalam sejumlah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan Gubernur Anies dan menolak gugatan para pengembang yang izin dicabut. Terbukti ancaman LBP di atas tidak relevan dan tidak valid. Bahkan LBH Jakarta menilai LBP melanggar pinsip GCG, melecehkan pengadilan, serta melindungi mega korupsi yang dilakukan pengembang. Ke depan, karena “kemampuan para pengembang mempengaruhi” pengadilan tingkat lebih tinggi (MA), ditambah peran LBP, bisa saja izin-izin “hidup kembali”. Contohnya izin reklamasi Pulau H konon telah dimenangkan pengembang (3/9/2021). Artinya kepentingan lingkungan, nelayan, akses publik, dan otonomi daerah bisa saja dinihilkan. Oleh sebab itu, rakyat harus melawan upaya oligarki dan LBP yang diduga sarat moral hazard tsb. Proyek Meikarta Terkait proyek Meikarta, LBP memastikan semua perizinan dan kepemilikan tanah Proyek Meikarta tidak masalah. \"Saya tanya Pak James (Riady) mengenai semua masalah perizinan dan kepemilikan tanah. (Dia jawab) semua tidak ada masalah\"(29/10/2017). Setahun kemudian, meski Lippo terlibat penyuapan, LBP masih membela Lippo Group. Kata LBP: “Saya melihat betapa Pak James Riady mempertaruhkan reputasi Lippo Group membangun kawasan yang sudah dipersiapkan selama 20 tahun” (16/10/2018). Ternyata, proyek Meikarta bernilai Rp 278 triliun dibangun tanpa izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT), tanpa Amdal, tanpa IMB, melanggar Perda No.12/2011 Tata Ruang Kabupaten Bekasi, UU No.20/2011 Rumah Susun, dan Perda Jabar No.12/2014 Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pertumbuhan. Selain itu Lippo terlibat kasus penyuapan. Berbagai pelanggaran di atas terbukti di pengadilan tipikor. 10 orang masuk penjara, 5 orang dari pemda (termasuk Bupati Bekasi Neneng Hasanah dan Sekda Jabar Iwa Karniwa) dan 4 orang dari Lippo (termasuk Billy Sindoro dan Bartholomeus Toto). Pada 5 April 2020, meski kasus kejahatan pemilik Meikarta sudah terang benderang, LBP masih membela Lippo dengan mengatakan investor yang menanam modal justru menjadi tahanan KPK. Kata LBP: “Karena investor sudah menginvestasikan uang mereka, tapi pemerintah daerah minta ini dan itu. Dan ketika mereka memberikan sesuatu untuk pemda, mereka malah ditangkap KPK yang saya pikir itu hal yang sangat buruk” (5/2/2020). Faktanya Lippo Group telah membangun properti illegal sesuka hati, seakan berada di atas negara, dan memasarkan produk illegal secara massif. Guna meraih izin Lippo menyuap pejabat. Akibatnya banyak konsumen tertipu karena pelanggaran hukum dan kebohongan. Semua kejahatan telah terbukti di pengadilan. Meski begitu, LBP masih membela Lippo. Wajar jika rakyat menggugat LBP dan juga Jokowi yang mempertahan LBP. Selama ini pemerintahan oligarkis, membuat taipan terlibat korupsi dan penyuapan bisa lolos proses hukum. Pemilik Agung Podomoro Sugianto Kusuma bersama Ahok* lolos jerat KPK walau alat bukti lebih dari cukup. *Berkat perlindungan penguasa oligarkis, terutama LBP, James Riady juga telah lolos dari penjara. Bahkan James Riyadi malah diangkat oleh Pemerintahan Jokowi menjadi anggota Satgas Omnibus Law (10/10/2020). Fatal! LBP berada di garis depan membela dan melindungi pemilik proyek Reklamasi dan Meikarta yang terlibat kejahatan dan KKN. Kedua proyek merupakan pendukung eksistensi pemerintahan oligarki. Karena kedua proyek gagal, sementara para konglomerat yang telah “banyak berkorban” saat pemilu dan pilkada, maka perlu dikompensasi dengan proyek baru. Itulah mengapa Proyek IKN Baru harus jalan! Di samping kompensasi proyek gagal, proyek IKN adalah objek berburu rente BESAR, modus mempertahankan eksistensi oligarki, dan alat memenuhi kepentingan China. Padahal, IKN adalah proyek mercu suar yang sangat tidak layak dibangun. Dalam kondisi negara normal saja proyek IKN tidak dibutuhkan dan tidak layak. Apalagi jika dampak pandemi, keuangan negara yang morat-marit, hutang menggunung, ekonomi bermasalah, kemiskinan meningkat, dan daya beli rakyat semakin menurun. Maka pembangunan IKN semakin tidak layak. Sebagai kesimpulan, terlihat bahwa pelanggaran hukum dan dominasi oligarki sangat mewarnai Pemerintahan Jokowi, di mana salah satu aktor utamanya LBP. Jika tidak segera dihentikan, penyelewengan dan dominasi oligarki akan semakin merusak kehidupan rakyat dan meruntuhkan kedaulatan negara. Rakyat harus bersatu menggugat LBP dan Pemerintahan Jokowi yang melindungi para terduga koruptor proyek Reklamasi dan Meikarta, serta memaksakan proyek IKN yang sarat kepentingan dominasi oligarki dan China.[] Jakarta, 13 April 2022.
Kenapa Demo Saat Ini Selalu Anti Klimaks?
Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Forum Diaspora Indonesia SEDARI awal, saya sudah memperkirakan demonstrasi 11 April kemarin akan berakhir anti klimaks. Maksudnya adalah : Out put demo yang seharusnya menyampaikan sebuah aspirasi yang tersumbat melalui jalur politik linear, berakhir tidak sesuai dengan tuntutan demo alias gagal! Malah bonusnya lagi bagi demonstrasi 11 April kemarin, terjadi insiden “pemukulan” terhadap buzzer pemerintah Ade Armando yang total berhasil merebut semua konsentrasi isu, berubah dari substansi tuntutan dan aspirasi jadi pertengkaran “pembugilan” Ade Armando oleh massa pendemo saat itu. Hal ini setidaknya selalu berulang, sejak kepemimpinan Jokowi periode kedua ini. Jangan harap akan kembali terjadi demo akbar atau “mega demo” alias “people power” seperti aksi bela Islam 212 yang mampu menghadirkan 14 juta manusia melumpuhkan Jakarta secara damai. Kenapa ini bisa terjadi? Setiap demo anti klimaks dan pemerintah bagaikan tembok karang yang tak tergoyahkan?. Berikut basis analisisnya. Pertama. Para pendemo saat ini terpecah belah oleh banyak faksi dan orientasi kepentingan. Kalau dahulu ketika aksi 212 fokus dan total pada satu isu yaitu bela Islam dan penjarakan Ahok, saat ini para pendemo terbagi bagi dalam banyak kelompok yang irisan kepentingannya pun sulit untuk disatukan. Seperti dari kelompok Mahasiswa itu sendiri. Ada kelompok BEM SI, ada kelompok BEM Nusantara, adalagi kelompok para kampus elit dan besar, ada lagi kelompok kampus pinggiran namun banyak. Keberagaman faksi dan kelompok ini juga menjadikan keberagaman tuntutan dan orientasi kepentingan. Ada yang cukup datar-datar saja pada isu korupsi. Ada yang respect pada isu ekonomi semata. Ada yang gado-gado, dan juga ada yang memang berdasarkan ideologi perjuangan politik civil society mahasiswa dalam berdemokrasi. Begitu juga kelompok-kelompok di luar mahasiswa. Baik itu dari kelompok buruh-buruh, kelompok emak-emak, kelompok Islam baik itu dari FPI, PA 212, ARM, aktifis LSM, KAMI, dan purnawirawan TNI/Polri. Masing-masing kelompok, meski mempunyai judul lagu yang sama tetapi tetap terbelah dalam genre lagu yang berbeda-beda. Sehingga, tetap menghasilkan disharmonisasi gerakan yang membuatnya selalu anti klimaks. Masing-masing kelompok dan faksi mahasiswa ini seakan “enggan” bermusyawarah dan berhimpun dalam satu gelombang gerakan bersama-sama. Karena sejatinya, baik isu, substansi permasalahan yang diperjuangkan mereka itu adalah sama. Yaitu perjuangan melawan tentang nilai ketidakadilan, kerusakan pengelolaan negara, dan bagaimana rezim hari ini segera berakhir. Kedua. Secara locus dan tempus (tempat dan waktu) juga tidak serentak. Masing faksi gerakan seolah-olah bergerak sendiri di hari yang berbeda-beda, di tempat yang berbeda juga. Walaupun tuntutan yang disampaikan selalu sama. Sehingga, setiap aksi demonstrasi tidak menpunyai “efect kejut” yang kuat terhadap publik dan pemerintah. Ketiga. Para kelompok demonstran dan oposisi ini belum mempunyai yang disebut namanya kekuatan “Hard Power”. Apapun namanya, setiap gerakan harus mempunyai “Hard Power” sebagai senjata “pemaksa” yang ditakuti pihak penguasa. Kekuatan “Hard Power” itu setidaknya ada tiga hal yaitu ; Kekuatan kelompok basis massa yang besar terkonsolidasi, sistematis yang bisa digerakkan setiap saat dimana jumlahnya sudah jutaan tidak ratusan ribu lagi. Selanjutnya dukungan militer aktif plus dengan pasukannya, dan dukungan kuat dan konkrit luar negeri. Nah tiga hal ini yang belum dipunyai oleh para demonstran daj oposisi. Keempat. Harus kita akui, kelompok Oligharki yang menguasai pemerintah hari ini masih cukup kuat dan terkonsolidasi. Artinya, infrastruktur kekuasaan seperti aparat hukum, inteligent, media, dan logistik uang, menjadi senjata utama rezim dalam menangkal, mencegah, mengembosi, dan memukul setiap gerakan aksi. Mulai dari strategi propaganda isu media, penyekatan arus demo, intimidasi kepada tokoh, penetrasi logistik, infiltrasi ke tubuh kelompok untuk “mengdrive” isi tuntutan dan pola gerakan, hingga menyiapkan pasukan pemukul yang kuat, semua itu efektif dilakukan. Kelima. Belum munculnya tokoh sentral atau lokomotif perjuangan yang kuat dan mampu menyatukan seluruh komponen perjuangan. Apakah itu berupa figur orang maupun ormas. Setidaknya seperti aksi 212 dengan figur utama perlawanannya Imam Besar Habieb Rizieq Shihab dengan GNPF MUI sebagai payung organisasinya tempat berhimpun. Keenam. Keberhasilan rezim melakukan teror dan intimidasi kepada kelompok oposisi, yang membuat “ciut” nyali kelompok oposisi maupun mahasiswa. Teror dan intimidasi ini berupa penangkapan aktifis, persekusi dan kriminalisasi bahkan hingga pembunuhan seperti kasus KM 50, termasuk juga aktifis Densus 88 yang setiap saat tersiar beritanya mengenai penangkapan para aktifis Islam. Dan teror serta intimidasi seakan mendapatkan legitimasi hukum dari penguasa. Tak ada HAM, tak ada hukuman bagi para pelakunya. Ketujuh. Dukungan logistik yang sangat lemah kepada kelompok oposisi dan mahasiswa ini. Mau tidak mau, ada istilah ; Uang bukan segalanya, tetapi segalanya dalam sebuah aktifitas gerakan butuh uang. Beda dengan aksi reformasi 1998 yang mendapat dukungan tsunami jutaan dolar Amerika dari asing dan para pengusaha lokal seperti dari (alm) Arifin Panigoro dan kelompok taipan lainnya yang anti Soeharto. Beda juga dengan aksi 212, yang mendapat dukungan logistik secara suka rela justru dari para pendemo itu sendiri. Namun saat ini, tampak sekali dukungan logistik ini sangat sulit ditambah pukulan ekonomi masa pandemic covid ini yang meluluhlantakkan semua sendi ekonomi. Justru yang panen uang melimpah adalah para kelompok penguasa hari ini. Makanya mereka leluasa melakukan apa saja, membayar siapa saja, dalam menggembosi semangat perlawanan dari masyarakat. Dari tujuh point di atas itulah kita dapatkan kenapa setiap demonstrasi saat ini selalu berakhir anti klimaks dan boleh dikatakan gagal. Lalu bagaimana cara memperbaikainya ? Ya tergantung kepada semua kelompok oposisi dan mahasiswa itu sendiri. Tujuh point di atas tinggal dibalik, dipahami maksudnya, dan dijalankan bersama-sama. Karena yang dihadapi saat ini adalah kelompok oligharki yang sedang menikmati puncak keemasannya. Dan pasti akan melakukan segala daya upaya untuk mempertahankan kekuasannya. Perth-Australia, 13 April 2022.