OPINI

Analisis Tiga Jalan yang Akan Menjerumuskan Masa Depan Bangsa Indonesia

Catatan Tanggapan untuk Tulisan Saudara Yusril Ihza Mahendra Hari ini, semestinya Saudara Yusril memberikan masukan seperti itu, yakni memberikan masukan kepada Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri dan lebih bagus kalau sekaligus menyiapkan redaksi pidatonya. Oleh: Eggi Sudjana Sukarna, Aktivis dan Advokat Senior KEINGINAN Tiga Ketua Umum Partai Politik (PAN, PKB dan Golkar) untuk menunda Pemilu 2024 secara politik motifnya mudah terbaca: yakni untuk mempertahankan kekuasaan. Menunda pelaksanaan Pemilu, berarti memperpanjang kekuasaan. Jika pemilu ditunda hingga 2026, maka otomatis ada tambahan kekuasaan selama 2 (dua) tahun. Karena Pemilu 2024 dilakukan serentak, yakni untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, seluruh anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD, maka wacana menunda Pemilu otomatis akan menguntungkan Presiden dan Wapres serta seluruh anggota DPR RI, DPD RI, dan DPRD RI. Jadi, mereka semua diuntungkan, karena mendapat tambahan kekuasaan selama dua tahun, tanpa perlu berjuang dan keluar modal untuk bertarung dalam proses election. Wacana ini, tentu saja tak lepas dari \'kehendak Jokowi\' yang disuarakan melalui sejumlah lembaga survei agar dapat melanjutkan kekuasaannya hingga tiga periode jabatannya atau setidak-tidaknya diperpanjang masa jabatannya hingga 2026. Maka, dibuatlah alasan-alasan klasik yang tidak logis. Walaupun publik juga tahu, di balik wacana ini ada kehendak oligarki para Taipan. Alasan penundaan dari soal situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung, juga biaya Pemilu hingga kini belum dianggarkan. Sumbernya juga belum jelas dari mana. Pandemi Covid-19 yang dikambinghitamkan, hingga soal rakyat yang diklaim masih menghendaki Jokowi menjadi Presiden lagi, semuanya tak logis dan tak relevan. Kehendak Jokowi untuk terus berkuasa itu lumrah, karena politik dan kekuasaan itu candu. Politik itu tentu saja berkaitan dengan upaya memperoleh kekuasaan dan terus mempertahankannya. Begitu, kurang lebih definisi politik yang diutarakan Meriam Budihardjo. Wacana Pemilu ditunda, dapat dipahami sebagai bentuk \'suap\' Jokowi pada partai politik dan DPR, agar jabatannya sebagai Presiden bisa diperpanjang, karena otomatis juga memperpanjang jabatan legislator di DPR dan senat di DPD. Siapapun anggota DPR, DPD hingga DPRD, tentu akan menyambut baik wacana ini. Mereka, jelas ikut diuntungkan, mendapat berkat kekuasaan dari wacana pengunduran Pemilu. Yang mengherankan adalah wacana yang digulirkan oleh Saudara Yusril Ihza Mahendra. Yusril justru menyiapkan sandaran legitimasi untuk menunda Pemilu, melalui tiga model: Pertama, melalui proses Amandemen UUD 45; Kedua, Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan Ketiga, Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara. Selanjutnya, menurut Yusril, dari tiga model jalan untuk menunda Pemilu, dasar yang paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 45. Dari tiga model itulah, saya justru memandang pandangan Saudara Yusril ini justru berpotensi menjerumuskan bangsa Indonesia. Kesimpulan ini, dapat dipahami melalui beberapa hal, diantaranya: Pertama, jika alasan penundaan Pemilu adalah karena situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung, maka sesungguhnya kondisi ini mengkonfirmasi kegagalan rezim Jokowi memimpin bangsa ini. Di sisi lain \"merasa punya uang banyak dengan program pindah Ibu Kota\" tapi kok pemilu yang biayanya lebih sedikit dari pindah ibu kota dibilang kurang uang nya? Kemudian, berlarut-larutnya pandemi dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat, justru harus dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja Presiden Jokowi lebih cepat, bukan malah menambah masa jabatan dengan modus menunda Pemilu. Yang dibutuhkan justru Presiden harus segera dievaluasi, atau secara konstitusional harus dimakzulkan karena gagal menjalankan konstitusi. Atau jika Presiden Jokowi memiliki keinsyafan, semestinya Jokowi didorong untuk mengundurkan diri. Memaksa mempertahankan Jokowi sebagai Presiden dan apalagi hendak menambah masa kekuasaannya dengan modus menunda Pemilu, sama saja akan menjerumuskan bangsa Indonesia dalam problem yang lebih dalam. Situasi perekonomian negara akan semakin sulit, utang akan semakin menggunung, dan rakyat sudah pasti akan tambah sengsara dan menderita. Kedua, soal pandemi yang dijadikan dalih untuk menunda Pemilu tidak konsisten dengan tetap dilaksanakannya Pilkada pada saat Gibran dan Boby, anak dan mantu Presiden Jokowi ikut Pilkada. Saat itu, tingkat infeksi Covid 19 sedang tinggi, lembaga ormas NU dan Muhammadiyah meminta Pilkada ditunda, tapi faktanya Pilkada tidak ditunda. Pilkada tetap saja dilanjutkan, sejumlah protokol kesehatan dilanggar, dan akhirnya menghasilkan Bobby menjadi Walikota Medan dan Gibran menjadi walikota Solo. Melalui preseden ini, apakah rakyat dapat percaya penundaan Pemilu 2024 karena pandemi sementara Pilkada tetap dilanjutkan meskipun di tengah pandemi ? Ketiga, sejumlah kinerja buruk pemerintahan bukan saja tanggung jawab Jokowi, tetapi juga dukungan dan andil partai koalisi pendukung Jokowi. Ketika rakyat melihat kegagalan pemerintahan, maka rakyat tidak saja akan mengevaluasi Jokowi melainkan juga akan mengevaluasi kinerja partai koalisi. Ide memundurkan Pemilu sama saja memenggal aspirasi rakyat yang ingin mengoreksi kekuasaan melalui proses politik lima tahunan. Motifnya jadi terbaca, bukan untuk dan atas nama rakyat melainkan untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi dan partai pendukungnya. Ide menunda Pemilu juga dapat dipahami sebagai upaya partai koalisi membangun bungker kekuasaan dari potensi berkurang bahkan merosotnya suara, jika tetap dilaksanakan Pemilu. Partai pendukung Jokowi, tentu tidak mendapat keuntungan elektabilitas dari kegagalan Jokowi. Sebenarnya, saya lebih angkat topi jika Saudara Yusril Ihza Mahendra, misalnya membantu Presiden Jokowi menyiapkan pidato pengunduran dirinya dengan redaksi \'menyatakan berhenti\', sebagaimana Yusril pernah menyiapkan pidato pengunduran diri Presiden Soeharto. Kita semua mengakui, Yusril memiliki peran penting dan strategis dalam menyelamatkan bangsa Indonesia dari resiko kekacauan, dengan jalan memberikan masukan, bahkan menyiapkan naskah pidato pengunduran diri Presiden Soeharto kala itu. Hari ini, semestinya Saudara Yusril memberikan masukan seperti itu, yakni memberikan masukan kepada Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri dan lebih bagus kalau sekaligus menyiapkan redaksi pidatonya. Pengunduran diri Jokowi, diyakini akan memberikan harapan bagi masa depan bangsa Indonesia, ketimbang memperpanjang masa jabatannya dengan modus menunda Pemilu. Tiga opsi mekanisme ketatanegaraan untuk menunda Pemilu yang disampaikan saudara Yusril, justru akan menjadi jalan bagi masa depan Indonesia yang tidak jelas. Hari ini semua lini kehidupan rusak, bangsa terbelah, ekonomi ambruk, utang menggunung, bahkan dalam suatu diskusi Yusril pernah menyatakan problemnya karena Presiden goblok. Memberikan legitimasi untuk menunda Pemilu 2024 khususnya dengan memilihkan mekanisme amandemen, saya kira adalah bentuk andil Yusril  menggiring masa depan Indonesia dalam situasi yang bermasalah. Dalam konteks itulah, saya kira segala wacana penambahan kekuasaan Jokowi dengan modus apapun, termasuk dengan menunda Pemilu 2024 harus dihentikan. Sebaliknya, bangsa Indonesia harus konsisten dengan rumusan konstitusi yang telah disepakati para pendahulu bangsa. Jangan utak-atik konstitusi, dengan motif ingin mempertahankan kekuasaan. Dahulu, HTI dicabut BHP-nya hanya karena dituduh akan mengganti atau mengubah Pancasila dan UUD 1945. Sementara sekarang ini, politisi baik partai maupun DPR mau seenaknya mengubah UUD 1945, hanya untuk melegitimasi perpanjangan kekuasaan Jokowi. Saya kira, rakyat Indonesia tidak ridlo dengan tindakan ini dan justru akan datangkan Azab yang pedih serta mengerikan bagi Indonesia (Lihat Q.S . Surat ke (6) Al An Aam Ayat nya 65). (*)

Sepertinya Memang Ada Isu Besar yang Berusaha “Ditutupi”

Yang menarik dari ketiga isu di atas adalah mengapa muncul dalam waktu yang nyaris bersamaan? Adakah hal ini untuk menutupi dan mengalihkan perhatian dari isu besar lainnya? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN ADA yang menarik dari rentetan isu pada pekan lalu. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima gugatan presidential threshold 20 persen yang diajukan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Sebelumnya, MK tidak menerima gugatan Ferry Yuliantono dengan alasan pemohon tidak memiliki legal standing atau hak hukum untuk menggugat aturan itu. “Menyatakan tidak menerima permohonan pemohon,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang terbuka yang disiarkan kanal YouTube MK, Kamis (23/2/2022). Sebagai informasi, MK memutuskan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu adalah konstitusional. MK menilai, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan judicial review (JR) terhadap ketentuan ini. Karena itu, pokok permohonan dari para pemohon tidak dipertimbangkan. Pemohon itu termasuk juga sejumlah politisi di DPD dan warga sipil. Adapun nomor perkara Gatot Nurmantyo yang ditolak MM adalah nomor 70/PUU-XIX/2021. Sementara itu, untuk Ferry Joko F Yuliantono dengan nomor perkara 66/PUU-XIX/2021. Selain mereka ada anggota DPD RI Fahira Idris, Edwin Pratama Putra, dan Tamsil Linrung dengan nomor perkara 6/PUU-XX/2022. Kemudian, juga permohonan Ikhwan Mansyur Situmeang nomor 7/PUU-XX/2022, Lieus Sungkharisma dengan nomor perkara 5/PUU-XX/2022, serta anggota DPD RI, Bustami Zainudin dan Fachrul Razi dengan nomor perkara 68/PUU-XIX/2021 yang juga ditolak oleh MK. MK beralasan, pemegang legal standing dalam pasal yang dimaksud adalah partai politik (parpol). Pasal yang dimaksud ini yaitu Pasal 222 UU Pemilu. Pasal tersebut berbunyi:“Paslon diusulkan oleh Parpol atau Gabungan Parpol Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”Putusan MK itu tidak bulat. Ada empat hakim MK menyatakan pemohon memiliki legal standing, yaitu Manahan Sitompul, Saldi Isra, Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.Sebelumnya, dalam sidang di MK, Gatot menyatakan menolak aturan itu.“Berdasarkan hasil analisis, hasil renungan, kami berkesimpulan, Yang Mulia, ini adalah sangat berbahaya karena presidential threshold 20% adalah bentuk kudeta terselubung terhadap negara demokrasi, menjadi partaikrasi melalui berbagai rekayasa undang-undang,” kata Gatot.“Dan ini benar-benar sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan,” sambung Gatot menegaskan. Kuasa hukum Gatot Nurmantyo, Refly Harun menilai PT bisa memunculkan capres tunggal.“Kami lihat misalnya soal fakta politik hari ini, dominasi dari kekuatan yang hari ini berkuasa, itu sudah mencapai hampir 82% kalau kursi, dengan kurang-lebih 84% kalau basisnya adalah suara,” ujar Refly Harun. Dan, “Berdasarkan ketentuan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, maka bukan tidak dimungkinkan bisa adanya calon tunggal. Karena dikatakan bahwa tahapan akan diteruskan kalau memang tetap ada calon tunggal,” lanjut Refly Harun. “Jadi itu yang kami khawatirkan dan ini potensial melanggar prinsip bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menganut to around system,” tambahnya. Penolakan atas gugatan mantan Panglima TNI ini disambut langsung oleh PKB yang serius mengajak Gatot Nurmantyo bergabung menjadi kader di partai yang dipimpin Muhaimin Iskandar itu. Wasekjen PKB Luqman Hakim mengatakan, ajakan pada Gatot merupakan niat yang seketika muncul setelah MK tidak menerima gugatan yang ingin menghilangkan ambang batas pencalonan presiden itu. “Ajakan gabung ke PKB kepada Jenderal Gatot Nurmantyo merupakan niat yang muncul seketika ketika kemarin MK memutuskan menolak gugatan Pak Jenderal Gatot dan kawan-kawan atas norma presidensial threshold,\" ujar dia saat dihubungi, Jumat, 25 Februari 2022. Gayung bersambut, tiba-tiba Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pihaknya bakal meneruskan aspirasi soal perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo hingga 2027 atau 2028. Airlangga mengaku, aspirasi ini muncul setelah ia berkomunikasi dengan petani sawit di Siak, Pekanbaru pada Kami (24/2/2022). Menurutnya, dalam sesi tanya jawab, Airlangga mengatakan para petani di Kampung Libo Jaya, Kandis, Siak menyatakan ingin adanya keberlanjutan pemerintahan di bawah Presiden Jokowi. Sebab, mereka merasa kebijakan Jokowi yang telah meningkatkan harkat hidup petani sawit. Menurut Airlangga, aspirasinya sudah ditangkap tentang keinginan adanya kebijakan berkelanjutan dan juga ada aspirasi kebijakan yang sama bisa terus berjalan. “Tentu permintaan ini, yang menjawab bukan Menko, karena Menko tadi menjawab urusan sawit,” kata Airlangga dalam keterangannya, pada Kamis (24/2 , 24 Februari 2022. Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan bakal menyampaikan aspirasi tersebut ke tingkat DPR dan bakal membahasnya bersama ketua umum partai politik lainnya. Selain mengaku menerima aspirasi agar ada perpanjangan masa jabatan, Airlangga mengatakan ada petani yang meminta agar Jokowi menjabat tiga periode. “Ini berkat kepemimpinan Bapak Presiden. Ini kita sebagai parpol tentu kita akan dengarkan aspirasi tersebut dan sekali lagi akan kami komunikasikan bahwa keberhasilan ini dirasakan masyarakat dan masyarakat beraspirasi,\" kata Airlangga. Sebelumnya, Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar mengusulkan supaya Pemilu 2024 ditunda selama satu atau dua tahun. Wakil Ketua DPR itu menyebut usulan terlintas olehnya usai menerima pelaku usaha mikro, pengusaha dan para analis ekonomi dari berbagai perbankan di Ruang Delegasi DPR, Nusantara III, Jakarta, Rabu, 23 Februari 2022. “Saya mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun. Usulan ini nanti akan saya sampaikan ke pimpinan-pimpinan partai dan presiden,” ujar Muhaimin lewat keterangan tertulis, Rabu, 23 Februari 2022. Tapi, usulan Muhaimin ini mendapat penolakan dari PKS dan Demokrat partai oposisi seperti PKS dan Demokrat. Bahkan, PDIP selaku pengusung Jokowi juga menolak usulan tersebut. Mereka khawatir perpanjangan masa jabatan bakal menimbulkan instabilitas iklim politik di Indonesia. Dalam waktu yang nyaris bersamaan dengan putusan MK itu, Puspomad menghentikan penyelidikan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman terkait pernyataan ‘tuhan bukan orang Arab’. Hal itu berdasarkan penyelidikan yang dilakukan tim penyelidik Puspomad pada 9-22 Februari 2022. Jenderal Dudung sebelumnya dilaporkan oleh Koalisi Ulama, Habaib dan Pengacara Anti Penodaan Agama (KUHAP APA) ke Puspomad atas dugaan penodaan agama dan penyebaran berita bohong. Namun menurut Kepala Penerangan Puspomad Agus Subur Mudjiono berdasarkan keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti, dugaan tindak pidana tersebut tidak terpenuhi. “Berdasarkan keterangan saksi-saksi, alat bukti dan keterangan dari ahli, Puspom resmi menghentikan kasus dugaan tindak pidana penistaan agama yang dilakukan KSAD atas laporan pengaduan Ahmad Syahrudin tentang pernyataan Jenderal TNI Dudung Abdurachman dalam video di podcast YouTube Deddy Corbuzier pada 30 Desember 2021 lalu, dalam wawancara berdurasi 1:09:31, karena tidak memenuhi unsur perbuatan tindak pidana seperti yang dilaporkan, sehingga tidak dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan,” kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Rabu (23/2). Adapun ahli yang dimintai keterangan dalam kasus ini ialah ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya, ahli ITE dari Kemkominfo serta dua orang ahli Bahasa Indonesia dari Universitas Indonesia (UI). Menurutnya, ahli hukum pidana menyatakan pernyataan Jenderal Dudung dalam video yang dipublikasikan di podcast Youtube Deddy Corbuzier, tidak memenuhi unsur subyektif dan obyektif sebagaimana dimaksud. Pasal 156 KUHP, Pasal 156a KUHP, Pasal 14 dan Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Diskriminasi Ras dan Etnis,serta Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 dan 28 ayat (2) Jo. Pasal 45 a ayat (2) UU ITE. Melansir Kumparan.com, Rabu (23/2/2022), begitu juga hasil keterangan ahli hukum ITE, mengatakan, pernyataan Dudung tidak mengandung unsur tindak pidana yang disangkakan. “Demikian juga keterangan ahli Bahasa Indonesia, yang menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak bermakna mensejajarkan Tuhan dengan manusia atau makhluknya dan tidak mengandung muatan penodaan agama yang disangkakan pelapor Ahmad Syahrudin. Oleh karena itu telah dikeluarkan SP2 Lidik (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan),” tegas Agus. Yang menarik dari ketiga isu di atas adalah mengapa muncul dalam waktu yang nyaris bersamaan? Adakah hal ini untuk menutupi dan mengalihkan perhatian dari isu besar lainnya? Sebut saja: Ibu Kota Negara (IKN) yang melanggar konstitusi (UU Nomor 10 Tahun 1964); Laporan Ubedilah Badrun atas dua putra Presiden Jokowi ke KPK; Kasus Tanah Wadas Purworejo. Atau, ada isu besar lainnya yang hingga kini masih tertutup dan belum ada yang berani buka? (*)  

Guntur Romli Oh Guntur Romli

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan KADER PSI Guntur Romli membela Yaqut. Bahwa Surat Edaran No. 05 tahun 2022 sudah tepat katanya. Okelah itu pendapatnya, akan tetapi pandangan soal azan kok dangkal sekali. Menurutnya azan tidak perlu keras karena azan itu memanggil Allah. Memanggil Allah tidak perlu keras-keras karena Allah itu dekat. Lebih dekat dari urat leher.  Azan itu bukan memanggil Allah, bung Romli. Azan itu memanggil hamba Allah untuk melaksanakan shalat. Supaya panggilan terdengar hingga tempat yang jauh, maka diperlukan pengeras suara. Masa yang begini saja Guntur Romli kagak ngerti. Takbir dan kalimah syahadat merupakan peneguhan keyakinan dan komitmen kemusliman.  \"Hayya \'alash sholah\" Ayolah shalat. Nah kan panggilan kepada umat agar segera menunaikan ibadah shalat. Begitu juga \"Hayya \'alal falah\" panggilan agar mendapat kebahagiaan melalui ibadah shalat. Bukan Allah yang dipanggil untuk shalat dan mendapat kebahagiaan. Panggilan keras itu penting baik dengan menggunakan pengeras suara ataupun tidak.  Dalam kesejarahannya azan yang sebagaimana biasa kita dengarkan adalah pilihan Rosulullah SAW. Ketika membahas bagaimana cara memanggil umat untuk shalat ada usul pakai terompet ala Yahudi ada pula yang usul menggunakan lonceng seperti umat Nasrani. Semua ditolak Nabi dan dipilihlah suara keras Azan. Bilal yang mengawali dan mencontohkan.  Sekali lagi azan bukan memanggil Allah. Azan itu memanggil hamba untuk ibadah kepada Allah. Hadis Nabi Riwayat Bukhori menyatakan \"Al muadzin yughfaru lahu bi maddi shoutihi wayashadu lahu kullu rothbin wa yabisin\" (Muadzin diampuni sejauh jangkauan suaranya, dan semua benda basah dan kering yang mendengar azannya memohon ampun untuknya)--HR Ahmad.  Membela Menag Yaqut terkait azan dan gonggongan anjing boleh-boleh saja, akan tetapi pembelaan dengan keliru memaknai azan adalah membelokkan pembelaan. Jadinya aneh, justru menyalahkan azan jika dikeraskan. Tidak nyambung, bro.  Guntur Romli oh Guntur Romli. (*)

Penundaan Pemilu: Dari Jokowi Untuk Jokowi

 Pada akhirnya, gerakan people power akan mencari celah dan legitimasinya sendiri. Sinyalnya mulai muncul. Belum lama ini, Partai Buruh menyatakan akan memimpin gerakan people power bila gagasan itu tetap dipaksakan. Risiko people power tentu tidak sedikit. Namun, setidaknya gerakan rakyat memiliki landasan konstitusionalitas yang jauh lebih kuat ketimbang gagasan konyol penundaan Pemilu. Oleh: Tamsil Linrung, anggoga DPD RI_  *MOMENTUMNYA* nyaris berbarengan. Ketika Mahkamah Konstitusi menolak uji materi ambang batas pencalonan presiden oleh Partai Politik, tiga Ketua Umum Parpol mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda.  Urusannya, konon, sama-sama demi  negara. Tapi kita melihat ada pembeda yang begitu terang: uji materi senapas dengan konstitusi, sedangkan usulan penundaan pemilu melawan konstitusi.  Wacana penundaan pemilu begitu kuat hingga menelikung semua pembicaraan tentang penegakan hukum dan demokrasi. Kita seolah diarahkan untuk tidak lagi berbicara substansi proses pemilu, proses penjaringan kandidat, dan seterusnya. Bayangkan, isunya didorong sekaligus oleh tiga ketua umum partai.  Begitu terasa upaya sistemik melanggengkan kekuasaan. Tadinya, skenario yang santer terdengar ada dua, yakni presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden. Namun, wacana presiden tiga periode memerlukan dua substansi mendasar. Yang pertama adalah soal konstitusionalitas dan kedua tentang prestasi. Mungkin karena argumentasi prestasi sulit didapat, maka yang mengerucut adalah penundaan pemilu yang secara tidak langsung merupakan bentuk lain dari perpanjangan masa jabatan presiden.  Menunda Pemilu tidak memerlukan argumentasi prestasi, melainkan cukup dengan alasan situasional. Itulah sebabnya narasi yang dibangun berputar-putar pada soal pandemi Covid-19 atau  situasi perekonomian bangsa yang tidak stabil. Padahal, justru karena berlarutnya dua permasalahan ini maka Pemilu harus dilakukan tepat waktu, tidak menunda-nunda lagi. Semakin ditunda, semakin menutup harapan bagi bangsa untuk segera beranjak dari keterpurukannya.  Narasi lainnya adalah atas nama keinginan rakyat. Akan tetapi, ini tidak layak dijadikan diskursus karena indikatornya juga tidak jelas. Rakyat yang mana? Studinya berdasarkan apa? Semua kabur, tetapi dengan gagah dijadikan dalil pembenar. Ah, rasanya, baru kali inilah situasi politik negeri sungguh kehilangan akal sehat.  Untungnya, kita masih bisa bernapas lega. Mayoritas Parpol  di DPR menolak gagasan penundaan Pemilu. Media melaporkan, dari sembilan partai politik (parpol) di parlemen, setidaknya sudah lima parpol yang menolak gagasan penundaan Pemilu 2024. Kelima parpol itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, dan terakhir Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kita berharap, Ketua Umum Parpol ini tetap dengan sikapnya, tidak mengikuti sikap tiga Ketua Umum Parpol yang begitu mudah menelan ludah. Kita tahu, rencana pelaksanaan pada 14 Februari 2024 telah disepakati oleh DPR, Pemerintah, dan KPU. Konstitusi mengatakan, Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali, tidak lebih, tidak juga kurang. Maka usulan menunda Pemilu dapat dimaknai seruan melawan konstitusi.  Apa jadinya jika pemilu ditunda? Siapa yang bakal menjadi presiden? Bagaimana dengan menteri-menterinya? Apa dasar hukum bagi presiden selama rentang waktu penundaan itu? Sederet pertanyaan tersebut harus diajukan karena pemerintahan Joko Widodo pasca 2024 jelas tidak memiliki legitimasi hukum.  Padahal,  UUD 1945 tidak mengenal pejabat presiden. Pelaksana tugas kepresidenan memang dimungkinkan oleh pasal 8 UUD 1945 dijabat Menteri Dalam Negeri. Tetapi, itu hanya jika presiden dan atau Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan. Lagi pula, masa jabatan Mendagri akan berakhir seiring berakhirnya masa jabatan presiden.  Kalaulah Jokowi-Ma’ruf Amin dipaksakan tetap memimpin, maka pasangan ini dan para menterinya ilegal, termasuk MPR, DPR dan DPD yang siklus pemilihannya ikut dalam Pemilu. Jika penyelengara negara ilegal, Ketua Umum PBB yang juga ahli hukum tata negara mengatakan, rakyat tidak ada kewajiban apa pun untuk mengikuti. Dan negara akan kacau sekacau-kacaunya. Pada akhirnya, gerakan _people power_ akan mencari celah dan legitimasinya sendiri. Sinyalnya mulai muncul. Belum lama ini, Partai Buruh menyatakan akan memimpin gerakan _people power_ bila gagasan itu tetap dipaksakan. Risiko _people power_ tentu tidak sedikit. Namun, setidaknya gerakan rakyat memiliki landasan konstitusionalitas yang jauh lebih kuat ketimbang gagasan konyol penundaan Pemilu.  Maka, para Ketum Parpol pengusung ide penundaan pemilu seharusnya menyadari situasi buruk di atas. Taruhannya bukan hanya masa depan partai politik, tetapi masa depan Indonesia secara keseluruhan. Memang sangat mengherankan. Bagaimana mungkin tiga Ketum Parpol seperti dalam satu komando mengusulkan sesuatu yang melawan konstitusi dan berpotensi besar merusak negeri?  Lamat-lamat, ada isu ide itu mereka lontarkan di bawah tekanan. Sinyalemen ini disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti. Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menduga ada pihak tertentu yang ingin mempertahankan dan tidak ingin kehilangan kekuasaannya terkait ide penundaan Pemilu 2024. Siapa orang itu? Kita tak tahu. Namun, Pakar hukum tata negara  Universitas Andalas Feri Amsari menduga bahwa usulan penundaan Pemilu 2024 datang dari Presiden Joko Widodo. Feri membangun logika, tidak mungkin para Ketum Partai menyampaikan ide penundaan pemilu yang notabene melawan konstitusi  jika tidak karena keinginan dari presiden.  Betulkah ide itu datang dari Jokowi? Wallahu a’lam. Tentu hanya tiga Ketum Partai pengusung ide penundaan Pemilu dan presiden Jokowilah yang bisa menjawab.  Presiden Jokowi sebaiknya merespon persoalan ini tidak hanya sebagai pihak tertuduh, melainkan juga sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang paling bertanggung jawab terhadap arah perjalananan negeri: bertumbuh atau menuju titik nadir. (*)

Kanwil Kemenkumham Sumut Cek Proyek Percontohan Berbasis HAM

Medan, FNN - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Utara melakukan pengecekan proyek percontohan pelayanan publik berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) di Kota Medan.\"Pelayanan berbasis HAM yang dikunjungi itu, yakni Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Sumatera Utara (BPPRDSU) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Medan,\" kata Kakanwil Kemenkumham Sumut diwakili Kepala Subbidang Pemajuan HAM Desni Manik, dalam keterangan tertulis, Minggu.Desni menyebutkan kunjungan ini bertujuan untuk langkah koordinasi awal dalam penyebarluasan Pelayanan Publik Berbasis HAM (P2HAM) di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan pengecekan UPTD yang akan dijadikan proyek percontohan P2HAM.Kunjungan pertama ke BPPRDSU, Desi mengapresiasi kelengkapan yang sudah ada di Samsat Induk Medan Selatan dan berterima kasih atas kepedulian dalam perlengkapan sarana dan prasarana berbasis HAM.\"Ketersediaan pelayanan publik berbasis HAM yang ada di SAMASAT Medan Selatan sudah menyediakan ruang bermain anak dan ruang menyusui sebagai salah satu indikator pelayanan berbasis HAM,\" ucapnya.Kegiatan dilanjutkan dengan mengunjungi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan dengan mengecek ketersediaan layanan khusus disabilitas dan pelayanan terintegrasi.Ia mengatakan, berdasarkan surat dari Dirjen HAM, Kanwil diminta untuk melakukan penyebarluasan P2HAM di UPTD, dan atas koordinasi awal dengan Biro Hukum Provinsi.\"Kami disarankan untuk mengunjungi Disdukcapil Kota Medan, dimana setelah berkeliling mengapresiasi kelengkapan sarana dan prasarana yang ada serta mengakomodir pelaksanaan pelayanan publik berbasis HAM.Kami harap Disdukcapil Kota Medan dapat menjadi proyek percontohan P2HAM,\" katanya. (mth)

Keserakahan Indomaret Hingga Harus Hancurkan Masjid

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan MENGAGETKAN bahwa sepanjang Jalan Cihampelas Bandung ternyata berdiri 7 (tujuh) toko Indomaret. Terakhir dibangun adalah Indomaret di atas lahan penghancuran Masjid \"Nurul Ikhlas\" yang merupakan bangunan cagar budaya. Wuih serakah sekali hingga harus membuat Indomaret ke tujuh dengan menghancurkan Masjid.  Ditambah dengan Alfamart maka program peminggiran warung tradisional menjadi nyata. Sedih sekali rasanya ekonomi kerakyatan dihabisi di era konglomerasi dan kapitalisme saat ini. Pemerintah tidak mampu untuk melindungi ekonomi rakyat. Nampaknya harus serius untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ekonomi berbasis Pasal 33 UUD 1945 dan sila kelima Pancasila. Penghianatan sudah sangat parah.  Jalan Cihampelas Bandung menjadi saksi penggerusan itu. Keserakahan yang mencolok antara lain ditunjukkan oleh Indomaret. Semestinya dibuat regulasi ketat tentang keberadaannya. Sudah ada 6 (enam) masih dibolehkan beroperasi ke 7  (tujuh). Dengan menghancurkan Masjid pula. Cagar budaya yang dinistakan.  Ironinya pembangunan gedungnya pun tanpa izin. Sudah ditempel bahwa bangunan itu tanpa Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dulu IMB. Bagaimana akal sehat dapat menerima jika ternyata Indomaret yang berdiri di atas penghancuran Masjid cagar budaya masih dibiarkan beroperasi? Pemerintah Kota dan juga Pemerintah Propinsi harus peduli dengan keadaan ini. Bandung  adalah Ibukota Propinsi Jawa Barat. Sungguh dengan  terang-terangan membiarkan dan mentoleransi penghancuran brutal rumah ibadah cagar budaya oleh pengusaha komersial.  Perlu ada jawaban jelas apa hubungan antara PT KAI yang ngotot merebut tanah lahan Jl. Cihampelas 149 Bandung kemudian kini ada PT Indomarco yang mendirikan Indomaret di atas lahan yang masih dapat disengketakan itu  ? Kesewenang-wenangan harus dicegah oleh berbagai elemen masyarakat khususnya penegak hukum.  Indomaret dan sejenisnya mungkin diperlukan, akan tetapi keberadaannya harus dibatasi dan diatur. Janganlah atas nama investasi lalu pendirian menjadi jor-joran. Apalagi dapat membuat Pemerintah tidak berdaya untuk mengendalikan. UU Cipta Kerja yang memihak pada pengusaha tidak boleh menjadi alasan untuk pembangunan dan pengoperasian seenaknya.  Ketika Indomaret tidak mau menutup sendiri atas pelanggarannya, maka yang berwenang harus berani menutupnya. Kebingungan menginterpretasi tidak boleh menjadi sebab untuk sama sekali tidak bertindak. Dahulukan kepentingan rakyat. Apalagi sudah jelas-jelas menghancurkan bangunan cagar budaya itu adalah melanggar hukum.  Melanggar hukum dan kejahatan dengan ancaman hukum maksimal 15 tahun. Lima belas tahun. (*)

Pemilu Diundur, Presiden Undur Undur

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan KETUM PKB mengusulkan agar Pemilu baik legislatif maupun Pilpres diundur satu atau dua tahun. Entah itu inisiatif sendiri atau titipan Jokowi. Zulhas Ketum PAN ujug-ujug mendukung usulan tersebut. Golkar seperti memberi sinyal juga. Muncul kecurigaan bahwa isu ini serius dan disain sistematis. Jokowi ingin tetap berkuasa melalui extra time.  Usulan ini tentu inkonstitusional dan hanya dapat dilakukan jika UUD 1945 diamandemen kembali. Jika ini yang digelindingkan di lingkup MPR tentu ramai dan dipastikan akan mengundang pro dan kontra. DPD tidak akan setuju. Entah sarana hukum apa yang siap diotak atik untuk mewadahinya Perppu, Dekrit, atau Referendum ? Atau mau coba-coba Konvensi ? Ah hanya bikin masalah saja baik hukum ataupun politik. Dulu mereka yang mendorong agar jabatan diperpanjang disebut penjilat  atau penampar muka. Kini baik dengan pola pasangan Prabowo-Jokowi maupun memperpanjang masa jabatan, Jokowi ingin meneruskan kekuasan alias tidak mau turun.  Berbeda dengan Giring PSI yang \"ge er\" mundur dari Capres, padahal siapa yang memajukan ? Bodo amat. Ngerti gak sih, bahwa sekarang ini belum resmi ada pencapresan, Bro ?  Politik mundur maju adalah politik undur-undur. Jokowi memilih gaya ini untuk menjawab kekhawatiran, kebimbangan  atau bahkan ketakutan. Ia sadar bahwa tingkat kepuasan publik yang bagus atas kepemimpinannya hanya artifisial, hasil polling berbayar, dan pencitraan semata. Info berbagai media dan intelijen tentu masuk dan dibaca. Jokowi telah banyak kehilangan kredibilitas.  Mundur atau berhenti lalu mencari boneka baru tidaklah mudah, apalagi yang mampu menjamin keamanan atas dampak dari perubahan. Ia khawatir bukan saja habis tetapi juga pailit. Rakyat lemah jika sudah marah akan berubah wajah. Menghukum penguasa yang dinilai telah menindas dan memperkosa. Menipu dan membohongi.  Jika alasan utama pengunduran adalah pandemi dan kondisi ekonomi, maka rakyat akan minta agar pindah IKN pun dimundurkan. IKN adalah proyek penggerus ekonomi di masa pandemi. Bila alasan adalah hitung ulang biaya Pemilu, maka hitung ulang pula dana pandemi yang telah digelontorkan dan dikorupsi. Jangan lupa bongkar pundi-pundi tersembunyi Presiden dan para Menteri.  Pemilu diundur di samping inkonstitusional juga pelecehan atas asas kedaulatan rakyat. Negara ini tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh segelintir orang atau segelintir Partai. Partai para pelacur demokrasi. (*)

Luhut Targetkan RI Jadi Lima Besar Eksportir Produk Perikanan Dunia

Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menargetkan Indonesia bisa menjadi lima besar negara eksportir produk perikanan dunia.Hal itu disampaikan Luhut yang meninjau langsung area pengembangan tambak udang model supra intensif, yang menggunakan teknologi Oxybam yang menjadi program percontohan di Kampung Bahari Nusantara di Jembrana, Bali, Jumat.Tambak udang tersebut merupakan hasil inovasi anak-anak bangsa yang terwujud lewat kerja sama dan kolaborasi yang saling terintegrasi antara TNI Angkatan Laut, Pemkab Jembrana serta pihak-pihak swasta.\"Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kita mampu melaksanakan program ketahanan pangan dan upaya peningkatan produksi udang nasional yang selama ini menjadi salah satu komoditi ekspor utama dan sumber perolehan devisa terbesar dari sektor perikanan,\" kata Luhut dalam unggahan di akun Instagram @luhut.pandjaitan yang dipantau di Jakarta, Jumat.Luhut pun berharap program tersebut bisa terus berlanjut dalam rangka mendorong target produksi pada 2024 sebesar 2 juta ton, dan nilai ekspor udang yang ditargetkan untuk tahun 2024 mencapai sebesar 4,3 miliar dolar AS.\"Saya sungguh berharap agar program ini bisa sustain sehingga bisa memberikan manfaat yang sangat besar, tidak saja dari muatan inovasi teknologinya tetapi juga bagaimana berkontribusi untuk pemberdayaan masyarakat pesisir dan pertumbuhan ekonomi di daerah,\" imbuhnya.Ia menyebut sektor perikanan menjadi salah satu sektor yang mampu terus tumbuh di tengah gelombang pandemi COVID-19. Pada 2021, sektor tersebut tercatat tumbuh positif sebesar 5,45 persen dari 2020.Luhut pun meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendorong agar sektor perikanan dikelola seoptimal mungkin sebagai sumber devisa, lapangan kerja, dan sumber pangan masyarakat dan industri olahan.\"Sehingga, Indonesia mampu menjadi top five (lima besar) negara eksportir produk perikanan global,\" ujarnya.Lebih lanjut, sejalan dengan semangat Presidensi Indonesia di G20 tahun ini yang juga fokus pada isu kesehatan laut, Luhut menegaskan bahwa aspek pengelolaan dampak lingkungan yang timbul dari limbah pakan harus mendapat perhatian khusus oleh seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya pengembangan teknologi pangan saja.Menurut dia, itulah wujud dari pendekatan berkelanjutan karena upaya keberlanjutan lingkungan dan kelestarian wilayah sekitar tambak adalah upaya konkret atas komitmen Indonesia dalam upaya penanggulangan krisis iklim. (mth)

Azan Berbisik Tapi Tidak Gonggongan Anjing: Analogi Kebablasan Gus Yaqut

Oleh Ady Amar, Kolumnis UMAT Islam memang senantiasa diminta toleran tanpa batas pada banyak hal. Jika perlu sampai harus nyerempet mengorbankan kepentingannya sendiri. Bahkan kepentingan syiar agamanya. Menekan sekeras mungkin kepentingannya atas nama toleransi, dan itu pada non-muslim. Saat bulan Ramadhan, umat Islam pun diminta untuk toleran pada non muslim yang tidak berpuasa. Jadi warung yang biasa menjual makanan diminta bebas menjualnya. Tidak boleh ada larangan apalagi razia nyatroni warung-warung agar tutup. Artinya, non muslim di siang hari boleh makan sesukanya, dan tidaklah perlulah bersikap sungkan. Bersikap biasa sajalah pada mayoritas yang memang disetting punya sikap toleransi tingkat tinggi. Di negeri ini umat Islam yang mayoritas diminta toleran pada minoritas. Bukan sebaliknya, dimana minoritas yang justru harus lebih menghormati mayoritas. Negara sepertinya juga \"melindungi\" minoritas sampai pada tingkat pemanjaan. Di negara Barat terutama, dan juga negara India yang mayoritas Hindu, umat Islam yang minoritas diminta tahu diri. Harus bisa menempatkan diri. Bahkan acap Islam minoritas terutama di negara-negara Barat jadi sasaran pelecehan. Hak-hak dasar yang diatur agamanya pun terkadang harus tunduk pada peraturan negara. Bahkan siswa perempuan muslim di sekolah umum dipaksa atas nama peraturan negara untuk melepas jilbab. Artinya, larangan penggunaan jilbab di sekolah, jika tetap ingin bersekolah/kuliah. Sebaliknya, toleransi umat Islam di negeri ini \"dipaksa\" sampai tingkat kebablasan. Azan, panggilan untuk sholat pun disasar diminta agar volume pengeras suara (toa) dibuat sekecil mungkin. Jika perlu sekecil suara orang berbisik. Itu agar tidak mengganggu non muslim yang tengah istirahat atau sedang tertidur lelap. Di negeri ini toleransi dikhususkan pada mayoritas, dan itu umat Islam. Maka, umat Islam harus memahami perasaan non muslim, itu sampai pada tahap bukan sekadar perasaan tapi juga akal sehat. Permintaan untuk memahami \"suara\" minoritas, itu akan terus dimunculkan bahkan sampai terbunuhnya akal sehat. Mayoritas harus tetap tunduk dengan mematuhi peraturan yang dibuat, jika tidak ingin disebut intoleran. Azan dan Anjing Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama yang Gus itu, dengan entengnya meminta pada umat Islam yang mayoritas, agar mengecilkan volume suara azan. Tidak itu saja, ia juga menganalogikan azan dengan suara gonggongan anjing. Maka ucapannya itu menimbulkan reaksi umat Islam bergelombang. Yaqut seolah mampu buat suasana tidak saja berisik tapi juga kegaduhan luar biasa. Sebelumnya, Yaqut dengan \"bijaknya\" mengeluarkan surat edaran berkenaan dengan penggunaan pengeras suara menjelang dan sesudah azan. Itu tidak masalah, meski orang mempertanyakan, masa sih mengatur toa masjid sampai jadi urusan sekelas menteri. Setelah itu suara azan yang bersahutan dari masjid satu ke masjid satunya disasarnya. Dianalogikan dengan gonggongan anjing bersahutan di komplek perumahan yang mayoritas penghuninya non muslim. Katanya, bukankah itu juga akan mengganggu muslim yang tinggal di komplek itu. Maka, tersirat ia sebenarnya meminta agar masjid/mushala toleran pada non muslim, agar tidak mengganggu mereka yang sedang terlelap tidur. Tidak harus terbangun dengan suara azan yang bersahutan, yang diibaratkan seperti anjing menggonggong. Mengecilkan suara azan itu bentuk toleransi, setidaknya itu pandangan Gus Yaqut yang menganalogikan dengan gonggongan anjing yang juga akan mengganggu muslim. Pertanyaan susulannya, apakah gonggongan anjing juga bisa dikecilkan suaranya, atau setidaknya gonggongan anjing dibuat tidak saling bersahutan. Yaqut paling-paliing cuma bisa jawab, ya itu kan hewan bukan suara azan dari toa yang mustahil bisa dikecilkan. Artinya, lagi-lagi umat Islam yang mayoritas diminta untuk bersikap toleran, meski hak-hak dasarnya dirampas atas nama toleransi. Di negeri ini meski umat Islam mayoritas, diminta untuk tetap terus menjaga toleransi, agar minoritas tidak merasa \"terzalimi\". Sedang di Barat, juga di India yang mayoritas penduduknya Hindu, umat Islam diminta untuk tahu diri, bahwa ia minoritas. Karenanya, diminta tetap patuh sekalipun hak-hak dasar beragamanya dirampas atas nama peraturan negara. Quo vadis! (*)

Kebisingan Yaqut dan Islamophobia Akut

Ada anjing menggonggong kafilah berlalu. Ada statemen perumpamaan suara adzan dengan gonggongan anjing. Satunya peribahasa, satunya lagi bahasa menista. Ucapan Yaqut itu menyiratkan ada agenda deislamisasi dan wujud Islamophobia yang akut. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI BELUM pernah ada menteri agama yang memiliki suara begitu memekakkan telinga umat Islam. Selain parau, suara sumbang yang nyaring dari pejabat keagamaan itu lebih sering menimbulkan kegaduhan dan kehebohan. Kebisingan Yakut bukan hanya mengusik ketenangan suasana jiwa raga semata, mulut sekuler dan liberalnya juga telah merongrong aqidah. Sesungguhnya, perangai Yaqut yang berulang-ulang seperti itu merupakan sinyal peperangan  kepada umat Islam di Indonesia sudah semakin terstruktur, sistematik dan masif. Betapapun Yaqut Cholil Qoumas acapkali membuat pernyataan dan kebijakan sumir terhadap umat Islam. Betapapun jabatannya sebagai menteri agama dijadikan sarana membangun Islamophobia sekaligus bagian dari deislamisasi. Betapapun umat Islam dalam belenggu kapitalisme,   dieksploitasi ekonominya namun dibatasi eksistensi politiknya oleh negara terutama dari peraturan kementerian agama. Umat Islam tetaplah harus bersyukur, setidaknya dapat mengambil hikmahnya. Mengambil momentum refleksi dan evaluasi menyeluruh. Bahwasanya ada dua faktor dominan yang menyebabkan terjadinya keterpurukan umat Islam seperti saat ini. Pertama, konsolidasi dan  internalisasi umat Islam terhadap Al Quran dan sunah begitu rendah. Kedua, hal itu otomatis menyebabkan adanya pembiaran   bagaimana musuh-musuh Islam begitu agresif dan terbuka menyerang umat Islam. Kedua faktor tersebut menyatu dan terakumulasi dengan keadaan yang membuat umat Islam dalam keadaan lemah, tidak berdaya dan tidak terorganisir. Suatu keadaan umat Islam yang terpecah belah dan tercerai-berai, laksana buih di lautan. Situasi dan kondisi yang demikian, seharusnya mampu membuat umat Islam memiliki kesadaran krisis sekaligus kesadaran makna akan kenyataan-kenyatan umat Islam yang begitu jauh dari Al Quran dan sunah. Umat Islam terlalu lama dan sangat jauh dari menggunakan Al Quran dan sunah sebagai tuntunan dan tuntutan hidup. Mungkin karena  atmosfer dan udara kapitalisme global yang mengandung liberalisasi dan sekulerisasi sangat memenuhi rongga dada, sel-sel saraf dan darah umat Islam di Indonesia. Maka sejatinya, akan menjadi keniscayaan dan juga sebagai keharusan pula bagi umat Islam untuk mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi merebaknya bangunan    ghazwul fikri dan penindasan fisik pada umat Islam. Tak ada cara lain dan solusi terbaik bagi umat Islam selain melakukan radikalisasi dan fundamentalisasi Al Quran dan sunah dalam semua sendi kehidupan umat Islam. Tentunya kehidupan Islami yang menopang, meyuburkan dan mengokohkan kehidupan kebangsaan. Islam Indonesia yang hidup bertumbuh kembang dan bersemayam dalam semangat Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI sebagai rumah besar umat Islam beserta seluruh anak bangsa. Pada akhirnya untuk menyelamatkan umat Islam yang berarti pula menyelamatkan Indonesia dengan kebhinnekaan dan kemajemukan negara bangsa. Maka tak boleh lagi ada perilaku seperti  Yaqut atau anasir-anasir sikap permusuhan dan kebencian lainnya terhadap Islam. Hentikan sekarang juga upaya-upaya stigma dan labelisasi Islam yang stereotif dari siapapun, baik oleh negara, warga negara maupun oleh umat Islam sendiri. Sepantasnya, negara dan semua instrumen yang ada dapat menegakkan hukum yang sebenarnya dan menjaga keharmonisan kehidupan beragama di republik ini. Untuk Yaqut, pemerintah selayaknya pula dapat mengambil tindakan tegas  mencopotnya dari jabatan menteri agama sembari memulai hukuman mati bagi siapapun yang berupaya dan telah menghina dan menista agama dengan segala variabelnya. Atau boleh juga hukuman mati itu dimulai  dimulai dari Yaqut. Agar tak ada lagi kebiasaan dan serba peemisif bagi upaya menghina dan menista  agama Islam. Termasuk  menghentikan  kebisingan Yaqut dan meredam gemuruh Islamophobia di Indonesia.  Ya, karena dalam gencarnya deislamisasi, kebisingan Yaqut adalah Islamophobia yang akut. (*)