OPINI
Bersama Rakyat Menggugat UU IKN: Bergabung dengan PNKN Menjadi PIHAK TERKAIT!
Oleh, Marwan Batubara - PNKN Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) telah menolak rencana pemindahan Ibuk Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam (“Nusantara”), Kalimantan Timur (Kaltim) melalui pengajuan Permohonan Uji Formil UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Februari 2022. Melalui permohonan Uji Formil (Judicial Review, JR) PNKN menuntut agar UU IKN dinyatakan inskonstitusional. Dengan demikian pemindahan IKN pun mestinya dibatalkan. Setelah menunggu sekitar tiga minggu, MK akhirnya menerbitkan nomor registrasi perkara Permohonan Uji Formil UU IKN pada 23 Februari 2022. MK menerbitkan Nomor Registrasi Perkara 25/PUU-XX/2022 atas Permohonan Uji Formil UU IKN yang didaftarkan PNKN pada 2 Februari 2022. PNKN telah memprotes keras MK yang dengan sengaja telah menunda registrasi permohonan PNKN, dengan mendaftarkan lebih dahulu tiga permohonan uji formil/materiil yang datang belakangan. Terlepas bahwa MK telah berlaku tidak adil, PNKN meyakini bahwa Sidang Ke-1 permohonan uji formil tersebut akan berlangsung pada bulan Maret 2022 ini. PNKN akan memantau dengan seksama dan menanti dengan antusias, kapan akhirnya MK memulai sidang-sidang perkara uji formil PNKN tersebut. Karena sangat yakin dengan motif di balik pemindahan IKN, dasar hukum dan alasan-alasan yang dikemukakan, PNKN yakin bahwa UU IKN memang layak dibatalkan. Berikut adalah ringkasan alasan yang telah dikemukakan PNKN mengapa UU IKN harus dibatalkan: Pembentukan UU IKN tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan berupa dokumen perencanaan pembagunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, pelaksanaan pembagunan, dll; Pembentukan UU IKN tidak benar-benar memperhatikan materi muatan strategis, karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam Peraturan Pelaksana; Pembentukan UU IKN tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis; UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan oleh negara dan rakyat, tetapi lebih untuk kepentingan kelompok tertentu, terutama oligarki; Pembentukan UU IKN sangat minim partisipasi masyarakat, bahkan lebih parah dibanding partisipasi masyarakat saat pembentukan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Sambil menunggu dilksanakannya sidang-sidang permohonan uji formil UU IKN yang telah diajukan oleh PNKN di atas, yakni dengan Nomor Perkara 25/PUU-XX/2022, PNKN menghimbau berbagai kalangan masyarakat di seluruh Indonesia untuk segera mempersiapkan diri dan menggugat/memohon menjadi *PIHAK TERKAIT* atas permohonan tersebut. Dengan menjadi *PIHAK TERKAIT*, maka siapa pun ANDA, berarti telah menunjukkan komitmen dan langkah konkrit untuk tegaknya hukum, keadilan dan kedaulatan di NKRI. Posisi atau peran sebagai *PIHAK TEKAIT* atas gugatan yang diajukan PNKN dapat berupa Pemohon Perorangan atau pun sebagai Pemohon Organisasi. Para Pemohon Perorangan dapat membentuk kelompok-kelompok yang berasal dari kalangan tertentu atau wilayah tertentu atau kepentingan tertentu. Misalnya lima, sembilan orang, atau lebih pemohon dapat membentuk Kelompok Pemohon yang tergabung dalam PNKN Wilayah Bogor, PNKN Wilayah Samarinda, dll. Adapun contoh draft lengkap Permohonan *PIHAK TERKAIT* dapat dilihat dan diunduh (down-load) langsung dari web: *PNKN.net* yang telah dikembangkan oleh PNKN. Setelah draft tersebut diisi dan ditandatangani, maka para *PIHAK TERKAIT* dapat segera mengirimkan permohonan uji formil tersebut langsung ke Sekretariat MK untuk diregistrasi, yakni segera setelah MK menggelar Sidang Ke-1 Perkara No.25/PUU-XX/2022. Maka, kami menghimbau ANDA semua, mari segera kunjungi web PNKN.net tersebut. Wewenang MK Bahwa obyek pengujian yang dimohonkan oleh *PIHAK TERKAIT* masih masuk dalam lingkup kewenangan MK sebagaimana diatur dalam yang masuk dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 51A ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Berkenaan dengan yurisdiksi MK, maka MK berwenang menguji Konstitusionalitas Pembentukan UU IKN terhadap UUD 1945. Legal Standing PIHAK TERKAIT Kedudukan para *PIHAK TERKAIT* diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2/2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yakni pada Pasal 3 huruf c, yang menyatakan: Para pihak dalam Perkara PUU adalah: a. Pemohon; b. Pemberi Keterangan; dan c. Pihak Terkait. Terhadap kedudukan pemohon juga diatur dalam Pasal 6 PMK 2/2021, yang menyatakan: (1) *Pihak Terkait* sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yaitu: a. Perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU; c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau d. Lembaga negara. (2) Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pihak yang berkepentingan yang langsung dan/atau pihak yang berkepentingan tidak langsung dengan pokok Permohonan. Perlu diingatkan bahwa hak konstitusional PIHAK TERKAIT telah diatur, dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945 sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1): “Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945*, yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945*, yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Akhirnya, melalu tulisan ini PNPK kembali mengajak kita semua, yakni ANDA sebagai rakyat Indonesia yang mendambakan tegaknya hukum, keadilan dan kedaulatan di NKRI bergabung bersama PNKN guna menggugat UU IKN ke MK. Buktikan komitmen kebangsaan dan kebersamaan ANDA bersama rakyat dengan menjadi PIHAK TERKAIT dalam Perkara No. 25/PUU-XX/2022, Permohonan Uji Formil UU IKN yang diajukan oleh PNKN pada 2 Februari 2022. Bersama Rakyat Kita Gugat UU IKN! (*)
Potensi Krisis Multidimensi, Munculnya Rezim Otoriter, dan Anies Baswedan
Oleh Smith Alhadar - Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) INDONESIA sedang meriang oleh beberapa isu krusial yang berpotensi menciptakan krisis multidimensi dalam waktu dekat mendatang. Perjalanan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak 2014 memang kian merisaukan. Kepentingan pribadi, keluarga, dan oligarki, semakin mengemuka. Setelah membisu beberapa hari terkait heboh isu penundaan pemilu yang kontroversial, yang dilontarkan Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar -- yang disambut Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PAN Zulkifli Hasan -- Jokowi muncul ke publik memberi tanggapan. Ia tegas menyatakan akan patuh sepenuhnya pada konstitusi terkait pemilu. Itu berarti pemilu limatahunan, yang di dalamnya termasuk pilpres, tetap akan berlangsung pada 2024 sesuai konstitusi. Untuk keperluan itu, KPU dan pemerintah telah sepakat menyelenggarakan pemilu pada Februari 2024. Namun, isu penundaan pemilu tak lantas lenyap karena Jokowi berpendapat usulan penundaan pemilu merupakan hal yang valid dalam negara demokrasi. Ini berbeda dengan sikap dia sebelumnya terkait isu yang sama. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Jokowi menolak tegas isu perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode yang dilontarkan Mohammad Qodari. Ia menganggapnya sebagai upaya menampar, mencari muka, dan menjerumuskannya. Kini ia mendukung wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan pemilu. Dengan demikian, isu ini masih akan terus bergulir yang menciptakan ketidakpastian politik, terutama ketidakpastian penyelenggaraan pemilu pada 2024. Dan tetap membuka kemungkinan pemilu diundur. Sikap Jokowi itu menguatkan berita yang dipublikasikan media nasional ternama bahwa istana terlibat dalam isu ini. Itu konsisten dengan pengakuan Zulkifli Hasan bahwa Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan-lah yang mendesak PAN menyampaikan ke publik tentang usulan itu. Jauh sebelum Cak Imin mengajukan wacana itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sudah lebih dahulu melontarkan ke publik tentang perpanjangan kekuasaan pemerintah. Alasan yang dikemukakan Lahadalia dan para pemimpin parpol itu sama: mengikuti anjuran pengusaha (oligarki) untuk menyelamatkan ekonomi nasional akibat hantaman pandemi covid-19. Jokowi memang berkepentingan memperpanjang kekuasaannya untuk merealisasikan kepentingan pribadi dan oligarki. Ini berkaitan dengan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur -- yang memakan porsi anggaran APBN sangat besar -- yang sudah harus dilakukan pada 2024 saat Jokowi harus meninggalkan istana. Pembangunan infrastruktur ibu kota baru akan dimulai pada April 2022. UU IKN telah ada. TapiI isu IKN mendapat resistensi luas terkait kajian akademis yang sumir, ancaman lingkungan, dan besarnya dana APBN yang akan digunakan saat utang luar negeri telah menggunung dan penanganan pandemi covid-19 masih memerlukan dana besar untuk membantu mayoritas rakyat yang paling terpukul ekonominya. Memang benar sejak Presiden Soekarno rencana pemindahan IKN telah menjadi wacana berdasarkan fakta bahwa, secara geografis, Jakarta tidak cukup strategis dari sisi pertahanan keamanan dan hilangnya daya dukung Jakarta sebagai ibu kota yang nyaman dan layak. Tetapi urgensi pemindahan IKN menjadi hilang saat bangsa menghadapi kedaruratan ekonomi. Argumen pemerintah bahwa pembangunan IKN Nusantara yang menyedot dana awal sebesar Rp 600 triliun sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ditolak para pengamat dan ekonom, termasuk Faisal Basri yang adalah pendukung rezim Jokowi. Alasan paling masuk akal dari rencana pemindahan IKN pada saat bangsa sedang meriang saat ini adalah, pertama, Jokowi hendak membalas budi terakhir pada kaum oligarki, oligarki ekonomi dan oligarki parpo yang telah membawanya ke kekuasaan, sebelum meninggalkan istana. Kedua, Jokowi hendak meninggalkan legacy historis yang akan dikenang bangsa Indonesia sepanjang masa karena memang selama memerintah tidak ada legacy prestisius yang ditinggalkannya. Di pihak lain, Jokowi tidak lagi punya waktu untuk merealisasikan dua agendanya ini kecuali pemilu ditunda beberapa tahun lagi. Di mata publik, dua agenda itu tak layak untuk diperjuangkan, baik dari sisi moral maupun keberlangsungan hidup bangsa ini. Selain tidak pantas secara moral program PEN untuk membantu rakyat dikorbankan, pembangunan IKN itu hanya melayani kepentingan oligarki. Juga akan menciptakan jalan tol bagi terjadinya korupsi besar-besaran. Apalagi status IKN Nusantara adalah otorita yang penguasanya ditunjuk presiden tanpa dipilih dan dikontrol DPRD serta hanya bertanggung jawab pada presiden. Ini juga yang menjadi sasaran kritik publik berdasarkan pandangan bahwa pemimpin daerah harus dipilih rakyat dan dikontrol DPRD yang anggotanya juga dipilih rakyat. Dengan status otorita berarti pendekatannya adalah bisnis atau proyek. Kepala otorita, dengan arahan presiden, dapat membagi-bagi proyek kepada siapa yang dia sukai. Maka mustahil tak akan terjadi KKN di sana. Isu penundaan pemilu dan pemindahan IKN berlangsung saat resesi global sedang di ambang pintu akibat perang Rusia-Ukraina. Rusia dan Ukraina adalah eksportir gandum utama dunia. Rusia sendiri adalah pemasok 40 persen kebutuhan minyak dan gas Eropa, sementara AS mengimpor 20 juta barrel minyak Rusia per bulan. Akibat perang, harga BBM dunia telah melejit. Juga terjadi kekurangan bahan pangan dunia. Inflasi tinggi hingga 7 persen telah terjadi di AS, yang akan membuat The Fed menaikkan suku bunga bank untuk menurunkan inflasi. Kalau demikian, akan terjadi cash flow dari Indonesia. Untuk meredam hal itu, Bank Indonesia akan juga menaikkan suku bunga untuk menahan laju arus modal keluar. Tindakan itu akan menciptakan inflasi tinggi. Dampak perang Rusia-Ukraina mulai terasa di sini sekarang. Harga minyak dan gas nonsubsidi telah dicabut pemerintah yang akan memukul industri. Harga pangan pun telah merangkak naik. Sementara AS sedang membujuk sekutu Barat untuk menghentikan impor minyak dan gas Rusia untuk menguras kemampuan perang negara beruang merah itu. Kalau bujukan Washington ini berhasil dan perang berkepanjangan, pasti terjadi resesi global yang juga akan memukul ekonomi Indonesia secara telak. Kemiskinan dan pengangguran bertambah secara signifikan karena terkurasnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan perusahaan merugi. Dalam atmosfir keterpurukan bangsa dengan sendiriny akan melemahkan legitimasi rezim. Maka, kalau penundaan pemilu jadi dilakukan dan pembangunan IKN tetap direalisasikan -- kemungkinan besar hal ini akan terjadi karena karakter Jokowi yang cenderung ogah mengubah sudut pandangnya -- Indonesia pasti menghadapi krisis politik dan ekonomi yang menakutkan. Menurut semua pakar ketatanegaraan, bila pemilu ditunda maka eksekutif dan legislatif di semua tingkatan akan menjadi ilegal kecuali konstitusi diamandemen terlebih dahulu. Ini karena tidak ada kondisi darurat -- misalnya terjadi bencana nasional, keamanan nasional terganggu, atau munculnya penyakit berbahaya -- yang memungkinkan pemilu ditunda. Argumen pemerintah demi memulihkan ekonomi akibat pandemi sangat lemah. Bahkan, dengan menunda pemilu, akan terjadi ketidakpastian politik yang justru akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa. Penyelenggaraan pemilu sesuai jadwal malah bukan saja menciptakan stabilitas politik, tapi juga akan merangsang perputaran ekonomi karena meningkatkan konsumsi barang dan jasa. Dengan kata lain, pemilu akan menjadi stimulus ekonomi karena meningkatnya besaran fiskal. Memang pemunduran pemilu dan nekat membangun IKN Nusantara pada momen sekarang menggambarkan hilangnya moral dan akal sehat rezim yang telah dikuasai ambisi pribadi presiden dan akibat tekanan oligarki. Krisis multidimensi terjadi disebabkan tabungan preseden yang meresahkan masyarakat telah bertumpuk. Misalnya, sebelumnya telah terjadi rongrongan rezim terhadap sendi negara hukum yang demokratis dan UU Otonomi Daerah. Isu UU Cipta Kerja jelas sekali memperlihatkan keberpihakan vulgar rezim terhadap oligarki sehingga terjadi demonstrasi besar-besaran buruh sebagai pihak yang paling dirugikan. Mahkamah Konstitusi telah memvonis UU ini sebagai inkonstitusional. UU Minerba berdampak pada pengambilalihan wewenang daerah oleh pusat -- yang menabrak otonomi daerah -- dalam hal investasi asing di proyek minerba. Pembubabaran ormas dan pemenjaraan mereka yang kritis terhadap rezim tanpa legal standing yang meyakinkan juga memperlihatkan pelecehan hukum dan prinsip demokrasi. Dalam penegakan hukum, rezim bersikap diskriminatif bergantung pada sejauh mana tokoh itu dipandang menghadirkan ancaman pada rezim dan posisi politik pengkritik itu vis a vis rezim. Kalau yang tidak berbahaya, rezim bersikap, \"biarkan anjing menggong kafilah tetap berlalu\". Toh, keberadaan mereka dapat memberi citra positif pada rezim sebagai pendukung demokrasi. Sedangkan pengeritik lain yang lemah secara politik dipenjarakan untuk memberi efek deterance kepada yang lain. Yang dipersoalkan di sini adalah hukum dan demokrasi dijalankan hanya untuk kepentingan kekuasaan dan oligarki. Tak heran, indeks demokrasi dan hak asasi manusia di masa rezim Jokowi anjlok cukup signifikan. Hal ini telah menimbulkan keprihatinan masyarakat sipil. Memang dari fakta-fakta di atas, terlihat tidak ada komitmen rezim yang sejati pada demokrasi dan HAM. Terkait HAM, Jokowi tidak menyentuh isu pelanggaran HAM berat di masa lalu. Padahal, sejak kampanye pilpres 2014 dia menjanjikan akan menuntaskan isu serius itu untuk menyembuhkan luka bangsa yang masih menganga dan membangkitkan kepercayaan diri bangsa di panggung internasional sebagai bangsa yang beradab. Terabainya isu ini karena Jokowi ingin mendapat dukungan aparat keamanan yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan massal tahun 1965, kasus Talangsari, Tanjungpriok, Semanggi I dan Semanggi II. Malah di era Jokowi kekerasan masih terjadi. Misalnya, kasus pembunuhan Km 50 dan kekerasan di Desa Wadas, Jawa Tengah. Hal ini juga menimbulkan keprihatinan luas. Lalu, di bawah rezim Presiden Jokowi korupsi makin menggila melebihi era Presiden Soeharto. Anehnya, KPK malah diperlemah dengan alasan lembaga antirasuah itu merintangi investasi, bukan sebaliknya. Kejanggalan argumen ini mau tak mau memperkuat spekulasi publik bahwa sebenarnya wewenang KPK yang terlalu luas menghambat kongkalikong oligarki ekonomi dan politik. Dipecatnya sebagian anggota KPK melalui test wawasan kebangsaan yang dipertanyakan keabsahannya dan kasus penyiraman air keras kepada komisaris KPK Novel Baswedan, tenaga ahli yang sedang menangani kasus-kasus korupsi berat yang melibatkan orang penting, memperkuat persepsi publik bahwa tangan KPK diamputasi untuk melanggengkan budaya korupsi demi melayani kepentingan oligarki. Isu pelemahan KPK telah mendorong mahasiswa di berbagai daerah turun ke jalan hingga dua mahasiwa di Kendari, Sulawesi Tenggara, tewas tertembak aparat. Isu lain yang mengecewakan publik adalah sokongan Jokowi pada anak dan menantunya dalam upaya mereka merebut kekuasaan. Akhirnya, putera presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka, menjadi Walikota Solo dan Bobby Nasution, menantu Jokowi, menduduki jabatan Walikota Medan. Kalau mereka bukan keluarga dekat presiden, tak dapat dibayangkan anak-anak muda tak punya pengalaman politik apa pun bisa memenangkan kontestasi pilkada. Lebih jauh, dua anak presiden diduga melakukan KKN terkait penanaman modal perusahaan yang divonis melakukan kejahatan perusakan hutan. Dengan demikian, spirit reformasi untuk membabat KKN diabaikan. Tabungan kekecewaan masyarakat ini menunggu untuk meledak saat momennya tiba. Bila krisis multidimensi terjadi dan seluruh lembaga eksekutif dan kegislatif menjadi ilegal, maka -- sesuai konstitusi -- TNI dan Polri berwenang mengambil alih kekuasaan. Sebelum terjadi pemilu untuk menghadirkan rezim sipil yang sah, kedua lembaga itulah yang mengisi kekosongan pemerintahan. Pemerintahan TNI-Polri pasti dijalankan secara otoriter karena menghadapi krisis dan ketiadaan lembaga legislatif. Kalau nanti kedua lembaga itu asyik dengan kekuasaan dan tak berniat menghidupkan kembali sistem demokrasi sebagaimana yang terjadi di Myanmar, maka Indonesia akan memasuki terowongan gelap tanpa berkasa cahaya di ujungnya. Untuk menyelamatkan kepentingannya, bisa jadi Cina dan Rusia mendukung rezim otoriter sebagaimana mereka mendukung junta militer di Myanmar, yang membangkitkan kepercayaan diri rezim otoriter di Indonesia. Kalau demikian, negara-negara Barat akan menjatuhkan sanksi dan mengisolasi Indonesia dari pergaulan internasional. Gerakan separatisme di daerah, terutama di Papua, akan membesar. Gangguan keamana dalam negeri akibat keresahan sosial yang meluas akan mendorong rezim memperkuat cengkramannya atas masyarakat. Kalau pun rezim hendak menyerahkan kekuasaannya pada pemerintahan sipil setelah pemilu yang mesti dilakukan secepat mungkin, hal itu tidak mudah karena harus berurusan dengan partai politik, kelompok kepentingan, dan masyarakat sipil, yang punya sudut pandang yang berbeda terkait pemerintahan ke depan. Di tengah potensi krisis multidimensi terkait kengototan rezim Jokowi menunda pemilu, hanya ada satu kepala daerah yang menentang isu kontroversial itu. Dia adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Saat semua kepala daerah diam seribu bahasa menanggapi pengunduran pemilu -- sebagiannya mungkin berharap itu jadi kenyataan sehingga memperpanjang kekuasaan mereka -- Anies justru menolak dengan tegas ide memperpanjang kekuasaannya yang akan berakhir pada Oktober tahun ini. Alasannya, penundaan pemilu menabrak konstitusi dan mengkhianati spirit reformasi yang diperjuanhkan mahasiswa dengan darah dan air mata. Sebagai seorang sarjana ilmu ekonomi dan politik tentu juga ia tahu konsekuensi serius bagi keselamatan bangsa bila pemilu ditunda. Bukan saja akan terjadi keos yang mengancam kelangsungan hidup bangsa, tapi juga akan memundurkan Indonesia beberapa tahun ke kebelakang. Dia pasti menyadari bahwa kendati jauh dari sempurna, sistem demokrasi merupakan sistem terbaik di antara sistem yang jelek sebagaimana dikatakan negarawan Inggris Winston Churchil. Memang sistem demokrasi telah membuktikan diri sebagai sistem yang berhasil menghadirkan kemakmuran, kebebasan, kemajuan peradaban, dan harkat kemanusiaan, sebagaimana kita saksikan pada negara-negara maju yang menerapkan demokrasi secara konsekuen. Memang belakangan ini sistem otoriter Cina yang juga berhasil meningkatkan taraf hidup 1,4 miliar penduduknya telah menarik perhatian negara Dunia Ketiga yang repot dan mahal dalam menerapkan demokrasi. Tetapi harus diingat bahwa kemajuan ekonomi dan teknologi Cina tidak dibarengi dengan penghormatan pada kebebasan, martabat, dan HAM. Manusia hanyak diperlakukan sebagai objek ekonomi. Penolakan Anies terhadap perpanjangan masa jabatan presiden juga didasarkan pada potensi Indonesia menjadi negara gagal. Salah satu penyebab timbulnya negara gagal adalah bila parpol dan presiden tidak berkomimen pada konstitualisme dan kebijakan publik yang cacat moralitas dan rasionalitas sebagaimana terlihat pada usaha memindahkan IKN pada momen yang salah. Juga bila rezim memberlakukan sistem ekstraktif yang menyedot sumber daya bangsa untuk diberikan kepada elite tertentu. Dalam hal rezim Jokowi, elite yang dimaksud adalah oligarki ekonomi dan politik. Hal ini telah dilawan Anies dengan menciptakan sistem inklusif yang menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh lapisan warga Jakarta. Tanpa keadilan ini, mustahil kinerja Anies diapresiasi mayoritas mutlak warga ibu kota. Untuk mencegah terjadinya krisis multidimensi yang berujung pada negara gagal, Anies mengisyaratkan dukungan pada protes publik terhadap ide penundaan pemilu. Memang untuk menghindari keos yang mungkin terjadi, maka tak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali menekan rezim Jokowi untuk taat pada konstitusi dengan tetap menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal. Rencana pembangunan infrastruktur IKN juga harus dihentikan sekarang guna mengalokasi dana itu untuk menangani krisis ekonomi akibat resesi global yang akan memukul ekonomi rakyat tanpa belas kadihan. Pemilu yang sesuai jadwal, selain menjaga stabilitas negara, juga menjanjikan perubahan pemerintahan ke arah yang lebih baik. Pemerintahan baru akan punya legitimasi kuat dan gagasan baru untuk memulihkan kerusakan negara yang ditinggalkan rezim Jokowi. Tetapi optimisme itu hanya punya argumen yang kuat kalau Anies Baswedan yang memimpin Indonesia mengingat aspiran capres lain hanya akan meneruskan developmentalism ala Jokowi yang sumir. Saat nemimpin Jakarta, Anies telah menunjukkan kapasitas moral, intelektual, dan leadership, yang diperlukan Indonesia dalam menyambut zaman baru dan pemulihan menyeluruh seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta pemenuhan janji kemerdekaan berupa mencerdaskan kehidupan bangsa, menguatkan persatuan dengan mengejar tujuan bersama, dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga Indonesia yang kita cintai luput dari cobaan besar yang mungkin segera datang dan muncul sebagai negara demokrasi ideal yang sejahtera dan beradab. (*)
Teroris Dikejar, Politisi Tersandera
Tidak ada manusia yang sempurna, tapi boleh jadi ada kejahatan manusia yang sempurna. Seperti di negeri yang banyak penjilat dan pengemis jabatan ini. Ulama yang bergiat dakwah masuk daftar teroris, sementara politisi yang tersandera kasus korupsi malah dibiarkan bebas berkeliaran. Oleh: Yusuf , Mantan Presidium GMNI TIGA ketua umum partai besar baru saja mengumumkan penundaan pemilu 2024. Sebuah langkah politik yang setan pun tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Selain menjadi kejahatan konstitusi jika ngotot dilaksanakan, lontaran penundaan pemilu menyiratkan para ketum parpol itu tersandera skandal korupsi yang membuat mereka mati gaya. Politik dagang Sapi deras mengucur di saat rakyat tak mampu membeli saat harganya melambung tinggi. Anehnya, kejahatan luar biasa yang mendera elit partai politik itu seperti tak tersentuh dan bahkan dijadikan alat tawar-menawar untuk kejahatan negara yang jauh lebih besar. Kospirasi penundaan pemilu 2024 yang bermakna ingin memperpanjang kekuasaan, dirancang dengan penuh koordinatif, konspiratif dan masif oleh para bedebah politik. Ada juga ketua ormas keagamaan yang ikut-ikutan mendukung, seperti terbiasa bekerja menerima upah atau bayaran yang tak pantas dilakukan. Hukum dan politik menjadi mainan dan dipertontongkan di hadapan publik. Sementara para ulama dan pegiat dakwah lainnya terus diburu diperlakukan seperti teroris. Syiar menyeru amar maruf nahi munkar oleh para pemuka agama justru diperangkap dengan membuat daftar penceramah radikal. Kontras dan berbanding terbalik perlakuannya dengan para koruptor yang dihormati dan dilindungi. Tanpa kejelasan dan transparasi, pemimpin-pemimpin Islam ditarget dan dicari-cari kesalahannya, hingga bisa divonis sebagai teroris. Sedangkan yang nyata-nyata melakukan praktek KKN hingga merugikan negara dan melukai rasa keadilan rakyat, dibiarkan bebas dan bersekonggkol mengelola negara. Indonesia memang luar biasa hebatnya, rakyatnya mayoritas Islam tapi ditindas oleh minoritas. Penindasan minoritas kepada mayoritas dalam strategi sosial ekonomi, sosial politik , sosial hukum dan sosial keagamaan. Benar menjadi salah, salah menjadi benar. Penjahat dilindungi, penyeru kebenaran dikebiri. Seperti mengejar teroris yang tak pernah jelas, politisi tersandera skandal korupsi dibiarkan melenggang. Sungguh republik yang menakjubkan. (*)
Menghidupkan Soekarno dan Membunuh Soeharto
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Keppres No 2 Tahun 2022 telah menuai kontroversi. Masalahnya bukan pada hari penegakan kedaulatan negara yang menjadi judul Keppres, akan tetapi soal peran-peran tokoh yang diangkat dan ditenggelamkan. Bahwa Kepres itu bukan buku sejarah, anak SD juga tahu. Akan tetapi mengangkat satu tokoh dan menenggelamkan tokoh lain adalah tidak fair. Bagian dari penipuan sejarah. Mahfud MD beralasan bahwa tidak perlu mencantumkan semua tokoh sejarah yang berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 cukup tokoh-tokoh utama penentu yang perlu dituangkan dalam konsiderans Keppres. Munculah Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Hamengkubuwono IX dan Jenderal Soedirman. Soeharto tidak dimunculkan. Yang dikritisi publik adalah tidak dicantumkan peran Soeharto dalam Keppres No 2 tahun 2022 tersebut yang menimbulkan pertanyaan publik mengapa Soeharto ditenggelamkan ? Sesungguhnya satu hal yang luput untuk masuk ruang perdebatan adalah sejauh mana peran Soekarno dalam serangan tersebut? Berlebihan dan palsukah sebutan bahwa serangan tersebut \"disetujui\" dan \"digerakkan\" oleh Soekarno dan Hatta? Sulit diterima adanya peran Soekarno dan Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Pemerintahan saat itu bukan di bawah kendali Soekarno dan Hatta tetapi Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Presiden PDRI. Soekarno sedang ditahan di Sumatera dan dalam pengawasan penuh Belanda. Tidak mungkin dapat \"menyetujui\" apalagi \"menggerakkan\". Dalam Naskah Akademik Keppres \"Hari Penegakan Kedaulatan Negara\" ternyata juga tidak ditemukan peran Soekarno dalam memberi persetujuan. Hamengkubuwono dan Soedirman tentu tidak merasa perlu untuk mendapat \"persetujuan\" dari Soekarno dan Hatta karena keduanya berada di pengasingan. Tidak logis Soekarno dapat \"menggerakkan\" serangan ke Yogyakarta dari area penahanan atau pengasingannya di Sumatera. Rezim Jokowi memang sedang menghidupkan Soekarno dan membunuh Soeharto. Contoh lain adalah pembangunan patung Soekarno di Akmil Magelang dan menghancurkan diorama penumpasan G 30 S PKI di Museum Makostrad Jakarta. Jenderal Dudung Abdurrahman sebagai operator pembangunan patung Soekarno di Akmil sekaligus penghancur diorama Soeharto di Makostrad AD. Jika Pemerintah Jokowi melalui Mahfud MD tetap bersikukuh pada Keppres yang cacat sejarah tersebut, maka publik tentu berharap ada koreksi, jika tidak, tentu usai masa Pemerintahan Jokowi nanti, Keppres No 2 tahun 2022 dapat dibatalkan dan direvisi sesuai dengan peristiwa sejarahnya. Soekarno hilang, Sjafroeddin muncul. Soeharto akan tercantum kembali bersama Hamengkubuwono IX dan Jenderal Soedirman. Tindakan lain, patung Soekarno di Akmil Magelang jika tetap ada maka harus bersama Hatta. Sementara diorama penumpasan G 30 S PKI di Makostrad AD harus dibangun kembali. Keppres No 2 tahun 2022 memang bukan buku sejarah, tapi rezim telah membuat dokumen sejarah sesat dengan Keppres ini. Seolah membuktikan kalimat \"history always written by the winners\". Nah, sejarah itu tidak boleh diputarbalikkan, pak Jokowi. (*)
Gue Anies Banget
Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Gue bukan cuma anak Jakarta, tapi lahir dari keragaman budaya bangsa. Gue anak Indonesia yang ada di mana-mana, saling mengenal dan menyapa. Gue semua anak dari Sabang Aceh hingga Merauke Papua. Gue Anies banget, kalau kalian pilih siapa?. Gue generasi baby boomers, X, Milenial, dan gen Z seperti yang orang kata. Gue angkatan tua muda yang ada di seluruh pelosok desa dan kemegahan kota. Gue ada di mana-mana, tersebar di bumi nusantara dan juga belahan lain dunia. Gue Anies banget, kalian pilih siapa?. Gue hidup dan bergaul dalam lintas suasana dan masa. Gue mewakili semua citra dan kasta, dari setiap rasa dan selera, dari semua profesi dan karya. Gue bagian dari semua suku dan agama serta semua entitas sosial yang berbeda-beda. Gue Anies banget, kalian pilih siapa? Gue ngga peduli ideologi dan aliran politik apapun, seperti kata mereka yang menggelutinya. Gue cuma tahu mewakili aspirasi dan kehendak, kita bisa apa dan ingin jadi apa. Gue ingin yang terbaik buat negara dan bangsa, buat Indonesia tercinta. Gue Anies banget, kalian pilih siapa? (*)
Usulan Penundaan Pemilu bukan Demokrasi, tapi Tirani
Oleh Anthony Budiawan – Managing Directot Political Economy and Policy Studies USULAN penundaan pemilu, atau kudeta konstitusi, terus bergulir. TSM. Terstruktur, Sistematis, dan Masif. Alasan penundaan disiapkan secara meyakinkan. Melalui Lembaga survei dan think-tank Indonesia Laboratorium 2045 (Lab 45). Lembaga survei mengatakan 70 persen lebih rakyat Indonesia sangat puas dengan kinerja Jokowi. Kemudian Lab 45 mengatakan mesin big data mereka mernangkap isu masyarakat ingin masa jabatan presiden diperpanjang. Kemudian, tahap selanjutnya adalah sosialisasi. Ini tugas Bahlil, Menteri Investasi / Kepala BPKM, dan Ketua Umum Partai Politik (parpol): PKB, PAN dan Golkar. Usulan kudeta konstitusi mendapat penolakan luas dari masyarakat, termasuk parpol lain seperti PDIP, Nasdem, Demokrat, PKS dan Gerindra. Karena usulan penundaan pemilu melanggar konstitusi yang berlaku, melanggar kedaulatan rakyat. Dapat dicap sebagai pengkhianat kedaulatan rakyat. Terkait ini, Presiden Jokowi, DPR/MPR dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak tegas untuk menegakkan marwah konstitusi. Presiden harus memberhentikan Menteri yang terlibat kudeta konstitusi, DPR/MPR harus mencopot pejabat pengusul kudeta konstitusi, dan Mahkamah Konstutusi membekukan atau membubarkan Partai Politik yang terlibat kudeta Konstitusi, karena anti Pancasila dan anti UUD. Akhirnya, Jokowi bersuara juga. Beliau mengajak semua pihak, termasuk dirinya, untuk tunduk, taat dan patuh pada Konstitusi. Sangat melegakan. Semua elemen masyarakat wajib taat pada ajakan ini. Tetapi, pernyataan Jokowi berikutnya bikin kening berkerut. Sepertinya ada pihak-pihak yang mau menjerumuskan presiden, dengan mengatakan usulan penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena merupakan demokrasi. Maaf, pak Jokowi. Menurut hemat saya, pernyataan ini sangat berbahaya. Usulan melawan hukum dan konstitusi seharusnya bukan bagian dari demokrasi. Tapi bagian dari tirani. Khususnya usulan menunda pemilu. Bisa diartikan mau melanggengkan kekuasaan, tanpa pemilihan umum, yang menjadi cikal bakal otoriter. Bayangkan, Pak Jokowi. Orde Baru saja selalu melaksanakan pemilu tepat waktu, setiap lima tahun sekali. Tapi, sekarang Bapak mau membiarkan usulan liar dan melawan hukum ini bergulir tanpa terkendali? Sangat bahaya. Karena itu, usulan yang melawan hukum dan konstitusi seharusnya dilarang, untuk kepastian hukum itu sendiri. Kalau tidak, pasti akan menimbulkan chaos dan anarki. Karena setiap pihak nanti merasa bisa mengusulkan perubahan konstitusi sesukanya. Bisa terjadi konflik horisontal yang meluas. Bayangkan, nanti ada pihak yang mengusulkan Indonesia sebaiknya menjadi negara serikat lagi saja. Atau ada pihak yang mau menjadi negara islam. Mungkin juga ada pihak yang mau memisahkan diri dari Indonesia. Organisasi gerakan merdeka nantinya akan menjamur, dengan alasan demokrasi. Bukankah ini akan menjadi chaos dan anarki? Karena itu, Pak Jokowi harus waspada. Yang membisiki pasti mempunyai niat jahat. Niat jahat kepada Pak Jokowi, niat jahat kepada Indonesia dan niat jahat kepada rakyat: mau menjerusmukan pak Jokowi, mau menjerumuskan Indonesia, mau menghancurkan bangsa Indonesia.
Pendek Kemaluan Ingin Panjang Jabatan
Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Hanya di mari negeri tanpa keridhoan. Hanya di republik ini, rakyat tanpa kemaslahatan. Begitu telanjang kejahatan menyelimuti kemanusiaan. Begitu bebasnya kemudharatan dilegalkan. Harta dan jabatan jadi rebutan. Nurani semakin gelap ditutupi kebiadaban. Keadilan terus menjadi korban persekongkolan. Perilaku penguasa bagai orang kesurupan. Bahan pangan dan cemilan semakin sulit dimakan. Minyak dan kedele menjauh tak kunjung ditemukan. Pengusaha dan pemilik kekuasaan kesenangan. Rakyat pinggiran dibiarkan kelaparan, jauh dari kemakmuran. Umat dibuat blingsatan penuh penderitaan. Kedzoliman pemimpin layak dan wajib dimaafkan. Menegakkan kebenaran pantas mendapat hukuman. Seakan memenuhi kepuasan si pendek kemaluan, namun ingin panjang jabatan. (*)
TNI-Polri Selamanya Bersama NKRI, Presiden Kapan Saja Bisa Diganti
Presiden di bawah kendali oligarki, sedang gontai menggunakan jurus mabuk. Gebuk sana Gebuk sini, dari mengobok-ngobok konstitusi sampai urusa WhatsApp grup istri-istri TNI ikut diintervensi. Betapa luar biasanya sang presiden ini, di luar kebiasaan presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Termasuk pendek urat malu, saat ingin panjang jabatannya. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Bahkan seorang presiden yang berprestasi sekalipun, memiliki batas waktu jabatannya. Sesuai amanat konstitusi dan demi kepentingan negara bangsa, presiden yang dikagumi dan dicintai rakyat, dijamin tak luput mengalami pergantian. Apalagi presiden yang tak memiliki kapasitas dan bobrok dalam menjalankan roda pemerintahan. Hanya pemecatan atau dilengserkan yang perlu dilakukan, juga dengan secepat dan sesegera mungkin. Selain membawa kesengsaraan pada seluruh rakyat Indonesia, presiden tak ubahnya menyebabkan situasi dan kondisi rakyat bagai tanpa pemerintahan dan tanpa negara. Presiden asyik tanpa beban berulah lagi, kali ini mengusik TNI-Polri dengan mengekspos interaksi WhatsApp grup para istri prajurit itu. Seperti tidak ada lagi pekerjaan yang menjadi skala prioritas dan mendesak untuk dilakukan. Sempat-sempatnya dan alangkah konyolnya seorang presiden mengurusi soal WhatsApp terlebih milik keluarga anggota TNI-Polri. Sementara begitu cueknya presiden pada persoalan kenaikan BBM, kelangkaan pangan hingga menjulangnya harga sembako dan pelbagai beban hidup yang mencekik rakyat. Presiden malah sibuk mengurusi salah satu paltform media sosial yang biasanya menjadi tupoksi para buzzerRp dan anjing-anjing penggonggong lainnya. Fenomena yang belum pernah terjadi pada seluruh presiden RI sebelumnya, usil pada WA bukan saja memalukan bagi seorang presiden, lebih dari itu juga merendahkan marwah TNI-Polri. Biar bagaimanapun TNI-Polri merupakan satu kesatuan atau manunggal dengan rakyat. Keberadaan TNI-Polri menjadi tak terpisahkan dengan rakyat, yang menjadi salah dua alasan lahirnya negara bangsa Indonesia. Keberadaan dan eksistensi TNI-Polri tak bisa dibandingkan dengan instrumen pemerintahan yang lainnya, begitu strategis dan sangat menentukan kelangsungan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. TNI-Polri merupakan institusi negara yang bukan produk dan alat politik sesaat. Bukan jabatan politik praktis seperti halnya seorang presiden, menteri, kepala daerah dll. yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan pragmatis dan sekedar orientasi kekuasaan semata. Strategi dan siasat politik yang biasa menunggangi kepentingan negara, tak seharusnya mengkooptasi dan dibenturkan pada institusi TNI-Polri. Kekuatan TNI-Polri harus dilandasi kepada peran dan fungsinya sebagai alat negara, bukan alat kepentingan kekuasaan. Ketika jelas-jelas seorang presiden telah menjadi kepentingan sekaligus boneka oligarki. Maka sepatutnya dan menjadi kewajiban bagi TNI-Polri mengambil posisi meluruskan atau mengembalikan negara menyusuri jalan yang \"on the track\". Demi aspirasi dan tuntutan rakyat, demi keselamatan dan kesinambungan NKRI. TNI-Polri tak akan bisa dan tak akan sanggup mengabaikan derita rakyat. Tak bisa berdiam diri dari marabahaya yang mengancam kedaulatan NKRI. Dengan demikian, termasuk soal kurang kerjaannya presiden mengurusi WA grup istri-istri TNI-Polri. Maka menjadi sinyal kentara dan tegas, bahwasanya presiden seperti sedang mabuk berat dan tidak sadarkan diri. Hingga sampai mengusik marwah dan kewibawaan TNI-Polri. Sepertinya Presiden lupa pada hal yang prinsip, dimana jabatan presiden hanya sekejap dan bisa berganti kapan saja. Terutama presiden yang dihasilkan dari demokrasi kapitalistik transaksional, presiden yang didandani oleh cuan para taipan. Berbeda dengan TNI-Polri yang terus membersamai NKRI selama-lamanya, dalam susah dan senang serta dalam penderitaan dan kebahagiaan bersama rakyat. (*)
Tentang Serangan 1 Maret 1949
Kalau pelaksana serangan tak ada yang meragukan bahwa itu dilakukan oleh Komandan Brigade 10/Wehrkreise Letkol Soeharto dengan anak buahnya seperti Ventje Sumual, Latif dan lain-lain. Oleh: M. Hatta Taliwang, Candidate Doctor dan Direktur Institut Soekarno Hatta DALAM membicarakan Serangan 1 Maret 1949 (6 jam di Jogjakarta), data dan fakta yang harus diperimbangkan adalah: Pertama, Presiden Soekarno dan Wapres Bung Hatta sedang dalam masa pembuangan oleh Belanda di Brastagi dan Bangka. Jadi, tak punya peran dalam urusan Serangan Umum 1 Maret 1949, bahkan dalam memoar Bung Hatta pun tak disinggung. Kedua, Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Pemerintah Darurat RI yang intensif berkomunikasi dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman selama Desember 1948 sampai dengan Juli 1949. Ketiga, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang selalu berkomunikasi dengan Panglima Besar Sudirman karena akan ada Sidang PBB yang membahas Indonesia pasca Agresi II Belanda bulan Desember 1948. Keempat, Panglima Komando Jawa Jenderal Mayor AH Nasution yang selalu menyiapkan Perintah Siasat Gerilya untuk ditandatangan Panglima Besar Jenderal Sudirman (kemudian menjadi buku Pokok Pokok Gerilya yang terkenal di sekolah militer dunia). Kelima, Panglima Divisi III Jawa Tengah Kolonel Bambang Sugeng yang eksplisit menulis perintah untuk lakukan serangan ke Ibukota Jogjakarta dan sekitarnya. Keenam, Letkol Soeharto Komandan Brigade X(10) disebut juga Komandan Wehrkreise. Mungkin sekarang setara dengan Danrem, yang membawahi wilayah Jogjakarta dan sekitarnya. Ketujuh, Mayor Ventje Sumual yaitu salah seorang yang lebih detil sebagai pelaksana Serangan 1 Maret 1949. Ada sumber yang menyebut Mayor Latif (belakangan dia terlibat G30S) yang juga jagoan di lapangan saat serangan 1 Maret 1949. Yang perlu dicatat, serangan 1 Maret 1949 itu adalah bagian dari Perang Gerilya yang dikembangkan TNI, terutama sejak Agresi Belanda I 1947. Perang Gerilya adalah masukan Kolonel AH Nasution yang diterima dan disetujui Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sebenarnya, masih ada beberapa panggung serangan gerilya yang tak kalah hebat di Jawa sejak 1945 sampai dengan 1949. Tetapi, kurang mendapat perhatian sebesar Serangan 1 Maret 1949. Serangan 1 Maret 1949 secara militer biasa saja tetapi dampak politiknya yang besar, karena utusan dari PBB yang sedang berunding di Kaliurang menjadi punya bukti bahwa Indonesia dan TNI-nya itu masih eksis, tidak seperti klaim Belanda bahwa pasca Agresi II Desember 1948 Indonesia sudah tak ada dan TNI-nya sudah tak ada perlawanan. Serangan 1 Maret 1949 menjadi besar gemanya ketika Letkol Soeharto sudah menjadi Presiden dan dirayakan, bahkan dibuat filmnya: Janur Kuning. Serangan itu juga bernilai sejarah karena dilakukan di Jogjakarta, ibukota negara saat itu. Kontroversi muncul menyangkut “Siapa yang Berinisiatif” atau “Yang Punya Ide” dan “Siapa yang Memerintahkan Serangan itu”. Soeharto mengklaim idenya murni dari dirinya, termasuk pelaksanaannya seperti dinyatakannya saat diwawancara G Dwipayana (Dipo). Kalau pelaksana serangan tak ada yang meragukan bahwa itu dilakukan oleh Komandan Brigade 10/Wehrkreise Letkol Soeharto dengan anak buahnya seperti Ventje Sumual, Latif dan lain-lain. Kuat dugaan bahwa idenya datang dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang tahu dari BBC bahwa akan ada Sidang PBB membahas soal Indonesia (berkaitan denga Agresi II Belanda). Diduga Sri Sultan HB IX berkoordinasi dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sudirman lantas koordinasi dengan Presiden PDRI Syafruddin Prawiranegara. Sebagai Panglima Besar berkoordinasi dengan Panglima Komando Jawa Jenderal Mayor AH Nasution dan Panglima Divisi III Jateng Kol Bambang Sugeng. Atas serangan 1 Maret 1949 itu Panglima Komando Jawa Nasution menulis: “Beberapa waktu sebelum Serangan Umum 1 Maret itu Komandan Brigade 10 Letnan Kolonel Soeharto telah berkunjung ke Posko saya di Sapan, maka kami membicarakan situasi secara luas dan makan siang berdua. Pihak kita sudah (akan) mampu melakukan serangan-serangan berarti”. (Dr AH Nasution: Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 2A halaman 221). “Diantara beberapa Serangan Umum maka yang mendapat hasil sebaik-baiknya ialah penyerangan umum tanggal 1 Maret. Terutama kemenangan politis. Karena dengan penyerangan itu segala propaganda Belanda yang mengatakan bahwa TNI telah hancur, Jogja telah dikuasai sepenuhnya, pemerintahan mereka sudah berjalan dan lain-lain, Dilenyapkan. Sedang negara negara yang bersimpati pada perjuangan kita, tentu tidak akan ragu- ragu memberi bantuan kepada kita. Dan pihak Belanda tentu bimbang dan akhirnya mengurangi kepercayaan terhadap Belanda sendiri”. (Dr AH Nasution: Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 2A hal 230). Dalam surat Panglima Besar Sudirman ke AH Nasution saat itu disebutkan: Letnan Kolonel Soeharto adalah Bunga Pertempuran (Dr A.H. Nasution, dalam buku yang sama, hal 231). Demikian sekedar catatan tambahan untuk melengkapi wacana Serangan Umum 1 Maret 1949 yang sedang hangat. Jakarta, 4 Maret 2022. (*)
Belum Ada Alasan Logis Penundaan Pemilu 2024
Jakarta, FN. Anggota Komisi XI DPR RI Marinus Gea menyatakan bahwa belum ada alasan logis dari Pemerintah terkait dengan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, baik secara hukum, sosial, maupun politik. \"Penundaan pemilu itu argumen-nya harus dari Pemerintah. Harus ada alasan yang kuat untuk memutuskan menunda pemilu-nya,\" kata Marinus dalam webinar bertajuk \"Amendemen UUD 1945: Lobi-Lobi Masa Jabatan Presiden?” yang disiarkan di platform Zoom Meeting, dipantau dari Jakarta, Jumat. Dalam sepekan, telah muncul polemik di tengah masyarakat terkait dengan penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024. Berbagai alasan pun muncul dalam narasi penundaan tersebut, seperti pemulihan ekonomi hingga perkembangan konflik di Rusia dan Ukraina. Marinus menilai, argumen-argumen tersebut harus disampaikan secara resmi oleh Pemerintah dan harus dapat menjelaskan keadaan genting yang menegaskan urgensi dari penundaan Pemilu 2024. \"Mungkin ada alasan-alasan yang benar-benar akan melemahkan Pemerintah jika dipaksakan pada 2024 dilakukan Pemilu serentak,\" ucapnya. Jika berlangsung keadaan tertentu yang mengharuskan Pemerintah melakukan penundaan terhadap Pemilu 2024, maka penundaan dapat dilakukan selama tidak melebihi 2,5 tahun. \"Artinya, kalau lebih dari 2,5 tahun, itu melanggar undang-undang. Kalau di bawah itu, dengan alasan yang cukup dan bisa diterima oleh masyarakat, itu bisa dijadikan alasan penundaan,\" tutur Marinus. Sebelumnya, wacana terkait penundaan Pemilu 2024 ramai menjadi pembicaraan masyarakat akibat Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang mengusulkan penundaan jadwal pelaksanaan Pemilu 2024 selama 1 tahun atau 2 tahun. Usulan tersebut bertujuan agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang dan tidak terjadi pembekuan ekonomi. Selaras dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan juga mendukung penundaan Pemilu 2024. (Summber: ANTARA)