“The Rise and Fall of the Indonesian Oligarchs”
Diskriminasi sosial dan keterpecahan tersebut terwujud hingga di sekolah dan kawasan perumahan. Situasi ini tidak bisa diterima, dan dibiarkan begitu saja karena akan mengancam eksistensi Republik ini.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts
KEBANGKITAN oligarki Indonesia boleh dikatakan terjadi sejak Orde Baru. Di tangan besi Soeharto, kekuasaan politik menumpuk di sekitar Soeharto dan lingkar pertama orang-orang kepercayaannya.
Kemudian dinastinya. Dalam rangka pembangunan ekonomi dengan obsesi pertumbuhan, dibukalah keran penanaman modal asing dari AS, Eropa Barat dan Jepang.
Lalu, Soeharto memilih segelintir kelompok China untuk membangun ekonomi Indonesia seperti Liem Siu Liong. Lalu juga segelintir pribumi seperti Abu Rizal Bakrie.
Munculah proses konglomerasi yang besar karena difasilitasi Soeharto yang kemudian disebut sebagai kapitalisme semu atau ersatz capitalism oleh Kunio Yoshihara. Gejala serupa juga terjadi di Malaysia, dan Asia Tenggara pada umumnya.
Kejatuhan Soeharto pada 1998 ternyata melahirkan sebuah konglomerasi baru secara ekonomi, dan politik yang dimungkinkan oleh UUD 2002 yang sangat liberal kapitalistik. Ongkos rekrutmen politik makin mahal yang mengharuskan kemampuan logistik yang besar bagi para politikus.
Perselingkuhan para politikus partai politik dan para taipan terjadi makin mesra. Sebagai agenda reformasi, pemberantasan korupsi menjadi omong kosong dan pepesan kosong walau awalnya KPK menjadi simbol awal keberhasilan reformasi.
Kini terbukti bahwa reformasi telah menimbulkan deformasi besar-besaran kehidupan berbangsa dan benegara. Partai politik menjadi makelar curang suara publik, sementara Pemilu justru semakin memilukan publik pemilih. Demokrasi dibajak oleh para politikus atas tekanan para taipan sebagai oligarki yang makin brutal sejak lima tahun terakhir.
Kini kita sejatinya telah memasuki satu periode krisis demokrasi dan korupsi yang disebabkan oleh krisis konstitusi di mana mekanisme self-correction dilumpuhkan oleh kekuatan oligarki sehingga Republik menghadapi prospek jatuh menjadi negara gagal.
Maladministrasi publik telah terjadi di hampir semua sektor di mana undang-undang dan peraturan dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan oligarki.
Dipicu goncangan eksternal oleh krisis global yang kini mengancam, oligarki yang sejak awal mengidap retak internal, kini mengalami perambatan retak yang makin lebar. Republik Indonesia bisa kemudian berpotensi mengalami gelombang anarki, seperti amuk masa yang belum lama ini telah melanda Sri Langka.
Pemusatan kekuatan ekonomi (terutama melalui penguasaan lahan berjuta-juta hektar) dan politik pada segelintir elit ini tidak saja mengakibatkan kesenjangan spasial dan ketimpangan pendapatan yang makin berbahaya, juga terjadi kelas-kelas sosial politik baru yang makin memecah belah bangsa ini.
Diskriminasi sosial dan keterpecahan tersebut terwujud hingga di sekolah dan kawasan perumahan. Situasi ini tidak bisa diterima, dan dibiarkan begitu saja karena akan mengancam eksistensi Republik ini.
Negara gagal Indonesia akan sekaligus mengancam keseimbangan regional di IndoPasific. Kita sebenarnya berharap, para patriot muda seperti mahasiswa segera bangkit untuk mengembalikan hitung mundur keruntuhan Republik ini dengan menghentikan kerakusan oligarki yang terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan Republik ini.
Pringsewu, Lampung 16 Mei 2022. (*)