Mahasiswa, Haruskah Revolusi Lagi?
Banyaknya tuntutan mahasiswa menunjukkan banyaknya persoalan bangsa. Mahasiswa tidak keliru. Tujuh belas tuntutan itu rasanya memang menjadi problem mendasar rakyat hari-hari belakangan. Sebutlah stabilisasi harga bahan pokok, Bahan Bakar Minyak (BBM) gas, dan lain-lain.
Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD RI di MPR RI
HUJAN mengguyur Jakarta. Namun kumpulan mahasiswa itu bergeming, kukuh berbaris di kawasan patung kuda, 12 Mei 2022. Para mahasiswa merapatkan barisan, bergandeng tangan, membasah bersama Bumi Pertiwi.
Hari itu, sang intelektual muda berkumpul untuk memperingati “Tragedi Trisakti”, 12 Mei 1998 silam. Kala itu, empat mahasiswa tewas dalam peristiwa kelam ini. Tak terhitung yang terluka. Darah dan nyawa, itulah harga yang mahasiswa harus bayar demi penyelamatan negeri. Buahnya, revolusi indah bernama Reformasi.
Kini, reformasi nyaris berusia seperempat abad. Namun, situasi memaksa mahasiswa turun ke jalan dengan idealisme yang sama: menyelamatkan Indonesia. Apa boleh buat, perjalanan reformasi yang kini anti klimaks, sekali lagi membutuhkan pekik cadas agen perubahan ini.
Untungnya, mahasiswa setia dan memiliki tanggungjawab moral mengawal reformasi. Dari Cibubur, Jawa Barat, genderang perang melawan kebatilan itu digagas. Bersama buruh, petani, nelayan, akademisi dan aktivis 98, elemen mahasiswa mengagendakan aksi nasional menyelamatkan negara ini dari kerusakan dan kehancuran. Momentumnya dipilih pada 19-20 Mei 2022.
Momen 19 Mei tentu membuat bulu kuduk penguasa berdiri, siapa pun penguasanya. Pasalnya, pada tanggal yang sama 24 tahun lalu, para mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR. Aksi ini menjadi demonstrasi terbesar yang pernah dilakukan mahasiswa selama 30 tahun terakhir. Aksi yang kemudian menggulingkan rezim Soeharto sekaligus melahirkan reformasi.
Perjalanan reformasi memang penuh liku. Namun, pelan tapi pasti, negeri ini membenahi diri, mencoba mengukukuhkan demokrasi pada segenap sendi-sendi interaksi. Hasilnya mulai terlihat pada era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Kala itu, demokrasi terasa mekar meski belum mewangi semerbak. Sepuluh tahun kepemimpinan Yudhoyono diakhiri dengan damai. Tak ada aktivis yang diterungku. Pergantian pucuk pimpinan negeri pun terlaksana dengan baik, tanpa huru-hara politik sebagaimana pergantian presiden lainnya.
Presiden berganti, sejarah berubah. Sayangnya, perubahan yang terjadi tidak lebih baik. Indonesia nyungsep, berkebalikan dari kata meroket yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo. Demokrasi terjerembab diiringi dengan lagu penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan atau presiden tiga periode. Lagu dengan tiga judul berbeda namun satu esensi: haus kuasa.
Di mana-mana, haus kuasa pasti menggerogoti demokrasi. Suara kritis rakyat dibungkam, UU ITE seolah menjadi alat pemenjara bagi rakyat yang kritis. Sementara itu, keterbelahan rakyat dirawat demi kepentingan politis. Cebong dan kampret tak henti (dibuat) bertempur. Isu agama terus-menerus dikipasi.
Maka wajar naluri dasar mahasiswa kembali menggeliat. Apalagi, sejumlah kebijakan yang ditempuh bukannya menjadi solusi, tetapi malahan semakin merapuhkan bangsa. UU Ibukota Negara Baru (IKN), UU Omnibus Law, atau utang negara yang semakin menggunung, misalnya.
Segudang problem bangsa itulah yang membuat 300 perwakilan mahasiswa dari 34 provinsi bersama elemen buruh, akademisi, hingga aktivis 98 akhirnya melakukan Konsolidasi Nasional Rakyat Indonesia di Cibubur pada 10-12 Mei 2022. Mereka merasa reformasi telah dikhianati.
Tanggungjawab moral membuat mereka terpanggil, menggiring arah reformasi agar kembali pada rel sejatinya. Namun, tekanan lagi-lagi datang. Di hari H pelaksanaan, para peserta tiba-tiba tidak dibolehkan menggunakan gedung Pandan Sari oleh pengelola. Padahal, menurut panitia, semua perijinan telah diurus, sewa gedung juga telah dilunasi.
Tekanan itu tak menyurutkan semangat para pengawal reformasi tersebut. Konsolidasi akhirnya dilaksanakan di sekitar luar gedung Pandan Sari dan di lorong-lorong penginapan peserta. Agenda tetap berjalan dan melahirkan 17 poin tuntutan yang akan disampaikan melalui Aksi Nasional pada 19-20 Mei mendatang.
Banyaknya tuntutan mahasiswa menunjukkan banyaknya persoalan bangsa. Mahasiswa tidak keliru. Tujuh belas tuntutan itu rasanya memang menjadi problem mendasar rakyat hari-hari belakangan. Sebutlah stabilisasi harga bahan pokok, Bahan Bakar Minyak (BBM) gas, dan lain-lain.
Uniknya, aksi nasional 19-20 Mei juga mengangkat isu kesejahteraan guru honorer. Para peserta aksi bakal menuntut agar ribuan guru honorer tersebut diberikan haknya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan menuntut agar rekrutmen guru dan pegawai honorer dilakukan secara transparan dan tidak berbau Korupsi Kolusi dan Nepotisme.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sebenarnya telah menyampaikan aspirasi yang sama kepada Presiden. Melalui kerja maraton Panitia Khusus Guru dan Tenaga Kerja Honorer (GTKH) yang saya pimpim, DPD RI secara formal telah mengirimkan surat berisi 10 rekomendasi penyelesaian guru honorer.
Pansus GTKH bahkan merekomendasikan agar Guru Honorer berusia 40 tahunan ke atas diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa melalui tes. Namun, hingga saat ini tak sedikit pun presiden memberi respon hasil kerja maraton selama 6 bulan Pansus GTKH tersebut.
Ketiadaan respon itu menunjukkan lemahnya empati negara. Juga sekaligus menegaskan bahwa perjuangan mahasiswa dan elemen rakyat lainnya sudah tepat. Mereka memahami persoalan rakyat lalu berjuang menyampaikannya kepada pemerintah melalui jalur-jalur konstitusional.
Sulit menebak seperti apa eskalasi demo 19-20 Mei 2022 nanti. Akankah mahasiswa memantik revolusi lagi? Entahlah. Yang jelas, kita berharap bangsa ini baik-baik saja. Maka pengelolaannya harus baik-baik pula, agar warga bangsa tetap bersikap baik-baik. (*)