Ayat dan Mayat, Black Campaign yang Terus Dilesakkan
Oleh Ady Amar - Kolumnis
FITNAH memang keji. Bahkan lebih keji dari pembunuhan. Itu kata agama (Islam). Jika logika agama yang dipakai, maka semestinya penyebar fitnah diganjar hukuman lebih berat dari hukuman bagi si pembunuh. Tapi mustahil itu diterapkan. Fitnah ditebar seolah itu hal biasa. Bahkan tanpa konsekuensi hukum.
Memfitnah itu menjadi hal biasa. Lumrah. Tidak jadi persoalan serius. Menjadi serius jika fitnah mengena pada pejabat yang kebetulan "berkuping tipis", dan tengah berkuasa. Fitnah lalu bisa ditarik pada kasus hukum.
Di era media sosial tanpa sekat, fitnah menjadi menu sehari-hari. Bisa dumunculkan kapan saja. Terutama pada pejabat atau bahkan personal yang memang dibidik untuk dihancurkan nama baiknya. Maka, gelontoran fitnah--dan itu masuk black campaign-- jadi andalan menghabisi siapapun yang dianggap lawan politiknya.
Seolah orang boleh menjatuhkan lawan politik dengan berbagai cara, bahkan dengan black campaign. Sulit hal itu bisa dicegah, dan seakan tidak ada perangkat hukum bisa mencegahnya. Terutama bagi yang berlawanan dengan rezim.
Melaporkan tindakan fitnah, itu menjadi sulit ditindaklanjuti. Sekadar laporan diterima tanpa ada kelanjutan memprosesnya secara hukum. Tumpul. Memilih tidak melaporkan lalu jadi pilihan untuk dipilih, setelah tidak ditemukan pilihan lain bisa dipilih. Membiarkan saja fitnah itu menggelinding tanpa kesudahan. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, jadi arus utama langganan fitnah.
Anies memilih membiarkannya. Tidak sekalipun ia mencoba melawan fitnah dengan melaporkan pada pihak berwajib. Anies mengharuskan bertelinga tebal dengan cara tidak menggubrisnya. Memilih diam jadi pilihannya. Mengabaikan mereka yang memang bekerja untuk itu. Dibayar untuk mempengaruhi opini publik, dan itu membicarakan Anies dengan tidak sebenarnya. Opini ingin dibentuk dengan mencoba mengaburkan karya-karya Anies membangun Jakarta.
Menjatuhkan Anies pastilah tanpa nalar, dan itu yang terus-menerus dilesakkan. Nalar publik ingin dikotori oleh opini fitnah yang dilempar begitu saja. Seperti menjejalkan makanan yang tidak layak pada bayi yang sedang bertumbuh. Jahat, memang.
Fitnah Usang yang Terus Diangkat
Menjual "Ayat dan Mayat" adalah salah satu fitnah yang terus ditebar. Pastilah itu masuk kelompok black campaign. Sekalipun Anies tidak terbukti pernah mengatakan sebagaimana yang dituduhkan. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, istilah itu dimunculkan dan terus dilestarikan sampai sekarang. Upaya menggiring opini publik, seolah kemenangan Anies Baswedan dalam Pilkada DKI--mengalahkan petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)--itu dengan menggunakan "Ayat dan Mayat".
Memenangkan Pilkada seolah Anies mengusung politik identitas pada isu-isu keislaman. Dengan cara menakut-nakuti muslim dengan "ayat dan mayat", dan itu untuk memilihnya sebagai sesama muslim. Tidak memilih Ahok yang non muslim. Meski sekalipun Anies tidak pernah melakukan hal itu, tetap saja fitnah "ayat dan mayat" terus diangkat.
Memang tidak menutup kemungkinan jika ada ulama/kyai/pemuka agama, saat di majelis-majelisnya, dan itu pada jamaahnya, memberi tausiah agar memilih pemimpin yang muslim. Seperti hal itu juga dilakukan para pendeta/pastor/pemuka agama diluar Islam, agar memilih pemimpin yang seiman. Itu hal biasa, yang berpijak pada ajaran agamanya. Tidak ada yang salah.
Black campaign "ayat dan mayat" terus dilesakkan, itu memang hal yang disengaja. Menganggap efektif mampu menggerus elektabilitas Anies, yang anehnya tidak beringsut mengecil, tapi tetap kokoh teratas--dari berbagai lembaga survei politik.
Anies jual "ayat dan mayat", fitnah usang, yang tanpa dilihat efektivitasnya mampu mempengaruhi publik. Menganggap rakyat bodoh, itu ibarat melakukan pekerjaan serasa berhasil diawalnya, yang tidak mustahil akan berkesudahan dengan hasil berkebalikan. Rakyat punya parameternya sendiri dalam menilai. Tidak bisa dicekoki pernyataan yang diulang-ulang, tanpa bisa dibuktikan. Nalar publik jangan dipaksa mempercayai berita fitnah usang yang terus diberitakan.
Sulit bisa menemukan kerja Anies yang bisa dilihat sebagai bentuk pelanggaran, maka pilihan menebar berbagai berita fitnah akan terus dilakukan dengan tingkat intensitas tinggi dan kejam--setidaknya sampai 2024--itu sekadar untuk upah recehan yang tidak seberapa. Duh, kasihan. (*)