Konten LGBT dan Pembiaran Negara

Tamsil Linrung, Ketua Kelompok (Ketua Fraksi) DPD di MPR RI

Masyarakat memang harus mengasah kewaspadaan sosialnya. Namun, negara tentu tidak boleh lepas tangan dan berlindung di balik jargon demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok (Ketua Fraksi) DPD di MPR RI

MESKI Deddy Corbuzier telah menghapus konten Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di channel YouTube miliknya, namun Deddy tetap merasa heran. “Gua minta maaf, tapi salah gua di mana?” kira-kira begitu kata Deddy, terkesan bingung.

Deddy mungkin tidak sendiri. Kebingungan yang sama juga dialami sejumlah anak bangsa. Fakta bahwa LGBT ada dan nyata di sekitar kita itu tidak bisa dihindari. Fakta ini tentu tidak harus dikubur dalam-dalam. Tapi, juga tidak untuk dikampanyekan. Yang terbaik adalah mencari jalan keluar bagi perilaku penyimpangan seksual ini.

Dalam video Deddy, kesan kampanye itu ada. Di sanalah letak kekeliruannya. Herannya, pemerintah seolah tidak bisa berbuat banyak. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, misalnya, menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi sehingga (pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk melarang Deddy Corbuzier menampilkan konten LGBT di podcast-nya.

Senada dengan itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan, blokir dan take down dilakukan apabila terjadi pelanggaran yang tidak sejalan dengan peraturan. Menurut Menkominfo, yang ingin dilakukan adalah agar inovator atau konten kreator melakukan yang bermanfaat, yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi syarat-syarat kultural dan religius masyarakat.

Pertanyaannya, pada bagian mana tayangan LGBT memenuhi syarat-syarat kultural dan religiusitas masyarakat?

Dari perspektif agama, LGBT adalah haram. Tidak ada toleransi, dan tidak boleh ada permufakatan baru yang memberi celah, walau sebesar biji zarrah. Titik!

Dari sudut pandang kehidupan berbangsa dan bernegara pun demikian. Kita punya jimat kebangsaan bernama Pancasila, falsafah hidup bangsa. LGBT yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila seharusnya tidak memiliki ruang untuk berkembang melalui kampanye, langsung atau tidak langsung.

Bahwa mereka ada di sekitar kita justru adalah untuk dirangkul dan diberi pemahaman yang baik. Itulah tugas negara. Mengapa? Karena hubungan sesama jenis jelas melanggar sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pun dengan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tak ada adab dalam hubungan sesama jenis. Yang ada, hubungan itu justru menihilkan sisi kemanusia kita, menjadi lebih rendah ketimbang binatang. Sebab, binatang saja tak ada yang berhubungan sesama jenis.

Pancasila selalu kita akui sumber dari segala sumber hukum. Maka konstitusi dan hukum positif yang berlaku di Indonesia seharusnya tidak berseberangan dengan Pancasila, atas nama demokrasi sekali pun. Sayangnya, hukum positif di Indonesia yang mengatur soal LGBT, belum diramu secara tegas.

Itulah kekosongan hukum yang harus ditambal. Inilah pekerjaan rumah kita!

Indonesia memang negara demokrasi (berkedaulatan rakyat). Tapi, Indonesia juga adalah negara nomokrasi (berkedaulatan hukum), yang meniscayakan hukum, mengawal pelaksanaan demokrasi dengan proporsi yang tepat.

Di tengah pekik slogan demokrasi yang begitu membahana, nyatanya tidak sedikit suara kritis rakyat yang dibungkam, dihalang-halangi atau ditekan. Tapi, dengan pekik slogan yang sama, pemerintah seperti enggan mengatur tentang LGBT.

Lalu, apakah kita biarkan LGBT tumbuh dan mekar begitu saja? Apakah konten-konten (yang cenderung mengampanyekan LGBT) dibiarkan meski bertentangan dengan norma, nilai-nilai dan falsafah hidup bangsa?

Negara tidak boleh melakukan pembiaran. Hak mereka sebagai warga negara harus dilindungi, namun negara berkewajiban pula melindungi warga negara lain dari kampanye terselubung perilaku menyimpang.

Oleh karena itu negara tidak boleh abai terhadap gejala maraknya konten-konten LGBT yang berpotensi mengekspos dan mengembangkan perilakunya kepada masyarakat umum.

Konstitusi memberikan amanah yang begitu mulia kepada pemerintah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh sebab itu, mindset Pemerintah (dan kita semua) seharusnya berangkat dari sudut pandang pemeliharaan generasi dan regenerasi bangsa. Pembiaran konten-konten LGBT adalah kejahatan yang mengancam pemuliaan generasi dan regenerasi bangsa. Juga sekaligus melawan kodrat kita sebagai manusia. 

Masyarakat memang harus mengasah kewaspadaan sosialnya. Namun, negara tentu tidak boleh lepas tangan dan berlindung di balik jargon demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Pemerintah memiliki kewajiban menjaga nilai-nilai dan standar moral yang selama ini kita pertahankan dengan baik, bukan malah sibuk memikirkan pelanggengan kekuasaannya. (*)

341

Related Post