Mengembalikan Tatanan Mula Republik Indonesia Berdasar UUD 1945 (2)

Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Kajian Rumah Pancasila

Dengan uraian di atas marilah kita bersama-sama mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara, mempunyai rasa tangungjawab dan keinsyafan untuk mengembalikan tatanan mula NKRI sesuai dengan UUD 1945 yang asli.

Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Kajian Rumah Pancasila

ADAPUN tudjuan Negara, tertjantum dalam Pembukaan, jang nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memadjukan kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya objektif adalah sebagai di bawah ini.

Pertama-tama terkandung djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara.

Lain daripada itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal 14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam  pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja.

Besar artinja telah dapat ditundjukkan tadi, bahwa Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya merupakan pendjelamaan dari Pembukaan dan bagaimana pendjelmaan itu.

Dapat dikatakan, bahwa hal ini kebanjakan masih belum diperhatikan, sampai sepertinya dapat ada pendapat, bahwa asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah kosong.

Menurut pendjelasan resmi daripada Undang-undang Dasar 1945, termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7, Pembukaan adalah “suasana kebatinannja (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar ………… (jang) tidak dapat dipahamkan, kalau hanja dibatja teksnja sadja”, dan bahwa “pokok-pokok pikiran (dalam Pembukaan) …. mewujudkan tjita-tjita Hukum (rechsidee) jang menguasai Hukum Dasar Negara, baik jang tertulis (Undang-undang Dasar) maupun Hukum jang tidak tertulis. Undang-undang Dasar mentjiptakan pokok-pokok pikiran jang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnja”.

Jadi, jelas amandemen UUD 1945 merupakan tindakan yang menghilangkan penjelasan UUD 1945 merupakan tidakan kudeta agar generasi penerus tidak bisa mengerti tentang pokok-pokok pikiran yang ada di Pembukaan UUD 1945, menghilangkan suasana kebatinan dari UUD 1945 sehingga dengan dihilangkannya pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945 hilanglah cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar .

Dengan demikian ada hubungan hierarchis dan organis antara Undang-undang Dasar 1945 dengan Pembukaan, ialah mempunjai kedudukan di bawah dan di dalam lingkungan Pembukaan. Dengan lain perkataan Undang-undang Dasar itu adalah merupakan isi daripada asas kerohanian Negara, asal politik Negara dan tudjuan Negara. Pantjasila tidak tinggal tjita-tjita dalam abstraktonja, tidak tinggal tjita-tjita dalam angan-angan, akan tetapi telah mempunjai bentuk dan isi jang formil dan materiil untuk mendjadi pedoman bagi hidup kenegaraan dan hukum Indonesia dalam konkretonja.

Maka dari itu Undang-undang Dasar 1945 dengan Pembukaan merupakan kesatuan, jang berarti bahwa:

Tafsir Undang-undang Dasar 1945 harus dilihat dari sudut Pembukaan;

Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 dalam undang-undang harus mengingat dasar-dasar jang tertjantum dalam Pembukaan.

Adapun interpretasi dan pelaksanaan undang-undang seharusnja dalam arti jang selengkapnya, ialah meliputi pula seluruh perundang-undangan di bawah undang-undang dan putusan-putusan administratif dari semua tingkat penguasa Negara, mulai dari Pemerintah Pusat sampai alat-alat perlengkapan Negara di daerah, Angkatan Perang, Pamong Pradja dan Polisi dan alat-alat perlengkapan Pemerintah Daerah, alat perlengkapannja. Semuanja harus dilihat dari sudut dasar-dasar jang terkandung dalam Pembukaan.

Dengan demikian seluruh hidup kenegaraan dan (tata) tertib hukum Indonesia didasarkan atas, ditudjukan kepada dan diliputi oleh asas kerohanian, asas politik dan tudjuan Negara jang tertjantum dalam Pembukaan.

Tidak ada jang diketjualikan, djuga dalam hal menentukan kebidjaksanaan haluan Negara, kebidjaksanaan hukum dan perundang-undangan, kebidjaksanaan pemerintahan, kebidjaksanaan kesedjahteraan, kebudajaan, kesusilaan dan keagamaan, kebidjaksanaan politik dalam dan luar negeri, kebidjaksanaan keselamatan, pertahanan dan keamanan Negara.

Barang sekiranya di sinilah letaknja batas, bentuk dan isi daripada pengertian “nasional’, jang kita inginkan bersama sebagai sifat mutlak bagi kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudayaan kita.

Hal ini tidak boleh dilupakan pula bagi kehidupan politik (kepartaian) kita, baik dalam bidang dalam negeri maupun luar negeri.

Sebagai bawaan daripada dasar kerakjatan dan dasar perikemanusiaan terdjelma dalam hak asaasi manusia sebagai individu dan machluk sosial kedua-duanya, maka kepartaian kita dan pemerintahan kita didasarkan atas dan diliputi oleh aliran agama dan aliran hidup, jang mempunjai djuga sifat universil dan atau internasional.

Akan tetapi di dalam segala matjam kebidjaksanaan tersebut di atas sifat universil dan internasional itu seharusnja direalisasi dalam bentuk jang “nasional” itu agar supaja kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudajaan kita adalah merupakan realisasi jang tjotjok dengan pribadi bangsa kita.

Kesimpulan ini adalah timbul dengan djelas dan dengan sendirinja dari perdjalanan pikiran seperti berturut-turut diadjukan di atas.

Dapat masih diterangkan lagi atas dasar prinsip ilmiah, ialah bahwa tjita-tjita, dan ideologi adalah tjita-tjita, untuk realisasinja dalan kenjataan membutuhkan suatu bentuk tertentu.

Dalam pada itu halnja tidak demikian, bahwa suatu tjita-tjita hanja mempunjai satu bentuk realisasi tertentu atau tjita-tjita jang berlainan djuga bentuk realisasinja, akan tetapi suatu tjita-tjita mempunjai banyak kemungkinan bentuk untuk diwudjudkan dalam kenjataan, sedangkan tjita-tjita jang berlainan mungkin pula sama dalam bentuk realitasinja.

Bagaimana dapat terdjadi, itu adalah bawaan dan pengaruh daripada perbedaan dan perubahan segala sesuatu di dunia, sepertinja keadaan, tempat, waktu, pribadi kemanusiaan baik dari orang-perseorangan maupun bersama, jang tergolong-golong dengan mempunjai keagamaan, kebudajaan, kebutuhan dan kepentingan jang berlainan.

Tidak dengan sendirinja bentuk realisasi jang berlainan dari tjita-tjita satu atau serupa menimbulkan pertentangan, akan tetapi dapat berdampingan dalam harmoni keaneka-ragaman jang memperkaja. Inilah jang terutama mendjelma dalam hidup perseorangan.

Sebaliknya kesamaan bentuk realitasi tjita-tjita jang berlainan tidak djarang terudjud, dan terutama dalam hidup bersama, dan djustru inilah jang memungkinkan terdjadinja golongan-golongan, terdjadinja masjarakat.

Dapat pula masih dikemukakan suatu kenjataan dalam sedjarah bangsa Indonesia, jang menundjukkan pertemuan dan hidup berdampingan dalam keaneka-tunggalan pelbagai tjita-tjita jang berlainan, jang asli dan jang datang dari luar, dalam lapangan hidup jang pokok-pokok, kerohanian dan kedjasmanian, sepertinja dalam hal keagamaan, kedjiwaan, kebudajaan, kesusasteraan, kesenian, mata pentjaharian hidup.

Telah terbukti dalam sedjarahnja itu, bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan sintetis.

Begitulah tjita-tjita kenegaraan dan hukum daripada Pembukaan dan bentuk realisasinja jang setjara ilmiah dapat digambarkan di atas, dapat didjelaskan dan dikuatkan atas dasar suatu prinsip ilmiah, jang sungguh terdjelma dalam hidup kemanusiaan, dan djuga oleh bukti sedjarah bangsa Indonesia sendiri dengan kemampuannja sintetis itu.

Dengan segala sesuatu itu sebagai dasar dan pedoman, maka ada sjarat-sjarat mutlak keharusan, agar supaja perbedaan ideologi dalam hidup kepartaian kita dengan pengaruhnja dalam pemerintahan, sama saling menjesuaikan diri dalam pertemuan bentuk realisasi jang “nasional” itu, sebagaimana terdjelma dalam tjita-tjita  kenegaraan jang telah tetap terkandung dalam Pembukaan itu, dengan realisasinja jang dinamis.

Dari uraian di atas harusnya bangsa dan elit ini sadar bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 telah dikudeta dengan diamandemen UUD 1945 sehingga tatanan kenegaraan tidak lagi mencerminkan perjanjian luhur bangsa Indonesia yang dituangkan pada pembukaan UUD 1945.

Sekarang bisa disaksikan kebingungan-kebingungan yang terjadi terhadap ketatanegaraan, bagaimana Presiden mengangkat dirinya sendiri, di akhir masa jabatannya tidak perlu mempertangungjawabkan apa yang sudah dilakukan bahkan pembangunan tidak lagi dirancang oleh MPR dan seluruh anak bangsa yang tertuang di dalam GBHN, tetapi disandarkan pada negara China dengan proyek OBOR, apakah itu kepentingan negara bangsa? Apakah pindah Ibukota kepentingan Bangsa dan Negara? Begitu juga dengan puluhan UU yang dilahirkan untuk kepentingan Investor Asing, Aseng.

Dengan uraian di atas marilah kita bersama-sama mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara, mempunyai rasa tangungjawab dan keinsyafan untuk mengembalikan tatanan mula NKRI sesuai dengan UUD 1945 yang asli.

Jika tidak bangsa dan negara ini akan musnah, sebab hari ini NKRI bukan lagi yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang mempunyai asas kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, sudah diganti dengan dasar Liberal Kapitalisme.

Kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara. Dosa kolegtif bangsa ini bukan hanya pada pendiri bangsa tetapi dosa terbesar adalah pada masa depan anak cucu kita, bisa jadi perbuatan kita hari ini adalah dalam rangka membuat anak cucu kita sebagai jongos di negerinya sendiri kelak. (*)

328

Related Post