Penzombiean di Metaverse

Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts

Hidup adalah pengalaman spiritual. Dunia metaverse dengan demikian adalah dunia zombie, sebuah kehidupan palsu karena tanpa spirit.

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts

BELUM lama ini jagad ekonomi virtual digemparkan oleh WIRG yang konon memperoleh mandat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyiapkan masyarakat Indonesia memasuki Metaverse. WIRG kembali menyemburkan sihir Augmented Reality, Virtual Reality dan Artificial Intelligence.

Tidak saja para taipan bergabung menjadi pemilik saham awalnya, bahkan Yeni Wahid serta Himbara (klaster bank negara) seperti BNI, BRI dan Mandiri pun ikut menjadi pemiliknya. Kemudian  melalui IPO di bursa efek, para pemilik saham menuai gain milyaran dalam hitungan hari saja. Kesuksesan WIRG ini seolah menutupi keruntuhan saham GOTO baru-baru ini, dan kebangkrutan LUNA crypto.

Makin jelas bahwa kekuatan-kekuatan ifrity dan riba makin men-jongos-kan masyarakat, dan mencengkeram hampir semua segi kehidupan. Sebagai jongos, setelah diberi mimpi cepat kaya melalui dunia maya, masyarakat semakin digiring ke realitas semu yang tidak mampu dikendalikannya sendiri.

Penyemuan realitas ini bisa disebut sebagai proses dua dimensionalisasi. Yang secara perlahan masyarakat direduksi menjadi masyarakat 2-dimensi melalui massive digitilisation, lalu kini sudah mulai terlatih untuk puas dengan ruang virtual 3-d.

Lalu melalui metaverse, ruang publik dibajak oleh segelintir perusahaan IT menjadi private space. Seperti cara kerja korporasi, metaverse adalah ruang otoritarian, highly controlled environment yang berbahaya bagi kebebasan pribadi dan publik.

Ini adalah bagian dari mind control project yang terstruktur, sistemik dan masif oleh satu kekuatan IT oligarchs yang hegemonik.

Digitalisasi hingga tingkat tertentu masih menyehatkan dan meningkatkan kreativitas, produktifitas dan kualitas hidup. Tapi melalui metaverse ini telah terjadi over – digitalisation yang merusak kemanusiaan kita.

Seperti gula darah masih menyehatkan dalam kadar tertentu, tapi jika sudah berlebian akan mengakibatkan diabetes mellitus.

Begitulah massive digitalisation berpotensi merusak. Sebagai manusia, kita makin mati rasa, lalu mati spiritual. Dua hal ini lenyap di metaverse karena keduanya hanya ada di universe. Masyarakat setelah mengalami penjongosan akan dijerumuskan kedalam penzombiean.

Rasa dan spiritualitas hanya muncul dalam universe, sebuah ruang 3D. Hanya dalam ruang 3D itu waktu bisa dipahami. Hidup sebagai pengalaman membutuhkan ruang 3D dan waktu.

Waktu adalah cara mengurutkan peristiwa, satu cara menyusun kronologi. Tanpa waktu tidak ada proses. Tidak ada awal dan akhir. Manusia gepeng 2D tidak membutuhkan waktu karena sudah mati.

Hidup adalah pengalaman spiritual. Dunia metaverse dengan demikian adalah dunia zombie, sebuah kehidupan palsu karena tanpa spirit.

Kita menolak penjongosan dan penzombiean massal oleh global oligarchs yang dibantu domestic oligarchs sebagau kaki tangannya di sini. Sudah saatnya kita mereproklamasikan Republik ini untuk merdeka dari para oligarchs sontoloyo yang tidak pernah berhenti menjarah kemerdekaan bangsa ini.

Kita menolak kemerdekaan semu di metaverse, menuntut kemerdekaan sejati di universe. (*)

258

Related Post