Dunia yang Interdependen
Satu contoh yang sering saya sampaikan dalam konteks Amerika adalah Islamophobia dan Anti semitisme. Saya melihat bahwa keduanya adalah bagaikan dua sisi mata uang.
Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
LANJUTAN oleh-oleh dari acara interfaith di University of North Florida Ahad lalu. Salah poin penting yang saya sampaikan adalah betapa perubahan sosial (social shifting) yang juga ditandai oleh perubahan demografi (demographic shifting) menjadi salah satu hal yang menakutkan bagi sabagian orang.
Biasanya yang mengalami ketakutan seperti ini adalah mereka yang berada pada posisi “upper hand” (mayoritas misalnya). Mereka biasanya mengalami perasaan terancam (threaten) dengan membesarnya mereka yang berada pada posisi minoritas. Bayang-bayang ketergeseran (shifting) itu menjadi pemicu ketakutan (phobia), kebencian (hate) bahkan sering membawa kepada kekerasan (violence).
Kebencian ras misalnya, yang menimbulkan beberapa kekerasan di berbagai belahan dunia, khususnya di dunia Barat, menjadi bukti dari fenomena di atas. Tendensi ini kemudian diperkuat oleh bangkitnya keangkuhan ras (racial supremacy) di kalangan masyarakat putih yang disebut “white nationalism”.
Dan semua itu kemudian diperburuk oleh bangkitnya politisi-politisi oportunis radikal dengan memainkan kartu rasisme itu.
Bagi Komunitas Muslim sendiri, peristiwa pembantaian jamaah di dua masjid Christchurch di Selandia Baru adalah pengalaman pahit akibat kebencian ras itu. Sebanyak 52 orang yang terbantai di tangan seorang white nationalis dalam waktu sekejap.
Tapi bagi Umat Islam phobia dan dan kebencian sebagian mayoritas di dunia Barat tidak saja karena alasan ras. Tapi ketakutan dan kebencian ganda, ras dan agama sekaligus. Sehingga, sering saya katakan bahwa Umat Islam itu menjadi obyek phobia dan kebencian secara berlapis-lapis.
Dalam dunia global yang interconnected atau interdependent (saling terkait) fenomena kebencian bahkan kekerasan seperti ini tidak boleh lagi dilihat secara sepihak. Artinya peristiwa yang terjadi kepada Komunitas tertentu tidak lagi seharusnya dilihat sebagai permasalahan Komunitas tertentu saja.
Sebaliknya, justeru permasalahan-permasalahan yang ada/terjadi harus dilihat pada konteks kolektif. Artinya sebuah kejadian yang menimpa sebuah kelompok Komunitas harusnya dipahami bahwa dampaknya tidak saja kepada kelompok termaksud. Tapi menimpa semua kelompok karena saling terikat.
Satu contoh yang sering saya sampaikan dalam konteks Amerika adalah Islamophobia dan Anti semitisme. Saya melihat bahwa keduanya adalah bagaikan dua sisi mata uang.
Walau dengan terminologi berbeda namun sesungguhnya memiliki esensi yang sama. Yaitu kebencian kepada orang tertentu karena keyakinannya.
Pada konteks inilah semua harus memahami bahwa dunia kita bagaikan sebuah rumah mungil bersama dan untuk semua. Ada tanggung jawab moral bersama untuk menjaganya. Karena apa yang terjadi di sebuah bagian bumi akan berdampak kepada bagian lainnya.
Inilah salah satu makna terpenting dari Interfaith dalam dunia global. Di tengah keragaman manusia harus belajar membangun kebersamaan, bergandeng tangan untuk membangun dan menjaga/memelihara dunia ini sebagai rumah bersama.
Semua tentunya punya mimpi untuk mewujudkan “Kingdom of God” (kerajaan Tuhan) di atas bumi ini. Atau dalam bahasa Al-Quran manusia harus bersama-sama membangun: “baldatun thoyyibah wa Rabbun Ghafur”.
Manhattan, 16 Mei 2022. (*)