Demokrasi di Indonesia Dikendalikan Istana

Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

Pembusukan lahan demokrasi, dengan dimarginalkan pemilik sah kedaulatan negara yaitu rakyat. Adalah menjadi tragedi, catatan sejarah hitam kelam dan terburuk dalam demokrasi di Indonesia.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

SEPERTI diketahui ada 271 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023.

Mereka akan diganti dengan cara penunjukan oleh Presiden dengan eksekutor oleh Menteri Dalam Negeri. Hingga terpilih kepala daerah definitif hasil Pilkada serentak November 2024.

Keputusan/kebijakan ini akan merusak dan mencederai proses demokrasi. Legitimasi negara demokratis mutlak bahwa kekuasaan negara adalah di tangan rakyat.

Prinsip demokrasi berbunyi: kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat (sovereignty of the people) dan pemerintah dijalankan atas persetujuan yang dipimpin dalam hal ini adalah rakyat (government based upon the consent of the governed). Mulai kapan demokrasi berbasis dan berprinsip pada appointment (penunjukan) oleh para penguasa.

Sekalipun terjepit sebagai bawahan Presiden - Mendagri terus bertahan bahwa proses penunjukkan pengganti kepala daerah telah memenuhi syarat dengan orgumentasi andalannya bahwa Pengunduran Pilkada 2,5 tahun dilakukan oleh UU yang dibuat Oleh DPR.

Sejak awal sudah diingatkan bahwa hakekat UU tidak boleh melanggar atau mengkudeta kedaulatan rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Pelaksana negara (Eksekutif) mutlak harus taat aturan konstitusi di bawah UUD. Proses demokrasi tidak boleh diperkosa dan dilibas oleh akal-akalan penguasa.

Dengan kata lain, semua norma dan aturan sebagai penjabaran dari UUD 45 yang diciptakan oleh pemerintah apapun bentuk dan isinya, tidak boleh mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat.

Langkah yang dilakukan pemerintah mengarah pada pemaksakan seluruh kekuasaan kontrol dan penindakan berada di dalam satu tangan, dengan mengamputasi persyaratan dasar dan melanggar UUD adalah sesat dan kesalahan yang fatal.

Bahaya lain – para penjabat hasil penunjukkan akan memiliki wewenang yang sama dengan kepala daerah definitif, yang terpilih oleh aspirasi rakyat melalui kontestasi politik di dalam ajang Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Sementara rakyat tidak pernah memberikan mandat dan legitimasi kepada mereka.

Prediksi akan terjadinya kekacauan dan kegaduhan dikemudian hari akan terjadi, potensinya sangat besar.

Pada acara diskusi Kompas XYZ Forum bertajuk “Penjabat Menguasai Daerah: Kebijakan Terarah vs Konservatisme Kebijakan”, Selasa (10/05/2022), Prof. Djohermansyah Djohan, salah satu pembicara mengatakan, di dalam tata cara penunjukan penjabat dari ASN, seharusnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP), sesuai saran pertimbangan di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika PP belum jadi, sementara waktu Sekda bisa diangkat sebagai pelaksana harian kepala daerah.

Materi muatan PP antara lain memastikan pengisian penjabat mengedepankan prinsip demokrasi, transparansi dalam birokrasi, kompetensi dan kondisionalitas daerah. Untuk memastikan terpenuhinya prinsip demokratis, perlu dibentuk panitia seleksi untuk menutup celah politik transaksional. Setiap tahapannya juga diumumkan ke publik serta diawasi KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Negara harus dikendalikan dan dikelola taat konstitusi – jangan dimainkan dan dijalankan dengan cara-cara dagelan yang konyol seperti ini.

Benar-benar parah: belakangan akan muncul masalah lain dari praktik penunjukkan kepala daerah yang tidak melibatkan DPRD yang notabene representasi aspirasi rakyat. Dipastikan akan muncul dampak ikutan yang lebih rumit,  akibat praktik anomali demokratisasi anti demokrasi.

Penunjukkan penjabat bukanlah sekedar memilih administrator, melainkan penjabat politik yang harus memiliki legitimasi dan kemampuan politik yang mumpuni.

Kalau asal tunjuk oleh sang penguasa akan sangat mudah melahirkan perlawanan dan gugatan rakyat. Tidak boleh ada keputusan yang bernama “keputusan inkonstitusional bersyarat”, dengan dalih dan dalil yang mengada ada.

Pembusukan lahan demokrasi, dengan didalam demokrasi di Indonesia.

Kesan pendegradasian lahan demokrasi itu terjadi justru saat lahan demokrasi yang relatif kering menjadi semakin gersang. Rezim ini berpotensi melanggar kedaulatan tertinggi rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Akan mengakibatkan kegaduhan dan kekacauan tak berkesudahan dikemudian hari dan keadaan negara akan terus meluncur menuju kehancurannya.

Kecurigaan rakyat tiba-tiba muncul ke permukaan, terekam dan tertangkap melalui media sosial tercium bau busuk menyengat, ini ada rekayasa dari segelintir Penguasa dan Pengusaha (PengPeng) yang bersenyawa dengan makhluk oligarki, akan menyedot suara rakyat untuk meloloskan dan memenangkan Capres bonekanya pada Pilpres 2024.

Rezim versus Oligarki tentu tidak peduli dengan proses demokrasi yang membusuk, bahkan akan dibuat busuk, asal kekuasan tetap dalam kendali dan remotnya untuk menguasai negara ini. (*)

285

Related Post