Luka UAS, Luka Kita

Tamsil Linrung.

Ada baiknya Pemerintah memanggil Duta Besar Singapura di Jakarta untuk menjelaskan alasan deportasi tersebut. Ketegasan itu harus terlihat. Kalau tidak, negara lain akan terus menyepelekan Indonesia.

Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI

USTAZ Abdul Somad (UAS) mengalami peristiwa tidak menyenangkan saat hendak berlibur ke Singapura. Mubaligh kondang tersebut menuturkan, dirinya ditahan masuk Singapura tanpa proses wawancara. Juga tidak ada keterangan resmi dari keimigrasian Singapura kepadanya.

Otoritas keimigrasian Singapura kemudian memintanya kembali ke Indonesia. Sebelum itu, UAS dipisahkan dengan istri dan anaknya, dan dimasukkan ke ruangan sempit berukuran 1x2 meter. Akibat perlakuan diskriminatif tersebut, agenda liburan UAS di Singapura pun batal. 

Terkait peristiwa itu, ada dua informasi yang berkembang. Pertama, bahwa UAS dideportasi oleh pihak imigrasi Singapura. Kedua, UAS tidak dideportasi, tetapi ditolak izin masuknya ke Singapura. Penjelasan ini disampaikan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura.

Apapun bentuk pelarangannya, dampaknya tetap sama yakni UAS tidak dapat masuk ke Singapura dan harus kembali ke tanah air. Adalah hak pihak imigrasi atau pemerintah Singapura melarang warga negara lain masuk ke negaranya. Kita menghormati kedaulatan itu. Namun, imigrasi atau Pemerintah Singapura berkewajiban menjelaskan alasan pelarangan itu. Tidak ujug-ujug dilarang, dicekal, atau dideportasi begitu saja.

Apakah UAS teroris? Tentu bukan. Kalau beliau teroris, Detasemen Khusus 88 jelas telah lebih dahulu bertindak. Apakah UAS punya sejarah buruk? Juga tidak. UAS adalah manusia terdidik. Beliau S1 dari Al-Azhar Mesir, S2 Darul Hadith Maroko dan S3 Oum Durman Islamic University, Sudan.

Tidak adanya penjelasan imigrasi Singapura melahirkan berbagai pertanyaan, di samping juga memunculkan spekulasi dan opini liar. Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin, misalnya, menilai dideportasinya UAS dari Singapura tak terlepas dari kepanikan rezim ini atas pengaruh dakwah UAS di masyarakat.

Apa iya ada peran Indonesia dalam peristiwa itu? Kita tidak tahu dan selamanya akan menjadi misteri kalau imigrasi atau pemerintah Singapura tidak memberi keterangan resmi. Ditolak mentah-mentah tanpa penjelasan jelas membuat siapapun terluka.

Luka hati UAS adalah luka hati banyak rakyat Indonesia. Kita tahu, UAS adalah ulama dan intelektual muslim yang cukup berpengaruh. Beliau adalah seorang warga negara Indonesia (WNI) yang terhormat.

Maka, sangat tidak pantas UAS diperlakukan seperti itu. Perlakuan Singapura dapat dipastikan membuat sejumlah WNI kecewa. Peristiwa ini adalah pelecehan terhadap martabat seorang tokoh publik yang menjadi panutan banyak orang di Indonesia. Secara tidak langsung juga bisa dimaknai pelecehan bagi Indonesia.

Terhadap peristiwa ini, saya menyesalkan dua hal. Pertama, deportasi atau larangan masuk warga negara terhormat dari Indonesia tanpa penjelasan memadai. Kedua, sikap Pemerintah Indonesia yang cenderung tidak tegas.

Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar RI di Singapura mengaku telah mengirimkan Nota Diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Singapura. Namun, dalam situasi sekarang, langkah itu agaknya belum cukup. Indonesia perlu bersikap lebih tegas.

Ada baiknya Pemerintah memanggil Duta Besar Singapura di Jakarta untuk menjelaskan alasan deportasi tersebut. Ketegasan itu harus terlihat. Kalau tidak, negara lain akan terus menyepelekan Indonesia.

Marwah bangsa di mata dunia internasional harus dijaga dan dikukuhkan dengan baik. Sebab, saat ini Indonesia terasa mulai dipinggirkan. Kesan ini tertangkap juga saat Presiden Joko Widodo menghadiri KTT Amerika Serikat-ASEAN belum lama ini.

Dalam agenda acara tersebut, negara-negara Asean didaulat berbicara di depan audiens. Tetapi presiden Indonesia tidak. Berbagai latar belakang politis berpotensi jadi pencetus. Tapi, tetap saja kita harus merefleksi diri. Mengapa kita mulai tidak dianggap? (*)

262

Related Post