Ancaman Terbesar Itu Bernama “Takut”
Yang lebih berbahaya lagi ketika ketakutan karena ketidak tahuan itu juga termotivasi oleh rasa superioritas dan keangkuhan. Perasaan lebih dan angkuh inilah ketika ada pihak lain yang menonjol akan menjadi ancaman baginya. Sehingga ketakutan itu biasanya akan berujung pada kebencian bahkan tidak jarang kekerasan.
Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
TULISAN ini masih lanjutan oleh-oleh dari pertemuan tahunan interfaith di University of North Florida. Sebuah perhelatan antar Komunitas agama yang cukup ber-prestise. Karena selain dihadiri oleh banyak tokoh agama; Yahudi, Kristen, Islam, Sikh, Hindu bahkan Baha’i, juga dihadiri oleh banyak akademisi dari Universitas North Florida dan pejabat pemerintahan setempat.
Pelaksana utama (main organizer) acara ini adalah the Interfaith Center of North Florida, sebuah non profit yang aktif dalam mengedukasi masyarakat Amerika tentang hubungan antar agama. Menariknya tanpa saya ketahui beberapa anggota Board dari organisasi itu adalah teman yang telah lama tidak ketemu lagi.
Salah satu di antaranya adalah professor Lucinda Mosher, yang saat ini menjadi guru besar di International University Connecticut (formerly known as Hartford Seminary). Beliau adalah salah seorang yang saya kenal di kota New York sejak 2002 lalu. Bahkan ketika beliau sebagai professor di Fordham University beliau meminta saya sebagai dosen tamu (visiting professor) di kelas beliau saat itu beberapa semester.
Selain Lucinda juga ada Professor Perfez Ahmed yang dikenal luas di kalangan akademisi keuangan Amerika. Beliau adalah professor of finance (keuangan) di Universitas North Florida. Tapi juga mantan penasehat (senior advisor) di pemerintahan Barack Obama. Beliau bertindak sebagai moderator di acara ini.
Saya menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan “common humanity” dan bagaimana pijakan bersama (common ground) itu dapat menjadi motivasi bersama untuk membangun dunia yang lebih baik. Dunia yang aman, makmur dan tentunya tentram dan berkeadilan.
Satu di antaranya yang saya tekankan pada acara ini adalah betapa ketakutan (fear) itu menjadi sumber ketakutan yang paling dominan dalam hidup manusia. Manusia kerap ketakutan (fearful) tentang banyak hal. Sehingga dengan sendirinya ketakutan itu menjadi sesuatu yang menakutkan.
Ada banyak penyebab kenapa banyak orang yang ketakutan. Ketakutan bisa terjadi karena terjadi “social shifting” (perubahan sosial) yang menjadikan sebagian merasa terancam. Perubahan itu bisa dalam nilai sosial. Misalnya dominasi kultur mengalami perubahan. Dari European cultural dominance menjadi Asian atau African misalnya. Pastinya mereka yang telah berada pada zona nyaman budaya Eropa akan mengalami perasaan terancam.
Social shifting ini juga mencakup perubahan demografi masyarakat. Dari dominasi etnis tertentu misalnya menjadi dominasi etnis lain. Dalam kasus Barat meningginya rasisme dan white supremacy disebabkan salah satunya karena dominasi Eropa mulai tergeserkan. Hal ini tentunya merambat kepada perubahan budaya, termasuk agama.
Hal lain yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang mengalami ketakutan adalah karena faktor masa lalu. Saya menyebut ini dengan “phobia history” (historical phobia). Umat Islam termasuk yang terjangkiti penyakit ini. Sehingga kemajuan orang lain dalam kehidupan dunianya menjadi momok yang menakutkan, seolah penjajahan itu kembali hadir.
Dengan kemajuan Islam di Barat juga menjadikan sebagian dunai Barat mengalami hal yang sama. Ada bayang-bayang kekebangkitan khilafah Bani Umayya yang pernah berkuasa di Spanyol. Juga seringkali dihantui oleh kebangkitan Ottoman Empire yang pernah hampir menguasai seluruh Eropa.
Bahkan hal aneh di Slovakia misalnya anda tidak diperkenankan menyebut kopi Turki dengan Turkish Coffee. Mereka tetap menjadikan kopi Turki sebagai kopi khusus. Tapi kata Turkish jangan disebut karena meninggalkan trauma masa lalu (Ottoman) . Kopi Turki pun lebih dikenal dengan “special coffee”.
Berbagai faktor lainnya (tujuh faktor) saya sampaikan secara rinci. Tapi semua faktor-faktor itu diperkuat oleh retorika sebagian politisi yang memakai sentimen agama untuk kepentingan politiknya. Agama kerap kali hanya menjadi gandengan. Agama tidak diposisikan sebagai “moral guidance” dalam melakukan aktivitas politiknya.
Selain itu media juga menjadi sumber ketakutan yang destruktif. Media seringkali tidak bertanggung jawab dan memblow up (menyebarkan) hal-hal yang hanya menambah ketakutan dan kemarahan masyarakat. Sisi negatif dari Komunitas agama pastinya selalu menjadi konsumsi yang seksi. Sementara sisi positifnya sering terabaikan begitu saja.
Dari sekian faktor ketakutan (fear factor) yang saya sampaikan itu faktor terbesar sesungguhnya ada pada faktor “ignorance” (ketidak tahuan). Betapa ketidak tahuan seseorang kerap melahirkan kecurigaan, ketakutan bahkan kebencian tanpa mengetahui penyebabnya (why)?
Ketakutan yang disebabkan oleh ketidak tahuan itulah yang dikenal dengan phobia. Phobia didefenisikan sebagai “irrational fear” (ketakutan irasional). Takut padahal tidak tahu kenapa takut. Inilah ketakutan yang paling berbahaya. Apalagi kalau ketidak tahuan itu dibumbui oleh “perasaan” atau pretendi mengetahui (pretend to know).
Yang lebih berbahaya lagi ketika ketakutan karena ketidak tahuan itu juga termotivasi oleh rasa superioritas dan keangkuhan. Perasaan lebih dan angkuh inilah ketika ada pihak lain yang menonjol akan menjadi ancaman baginya. Sehingga ketakutan itu biasanya akan berujung pada kebencian bahkan tidak jarang kekerasan.
Dalam pemaparan saya sampaikan banyak contoh phobia yang pernah terjadi, khususnya dalam konteks kehidupan antar Komunitas di Amerika Serikat. Contoh-contoh itu menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk melakukan langkah-langkah maksimal untuk menguranginya.
Satu di antara langkah untuk mengurangi phobia yang ditawarkan Al-Quran adalah “ta’aruf”. Sebuah kata yang saya istilahkan sebagai “nourishment to our diversity” (pupuk keragaman) masyarakat dalam dunia yang semakin plural dan interdependent.
NYC Subway, 11 Mei 2022. (*)