OPINI
Kasus Anton Permana dan Wajah Penegakan Hukum di Indonesia
Oleh Hafid Abbas - Komisioner dan Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017) BARU saja saya membaca postingan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H dari Anton Pernama yang sudah terkirim sejak di hari Idul Fitri, 2 Mei 2022 lalu. Dituliskan di postingan itu: “seiring lantunan takbir di hari yang fitri, terangkat doa terbaik, semoga Allah SWT memberikan kebaikan, kesehatan, keberkahan, keluasan rezeki dan kemudahan dalam setiap urusan kita, dunia dan akhirat. Atas segala khilaf dan salah, kami memohon maaf lahir dan batin…” Ketika membaca postingan itu, saya merasa terbebani karena mengapa tidak membaca pesan itu lebih awal sehingga tidak begitu telat saya meresponnya. Saya kemudian membayangkan keadaan Anton Pernama yang sudah hampir dua tahun terakhir ini terjerat dengan satu kasus hukum. Anton Permana yang dikenal sebagai penulis dan pengamat sosial politik, dan Alumni PPRA Lemhannas RI Tahun 2018, ditangkap polisi pada pukul 24.00-02.00 WIB dini hari, Selasa, 13 Oktober 2020. Ia dijemput paksa oleh polisi di rumah saudaranya di daerah Rawamangun, atas dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena petugas yang menjemputnya berasal dari Direktorat Tindak Pidana Siber, Bareskrim, Mabes Polri (Antara, 13/10/2022). Sejak ditangkap, Anton sudah menjalani kasus hukumnya selama hampir 19 bulan, dan telah menjalani 64 kali proses persidangan di Pengadilan, dan hingga saat ini belum ada keputusan apa pun apakah ia bersalah atau tidak. Pada 27 Mei 2021, setelah menjalani masa tahanan selama 7,5 bulan di Bareskrim Mabes Polri, Anton mendapatkan penangguhan penahanan setelah mendapatkan jaminan dari belasan tokoh terkemuka di negeri ini, antara lain: Refly Harun, Jimly Asshiddiqie, Said Didu, Rocky Gerung, Laode Masihu Komaluddin, dan lainnya. Masa persidangan yang sudah berlangsung 64 kali itu adalah satu proses panjang yang tentu amat melelahkan. Anton yang berdomisili di Batam bersama anak dan isterinya, persidangan yang berlangsung di Jakarta, tentu persidangan itu sendiri sudah satu bentuk penghukuman yang amat berat. Berdasakan realtias dan pertimbangan atas kasus Anton, dari perspektif HAM, berikut ini adalah sejumlah bukti-bukti empris atau best practices yang dapat dijadikan masukan komparatif bagi pihak-pihak terkait. Pertama, di Norwegia, 23 Juli 2011, Anders Behring Breivik, usia 32 tahun melakukan aksi terorisme dan pemboman gedung di pusat Pemerintahan di Oslo yang menewaskan 8 orang, dan kemudian pelaku melarikan diri ke Pulau Utoya, sekitar 30 km dari Oslo dan kemudian berhasil lagi melakukan pembunuhan massal yang telah menewaskan lebih 90 orang, umumnya anak usia belasan tahun yang tengah berkemah di pulau itu. Tragedi berdarah ini dinilai oleh Pemerintah Norwegia sebagai kejahatan kemanusiaan terburuk di Norwegia sejak Perang Dunia Kedua. Anders Behring Breivik, dijerat dengan undang-undang anti terorisme, untuk mendapatkan hukuman terberat menurut undang-undang Norwegia. Meski demikian, esensi penghormatan HAM terhadap Anders sebagai manusia, ternyata Polisi hanya memerlukan waktu delapan minggu untuk menuntaskan penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana kasus yang menimpa Anton Permana yang terlihat tidak seberat dengan kasus Anders di Norwegia, namun penanganannya terlihat jauh lebih rumit dan sudah berlangsung hampir dua tahun dan telah menjalani sidang perkara sebanyak 64 kali. Keistimewaan Norwegia, hukum tidak diintervensi oleh kekuasaan politik. Proses hukum yang dijalani Anton sungguh tragis, dan terlihat tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip pemajuan dan perlindungan dan hak asasi manusia yang bersifat universal. Kedua, pada Helsinki Accords (1975) terdapat \"Guidelines for Cooperating in the Fields of Economics, Science and Technology, and of the Environment,\" yang merekondasikan agar dihilangkan semua hambatan yang membatasi seseorang mengemukakan pendapat dan melakukan perjalanan ke dalam dan ke luar negeri bagi kepentingan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi: exchanges and visits as well as other direct contacts and communications among scientists for consultation, lecturing, and conducting research (including the use of laboratories or libraries); international and national conferences, symposia, seminars, courses, and other meetings of a scientific and technological character, involving the participation of foreigners; and participation in international scientific and technological cooperation programs, such as those of the United Nations Economic Social Council or other international institutions. Bahkan pada 1997, Komisi HAM PBB menerbitkan satu working paper yang menegaskan perlunya impunitas bagi para Ilmuwan terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berpindah (the rights of free movement). Dalam working paper tersebut dinyatakan: ‘’travel restrictions, by limiting the ability of scientists and scholars to visit or communicate with their colleagues in other countries, violate the principle of free association, and the right to receive and disseminate information.’’ Kelihatannya alasan mengapa para ilmuwan dan pengamat seperti halnya Anton Pernama mendapat perhatian khusus dari masyarakat internasional dan PBB, tidak lain adalah karena untuk mengenang dan menghormati pengorbanan Sokrates dan Galileo Galilie. Pada suatu hari di tahun 399 SM, Pengadilan Athena menjatuhkan hukuman mati kepada Socrates karena berani berpendapat berbada dengan Raja. Demikian juga Galileo Galelie yang dibatasi kebebasannya, dicekal dan bahkan menjalani tahanan rumah seumur hidup, hingga meninggal pada 1642 karena berani berbeda pendapat dengan otoritas Gereja Roma yang menganggap bahwa bumilah titik pusat tata surya. Pengorbanan Socrates dan Galileo Galelie dinilai sudah lebih dari cukup betapa darma kekuasaan memangkas kebebasan gerak dan kebebasan berpikir para ilmuwan. Menarik apa yang telah diungkapkan William Ewart Gladstone, “We look forward to the time when the power of love will replace the love of power. Then will our world know the blessing of peace.’ Karenanya, jika Anton bersuara berbeda dari suara penguasa, semestinya tidak ditanggapi secara berlebihan. Indonesia sebagai negara Anggota PBB, semestinya juga tunduk pada ketentuan internasional dalam perancangan, pembentukan dan penerapan hukumnya. Kita sungguh mendambakan suatu masa kekuatan atau kekuasaan cinta (the power of love) akan menggantikan cinta kekuasaan (love of power). Jika itu terwujud dunia kita akan mengetahui indahnya kedamaian. Semoga negeri kita yang telah memilih jalan demokrasi sejak lebih dua dekade silam merupakan pilihan terakhir, the point of no return, dan semoga semua undang-undang kita dapat memenuhi standar HAM, bukan standar mereka yang menyembah pada kekuasan dengan menindas yang lemah, yang akhirnya jalan demokrasi dan supremasi hukum yang telah kita pilih di penghujung abad ke-20, akan hanya jadi bayang-bayang fatamorgana yang indah belaka, yang akhirnya berujung pada otoritarianisme. Akhirnya, menarik direnungkan tuturan William Scott Downey, seorang ilmuwan dan pengamat peradilan AS di abad ke-20, “Law without justice is a wound without a cure” – Hukum tanpa keadilan bagai luka yang tidak akan pernah sembuh. (*)
Rizal Ramli Sosok yang Tepat dalam Mengatasi Permasalahan Bangsa Indonesia ke Depan
Oleh Tito Roesbandi - Ketua Umum Komite Peduli Indonesia HASIL survei LPM Milenium sebulan yang lalu (4/4) tentang kriteria pemimpin Indonesia setelah Jokowi menyimpulkan bahwa kebanyakan rakyat inginkan Presiden yang mampu bereskan krisis ekonomi. Kriteria pemimpin yang paling tinggi dipilih rakyat adalah presiden yang memiliki kriteria; Paham & mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis ekonomi, sebanyak 89,8 persen, artinya isu kesejahteraan dan perbaikan ekonomi masyarakat masih yang sangat tinggi diharapkan oleh masyarakat. Begitu juga kriteria tertinggi kedua. Masyarakat menginginkan presiden yang punya pengalaman di pemerintahan, hampir 89,6 persen responden menginginkan hal tersebut. Saat ini belum satu pun partai secara formalistik melalui prosedur kongres/ munas/ raker ataupun konvensi memutuskan pasangan calon presiden & wakil presiden. Jadi KPI mengamati dari nama-nama calon presiden baik yang dimunculkan melalui dukungan para relawan ataupun berbagai survei yang “heboh” dengan nama-nama yang dimunculkan melalui survei. Survei masih merupakan “rekayasa”, figur yang populer karena sedang manggung di kekuasaan eksekutif. Apakah itu jabatan Menteri ataupun Gubernur. Sebagian lagi “diciptakan meroket” hasil survei nya karena “disenangi/ diciptakan” oleh olikargi sebagai penerus kekuasaan mereka (status quo). Tanpa dikaitkan dengan prestasi mereka selama menjabat. Ada juga nama yang digadang karena “penasaran” sudah berkali-kali maju berlaga sebagai capres lagi, bahkan sudah tiga kali gagal. Hasil survey LPM Milenium sebenarnya suatu kemajuan pandangan bangsa Indonesia terhadap pemimpin, membuktikan pula bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi silau dengan cara pandang lama lebih mengutamakan faktor emosianal tentang “sosok” seperti ketampanan, pintar bertutur kata, style “merakyat” bergaya sederhana, bersepatu ket. Akan tetapi hasil survei lebih subtantif, sangat tinggi kepada sosok yang berpengalaman/ track record, serta kemampuan mengatasi problem. Saat ini problem terparah Indonesia yang diwariskan oleh pemerintah Jokowi adalah masalah ekonomi. Hutang yang sangat tinggi baik Pemerintah maupun BUMN. Beban bunga yang menjadi beban APBN. Banyak BUMN terancam bangkrut karena besarnya hutang dan jatuh tempo. Infrustruktur yang menjadi beban karena tidak produktif bahkan terancam mangkrak. Mafia pangan yang meraja lela. Hal ini pekerjaan yang maha berat terutama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dari nama-nama yang muncul/ dimunculkan selama ini sebagai capres ada dua kategori, pertama yang sedang manggung di kekuasaan karena jabatan mereka di Legislatif, Eksekutif dan Ketua Partai sering muncul/ dimunculkan di Media seperti ; Puan Maharani (Ketua DPR-RI), La Nyala Matalliti (Ketua DPD-RI), Prabowo Subianto (Menhankam), Erick Thohir (Menteri BUMN), Sandiaga Uno (Menteri Ekonomi Kreatif), Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian/ Ketua Umum Golkar), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Ridwan Kamil (Gubernur JABAR), Ganjar Pranowo (Gubernur JATENG), Jenderal Andika Perkasa (Panglima TNI), Agus Harimurti Yudhoyono (Ketum Partai Demokrat), Muhaimin Iskandar (Ketum PKB) Kategori kedua adalah tokoh nasional yang saat ini tidak punya jabatan apa-apa dikenal oleh media karena kritis dan solutif terhadap pemerintah seperti ; Dr. Rizal Ramli (Mantan Menko Perekonomian dan Mantan Menko Maritim & Sumber Daya) dan Jenderal Purn. Gatot Nurmantio (Mantan Pamlima TNI). Komite Peduli Indonesia (KPI) melakukan pembedahan kepada setiap calon tersebut, semua calon dibedah melalui 2 kriteria hasil survei LPM Millenium, dengan penambahan satu kriteria hubungan dan pergaulan dengan luar negeri, karena bagaimanapun solusi terhadap beban ekonomi adalah kecakapan pergaulan dan kewibawaan serta keberanian di dunia Internasional. Hanya tiga calon yang punya latar pengetahuan dan pengalaman dibidang ekonomi yakni Dr. Rizal Ramli, Sandiaga Uno titik beratnya keahliannya adalah ekonomi usaha, bukan makro ekonomi , Airlangga yang kebetulan saat ini punya jabatan sebagai Menko Perekonomian, namun kegagalan pemerintahan Jokowi meningkatkan kesejahteraan merupakan juga kegagalan dirinya. Dengan demikian kriteria LPM Milenium ada pada Dr. Rizal Ramli demikian juga terhadap kriteria pergaulan ditingkat international serta keberanian pergaulan dengan Negara didunia, ada pada Rizal Ramli (RR). Bonus lebihnya RR dikenal karena pemikirannya yang sangat pro-rakyat, kritis dan solutif. Sebagai penutup KPI ingin, sepertinya juga keinginan semua rakyat terbukti banyaknya gugatan masyarakat kepada MK – RI melalui Preshold 0 % agar semua calon diatas, sebanyak 14 orang dapat dicalonkan oleh Parpol sebagai capres dan cawapres. Kemudian baru pada putaran kedua muncul dua pasang calon yang dipilih rakyat, jadi bukan cuma dua pasang calon (ada juga keinginan calon tunggal) hanya ditentukan oleh oligarki partai dan oligarki pengusaha. Kemudian rakyat di/ terpaksa memilihnya. Untuk hal tersebut KPI meminta agar Hakim-hakim MK- RI jangan menjadi Pengawal Tirani, seharusnya menjadi Pengawal Kedaulatan Rakyat. Agar memutuskan preshold/ ambang batas pencalonan presiden nol persen, sehingga semua partai bisa mengajukan pasangan calon presiden. Bogor, 07 Mei 2022
Presiden Bersenang-senang di Tengah Penderitaan Rakyat
Oleh Tjahja Gunawan - Wartawan Senior FNN PADA momen Hari Raya Idul Fitri tahun ini, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menjadi tuan rumah peringatan Idul Fitri di Gedung Putih, hari Senin (2/5/2022). Pada momen itu Biden menyerukan pentingnya sikap toleransi dan menyatakan perang melawan Islamofobia. Itu yang dilakukan Presiden Amerika yang note bene non muslim dan memimpin negara besar yang mayoritas rakyatnya juga non muslim. Lalu apa yang dilakukan Presiden Indonesia yang konon memimpin negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam? Pada hari pertama hari raya Idul Fitri, Presiden RI Joko Widodo sengaja meninggalkan Istana Kepresidenan di Jakarta. Dia lebih memilih merayakan Idul Fitri di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Setelah itu, Jokowi dan keluarganya pergi bersenang-senang liburan ke Pulau Bali. Salahkah apa yang dilakukan Jokowi dan keluarga? Tentu tidak. Jika beliau sudah tidak menjadi Presiden RI lagi, boleh-boleh saja Jokowi dan keluarganya mau keliling dunia sekalipun. Itu hak dia. Yang menjadi masalah, sampai saat ini Jokowi masih menjabat sebagai Presiden RI dan sebelumya dia meminta kepada masyarakat yang mudik Lebaran agar pulang lebih awal untuk menghindari kemacetan. Eh...dia sekarang malah justru pergi piknik ke Bali. Menggunakan pesawat kepresidenan dan iring-iringan kendaraan Paspampres, mungkin tidak akan sampai menimbulkan kemacetan lalu lintas, tapi anggaran negara yang nota bene bersumber dari duit rakyat Indonesia, dipakai untuk kepentingan piknik keluarga presiden ke Bali akan membuat APBN semakin kering kerontang. Kepada masyarakat yang mudik, presiden menghimbau agar pulang lebih awal. Sementara presiden sendiri, baru pergi liburan dan entah kapan kembali menjalankan tugasnya sebagai presiden. Makin lengkap sudah julukan yang disematkan masyarakat kepada Presiden Jokowi: Antara yang diucapkan dengan apa yang dilakukan berbanding terbalik. Dalam kondisi bangsa Indonesia saat ini yang diterpa berbagai persoalan, seorang presiden seharusnya bisa memiliki sikap sense of crisis. Tidak mengumbar kesenangan pribadi secara vulgar kepada masyarakat yang sebagian besar mengalami kesulitan ekonomi akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup. Saat ini bangsa ini juga menghadapi kemiskinan dan pengangguran yang angkanya terus meningkat. Belum lagi utang pemerintah yang terus membengkak sementara praktek korupsi merebak dimana-mana. Pamer Kemewahan Ditengah situasi bangsa seperti itu, patutkah seorang Presiden memamerkan kemewahan diri sementara rakyatnya menderita? Alih-alih menunjukan sikap empati dan mencari solusi-solusi atas berbagai persoalan rakyat, Presiden Jokowi justru menampakan sikap cuek bebek bahkan cenderung membiarkan rakyat Indonesia semakin menderita. Bagi sebagian orang bijak, bangsa Indonesia saat ini mengalami kecelakaan sejarah yang sangat memprihatinkan. Mempunyai pemimpin yang memiliki sifat kontradiktif, antara ucapan dan tindakannya selalu bertolak belakang. Tidak peduli dengan penderitaan rakyat Indonesia, tidak peduli dengan utang yang membengkak. Yang penting berbagai proyek mercusuar bisa dibangun. Tetap memaksakan membangun kereta cepat Jakarta-Bandung, membangun Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Padahal tidak ada satupun negara dan investor asing mau memberikan utang. Mereka enggan berinvestasi di IKN, karena dari aspek apapun proyek tersebut memang tidak layak dibiayai alias proyek halusinasi. Di tengah situasi krisis ini, seharusnya seorang presiden makin dekat dengan rakyatnya. Kedekatan dan kepedulian presiden itu bukan ditunjukan dengan cara melempar barang dari atas mobil kepresidenan saat dia melewati kerumunan orang-orang. Justru sikap seperti itu merupakan sifat orang jahil. Seorang presiden yang memiliki wibawa dan peduli pada rakyatnya, dia akan hadir pada momen-momen yang tepat. Misalnya, saat hari Raya Idul Fitri belum, Presiden dan keluarga bisa melakukan open house di Istana Negara Jakarta. Kalau presiden ketakutan tertular virus, berlakukan protokol kesehatan dengan ketat saat bertemu dan bersalaman dengan masyarakat yang datang. Ini jangankan mengundang rakyat datang ke Istana Kepresidenan, bersilaturahmi dengan jajaran menterinya pun tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi. Cuma Menhan Prabowo Subianto yang datang menemui Jokowi di Yogyakarta. Pak Jokowi, kalau bapak memang sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi Presiden RI sebaiknya segera mendatangi MPR-RI kemudian menyatakan mundur. Sikap seperti itu jauh lebih terhormat daripada terus menerus menjadi beban rakyat Indonesia. Saya yakin para pendukung bapak pun akan legowo menerima keputusan politik Anda. Sebab tidak sedikit pendukung Pak Jokowi yang saat ini mengalami kesulitan ekonomi. Bangsa Indonesia yang jumlah penduduknya banyak ini, tidak bisa dikelola secara amatiran seperti yang Pak Jokowi lakukan selama ini. Memberi kepercayaan dan tanggungjawab kepada seorang menteri seperti Luhut Binsar Panjaitan dengan memberi dia banyak jabatan, juga tidak bisa menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini. Sebaliknya, justru hanya akan memberikan kesempatan kepada Luhut Binsar Panjaitan untuk semakin menumpuk kekayaan pribadinya melalui jabatan yang dimilikinya sekarang. Ingat Pak Jokowi, pangkat dan jabatan tidak ada yang kekal di dunia ini. Semuanya akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun akhirat. Di dunia mungkin bisa lolos, tapi pengadilan akhirat akan tetap menanti bapak.*** Artikel ini ditulis di pelataran mesjid di Kawasan Serpong, Tangerang Selatan
Jokowi Piknik, Sinyal Rehat Mendekat
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan LEBARAN tahun ini piknik dan full rehat Presiden Jokowi kelihatannya. Tidak ada open house halal bi halal meski dengan Menteri sekalipun. Menteri yang menemuinya di Yogyakarta hanya satu yaitu Prabowo Subianto. Itupun sowan sebelum bersafari politik pencapresan. Pak Jokowi hilang dari kesibukan Istana Merdeka Jakarta. Berita piknik lanjutan setelah Yogyakarta adalah Gianyar Bali bersama anak cucu. Ada kaesang, Gibran juga Bobby Nasution. Cucu-cucu Jan Ethes, Lembah Manah, Sedah Mirah dan Panembahan Al Nahyan. Dengan kawalan Paspampres keluarga ini ber-safary journey, melihat pertunjukan burung (bird show), dan harimau putih. Adalah hak Presiden dan keluarga untuk jalan-jalan akan tetapi dengan mengabaikan open house \"ritual\" lebaran sebenarnya cukup mengganggu. Silaturahmi dengan pejabat dan rakyat yang semestinya didahulukan kini terabaikan. Jokowi yang biasa jago dalam pencitraan telah membuang momentum spiritual itu. Adakah piknik dan rehat sekeluarga ini sebagai sinyal Jokowi sudah lelah, putus asa, dan bersiap untuk menikmati istirahat dari kesibukan Istana? Sangat mungkin. Ada tiga indikasi kuatnya, yaitu: Pertama, gagal mengupayakan perpanjangan jabatan 3 tahun dan miskin dukungan untuk amandemen UUD masa jabatan 3 periode. Partai pendukung Presiden yakni PDIP justru menjadi penentang kerasnya. Kedua, masa depan proyek-proyek andalan suram. Bandara sepi, Kereta Api China mangkrak, OBOR redup, IKN masih mimpi, investor Jepang hengkang, Saudi tidak jelas, Elon Musk pun berkaos hitam. Luhut makin cemberut. Ketiga, perlawanan lapangan sulit diredam apakah mahasiswa, buruh, purnawirawan, umat Islam. Oposisi semakin menguat dan menggumpal keras. Upaya mematahkan dengan membungkam aktivis ke penjara tidak berefek jera. Justru membuat rezim lebih kental berpredikat zalim. Jokowi bertahan sampai 2024 saja merupakan prestasi atau \"blessing in disguise\". Kendaraan sedang meluncur ke bawah bukan berjalan datar. Harapan berubah peran hingga berujung bagus atau husnul khotimah tidak terlihat bahkan semakin tertutup. Jokowi meredup. Mentor strateginya AM Hendropriyono uzur karena sakit, Luhut Panjaitan sudah diposisikan musuh bersama, isu akan mundur pun merebak, sementara Kepala BIN Budi Gunawan tidak berada di kubunya. Jokowi kehilangan pegangan. Mungkinkah para taipan masih setia? Belum tentu. Mereka adalah bandar yang berkalkulasi pragmatis, dapat memegang dan mudah pula melepas. Rakyat sudah berat bertoleransi dan hilang kesabaran untuk tetap memberi mandat. Meski disebut intoleran atau radikal atas sikap kritis atau perlawanannya namun nampaknya sudah tidak peduli lagi. Rakyat ingin pengelola negara segera berganti atau berubah. Ada tiga opsi yang mungkin terjadi. Pertama, Presiden Jokowi ditinggalkan baik oleh partai koalisi maupun para Menteri. Koalisi sudah retak berjalan sendiri-sendiri. Akan ada Menteri yang mengundurkan diri dan reshuffle tidak menolong. Kedua, Presiden dan Wapres mengundurkan diri hingga trium virat menggantikan untuk kemudian MPR memilih Presiden Wakil Presiden hingga 2024. Prabowo-Puan mungkin serius sedang mengincar. Ketiga, Jokowi tidak mundur dan bertahan meski hancur-hancuran. 2022-2024 menjadi fase babak belur. Risiko siap ditanggung sebagai akhir yang buruk \'su\'ul khatimah\'. Untuk pilihan ini Jokowi dan anak-anak terancam penjara. Nampaknya dalam keputusasaan, mungkin ditunjang nasehat paranormal, maka pilihan berhenti di perjalanan lebih rasional dan membuka peluang Jokowi dan keluarga untuk dapat selamat. If he is lucky. Itu jika pak Jokowi masih beruntung. Jika beruntung. Bandung, 7 Mei 2022
LBP, Menyerahlah!
Oligarki saat ini jelas adalah musuh bersama bagi kita. Dengan eksistensinya yang kerap tersamar, mereka sejatinya adalah imagined enemy. Untuk itu diperlukan penguatan kesadaran bagi siapa saja akan bahaya oligarki ini. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ISU info yang konon didapat dari putrinya Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) langsung, bahwa ayahnya akan segera memilih pensiun dan meletakan seluruh jabatannya lalu tinggal di luar negeri (namun tidak diberitahu di negara mana?), beredar masif di media sosial (dunia maya). Info tersebut tentu tidak bisa serta merta untuk dipercaya, karena watak sikap politik selalu diselimuti wajah abu-abu dan bisa saja bentuk lain, hanya Test the Water. Posisi LBP yang telah menjadi common enemy rakyat dan khususnya umat Islam tidak bisa dinafikan dari stigma pejabat negara yang kekuasaannya melebihi peran Presiden. Bahkan, telah menempel status sebagai Riil Presiden dan Komandan Oligarki di Indonesia. Kebencian pada umat Islam ditandai dengan rekayasa pengendalian Covid-19 sebagai instrumen mengatur ibadah umat Islam, sementara LBP beragama Kristen, kecurigaan umat Islam bisa mengarah SARA yang berbahaya. Bahwa LBP membawa misi Yahudi untuk menyerang, melemahkan dan ingin menghancurkan umat Islam. Di samping stigma yang melekat perannya sebagai leader Oligarki. Watak LBP adalah watak Oligarki yang menempatkan kepentingan diri dan kroninya di atas segalanya, sehingga manakala ada kebaikan yang mungkin ditimbulkan untuk khalayak, itu lebih sekadar efek (yang kebetulan saja). Atau memang sengaja dirancang, namun tetap dalam rangka mengamankan kepentingan mereka saat ini atau jangka panjang. Mereka tidak segan-segan lagi memainkan banyak peran. Dalam situasi yang mengharuskan mereka terlihat membela demokrasi dan orang banyak, para oligarki tidak segan melakukan itu. Watak oligarki yang agile, adaptif, oportunis dan pastinya memiliki kesadaran politik tinggi. Hal yang menyebabkan mereka terus bisa eksis dan tidak mudah ditaklukan, sekelompok kecil pemilik kapital yang sangat besar, yang telah kehilangan sentuhan spirit equality (persamaan), karena terbenam dalam jerat kekuasan segelintir orang. Di atas kendalinya praktik oligarki bukannya semakin melemah melainkan saat ini semakin kuat dan arogan menindas rakyat dan merusak tatanan negara sekaligus dengan rakusnya menguasai, mengendalikan dan menguras sumber daya alam negara. Keberadan oligarki adalah salah satu benalu yang mewarnai kehidupan politik bangsa ini. Bahkan, berpotensi akan merusak negara karena semua aturan negara harus sesuai kehendaknya. Manakala pemerintahan atau penguasa mulai menggantungkan diri dan memberikan fasilitas kepada mereka, maka segera negara akan bergantung pada mereka. Akibatnya virus itu menjadi aktif dan menjalar kemana-mana. Situasi ini diperburuk dengan meredupnya kemandirian partai-partai. Sejak tahun 1970-an akhir, lambat tapi pasti partai-partai makin mengandalkan campur tangan “orang kuat” atau pihak eksternal. Akibatnya menjadi eksklusif, berorientasi top-down, dan akhirnya bergantung juga pada pemerintah dan kroni-kroninya. Dengan kata lain partai-partai itu makin tidak berdaya dalam genggaman Oligarki. Partai menjadi sekadar aksesoris demokrasi yang tidak lagi berpijak kuat di akar rumput. Di sisi lain, masa awal hingga pertengahan 1990-an, negara pun telah semakin bergantung pada oligarki, yang diantaranya telah menjadi pemain aktif di parlemen dan pada partai penguasa. Dalam rangka mempertahankan kekuasaan yang dibungkus dengan semangat pembangunan, rezim menyolidkan kelompok-kelompok pengusaha besar dalam barisan pendukungnya. Indonesia pun lengkap terjajah. Daya rusak yang ditimbulkan oligarki meliputi banyak dimensi. Tidak saja dalam moral politik yang saat ini makin terabaikan dan melahirkan petualang-petualang politik tanpa etika, namun pula terkait dengan tercerabutnya hak-hak masyarakat adat. Bukan saja terkait dalam soal meranggasnya pelaksanaan rule of law, namun juga kerusakan lingkungan fatal dengan kerugian material dan immaterial yang fantastis. Tidak saja merenggut hakekat demokrasi substansial, namun pula menggerus rasa keadilan sosial. Oligarki saat ini jelas adalah musuh bersama bagi kita. Dengan eksistensinya yang kerap tersamar, mereka sejatinya adalah imagined enemy. Untuk itu diperlukan penguatan kesadaran bagi siapa saja akan bahaya oligarki ini. Manakala ide besar oligarki sebagai musuh bersama bisa bergulir dan mudah-mudahan pada akhirnya bisa menguasai benak kebanyakan masyarakat kita, terutama generasi muda. Kita tidak perlu ragu, sebab perubahan besar kerap berawal dari soal yang sederhana, kadang hanya dari sekadar wacana. “Seorang pemain catur pemula segera belajar bahwa mengendalikan pusat papan caturnya adalah ide yang baik. Kesadaran ini akan muncul kembali secara tersamar dalam situasi yang jauh dari papan catur. Mungkin ada baiknya kita mencari hal yang setara degan pusat papan caturnya dalam situasi apapun, atau melihat bahwa peran pusatnya telah bergeser ke pinggir, atau menyadari bahwa tidak ada papan caturnya dan tidak ada tipologi tunggal ...” (Claude On Strategy, Tiga Von Ghyzy, Bolko Von Oetinger, ChristopherBassford, Eds., 2001). Sama dan sebangun dengan kuasa Oligarki dan China di Indonesia yang sulit untuk diajak kompromi karena memang ada pusat papan catur yang tidak bisa diajak kompromi. Justru yang terlahir para jongos yang sudah membabi buta – situasi tidak akan bisa dilawan dengan petisi dll. Jalan keluarnya rebut kembali tanpa kompromi. Pilihan bagi LBP dan geng Oligarki – terus bertahan dan akan dihancurkan rakyat atau meninggalkan Negara ini sebelum situasi terburuk terjadi dan menimpa dirinya. (*)
Lebih Jauh Tentang Rektor ITK Prof Budi Purwokartiko
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik DUA hari yang lalu, salah seorang interviewer (pewawancara) calon penerima beasiswa LPDP bercerita panjang lebar kepada saya tentang proses penyaringan itu. Intinya, dia menertawakan postingan Prof Budi Santosa Purwokartiko tentang kehebatan 12 mahasiswi tak berjilbab yang diwawancarainya itu. Prof Budi membanggakan ke-12 perempuan tersebut. Kepintaran mereka sangat mencengangkan bagi rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) yang berkedudukan di Balikpapan tersebut. Mereka cerdas-cerdas dengan penguasaan bahasa Inggris level cas-cis-cus. Pewawancara LPDP teman saya itu mengatakan, ke-12 mahasiswi yang diwawancara oleh Prof Budi itu pastilah anak-anak pintar. Sebab, mereka adalah mahasiswa terbaik yang mewakili perguruan tinggi masing-masing. Tak heran IP mereka di atas 3.5, bahkan hampir 4. Seleksi wawancara barusan diikuti oleh 2,200 mahasiswa terbaik, tercerdas, tertinggi IP-nya. Dari jumlah ini, yang diterima untuk LPDP sebanyak 50 persen atau 1,100. Nah, mengapa rektor ITK itu jumpa dengan 12 mahasiswi yang tidak berjilbab ala manusia gurun? Teman tersebut menjelaskan logikanya. Dalam arti, Prof Budi bertemu dengan 12 orang yang tak barhojab itu bukan secara kebetulan. Begini jalan ceritanya. Kata teman saya itu, biasanya mahasiswi berjilbab lebih suka memilih Eropa (khususnya UK) untuk kuliah S2 atau S3. Karena mereka tahu bahwa islamofobia tidak begitu kental dan masif di UK (Inggris). Sebaliknya, yang tidak pakai jilbab rata-rata memilih Amerika Serikat (AS). Islamofobia di sana sangat intens namun tanpa jilbab mereka merasa aman. Untuk tahun 2022 ini, teman saya itu bertugas mewawancarai calon penerima LPDP tujuan Eropa. Sehingga, dia lebih banyak jumpa yang berjilbab. “Pintar-pintar semua kok mereka, Bang,” ujar teman interviewer tujuan Eropa itu. Cas-cis-cus juga bahasa Inggris mereka. Jadi, yang dikirim ke Eropa dan AS memang harus pintar-pintar. Baik mereka berjilbab atau tidak. Teman itu mengatakan, Prof Budi SP bertugas memawancari mahasiswi LPDP tujuan AS. Rata-rata mereka tidak memakai jilbab. Di sinilah awal “penyimpangan” akal sehat Prof Budi. Disimpulkannya bahwa mahasiswi tanpa jilbab hebat-hebat semua. Tidak ada ucapan langit ketika wawancara. Tidak ada “insyaAllah”, tidak ada “qadarullah”, tidak ada “syiar”, dlsb. Tentang ini, teman saya pewawancara LPDP itu mengatakan bahwa ada panduan untuk interviewer. Misalnya, wawancara wajib dilakukan dalam bahasa Inggris dari awal sampai akhir. Dia menduga, inilah yang menyebabkan ucapan-ucapan religius itu tidak muncul. Singkat cerita, Prof Budi hanya mencari-cari justifikasi untuk sikap asli dia yang membenci Islam. Yang anti-Islam. Dia tidak suka perempuan muslimah menutup aurat. Meskipun mereka pintar, cerdas, smart. Dia tak suka kata-kata religius. Itu saja sebenarnya. Di balik sikap anti-Islam itu, ada satu hal fundamental yang belum terjawab. Yaitu, apa agama Prof Budi? Ini penting dan relavan untuk diketahui agar persepsi dan penyikapan terhadap rektor ITK ini lebih akurat. Supaya publik tidak keliru membuat kesimpulan tentang ujaran kebencian Prof Budi SP. Sebagai contoh, orang Islam yang melontarkan ujaran kebencian atau pelecehan Islam akan dirasakan berbeda kalau pelakunya non-muslim. Memang ujaran kebencian atau pelecehan tetaplah ujaran kebencian dan pelecehan, baik itu dilakukan oleh orang Islam atau bukan Islam. Namun, selama ini kalau pelakunya orang Islam biasanya dilabeli sesat, liberal, munafik, murtad, dsb. Sedangkan kalau pelakunya non-Islam akan disebut sektarianisme yang berpotensi menyulut konflik horizontal. Ini sangat berbahaya. Prof Budi SP belum diketahui identitasnya. Tidak ada satu pun hasil pencarian Google yang menyertakan keyakinan spiritual Pak Rektor. Di percakapan umum, ada yang mengatakan dia penganut kejawen. Ada yang menyebut dia Islam. Sementara teman saya pewawancara LPDP menduga Prof Budi bukan Islam. Tapi, tesis doktoral (S3) Prof Budi di Oklahoma University tahun 2005 menyajikan pembukaan dengan QS Surah al-Iqra. Saya yakin dia seorang muslim. Wallahu a’lam! Terlepas dari semua ini, Prof Budi Purwokartiko wajar dikenai pasal pidana ujaran kebencian. Tak diragukan lagi, “jilbab manusia gurun” itu tidak dapat diterima oleh umat Islam. Konon pula diucapkan oleh seseorang yang seharusnya memberikan keteladanan intelektualitas.[]
Kisah Kecebong, Kampret dan Kadal Gurun
Di negeri ini cerita yang menggambarkan hewan berperan seperti manusia, perlahan telah menjadi faktual. Dari kisah fiksi mewujud kisah nyata, dari dongeng fabel berubah menjadi layaknya naskah akademis dan historis. Bedanya hanya berganti peran dan posisi, kini perilaku manusia yang seperti hewan. Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI Sebagai generasi yang lahir di tahun 70-an, sejak anak-anak sudah akrab dengan buku bacaan maupun dongeng tentang fabel. Cerita yang mengisahkan aneka perilaku dalam kehidupan dunia binatang. Masa kecil penuh keceriaan dalam bermain dan sekolah kala itu, menyimpan keasyikan tersendiri ketika cerita dan dongeng memberi pelajaran dan nilai tersendiri. Suguhan cerita baik tentang kumpulan binatang maupun kisah-kisah petualangan manusia atau legenda tertentu begitu kuat membekas hingga dewasa dan memasuki usia lanjut. Begitu menarik dan berkesan karena bacaan cerita atau dongeng itu selalu menampilkan keragaman sifat dan karakter terutama yang ada pada dunia binatang. Meskipun peran binatang itu menampikan keseharian perilaku manusia, ada yang dzolim dan tertindas, ada pahlawan dan penghianat serta kebenaran melawan kejahatan. Seiring jaman dan perkembangan teknologi, dimana dunia digital lebih mudah dan cepat mengakses pelbagai informasi apapun. Tradisi membaca ataupun mendengarkan dongeng, semakin sulit dijumpai. Mungkin soal kepraktisan membuat budaya mendengar cerita dan dongeng dianggap tidak lagi efektif karena menyita waktu dan kalah oleh kesibukan yang lain. Padahal perangkat audio visual begitu mudah dijangkau, bisa dari gadget yang berlimpah fitur media sosial atau dunia sinema yang kini semakin canggih dan akseptabel serta mudah dijangkau semua lapisan masyarakat. Tapi sayangnya, semua kemudahan dan fasilitas itu semakin meninggalkan gaya bertutur maupun tutorial dari cerita dan dongeng anak-anak yang sejatinya mengandung hikmah berisi tentang makna hubungan dan interaksi sosial, penghayatan terhadap alam sekitar dan sesama mahkluk bernyawa serta banyak lagi pelajaran hidup lainnya. Boleh jadi generasi sekarang memang tak bisa terhindarkan dari semacam adagium, bahwasanya tiap anak ada jamannya dan tiap jaman ada anaknya. Atau mungkin saja telah terjadi pergeseran orientasi terhadap proses pendidikan anak. Terutama dari keluarga, lingkungan rumah dan sekolah, yang menempatkan kemampuan literasi dan belajar mengembangkan imajinasi sejak dini. Melalui dunia penalaran dan eksplorasi fiksi, sudah tak relevan, tak penting dan tak dibutuhkan lagi. Malah telah dianggap usang dan kuno. Sepertinya, situasi dan kondisi demikian itu melahirkan generasi sekarang menjadi terbiasa dengan yang praktis dan instan. Logika yang terbentuk banyak mengadosi kecenderungan serba kalkulasi dan hitung-hitungan. Menjadi sangat pragmatis dan transaksional. Semua diukur dengan seberapa besar harga dan keuntungannya, bukan seberapa penting nilai atau valuenya. Pada akhirnya cenderung menjadi generasi yang \"profit oriented\" semata dan anti sosial. Fenomena itu menyeruak ketika menjamurnya youtubers, tiktokers, gamers dll. di dunia internet. Anak muda terus larut mengejar pundi-pundi ekonomi melalui tayangan mengejar viewer dan subscriber. Pergaulan sosial telah dibatasi dengan off line dan on line, demi efisiensi dan efektifitas waktu, jarak, tenaga dan tentu saja secara finansial. Dualisme dan Fragmentasi Tak terbantahkan, era berlimpahnya informasi juga menimbulkan banyak masalah disamping kebermanfaatannya. Seperti keberadaan manusia dan benda-benda atau seuatu lainnya yang memiliki dualisme. Akselerasi teknologi informartika dan digitalisasi sangat dominan memengaruhi pola hidup masyarakat. Bahkan tidak kurang menjadi pola sekaligus instrumen strategis pada kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Apa yang kemudian disebut sebagai perangkat cyber, juga ikut menjadi dasar dan relevan menentukan pengambilan kebijakan pemerintahan baik secara sosial politik, sosial budaya, sosial ekonomi maupun sosial hukum dan keamanan. Penggunaan internet dan teknologi yang melekat di media sosial, sering menjadi bagian dari komunikasi massa, propaganda, tolok ukur dan sekaligus menjadi dasar menentukan keputusan-keputusan kekuasaan. Hampir satu dekade, terutama di lima tahun terakhir ini. Wadah media sosial bukan hanya sekedar mengalami senyata-nyatanya dualisme. Secara empiris dan terus meningkat grafiknya, penggunaan internet khususnya media sosial terus mengalami distorsi. Selain menyebarnya konten pornografi, peredaran narkoba, transaksi seks bebas dan kriminalitas secara on line. Media sosial juga ikut terpapar virus degradasi sosial dan disintegrasi bangsa. Selain menyalurkan hasrat permusuhan dan kebencian, agitasi hoax dan fitnah juga ikut bertumbuh-kembang semakin subur. Media sosial khususnya dan pemberdayaan internet secara masif juga mengalami fragmentasi sosial. Dunia keberadaban dan kebiadaban bercampur dan sulit dipisahkan. Etika dan norma berjibaku dengan bermacam penghinaan, pelecehan dan penistaan. Para buzzer, influencer dan haters tumpah-ruah menjadi pesakitan. Dunia binatang dalam cerita atau dongeng fabel dan dengan dinamika kemanusian berkumpul menjadi satu dalam ruang sosial publik. Tak bisa dibedakan mana yang binatang dan mana yang manusia. Semua itu terlihat dari identifikasi dan penyebutannya. Ada Kodok atau Katak atau Kecebong, ada juga Kalelawar atau Kampret dan Kadal Gurun, serta semua istilah-istilah binatang yang tidak lagi tabu dan serba permisif dilekatkan pada manusia. Kini, suasana kebangsaan Indonesia mengalami polarisasi yang cukup beresiko, berbahaya dan begitu memprihatinkan. Hanya lewat satu cuplikan tertentu di media sosial, realitas sosial terancam konflik horizontal dan konflik vertikal. Budaya kesantunan dan budi pekerti di adab ketimuran seketika berangsur-ansur menghilang. Ruang sosial publik terisi sesak dengan caci-maki dan hujatan. Mirisnya, istilah-istilah binatang diarahkan untuk menghakimi sesama anak bangsa. Rasanya luka itu begitu dalam dan membekas tak mudah kembali pulih. Persada Indonesia yang mulia dan luas ini hanya menjadi negara yang dipenuhi kebinatangan. Sementara kemanusiaan semakin sulit ditemukan dan begitu mahal untuk dimiliki. Begitulah ketika cerita dan dongeng fabel dilakonkan manusia. Sulit mewujudkan kehidupan rakyat yang menginsyafi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Jangankan untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan. Menghadirkan semangat kebangsaan dalam framing kebhinnekaan dan kemajemukan, sudah terseok-seok dan sering mengalami kebuntuan. Kisah Kecebong, Kampret dan Kadal Gurun menjadi episode panjang dan tak berkesudahan. Republik kini kering spiritualitas, gersang moralnya dan mengalami kemarau kemanusiaan. Bersamaan dengan itu kebinatangan rutin tampil dalam panggung-panggung sosial politik para pucuk dan alas grassroots. (*)
Ayo Buat Undang-undang Anti Islamophobia
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan ISLAMOPHOBIA sebagai sikap takut berlebihan kepada Islam ternyata masih, bahkan, semakin merajalela. Ironinya hal ini terjadi di negara Republik Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Tokoh dan kelompok Islamophobis menggonggong terus dengan indikasi mereka adalah peliharaan atau di bawah kendali orang kuat rezim berkuasa. Islamophobia di Indonesia adalah buntut dari \'clash of civilization\' dalam skala dunia dimana Barat berupaya untuk menggempur dan melumpuhkan kekuatan Islam di berbagai belahan dunia. Afghanistan Irak, Suriah, Bahrain, Yaman diporakporandakan. Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab dipegang dan dikendalikan. Terorisme menjadi isu strategis untuk menakut-nakuti. Negara Asia Tenggara tidak terkecuali. Aksi teror seakan marak yang sebenarnya diragukan keasliannya. Selalu ada pemain peran disana karena aksinya tidak rasional, tak jelas target, serta jaringan yang abu-abu. Framing Al Qaida, ISIS, JI, JAD, dan sejenisnya dibutuhkan untuk membangun keterkaitan. Setelah pembiayaan meredup, Islamophobia muncul dalam bentuk isu radikalisme, intoleransi, atau moderasi. Islam dan umat Islam yang dirusak pencitraannya. Buzzer dan penista agama berada di front depan Islamophobia. Dibanding terorisme maka isu radikalisme dan intoleransi itu lebih murah dan mudah koordinasinya. Soal daya rusak mungkin masih sama dan sebanding. Bahkan lebih. Intinya pelumpuhan dan memecah belah umat Islam. Sekularisasi dan liberalisasi sebagai penunggang program moderasi dan anti intoleransi. UU Anti Islamophobia harus segera dibuat dengan seperangkat sanksi atas pelanggarannya. Alasan stategisnya adalah : Pertama, dunia mulai mengubah framing Islamophobia. Amerika memproduk UU penghapussn Islamophobia. PBB mengeluarkan Resolusi dan menetapkan 15 Maret sebagai hari perlawanan Islamophobia. Kedua, di Indonesia kebijakan Islamphobia sangat kontra-produktif tetutama dalam membangun integrasi bangsa. Memusuhi umat Islam adalah kebijakan bodoh dan zalim. Diskriminatif dan sangat melanggar HAM. Ketiga, jangan biarkan penghina agama dan buzzer bayaran bergerak bebas menciptakan kegaduhan dan keonaran baik di media maupun di masyarakat nyata. Penghina dan buzzer adalah makhluk jahat yang harus dibasmi. Keempat, watak neo PKI dan pendukung Komunis selalu memojokkan agama dan menjadi pemanfaat Islamophobia. Musuh abadi PKI dan Komunis adalah umat beragama khususnya umat Islam. Kelima, UU yang ada termasuk pasal penodaan agama KUHP tidak cukup kuat untuk menghapuskan Islamophobia. Semakin banyak dan beraninya kaum Islamophobis kini menjadi bukti bahwa ancaman pasal-pasal yang ada kurang bermakna dan tidak berefek jera. Undang-Undang Anti Islamophobia dibuat untuk menciptakan kerukunan dan mengokohkan integrasi bangsa. Mendorong umat Islam untuk memaksimalkan peran konstruktif dalam membangun negeri. Kenyamanan dan perlindungan menjadi prasyarat agar umat lebih banyak berbuat. Aspek filosofis dan sosiologis sudah cukup mendasari keberadaan UU Anti Islamophobia. Tinggal yuridisnya yakni prosedur pembentukan UU tersebut. Hebat jika RUU diajukan oleh Pemerintah akan tetapi baik pula jika RUU ini adalah inisiatif DPR. Persoalan Islamophobia menjadi momen Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki citra dan meningkatkan kinerja. UU Anti Islamophobia adalah tuntutan agama, bangsa dan negara. Demi kebaikan bersama. Untuk Indonesia. Bandung, 6 Mei 2022 .
Adakah Kolerasi Hepatitis Misterius pada Anak dengan Vaksin Covid-19?
Perlu dibuktikan lagi secara lebih tajam dengan penelitian-penelitian dengan sample size lebih luas di negara-negara yang sudah memberlakukan Vaksinasi Covid kepada anak-anak. Oleh: Dr. Tifauzia Tyassuma, Epidemiolog dan Peneliti TULISAN ini dimuat Dr. Tifauzia Tyassuma di laman Facebook-nya, Kamis pagi (5/5/2022). Tapi, hanya dalam hitungan jam langsung kena banned selama 30 hari. Entah apa yang ada dalam benak penguasa saat seorang ilmuan peneliti yang selama tiga tahun terakhir ini telah menyampaikan kebenaran. Baik tentang pandemi, virus, vaksin maupun penyakit pasca pandemi. Riset empirisnya pun terbukti benar. Wartawan Senior FNN Iriani Pinontoan merajut kembali tulisan tersebut. Ingat baik-baik dua tahun lalu. Pada Desember 2019 China melaporkan 20 kasus Pneumonia misterius, yang kemudian dinyatakan sebagai penyakit C0VID-19. Dari 20 kasus, menyebar ke 220 negara. Sampai 5 Mei 2022 tercatat lebih dari 500 juta orang terinfeksi ringan sampai berat, dan 6 juta orang meninggal (diperkirakan jumlah riil sekitar 3 kali lipat, atau sekitar 18 juta orang riil meninggal, perkiraan saya bahkan faktor pengaliannya bukan 3 tapi 4 artinya sebenarnya ada 24 juta orang meninggal karena Covid dan komplikasinya, bisa dikonfirmasi dari berapa banyak pertumbuhan Taman Pemakaman Umum di seluruh dunia baik yang dimakamkan dengan protokol Covid maupun tidak). Bila merujuk dari hal di atas, adanya KLB Hepatitis Misterius yang dalam 1 bulan menyebar di 12 negara dengan jumlah kasus sebanyak 169 dan beberapa di antaranya berakhir fatal. Tampaknya kita harus bersiap untuk terjadinya Interseksi Pandemi, yaitu Pandemi Covid yang belum berakhir dan Pandemi Adenovirus yang baru dimulai. Dari catatan kasus maka Hepatitis misterius ini memiliki CFR (Case Fatality Rate) sebesar 10%, equal dengan Covid awal dengan virus Corona tipe WIV1 yang menyerang dunia dalam kurun Desember 2019 sampai dengan Juli 2020 yang kemudian diikuti varian-varian hasil mutasi dengan CFR lebih rendah. \"Apakah ada kaitannya dengan Vaksinasi Covid yang diberikan pada anak-anak usia 0 sampai dengan 16 tahun sebagai susceptible population pada kasus Hepatitis Misterius ini?\" Beberapa laporan yang telah disampaikan Para Peneliti yang hasil simpulan sementaranya adalah: \"Antara Vaksinasi Covid dengan kejadian Hepatitis Misterius ini, sangat mungkin berkorelasi, dan hampir tidak mungkin sebuah koinsidens belaka\" Koinsidens = kebetulan. Secara mudah kita bisa mengkomparasikan dengan kejadian-kejadian yang terjadi di tahun-tahun lalu: Januari - Desember 2019: No Vaks Covid - No Hepatitis Misterius. Januari - Desember 2020: No Vaks Covid - No Hepatitis Misterius. Januari - Desember 2021: Vaks Covid Adult - No Hepatitis Misterius. Januari 2022 - April 2022: Vaks Covid for Children - Hepatitis Misterius existed. Apakah simpulan ini confirmed? Perlu dibuktikan lagi secara lebih tajam dengan penelitian-penelitian dengan sample size lebih luas di negara-negara yang sudah memberlakukan Vaksinasi Covid kepada anak-anak. Bagaimana seharusnya kita bersikap? Pemerintah seharusnya tanggap. Segera hentikan Proyek Vaksinasi Covid, lakukan pengkajian dan penelitian. Lindungi nyawa rakyat. Bukan malah sibuk menangkis dan menyangkal seakan-akan malah jadi jubirnya Pabrik Vaksin, bukan pasang badan membela rakyat. Ringkasan kasus seperti dilansir Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebagai berikut: 5 April 2022 Inggris Raya menemukan kasus hapatitis akut sebanyak 10 kasus pada anak. Mereka dirawat di rumah sakit. Tidak ditemukan virus hepatitis A-E dalam pemeriksaan laboratorium. Pada 8 April 2022 dilakukan penelitian lebih lanjut, ditemukan 74 terjangkit, 8 diantaranya menjalani transplantasi hati. Hingga 11 April 2022 tak ditemukan kematiaan hepatitis akut. Sejak 21 April, berbagai negara melaporkan kasus ini, seperti Irlandia, Spanyol Amerika, Israel dengan variasi jumlah kasus dan usia anak antara 0 tahun sampai dengan 3 tahun. Menyusul kemudian Jepang, Kanada dan Mei 2022 ditemukan di Singapura. Gejala dan Tanda Hepatitis Misterius: Penurunan kesadaran, demam tinggi, warna urine gelap, kuning, sakit seluruh persendian, mual, muntah, nyeri perut, lesu, hilang nafsu makan dan diare. (IP)
Islamphobia: Rekayasa Politik Yahudi
Mereka ingin mengubah Islam, karena ajarannya yang murni tidak akan mengizinkan non-Muslim mengendalikan umat Islam, sumber daya mereka, tanah mereka, atau kekayaan mereka. Gayung bersambut. Presiden George W. Bush Jr menyambut strategi tersebut. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PADA tahun 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan Islamophobia menulis sebuah artikel berjudul: “Rand Corporation and Fixing Islam”. Harapannya untuk memodifikasi Islam berhasil diterjemahkan dalam sebuah strategi oleh peneliti Rand Corporation, Cheryl Benard. Oleh Benard, misi ini ia sebut dengan istilah Religious Building, upaya untuk membangun agama Islam alternatif. Benard mengakui bahwa misi ini sangat berbahaya dan kompleks, jauh lebih menakutkan dibanding misi nation building. Sedangkan Pipes, menganalogikan misi ini sebagai upaya untuk masuk ke dalam wilayah yang belum terpetakan. “Ini adalah sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya”. Cheryl Benard, yang berdarah Yahudi ini pernah mencetuskan ide untuk mengubah Islam menjadi agama yang pasif dan tunduk kepada Pemerintah Amerika Serikat. Strategi melemahkan dan menghancurkan Islam di Indonesia: Sudah dirancang dan dalam buku berjudul “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies”. Mereka ingin mengubah Islam, karena ajarannya yang murni tidak akan mengizinkan non-Muslim mengendalikan umat Islam, sumber daya mereka, tanah mereka, atau kekayaan mereka. Gayung bersambut. Presiden George W. Bush Jr menyambut strategi tersebut. Sasaran strategi mereka adalah akan mengerang dan menghantam soal konsep Khilafah. Pada bulan September 2006, Bush mengungkapkan: “Mereka berharap untuk membangun utopia politik kekerasan, yang mereka sebut Khilafah”. Konsep yang akan diserang/dihantam: 1. Bahwa khilafah ini akan menjadi kekaisaran Islam totaliter. 2. Bush pernah bersumpah, tak akan membiarkan khilafah tegak. “Saya tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Dan tidak ada seorangpun Presiden Amerika di masa depan yang akan membiarkannya juga”. Sasarannya adalah motif ekonomi bahwa: 1. Mencegah pembentukan kekhalifahan, mengontrol minyak dan sumber daya energi lainnya. 2. Memaksakan/membuat kebijakan negara/UU, yang harus tunduk dengan strategi Yahudi tersebut. 3. Sesuai konsep Bernard, menciptakan teror dengan tuduhan terorisme, radikal dll. 4. Siap melanjutkan semangat Perang Aalib, seperti dikatakan Powel pada 2004. AS Yahudi mengerti ada kecurigaan umat Islam pada kebijakan “Islam ala Rand”. Atas kemunafikan AS yang mulai terbaca oleh umat Islam, maka AS mencoba menerapkan strategi: 1. Harus disembunyikan. Sementara, boneka Muslim yang dipilih dengan hati-hati harus berada di garis depan untuk mengantarkan Islam versi baru ini. 2. AS menciptakan mitra ideal untuk menjalankan pekerjaan ini adalah orang Islam sendiri (dari dalam komunitas umat Islam yang akan bekerja untuk kepentingan Amerika) sebagai boneka, Rand melabeli mereka sebagai kaum modernis/moderat. 3. Cirinya: ada gerakan “memodernkan dan mereformasi Islam, agar sejalan dengan zaman”. 4. Merekomendasikan penguasa agar muslim yang memahami Islam sejati dan ingin menerapkan syariat Islam disingkirkan, dengan melabelinya sebagai fundamentalis dan ekstremis, pengecut dan pengacau. 5. Membuat kekuatan (seperti Buzzer) untuk mendiskreditkan dan menghina para pengikut Islam sejati. 6. Setelah menyingkirkan kelompok “fundamentalis”, mereka akan mengangkat kaum modernis sebagai role model dan pemimpin Islam. 7. Mereka memberikan dukungan kepada kaum modernis, apapun yang mereka minta, antara lain dengan mengontrol sistem pendidikan, pendanaan, liputan media, sehingga kaum modernis bisa menyingkirkan halangan yang menghambat dan berpotensi sebagai penghalang. 8. Kaum modernis ciptaannya harus dipelihara dan ditampilkan secara publik sebagai wajah Islam kontemporer. 9. Kaum modernis harus dibangun (citranya) sebagai pemimpin hak-hak sipil yang pemberani. Publikasikan dan distribusikan karya mereka dengan dukungan biaya. 10. Ubah kurikulum pendidikan Islam. 11. Buat pendapat dan penilaian mereka tentang pertanyaan mendasar dari penafsiran agama tersedia bagi masyarakat, dalam persaingan dengan para fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki website, penerbitan, sekolah, institut, dan banyak kendaraan lain untuk menyebarkan pandangan mereka. 12. Para boneka modernis ini mampu membuat para pemuda Islam memeluk sekularisme, bangga dengan sejarah non-Islam dan pra-Islam, melalui kurikulum sekolah dan media lainnya. 13. Konsep mengenai syariat, jihad, dan khilafah yang benar akan rusak dalam pikiran para pemuda Islam, bahkan membuat mereka benci dan menjauhinya. 14. Menyarankan agar pemerintah AS mendukung pengembangan ormas yang bisa dimanfaatkan. 15. Memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan “tandingan” untuk para pemuda Islam yang tidak puas. Fasilitasi dan dorong kesadaran akan sejarah dan budaya pra-Islam dan non-Islam mereka, di media spsial. 16. Bantu pengembangan organisasi kemasyarakatan yang independen, untuk mempromosikan budaya sipil. Islam Nusantara - Islam Merah Putih. Jika kita lihat di Indonesia, semua strategi tersebut sudah ada dan sedang diterapkan. 1. Merekomendasikan perpecahan di dunia Islam dengan menciptakan Islam versi nasionalistik negara tertentu. 2. Kembangkan konsep Islam Nusantara, Islam Merah Putih, dipastikan akan lahir nama-nama lokalan lainnya. Bantu dalam memunculkan, mengekspresikan, dan “mengkodifikasi” pandangan mereka. 3. Pada bulan Maret 2016, strategi penerapannya di Asia Tenggara kembali digodok di Semarang. Beberapa pakar diundang untuk merumuskannya. 4. Tiga ajaran dalam Islam yang harus dimodifikasi, yaitu khilafah, jihad, dan al-wala’ wal-bara’. 5. Istilah-istilah Islami mulai dihindari, seperti jihad, syariah, dan ummah, dan lainnya. 6. Islam Indonesia, bukan Islam di Indonesia - Munculah Islam Nusantara, bahkan saat ini muncul Islam Merah Putih. 7. Narasi yang lebih dikedepankan adalah narasi toleransi dan pluralisme, dan bahwa Islam juga sama dengan agama-agama yang lain. 8. Mengatur dan mengembangkan materi khutbah dengan konteks lokal yang mengedepankan tema-tema toleransi, perdamaian, hak perempuan, dan seterusnya. 9. Sasaran utama dari proyek ini adalah pemuda dan wanita. 10. Membeli tokoh agama yang bisa digalang untuk menyebarkan Islam alternatif ini. Untuk medianya dan penyebarannya, dilakukan mulai dengan menggunakan media sosial, televisi, film, radio, media cetak, komik, buku, hingga kegiatan-kegiatan diskusi. 11. Menggambarkan Islam dan Nabi Muhammad SAW dengan begitu buruk. Dari sinilah lahirnya Islamphobia. 1. Menyerang dengan memandang bahwa Islam secara instrinsik adalah agama yang buruk, musuh bagi kemodernan, kebebasan, dan semacamnya. 2. Mereka membagi adanya “Good Muslims” dan “Bad Muslims”. “Good Muslims” adalah umat Islam yang mau bekerja untuk Yahudi. 3. Misi adu domba mutlak harus diciptakan. Dari hambatan di atas, kalau umat Islam ingin tumbuhan sebagai Rohmatal lil alamin, harus memiliki kekuatan dengan arah perjuangan; 1. Umat Islam harus terus diberi pencerahan kalau ada kekuatan yang akan melemahkan dan menghancurkan umat Islam. 2. Menggalang ukhuwah Umat Islam bukan pada tataran Islam hanya soal ibadah dan muamalah, tetapi ada konsep syiasah 3. Hentikan umat Islam sebagai pengemis dan kuli para kapitalis dan Oligarki. 4. Hilangkan perselisihan soal khilafiah minimal pada tatataran pemahaman 4 Madzhab untuk mengindari saling menyalahkan dan merasa paling benar dan paling islami. 5. Umat Islam harus ada kerangka perjuangan dalam konteks Jihad Qital yang terukur dalam konsep keilmuan syariah - memiliki kekuatan gerakan dan dukungan finansial. 6. Hentikan umat Islam hanya sebagai permainan boneka politik sesaat dan menjual diri - melelang agamanya dengan harga dunia. (*)