OPINI

Membongkar Manuver Lembaga Survei

Oleh Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa \"Ah, hari gini masih percaya survei\". Kalimat ini sering kita baca di group-group WA, facebook, dan medsos lainnya.  Sebagian rakyat apatis terhadap hasil survei. Ini lantaran pertama, banyak survei yang tidak akurat. Kedua, sejumlah orang atau lembaga telah \"diduga kuat\" manipulasi survei.  Beberapa tahun belakangan ini, survei seringkali tidak lagi dijadikan sarana informasi dan mencerdaskan publik, tapi sudah menjadi alat politik untuk berkampanye dan mempengaruhi opini publik.  Memang, bisnis di lembaga survei itu menggiurkan. Maka, lembaga-lembaga survei untuk politik sudah tidak berbentuk yayasan lagi seperti awal kemunculannya di Indonesia, tetapi sudah menjadi korporasi. Sekali survei biayanya miliaran. Apalagi jika sekalian jadi konsultan politik, angkanya bisa ratusan miliar. Mahal sekali, dan tentu bisa membuat lembaga-lembaga survei itu kaya raya.  Ini bisnis halal, sah menurut undang-undang, selama dilakukan dengan tujuan dan cara yang benar.  Kalau kita buat katagori, ada tiga model lembaga survei. Pertama, *lembaga survei idealis.* Dibiayai sendiri, atau biaya dari sumbangan yang tidak mengikat, yang tujuannya untuk memberikan informasi yang diperlukan, mencerdaskan publik atau mencari calon pemimpin terbaik di negeri ini.  Ada juga lembaga survei berbayar, tapi lembaga ini masih punya idealisme dengan menolak untuk mensurvei calon-calon yang dianggapnya tidak punya integritas, kapasitas, kompetensi dan berbahaya untuk masa depan bangsa. Kedua, lembaga survei pragmatis. Lembaga ini membuka peluang untuk siapapun yang berminat menggunakan jasanya. Asal sesuai bayarannya, kontrak dibuat. Mau yang bayar itu malaikat, iblis, dedemit, maupun drakula, dia terima. Gak ada urusan dengan siapa pemesan dan yang bayar, yang penting dia lakukan survei dengan benar.  Tapi, meski dibayar, ia tak mau memanipulasi data. Ia menyajikan data apa adanya sesuai temuan survei. Dia kerja profesional. Melakukan survei sesuai kaidah dan metodologi yang berlaku. Soal cara dan hasil, ia jamin akurasinya. Soal tujuan, atau mau dipakai untuk apa, itu urusan yang bayar. Dia gak peduli.  Hasil survei dari lembaga idealis dan pragmatis ini umumnya tidak dipublish. Hasil survei ini hanya untuk konsumsi pihak pemesan sebagai data dan diantaranya dipakai untuk pemetaan dan mengatur strategi.  Ketiga, pelacur survei. Hasil survei disesuaikan dengan pemesan. Mau berapa persen elektabilitasnya, semua bisa diatur. Dan ini sangat mudah. Saya juga pernah digoda dengan tawaran ini. Najis!  Biar agak halus, caranya adalah memanipulasi responden. Diambil sampel yang banyak dari daerah pendukung. Tempat lain yang kurang pendukungnya, diambil sampelnya sedikit.  Misal, di Jateng si calon pendukungnya banyak. Ambil sampel yang banyak biar kelihatan elektabilitasnya tinggi. Di Jabar, Sumsel, Sumbar, Sulsel, dan Jakarta, karena kecil pendukungnya, maka sampel diambil sedikit dan jauh dari proporsional. Ini misalnya. Hal ini biasa terjadi.  Lembaga-lembaga survei tipologi ketiga ini biasanya rajin dan suka banget merilis hasil surveinya. Karena tujuannya memang untuk branding calon tertentu, dan juga untuk mempengaruhi opini publik. Namanya juga kampanye, mesti dirilis dan diviralkan sesering mungkin.  Meski begitu, tidak setiap rilis survei itu berasal dari kelompok ketiga ini. Anda mesti cerdas dan cermat dalam membaca hasil survei. Kalau satu survei dengan survei yang lain hasilnya beda jauh, anda layak curiga. Begitu juga kalau ada yang rajin rilis survei, itu juga tanda-tanda.  Ada kawan saya cerita. Hari senen dia diminta oleh seorang calon tertentu. Kamis sudah harus ada hasilnya. Jumat diumumin ke media. Temen saya bilang: mana mungkin survei dilakukan empat hari? Jelas gak mungkin bisa. Dia nolak. Eh, jumat besoknya ada yang rilis survei dari lembaga lain sesuai yang diminta calon itu. Kapan surveinya? Gebleg gak tuh?  Ya, begitulah pelacur survei. Karena duitnya besar, ini cukup menggoda dan menggiurkan. Anda tertarik?  (*)

Memindahkan IKN Sama dengan Tindakan Bunuh Diri!?

Oleh Marwan Batubara, PNKN PEMERINTAH sudah menetapkan lokasi IKN baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim). Lokasi ini ditetapkan tidak berdasarkan seluruh aspek yang terkait secara komprehensif. Maka tak heran jika belakangan Penajam disebut berpotensi menghadapi masalah, seperti rawan longsor, krisis air bersih, rawan kebakaran, genangan akibat lubang tambang, serta struktur tanah yang lemah dan berisiko bagi kontruksi dan jaringan jalan. Struktur tanah yang lemah ini akan membuat biaya pembangunan naik signifikan!  Ternyata dari aspek pertahanan keamanan (hankam), Penajam juga menyimpan masalah sangat besar. Posisi IKN tepat di depan hidung jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Karena ALKI II adalah jalur internasional, maka setiap menit atau jam kapal yang berasal dari negara manapun akan melintasi perairan laut ALKI II yang sangat dekat ke Penajam.  Padahal, secara geo kultural, setiap ibu kota dalam aspek pertahanan pasti di tempatkan di wilayah terdalam, sulit dijangkau musuh dan dilindungi dengan aneka sarana hankam. Untuk itu pasti dipersiapkan pula berbagai fasilitas pertahanan guna mempertahankan ibu kota dari serangan musuh. Itu sebabnya mengapa di sekitar Jakarta dibangun berbagai fasilitas  pangkalan militer TNI dari berbagai angkatan. Selain itu, jika terjadi perang atau dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi perang, secara geo kuktural ibu kota harus mempunyai benteng kultural, terutama dari penduduk sekitar. Tanpa meragukan komitmen masyarakat Kaltim, latar belakang dan asal-usul etnis, serta mudahnya terjadi penyusupan asing/China melalui jalur internasional pada ALKI II, maka militansi perlawanan rakyat di Kaltim diperkirakan tidak akan seoptimal perlawanan rakyat di sekitar Jakarta.  Ternyata IKN juga bermasalah dalam hal potensi serangan musuh dari perbatasan sekitar Kalimantan. Perbatasan Kalimantan dan Serawak secara hankam juga tidak seimbang. Malaysia mempunyai pasukan penjaga perbatasan setingkat Batalion pada setiap 60 kilometer. Artinya, Malaysia menpunyai dua divisi pasukan darat untuk menjaga perbatasannya lengkap dengan batalion artileri dan kavaleri. Sedangkan Indonesia perbatasannya dijaga oleh petugas pos perbatasan setingkat pleton dan kompi, tanpa batalion kavaleri berat dan artileri. Karena berbagai pasukan saat ini memang terpusat semua di Jakarta dan Sumatera. Untuk merubah kondisi yang sangat tidak seimbang ini, maka dibutuhkan upaya dan biaya yang besar. Jalur ALKI II juga sangat rawan menjadi pintu tikus masuk kapal asing, apakah itu kapal selam masuk ke wilayah kita. Apalagi Indonesia saat ini hanya mempunyai empat kapal selam. Tiga kapal selam baru buatan Korea Selatan ternyata juga miss production. Tidak layak tempur. Hal ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan TNI AL. Kita hanya mempunyai empat kapal KRI anti kapal selam. Itupun harus bergantian wara-wiri keliling Indonesia yang luasnya tujuh juta km persegi. Radar bawah laut kita atau sonar bay, sistem radar antar selat, hanya terpasang 30 persen. Sedangkan 70 persen lainnya rusak, jebol melompong. Malah menurut analisa inteligen, medan bawah laut kita lebih dikuasai oleh negara luar seperti China, Singapore, Australia dan Amerika. Dengan kondisi hankam negara yang sangat bermasalah tersebut, Indonesia bisa saja memindahkan IKN berikut sistem hankamnya, termasuk berbagai fasilitas dan pangkalan militer ke Kaltim/Kalimantan. Namun PNKN memperoleh informasi bahwa untuk itu dibutuhkan biaya yang sangat besar, yakni sekitar Rp 1700 triliun.  Seorang geologist mengatakan karena kondisi tanah yang lemah, tidak stabil dan rawan longsor, pasti akan membuat biaya pembangunan IKN membengkak, naik signifikan atau berlipat dua. Artinya biaya pembangunan IKN akan bisa naik menjadi Rp 900 triliun dari yang semula direncanakan hanya Rp 466 triliun. Padahal biaya ini belum meperhitungkan kebutuhan aspek hankam yang disebutkan di atas. Kesimpulannya, jika Indonesia ingin tetap menjadi negara berdaulat, memindahkan IKN harus diiringi pula dengan memindahkan dan membangun fasilitas hankam ke Kalimantan. Untuk memindahkan IKN saja, tanpa fasilitas hankam yang Rp 466 triliun itu, pemerintah menyatakan akan melibatkan swasta/asing. Apalagi jika bicara fasilitas hankam yang nilainya Rp 1700 triliun! Sedangkan fasilitas hankam tidak mungkin dibangun swasta/asing. Lalu dananya mau diambil dari mana? Jelas fasilitas hankam tersebut tak akan terbangun! Jika pemerintah tetap memaksakan diri memindahkan IKN tanpa membangun fasilitas hankam, maka itu artinya kedaulatan NKRI sedang dipertaruhkan. Pemindahan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan bunuh diri. Atau mungkin saja IKN tetap dipaksakan pindah, karena ada sebagian oknum-oknum penentu pemerintahan, yang memang sangat berkeinginan agar lambat-laun NKRI dapat dikuasai dan dicaplok asing/China dengan mudah. Jika hal ini yang menjadi motifnya, maka TNI dan rakyat harus bersikap! []

Nama Letkol Soeharto Hilang!

Bagaimana bisa seorang Soeharto yang saat itu justru menjadi penyerang dan menguasai Yogyakarta selama 6 jam namanya bisa hilang begitu saja dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang HPKN tersebut. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN SEKRETARIAT Kabinet RI mempublikasikan, Presiden Joko Widodo telah menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN). Penetapan 1 Maret sebagai HPKN itu agar masyarakat tidak melupakan peristiwa bersejarah pada tanggal tersebut. Tanggal 1 Maret adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada 1 Maret 1949 terjadi serangan umum terhadap pasukan Belanda di Yogyakarta. Berdasarkan publikasi di situs resmi Sekkab, penetapan pada 1 Maret sebagai HPKN tertulis dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Pene gakan Kedaulatan Negara. “Menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara,” bunyi Diktum Kesatu peraturan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 24 Februari 2024 tersebut. Ditegaskan pada Diktum Kedua, Hari Penegakan Kedaulatan Negara bukan merupakan hari libur. “Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,” ditegaskan pada Diktum Ketiga. Menariknya, dalam tiga pertimbangan yang disampaikan Sekkab itu tidak menyebut nama Soeharto. Padahal Soeharto saat itu menjabat Komandan Werhkreis (Kodim) sekaligus Komandan Brigade X Garuda Mataram. Agar tidak dilabeli Hoax, berikut kutipan lengkapnya pada pertimbangan Ketiga: “Ketiga, bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.” Bagaimana bisa seorang Soeharto yang saat itu justru menjadi penyerang dan menguasai Yogyakarta selama 6 jam namanya bisa hilang begitu saja dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang HPKN tersebut. Apa pembuat draf Keppres tersebut sengaja menghilangkan nama Letkol Soeharto yang sangat berperan dalam pertempuran 1 Maret 1949 yang membuat Belanda harus keluar dari Yogyakarta itu. Atau, jangan-jangan, Presiden Jokowi tidak tahu isi draf tersebut, seperti yang pernah terjadi sebelumnya, dan langsung main tanda tangan begitu saja, karena memang benar-benar belum membaca isinya. Anak SMP atau SMA pun pasti ingat dan sudah pernah baca sejarah peran Soeharto dalam penyerangan Yogyakarta. Apalagi, seorang sarjana lulusan kampus di Yogyakarta. Karena, semua itu tercatat dalam sejarah dan ada monumennya pula. Coba buka catatan sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Pasca agresi militer II Belanda, Indonesia ketika itu berada dalam keadaan terpojok. Belanda menyebarkan berita bohong melalui PBB kepada seluruh dunia bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada dan TNI sudah hancur. Di Yogyakarta yang menjadi pusat negara saat itu, terdapat penjagaan ketat oleh Belanda di mana-mana. Kediaman Sultan Hamengkubuwono IX turut dijaga ketat karena ia menjadi tahanan rumah. Sementara, Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan PM Sutan Syahrir sudah ditangkap Belanda dan dibuang ke luar Jawa. Praktis yang ada di Yogyakarta sebagai Ibukota Negara tinggal Sultan HB IX saja. Meski demikian, Sultan tetap berperan penting dalam komunikasi antara satuan-satuan Indonesia yang ada di dalam dan luar kota. Pada Januari 1949, Sultan HB IX mendengar siaran di radio bahwa pada awal Maret akan ada rapat Dewan Keamanan PBB. Salah satu topik yang dibahas adalah persoalan Indonesia dan Belanda. Agar menarik perhatian dunia, Panglima Besar Jenderal Sudirman setuju dengan usulan Sultan HB IX ihwal serangan umum pada 1 Maret 1949 untuk mengusir Belanda dari Yogyakarta. Pada awal Februari, Sultan kemudian bersurat kepada Jenderal Sudirman agar mengadakan Serangan Umum pada siang hari. Usulan itu diterima. Jenderal Sudirman meminta Sultan koordinasi dengan Komandan WK III yaitu Letkol Soeharto. Sultan kemudian menjalin komunikasi dengan Soeharto secara rahasia melalui kurir. Letkol Soeharto lalu berkoordinasi dengan jajaran TNI di wilayahnya. Ia memerintahkan, setiap komandan wilayah menempatkan pasukan di dalam kota Yogyakarta secara sembunyi-sembunyi sejak malam hari. Hal ini membuat mereka telah dalam keadaan siap menyerang begitu sirine pergantian jam malam pada pukul 06.00 1 Maret 1949. Setelah dilancarkan, Serangan Oemoem ini berhasil mengusir Belanda dalam waktu 6 jam. Dalam serangan ini, pasukan Indonesia tidak hanya terdiri dari TNI. Sejumlah laskar dan rakyat biasa juga turut ambil bagian. Berita Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu kemudian menyebar secara berantai di berbagai negara hingga akhirnya terdengar PBB. Perjuangan berdarah itu berhasil membantah berita berita bohong yang disebar Belanda, sebenarnya Indonesia masih ada dan TNI belum hancur. Di dalam negeri, moral perjuangan militer dan sipil juga kembali menguat. Perspektif Jokowi Dari uraian singkat terkait sejarah Serangan Oemoem itu, jelas sekali, ada upaya dari Sekkab untuk menghilangkan peran Letkol Soeharto. Entahlah apa maksudnya. Coba pakai logika saja! Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap Belanda, terus dibuang ke Bangka. Waktu itu belum ada telepon, apalagi WA. Ketika Bung Karno ditangkap, Istana Yogyakarta sudah dikepung Belanda, Sultan sudah diisolasi Belanda, tak bisa keluar dan menemui tamu. Jadi, bagaimana dia berhubungan dengan Pak Dirman dan Pak Harto. Ternyata komunikasi dilakukan melalui kurir. Pada saat penangkapan Soeharto berpangkat Letkol, menjabat Komandan Werhkreis (Kodim) sekaligus Komandan Brigade X Banteng Mataram. Kalau sekarang setiap Kodim/Korem mempunyai Btalion pemukul sendiri. Saat itu, Jenderal Sudirman menolak menyerahkan diri ke Belanda. Dia di- most wanted. Sultan tahanan kota. Jadi, kunci peristiwa 1 Maret itu cuma Sudirman dan Soeharto.  Sukarno tahu ini. Begitu Belanda kabur dari Indonesia (Serah Terima Markas KNIL di Jalan Merdeka Utara). Sukarno memanggil Sudirman ke Jakarta, pelukan tangis-tangisan. Soeharto ada di situ dan dikenalkan ke Sukarno. Di situlah awal mula Sukarno kesengsem sama Suharto. Pada 1950, terjadi pemberontakan Andi Azis. Itu pemberontakan pertama era kedaulatan. Sukarno hanya ingat satu nama seorang perwira jagoan dia, Soeharto. Dia perintahkan Soeharto berangkat operasi masih sebagai Komandan Brigade X. Di situ Soeharto kenal BJ Habibie kecil. Pada 1961, Sukarno mulai kampanye merebut Irian. Mulailah mobilisasi pasukan pendarat, namanya Tjaduad (army strategic reserve), konsepnya semua batalion AD di bawah satu komando tertinggi Sukarno, dan cuma satu nama calon panglima lapangan yang ada di benak dia, Soeharto. Kemudian Soeharto diangkat jadi Panglima Kostrad merangkap Panglima Mandala Irian/Ops Dwikora 1961-1962. Selesai Irian, Sukarno tetap pasang Suharto sebagai Pangkostrad karena dia geser pasukan ke Sumatera dan Kalimantan. Operasi Trikora dimulai tahun 1963. Soeharto lagi yang menjadi Panglima lapangan. Karena di otak nekad Sukarno cuma ada Soeharto yang bisa ikuti kenekadan dia. Sampai  kejadian 1966, begitu percaya dia akan dilindungi Soeharto dari amukan rakyat, makanya dia serahkan Supersemar juga ke Soeharto. Dalam konteks sekarang cerita seperti itu tidak masuk akal. Karena, kita bayangin pakai perspektif sekarang tak mungkin Pangsar Sudirman kasih komando langsung ke Komandan Kodim/Brigade, seharusnya lewat jalur KSUM dulu, terus ke Pangdam/Pangdiv di Semarang. Jadi, Presiden Jokowi ini buat sejarah pakai perspektif keadaan normal. Dia tak tahu bahwa NKRI waktu itu setelah agresi I dan II Belanda cuma Yogya. Dan tentara NKRI terakhir yang ada di wilayah itu cuma pasukan Soeharto. Bahkan Jenderal Sudirman sudah ngungsi ke Magelang dan buat markas di situ. Magelang-Jogja itu jauh, lebih 50 km. Semua komunikasi pakai kurir jalan kaki. Tentara kita waktu itu belum punya HT, belum ada WA juga! Jadi, pemeran utama “orang gila” dalam peristiwa 1 Maret itu sebenarnya Soeharto. Makanya cuma nama Soeharto yg diinget waktu dia gila-gilaan mau serbu Irian dan Malaysia. Fakta Bicara Ketika Jakarta diserbu Belanda, Bung Karno, Bung Hatta, dan PM Sjahrir kabur ke Yogyakarta untuk meminta perlindungan Sultan. Belanda kemudian menyerbu Yogyakarta, meminta Sultan menyerahkan Presiden, Wapres, dan PM. Pak Dirman sempat ajak mereka lari ke hutan, ikut gerilya, tapi mereka tak mau, malah menyerahkan diri dengan harapan dapat simpati internasional. Sultan HB IX tak diganggu Belanda karena waktu itu Jogyakarta dianggap terpisah dari NKRI. Sultan HB IX dibujuk Sultan Hamid II supaya jangan bergabung dengan NKRI, tapi Sultan HB IX pilih NKRI. Di situ jasa terbesar Sultan HB IX. Makanya setelah Belanda hengkang, Sudirman tak mau dipanggil Sukarno ke Jakarta karena dia tak mau mengakui Sukarno lagi sebagai Presiden RI. Bung Karno dianggap pengecut karena tak mau ikut gerilya. Tapi Sudirman dibujuk Sultan HB IX supaya datang memenuhi panggilan Sukarno. Kalau tidak ada peran Sultan HB IX, Sukarno selesai pada 1949. Yang jadi Presiden RI bisa Sultan HB IX atau Sudirman. Tapi, sejak peristiwa tersebut Soeharto sudah jadi anak emas Sukarno. Sekarang baru ada cerita Soeharto pernah digampar Kawilarang, terus pernah dibuang ke Seskoad oleh Gatot Subroto karena pelanggaran. Tapi mengapa Sukarno begitu akan melancarkan operasi militer besar selalu mencari Soeharto? Dan, kini, tampaknya ada upaya untuk menghapus peran Soeharto saat Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dari Presiden? (*)  

Revolusi Sosial

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan ADALAH La Nyalla AA Mattalitti Ketua DPD RI yang menyatakan bahwa revolusi sosial bisa terjadi jika penyelenggara negara sudah kelewatan. Ia menanggapi usulan Cak Imin, Zulhas, dan Airlangga tentang penundaan Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Presiden.  Menurutnya kesalahan fatal jika penundaan itu terjadi. Rakyat diam dapat mereaksi keras.  \"Sekarang mungkin masih diam, masih punya batas kesabaran melihat tingkah pola elit politik. Tapi kalau sudah kelewatan, bisa pecah revolusi sosial. Pemilik negara ini bisa marah dan para elit politik bisa ditawur oleh rakyat\" kata La Nyalla di Surabaya. Kalimat tegas dan kritis sekaligus \"warning\" ini tentu menggema ke telinga elit politik yang sedang bergerak menuju perilaku politik yang melampau batas. \"Revolusi sosial\" adalah terma yang cukup menarik. Menjadi biasa dan tidak akan mendapat reaksi dari elit kekuasaan ketika disampaikan oleh Ketua DPD RI. Mungkin berbeda jika hal itu dilontarkan oleh Ustad, Habib, Kyai, atau aktivis Islam. Di samping dituduh radikal atau provokasi mungkin juga dikaitkan makar. Maklum rezim ini Islamophobist dan bertelinga tipis.  Karena penundaan Pemilu adalah melawan Konstitusi, maka \"warning\" ini menjadi sangat penting. Pemerintah Jokowi harus segera menegaskan bahwa tidak akan memperpanjang masa jabatan dengan menunda Pemilu. Berpidato untuk menjawab keraguan rakyat. Jangan kemudian muncul tuduhan bahwa yang tidak setuju penundaan adalah orang atau kelompok yang tidak peduli dengan kondisi ekonomi dan pandemi. Ujungnya radikal radikul.  Mengambangkan sikap dan membiarkan wacana penundaan terus menggelinding justru dapat menjadi pematangan kondisi apa yang dinyatakan La Nyala sebagai revolusi sosial. Semestinya Pemerintah sadar bahwa rakyat sudah mulai kecewa dan hilang kepercayaan terhadap kemauan dan kemampuan oligarkhi Jokowi dalam mengelola negara.  Tidak terkececoh oleh kepalsuan informasi kepuasan rakyat, polling abal-abal, dengungan para buzzer, atau pujian para penjilat yang ujungnya meminta Jokowi untuk menjabat tiga periode. Sayangnya meski ia tahu semua itu dapat menjerumuskan, akan tetapi tenang dan senang saja mengikuti irama  lagu \"nina bobo\" itu.  Revolusi sosial menurut Skockpol adalah perubahan cepat dan mendasar dari masyarakat dan  struktur kelas suatu negara. Revolusi itu bersamaan dengan pemberontakan masyarakat bawah. Akarnya tentu rezim otoriter dan keputusasaan rakyat. Revolusi sosial menjadi kulminasi dari gelombang kritik yang tidak didengar atau ditindaklanjuti.  Revolusi Perancis adalah rakyat yang menggulingkan Raja Louis XVI yang otoriter dan tidak kompeten. Diawali penyerbuan ke penjara Bastille tempat banyak aktivis dan oposan ditahan. Mengubah monarkhi menjadi Republik berbasis asas kebebasan, persaudaraan, dan persamaan.  Revolusi Bolshevik Rusia bulan Oktober 1917 diawali dengan aksi unjuk rasa rakyat bulan Juli yang membawa korban ratusan pengunjuk rasa tewas dibunuh rezim. Revolusi kiri pimpinan Vladimir Lenin yang didukung garda merah dan para pekerja berhasil menggulingkan Alexander Karensky pemimpin berhaluan nasionalis.  Revolusi dalam makna people power terjadi di Jerman, Georgia, Cekoslovakia, Filipina dan sebagian negara di Timur Tengah. People power Filipina cukup menarik. Rezim Ferdinand Marcos yang otoriter dan membungkam oposisi mengalami krisis ekonomi, tinggi angka hutang luar negeri, membunuh senator Benigno Aquino Jr, serta  melakukan kecurangan pemilu tahun 1986. Perlawanan rakyat bersama Enrile dan Ramos didukung oleh kaum agamawan pimpinan Kardinal Jaime Sin.  Entah revolusi sosial model mana yng dimaksud La Nyalla Mattalitti itu. Namun semua revolusi sosial selalu berhubungan dengan penggulingan kekuasaan otoriter. Soekarno dan Soeharto telah merasakannya. Moga Jokowi belajar banyak. (*)   Bandung, 2 Maret 2022

Polemik Wayang: Dari UKB, Gus Dur sampai Muhadjir

  Dalam setiap pegelaran, Guru Soeroya membuat satu sesi berisi “pengajian”. Biasanya mengurangi waktu perang kembang. Misalnya seorang pandita memberi wejangan kepada satria atau cantrik. Bisa Semar kepada anak-anaknya. Oleh: Anwar Hudijono, Veteran Wartawan, Tenaga Ahli Gerakan Nasional Revolusi Mental Kemenko Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan.       USTAD Khalid Basalamah (UKB) sudah menegaskan tidak pernah menyatakan bahwa wayang itu haram. Dia juga sudah minta maaf. Tetapi polemik “wayang haram” terus membahana di media sosial. Permintaan maaf justru ditafsirkan sebagai pengakuan bahwa dia pernah mengharamkan wayang. Ya itulah repotnya pesan yang sudah terlanjur viral di media sosial. Viral itu terkadang seperti banjir bandang. Alirannya meluber kemana-mana dan kian keruh. Hanya sedikit air yang bisa dikembalikan ke kanalnya. Dalam menyikapi kontroversi wayang haram, sebagian publik tidak mencari jawaban dengan membandingkan hujah-hujah, argumen-argumen yang berkembang. Melainkan dengan menengok kepada tokoh. Di antaranya ada dua tokoh yang dipakai jawaban yaitu Gus Dur dan Menko PMK Muhadjir Effendy. Kalau wayang haram bagaimana mungkin Gus Dur dan Muhadjir menggemari wayang? Gus Dur bisa dipakai sebagai representasi Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhadjir representasi Muhammadiyah. Gus Dur yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU dikenal sebagai penggemar wayang kulit. Ketika menjadi Presiden, ia memboyong koleksi kaset wayang kulitnya ke Istana. Di antara yang paling dia gemari dalang Ki Nartosabdo.  Satu lakon wayang berisi sekitar 10 kaset. Muhadjir adalah Ketua PP Muhammadiyah dan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) 4 periode. Semasa menjadi Mendikbud, dia beberapa kali menjadi dalang meski sebatas mucuki (mengawali). Termasuk mendalang bareng dalang kondang Ki Manteb Sudarsono di Jakarta. Dia juga menganjurkan agar wayang menjadi kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. Sebagai bagian dari pendidikan karakter. Mengajak para dalang untuk menjadi tutor di sekolah. Langkah Muhadjir ini sejalan dengan keputusan Tanwir Muhammadiyah Denpasar tahun 2002 tentang dakwah kultural. Guru Soeroya Muhadjir sangat paham hal ihwal wayang. Ayahandanya, Soeroya adalah seorang guru yang merangkap sebagai dalang tiga jaman (Belanda, Jepang, dan kemerdekaan). Sebagian masyarakat juga menganggap Soeroya sebagai kiai. Tapi Soeroya merasa lebih sreg dipanggil guru. Muhadjir adalah anak ke-6 pasangan Soeroya-Hj. Sri Subitah. Langkah Guru Soeroya menjadi dalang menuai kontroversi. Keluarganya banyak yang menentang. Maklum dia dari keluarga santri. Pada era 1930-an masih kuat adanya dikotomi santri-abangan dalam masyarakat Jawa. Karena ayahnya, Kiai Muhammad Thalhah adalah kiai kesohor di wilayah Caruban, Kabupaten Madiun. Leluhurnya sampai waliyullah Ki Ageng Basyariyah di Sewulan (Madiun) dan Kiai Kasan Besari, Tegalsari, Ponorogo. Kalau dirunut lebih jauh berujung pada Panembahan Senapati, Raja Mataram. Guru Soeroya satu trah dengan Gus Dur. Juga satu jalur kerabat dengan Kiai Imam Zarkasi, pendiri Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Guru Soeroya jalan terus dengan niat meneruskan model dakwah Wali Songo. Dia melakukan inovasi wayang. Dia sangat mafhum, yang paling sensitif dari wayang adalah eksistensi para dewa karena bisa menyentuh akidah. Dalam wayang yang diwarnai pengaruh Hindhu ini, para dewa itu pencipta dan penguasa alam semesta atau tuhan. Maka disebut ulun. Sedang manusia disebut titah (mahluk). Maka Guru Soeroya melakukan tajdid (inovasi, pembaruan) bahwa para dewa itu mahluk biasa. Bahkan bisa dikalahkan oleh manusia seperti dalam lakon Newatakawaca. Ketika menyebut subyek tuhan, Guru Soeroya memilih menggunakan istilah Kang Mahakuwasa (Yang Maha Kuasa), Kang Murbeng Dumadi (Yang Maha Pencipta), Kang Akarya Jagat (Sang Pembuat Jagat). Dalam setiap pegelaran, Guru Soeroya membuat satu sesi berisi “pengajian”. Biasanya mengurangi waktu perang kembang. Misalnya seorang pandita memberi wejangan kepada satria atau cantrik. Bisa Semar kepada anak-anaknya. Konten “pengajian” biasanya pesan-pesan moral, amar ma’ruf nahi mungkar. Di antara sumber yang dipergunakan adalah kitab Serat Ambya, Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha karya Pujangga Agung Tanah Jawa Ronggowarsito dan lain-lain. Guru Soeroya mengidola Ronggowarsito sampai dia menyandang nama saat tua, Suryowarsito. Keberanian melakukan inovasi menjadikan dia menjadi dalang eksklusif. Termasuk dalang top dan mahal di jamannya. Fansnya tersebar se-antero Jatim, khususnya bagian barat. Banyak dalang yang mengikuti langkah Guru Soeroya yang menyelipkan “pengajian”. Misalnya Ki Ponijan Dipotaruno dari Padas, Ngawi. Malik Fadjar Guru Soeroya tidak hanya mendalang, dia juga piawi membuat wayang kulit. Sedikitnya ada dua set (kotak) wayang kulit komplit. Yang 1 kotak dihibahkan ke UMM untuk dilestarikan. Sejak jaman Rektor Prof Malik Fadjar, UMM secara rutin menggelar wayang kulit. Kebetulan pula Malik Fadjar juga penggemar wayang kulit. Di dinding rumahnya dihiasi wayang kulit. Di dalam keluarganya, Malik dijuluki tokoh wayang Bima atau Werkudara karena posturnya semasa muda tinggi besar gagah. Apalagi dia senang menggendong ibunya seperti Bima menggendong ibunya, Kunti. Jadi sebenarnya dimensi kontroversial wayang kulit itu sudah ada sejak dulu kala. Tapi, masyarakat Jawa sangat cerdas dan bijaksana dalam meredusir kontroversi atau konflik. Dilandasi tanggung jawab menjaga keselerasan, keseimbangan dan keserasian. Harmonisasi sosial. Kena ikannya tanpa memperkeruh airnya. Tidak semua persoalan diselesaikan dengan pendekatan ilmiah. Kajian akal mulu. Adu argumen, berdebat sampai mata mendelik-delik dan mulut berbusa-busa. Menang-menangan. Adu viral. Tapi sangat mengutamakan dengan pendekatan batin. Olah rasa. Masyarakat Jawa itu sangatlah mafhum betapa sangat pentingnya menjaga kejernihan mata batin. Sebab di akhir jaman, manusia akan cenderung hanya menggunakan mata eksternal, doktrin ilmiah. Tetapi akan mengabaikan mata batin. Fenomena itu disebut oleh Ronggowarsito sebagai jaman Kalatidha atau jaman gelap. Bukan jagat ini gelap tidak ada listrik atau lampu penerangan, tetapi jagat kecil manusia (hati) ini yang gelap. “Dan sungguh, akan Kami isi neraka jahanam dengan banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kebesaran Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Quran: Al Araf 179). “Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (Quran: Al Isra’ 72). Astaghfirullah. Rabbi a’lam (Tuhan Maha Tahu). (*)    

Anies Baswedan dan "Politik Dialektika"

Oleh Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa ISTILAH dialektika pertama kali diperkenalkan oleh filosof Jerman bernama Georg Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831 M). Dialektika mendapatkan akar teoritisnya pada konsep aufheben. Artinya: menghapus, melestarikan dan melampaui. Menghapus yang tidak baik, melanjutkan dan melestarikan yang baik, lalu melampauinya dengan sesuatu yang lebih baik. Organisasi Nahdlatul Ulama atau dikenal dengan sebutan NU juga menggunakan teori dialektika ini. Di NU ada istilah: \"Al-muhafadatu alal qadim as-shalih wal akhdu bil jadid al-aslah\". Melestarikan peninggalan yang baik dan melahirkan sesuatu yang baru dan lebih baik. Dalam prinsip dialektika akan lahir tesis, anti tesis, dan anti tesis-anti tesis berikutnya. Sejarah terus berkembang dalam dinamika dialektika, sehingga melahirkan kemajuan demi kemajuan. Dan perkembangan ini tidak bisa dihentikan, termasuk oleh Karl Marx (1818-1883 M) yang menawarkan komunisme sebagai tesis. Dialektika materialisme Marx gagal menghentikan proses dinamis sejarah. Karena sejarah, sampai kapanpun, tak akan pernah bisa dihentikan mesin lokomotifnya oleh hayalan Marx tentang ideologi komunisme. Dan Marx, dengan paham materialisme industrial, telah gagal menyesatkan dan melakukan sabotase terhadap teori dialektikanya Hegel.  Dalam dialektika tidak mengenal tesis. Kecuali itu bagian dari antitesis yang menjadi pijakan dan tahapan untuk proses lahirnya antitesis-antitesis berikutnya. Begitulah hukum sejarah berjalan. Dinamis, dan terus berproses tanpa henti sampai bumi ini tak berpenghuni.  Dalam konteks politik praktis, terlihat Anies Baswedan juga salah seorang  penganut teori dialektika. Sebagai Gubernur DKI, Anies meneruskan, melanjutkan dan melestarikan program-program yang baik dari para pendahulunya. Apakah program itu masih dalam rencana dan janji, atau sudah mulai dikerjakan. MRT/LRT adalah program yang sudah dimulai sejak era Gubernur Sutiyoso. Digarap intens di era Gubernur Jokowi, dan dituntaskan oleh Anies, sampai beroperasi. Di era Anies, seluruh moda transportasi di ibu kota dihubungkan dalam program Jaklingko. Angkot, busway, MRT/LRT nyambung. Bahkan sebagian stasiun kereta api milik PJKA, juga sudah disambungkan. Kerjasama pusat-daerah berjalan dengan baik. Inilah praktik dialektika. Dalam mengatasi banjir, program normalisasi era gubernur sebelumnya dilanjutkan. Sembari melanjutkan, Anies membuat program naturalisasi dengan sumur resapan. Meskipun untuk tahun 2022 diganjal anggarannya oleh pimpinan dewan, sehingga tak berlanjut. Sayang sekali! Ada yang takut Anies berhasil mengatasi banjir DKI.  Stadion untuk Persija sudah dijanjikan sejak Gubernur Sutiyoso. Meski Ahok menganggap itu bukan tanggung jawab Pemprov DKI, sehingga tidak dianggarkan. Oleh Anies, stadion itu dibangun sedemikian megah. Namanya Jakarta International Stadium (JIS). Gak kalah megahnya dengan stadion Real Madrid dan Barcelona di Spanyol Eropa. Dua tim raksasa sepekbola dunia. Anies merealisasikan janji Sutiyoso atau Bang Yos tersebut.  Seorang pemimpin itu bertugas pertama, melanjutkan dan melestarikan. Apa yang baik harus diteruskan. Apalagi itu terkait program jangka panjang. Ada program yang tidak selesai dibangun selama 5-10 tahun. Jika itu baik, dibutuhkan dan bermanfaat besar untuk kepentingan rakyat, harus diteruskan dan dituntaskan. Tak ada alasan untuk tidak menuntaskan.  Kedua, tugas pemimpin itu mengembangkan dan memajukan. Di sini, perlu kecerdasan, kreativitas dan keberanian. Seorang pemimpin mesti punya terobosan-terobosan baru yang cerdas, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan pada zamannya, bahkan tantangan dan kebutuhan untuk masa depan rakyat sepninggalnya. Pemimpin mesti nenjawab bukan saja kebutuhan rakyat hari ini, tapi juga kebutuhan rakyat untuk puluhan, ratusan hingga ribuan tahun kedepan. Para Nabi membangun peradaban untuk kebutuhan umat manusia ribuan tahun sepeninggal mereka.  Seberapa lama program seorang pemimpin mampu bertahan sepeninggalnya, di sinilah tingkat kecerdasan seorang pemimpin tersebut akan diukur. Anies punya kekuatan di aspek ini. Anies, selain pandai menghargai dan menghormati pendahulunya dengan merealisasikan janji yang belum sempat ditunaikan dan menuntaskan program yang belum terselesaikan, gagasan inovatif Anies seringkali menjadi terobosan baru dalam menyelesaikan persoalan dan memenuhi kebutuhan rakyat. \"Politik Dialektika\" Anies ketika memimpin ibu kota menjadi track record yang tidak hanya perlu diapresiasi, tapi mesti dijadikan landasan yang konsisten jika kelak takdir menyerahkan nasib Indonesia ini kepadanya. (*)  

Kedok Sang Kodok

Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Ramai-ramai berdusta menghancurkan negara. Sedikit keberanian yang bisa berbeda dan membela. Berjibaku menuju istana demi harta dan tahta.Tak peduli harus menghina dan menista agama. Berjamaah menikmati kolusi dan korupsi. Seperti koalisi onani tanpa harga diri dan nurani.  Permufakatan jahat membajak konstitusi. Berbangga-bangga dan presisi menjadi budak oligarki. Pejabat dan politisi selalu mengaku saya Panca Sila.Tapi faktanya sering berperilaku hina dina. Gemar  mengumbar saya cinta Indonesia. Tetapi tak ubahnya menjadi manusia durjana. Mencitrakan diri sebagai pemimpin sejati.  Tapi hanya Kedok Sang  Kodok menutupi sifat keji. Seolah-olah penuh dedikasi dan berjuang  demi NKRI. Dalam naungan rezim tirani nan represi,  kemakmuran dan keadilan hanya ilusi. (*)

Pemilu Diundurkan atau Presiden Dimundurkan

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH kejutan Bahlil yang ditindaklanjuti Cak Imin (PKB), Zulhas (PAN), dan Airlangga (Golkar) maka goncanglah singgasana Istana. Ketiga Ketum melempar wacana Pemilu mundur. Muncul sikap berbeda dari partai-partai yang memiliki figur yang siap dipertarungkan. PDIP (Puan), Gerindra (Prabowo) dan Nasdem (mungkin Anies). Ketiga partai ini menolak penundaan Pemilu khususnya Pilpres.  Mundurnya Pemilu dicurigai inisiatif Presiden Jokowi karena Ia yang sangat diuntungkan oleh penundaan. Baik karena banyak program yang masih perlu proteksi oliigarkhi termasuk pindah IKN, maupun perlindungan untuk sang anak Gibran dan Kaesang yang sedang goyah diterjang masalah. Pilihan tiga periode dan perpanjangan jabatan telah menjadi isu yang timbul tenggelam. Walaupun dibantah oleh Jokowi tapi manuver politik di lapangan selalu berbeda. Plintat-plintut.  Bila terbukti bahwa pengunduran Pemilu adalah inisiatif Jokowi, maka konsekuensinya menjadi cukup berat. Presiden telah melanggar Konstitusi yaitu Pasal 7 UUD 1945. Dengan pelanggaran Konstitusi Jokowi dapat dikategorikan melakukan perbuatan tercela ketatanegaraan. Artinya Pasal 7A UUD 1945 dapat digunakan untuk memundurkan Presiden Jokowi.  Sebenarnya banyak perbuatan atau kebijakan Jokowi yang memungkinkan Jokowi lengser di tengah jalan. Masalah pengelolaan ekonomi dan pandemi, karut marut penegakan hukum, hutang luar negeri, bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Semua itu telah menebalkan dosa politik rezim. Kini ditambah dan mungkin kulminasi berupa agenda perpanjangan masa jabatan.  Soekarno berdasarkan Tap No III/MPRS/1963 ditetapkan menjadi Presiden seumur hidup lalu jatuh atau dimundurkan pada tahun 1967. Soeharto setelah Pemilu 1997 memperpanjang masa kepresidenan juga runtuh pada tahun 1998. Nah, Jokowi yang mencoba untuk memperpanjang satu atau dua tahun dari masa habisnya 2024 atas usulan Cak Imin, Zulhas, dan Airlangga, diprediksi akan mengalami nasib yang sama.  Pemunduran Pemilu adalah jalan menuju pemunduran Jokowi. Meskipun sudah mulai terdengar pula suara-suara \"Jika Pemilu dimundurkan, maka masa jabatan Presiden sebaiknya dipercepat\". Artinya sebelum tahun 2024.  Mana yang benar dan akan terjadi ? Kita ikuti dan perhatikan dengan seksama.  Kemarin ada pelajaran penting yang diingatkan saat Isra dan Mi\'raj, yaitu salah satu ayat yang diperlihatkan tentang orang yang mencari kayu bakar, mengikat, dan memikul. Cukup berat dan payah. Tetapi ia terus saja mencari, mengikat, dan memikul. Jibril menerangkan itulah tipe orang yang terus menerus meminta untuk memikul amanat meskipun sebenarnya sudah tidak mampu lagi.  Dia masih saja ingin menambah dan memperpanjang amanat.  Qur\'an mengingatkan bahwa manusia itu \"dholuman jahula\" (zalim dan bodoh). Pejabat yang zalim dan bodoh \'kebangetan\' akan hilang rasa malunya. Semua rasanya benar.  Orang yang memperpanjang amanat padahal sudah tidak mampu, jangan-jangan saat mati mayatnya nanti semakin memanjang. Jangankan langit, bumi pun enggan menerima.  Ah cuma satire saja, kok pak. (*)

Bersama Rakyat, PDIP-PKS Tolak Pemilu Diundur

Kalau PKS sebagai oposisi, wajar jika menolak. Tapi yang juga layak diapresiasi adalah PDIP. PDIP adalah partai pengusung utama pemerintah, tapi ikut juga menolaknya. Hasil keputusan rapat PDIP, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri menolak dengan tegas pemilu diundur. Alasannya, itu inkonstitusional. Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa WAJAR jika PDIP dan PKS punya pendukung militan. Sebab, kedua partai ini memiliki pendirian kuat ketika membuat keputusan. Dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, PDIP jadi oposisi. Gak noleh kanan kiri. Konsisten menegaskan posisinya sebagai oposisi sampai SBY selesai periodenya (2004-2014). Begitu juga dengan PKS, dua periode juga menjadi oposisi di era Presiden Jokowi. Meski sekutunya yaitu Gerindra telah berpaling dan meninggalkannya, PKS kekeuh dalam posisinya sebagai oposisi. Berbagai bujuk rayu dan tawaran posisi, PKS tetapi memilih jalurnya sebagai oposisi. Karena konsistensinya dalam sikap politik, kedua partai ini berhasil merawat kesetiaan para pendukungnya. Secara umum, para pemilih PDIP dan PKS itu militan dan die hard. Saat ini, nyaris hanya dua partai ini yang tetap konsisten menolak penundaan pemilu. PKS, sesuai dengan posisinya sebagai oposisi, punya sikap tegas: menolak pemilu diundur. Apapun alasannya, konstitusi harus dipatuhi yaitu pemilu lima tahun sekali. Ini perintah UUD 1945 (Pasal 22E). Juga disebutkan bahwa presiden hanya menjabat maksimal dua kali (pasal 7 UUD 1945). Diatur pula dalam UU Pemilu No 7 tahun 2017. Apalagi, jadual pemilu sudah ditetapkan oleh tiga lembaga/institusi yaitu DPR, Mendagri dan KPU. Jangan mencla-mencle dan menelan ludah sendiri, kira-kira itu yang dituntut oleh rakyat. Satu kata satu perbuatan.  Kalau PKS sebagai oposisi, wajar jika menolak. Tapi yang juga layak diapresiasi adalah PDIP. PDIP adalah partai pengusung utama pemerintah, tapi ikut juga menolaknya. Hasil keputusan rapat PDIP, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri menolak dengan tegas pemilu diundur. Alasannya, itu inkonstitusional. Kita tahu, Megawati adalah seorang ketua umum partai yang sangat teguh terhadap konstitusi. Megawati adalah tipe ketum yang punya prinsip. Komitmen konstitusionalnya dalam sejumlah kasus layak diacungkan jempol. Set back ke awal reformasi, di masa presiden Megawati-lah pemilu langsung diselenggarakan. KPK juga lahir di era Megawati. Ini adalah bagian dari jasa Megawati terhadap bangsa ini. Sejarah tak bisa berpaling dari fakta ini.  Seandainya 2004 pemilu diselenggaran secara tidak langsung atau dipilih oleh MPR, kemungkinan Megawati akan jadi presiden lagi. Kekuatan incumben memainkan peran besar dan menentukan. Tapi, itu tidak dilakukan oleh Megawati. Jika dua periode PDIP menang pemilu di bawah ketum Megawati, tentu bisa dijelaskan rasionalitasnya. Selain coattail effect dari Presiden Jokowi, faktor ketegasan dan konsistensi Megawati sangat berperan.  Terhadap dirinya sendiri, Megawati konsisten untuk menyelenggarakan pemilu sesuai konstitusi, apalagi untuk para kedernya. Ibu satu ini dikenal cukup memiliki komitmen terhadap konstitusi. Kecil kemungkinan komitmennya dikorbankan yang hanya akan menodai track record dan sejarah hidupnya. Langkah PDIP dan PKS menolak pemilu diundur nampaknya akan diikuti oleh partai Nasdem, PPP dan Demokrat. Entah Gerindra, belum tahu kemana arahnya. Tersisa tiga partai yaitu PKB, Golkar dan PAN. Bagi PKB, main-main dengan narasi seperti ini bukan persoalan serius. Konstituen PKB cukup solit dan gak mudah berubah oleh isu apapun. Sementara PAN dan Golkar, keduanya harus berhadapan dengan konstituen yang nampaknya makin kecewa. Muhammadiyah, melalui Sekjennya, Abdul Mu\'ti. menolak tegas pemilu diundur. Ini akan jadi bumerang buat PAN mengingat konstituen PAN mayoritas adalah warga Muhammadiyah. Apalagi, PAN sedang bersaing dengan partai Umat yang dipimpin mantan ketum Muhammadiyah Amien Rais. Bisa runyam. Intinya, PDIP dan PKS, mungkin juga diikuti oleh Nasdem, PPP dan Demokrat, telah mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah dan rakyat secara luas untuk tetap konsisten terhadap konstitusi dan menolak pemilu diundur. Wonosobo, 27 Pebruari 2022. (*)

Oligarki dan Konspirasi Kejahatan Konstitusi

Betapa luar biasa hebatnya rezim ini. Tidak punya malu dan merasa tidak berdosa menjalankan pola pemerintahan yang machiavellis. Setelah sukses menghancurkan sistem dan melakukan kejahatan negara yang menimbulkan kesengsaraan hidup rakyat, begitu berani dan percaya diri, mengupayakan penundaan pemilu 2024. Sebuah akal-akalan konspirasi kejahatan konstitusi yang ingin melanggengkan kekuasaan oligarki. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI DALAM beberapa dekade panjang menguasai kekayaan sumber daya alam. Mengatur dan memerintah birokrasi dengan kebijakan ekonomi, politik dan hukum. Oligarki kini semakin berjaya dengan mengebiri konstitusi. Syahwat menunda Pemilu 2024 merupakan rencana konspirasi kejahatan konstitusi sebagai upaya melanggengkan puncak kekuasaan oligarki di negeri demokrasi buta tuli, lagi tirani ini. Demokrasi kapitalistik yang transaksional, yang dibajak segelintir kepentingan sebagai alat legitimasi rezim dan kekuasaan oligarki. Indonesia semakin menjadi negara dengan prototipe tanpa bentuk dan barbar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Selain maraknya korupsi bergerombol, utang berlimpah, perilaku dan kebijakan rezim sudah tebal muka, tidak manusiawi, beringas dan menindas rakyat. Di tengah situasi dan kondisi terancam kebangkrutan nasional dan cenderung menjadi negara gagal. Rezim di bawah kendali oligarki terus membangun wacana dan melakukan gerilya penundaan pemilu 2024. Sebuah manuver politik biadab dengan jurus mabuk yang membahayakan  kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain bertentangan dengan konstitusi, termasuk di dalamnya itu telah mengangkangi UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 7 Tahun 2017. Adanya pemikiran dan hasrat menunda pemilu 2024 atau dengan kata lain memperpanjang masa jabatan presiden, bukan hanya sebagai upaya yang melanggengkan kekuasaan oligarki beserta ternak-ternaknya berupa birokrat dan politisi hipokrit. Lebih dari itu merupakan upaya konspirasi kejahatan konstitusi. Di mana seluruh rakyat tahu dan menyadari persekongkolan jahat tersebut akan diwujudkan dengan cara apapun. Terlebih lagi ketika semua instrumen kenegaraan seperti institusi pemerintahan, partai politik dan kekuatan stage holder termasuk media mainstream dan sebagian besar organisasi kemasyarakatan dan keagamaan telah menjadi sub-koordinat kekuasaan oligarki. Menjadi semakin lengkap kebobrokan rezim dan penyelenggaraan negara, jika saja sampai terjadi penundaan pemilu 2024. Meskipun saat ini masih menimbulkan polemik dan ada beberapa partai politik yang menolaknya. Rakyat tetap pesimis dan skeptis. Sesuatu yang biasa dimainkan, sebagai bagian dari dramatisasi dan bagian dari tawar-menawar politik yang membungkus uang dan jabatan. Birokrasi dan para politisi terlanjur dicap sebagai bromocorah dan bajingan kekuasaan. Seolah-olah mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat, ujung-ujungnya menanggok harta dan jabatan sebagai bayaran menghianati negara bangsa. Dengan demikian, gencarnya mengupayakan guna menggolkan amandemen terbatas guna memuluskan penundaan pemilu 2024 dengan pelbagai cara termasuk membeli partai politik di parlemen. Tanpa disadari rakyat menjadi terobosan \"blessing in the sky\" dari rezim untuk menutupi kegaggalan dan dampak kehancuran negara bagi rakyat, tapi menguntungkan oligarki. Sesungguhnya, berpikir dan membayangkan penundaan pemilu saja, telah  menjadi sesuatu yang haram jadah di mata rakyat Indonesia dan amabat konstitusi. Apalagi memperpanjang jabatan presiden yang buruk ini. Rencana konspirasi kejahatan konstitusi itu, bukan saja membuat rakyat muak terhadap distorsi  penyelenggaran negara yang telah menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat selama ini. Lebih dari sekedar bertentangan dengan konstitusi, menuda pemilu 2024 itu menjadi konspirasi kejahatan konstitusi yang bisa jadi menimbulkan kejahatan peradaban manusia lainnya di negeri ini. Berpotensi akan membawa negara lebih dalam lagi ke jurang kehancuran, mengubur Pancasila, UUD 1945 dan NKRI karena rezim pemerintahan yang paling buruk dan bengis dalam sejarah republik berdiri. Sebuah kedok dan siasat rezim untuk semakin lama berkuasa mewakili kepentingan oligarki,  dan penderitaan rakyat yang panjang dan tak terkira. Jadi, alangkah tak pantasnya bicara tentang penundaan pemilu 2024.  Lebih layak dan beretika adalah presiden mundur dari jabatannya karena gagal memimpin negara. Pilpres 2024 yang dimajukan, dan presiden yang dimundurkan dari jabatannya. Mundur secepatnya dan sekarang juga. Presiden Mundur Kepura-puraan adalah sifat kuat pada rezim ini. Selain pencitraan yang berujung kebohongan, seolah baik dan berhasil, terus dibuat menutupi tindakan buruk dan keji rezim yang ada di bawah ketiak oligarki yang terlihat percaya diri meski tanpa nurani. Survei pendapat publik terus direkayasa. Bagaikan memesan barang apa pun yang dimaui, semuanya bisa dibeli yang penting ada uang berlimpah. Uang berlimpah untuk nafsu kekuasaan, namun cekak untuk membangun negara. Tanpa menggunakan akal sehat dan merasa bersalah, survei diadakan mengumbar tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap kinerja rezim, sementara kegagalan pembangunan di segala lini dan penderitaan hidup rakyat tersebar di mana-mana. BuzzerRp, para penjilat, dan pengemis kekuasaan, selalu beramai-ramai mengumandangkan paduan suara kepalsuan. Hingar bingar dan kebisingan memuja-muji rezim, dilakukan sebisanya untuk menghilangkan KKN dan kejahatan negara lainnya yang begitu nyata dan telanjang. Sementara para birokrat, politisi dan kebanyakan intelektual serta tokoh keagamaan berangsur-angsur berubah menjadi ternak-ternak oligarki. Bersuara hanya demi uang dan jabatan, atau setidaknya mereka diam  mengamankan kepentingannya. Kini saat strategi sihir massal survey lembaga konsultan publik yang penuh kepalsuan dan menjadi corong penguasa, semakin memenuhi ruang publik. Rencana busuk menunda pemilu 2024 yang otomatis memperpanjang masa jabatan presiden mulai digelar, dan strategi konspirasi kejahatan konstitusi mulai dijalankan sebagaimana UU Omnibus Law dan IKN sudah berhasil diwujudkan. Sepertinya seluruh rakyat Indonesia bodoh permanen dan layaknya kerbau yang dicocok hidungnya seperti pejabat yang menjadi ternak oligarki. Tanpa kesadaran kritis dan tanpa perlawanan berarti, rakyat hanya harus tunduk dan pasrah menerima kebohongan dan penindasan rezim. Di mata rezim, rakyat hanyalah mainan politik dan korban ambisi nafsu kekuasaan semata. Pada akhirnya, rakyat harus memilih bangkit melawan atau diam tertindas. Menghentikan semua kepura-puraan dan kebohongan publik selama ini. Termasuk menyikapi dengan tegas dan berani soal kebijakan menunda pemilu 2024. Sembari bersikap lantang dan tanpa tedeng aling-aling, bahwasanya memajukan pemilu 2024 dan menuntut mundur presiden sekarang juga, itu lebih tepat bagi keselamatan dan kelangsungan negara dan bangsa Indonesia. (*)