Nyalakan Api Revolusi
Pilpres saat ini tidak akan bisa melepaskan diri dari budaya transaksi politik jual-beli partai dan suara, magnet kendalinya tetap oleh Oligarki, dengan kata lain, sampai pada penentuan kemenangan untuk setiap Capres pada 2024 harus tunduk dengan bandar hitam Oligarki.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
TIKET Pilpres 2024 saat ini dalam realitas kuasa politik masih ada di tangan para cukong hitam Oligarki. Ada Pilpres 2024 sekarang atau kapanpun jika Pilpres berlangsung, gerombolan cukong hitam Oligarki berpotensi sebagai pemenangnya.
Gerombolan mereka telah mempersiapkan segala cara dan bentuk kecurangan agar bisa memenangkan Pilpres 2024. Mereka ingin rezim penguasa tetap saja sebagai bonekanya
Oligarki adalah kelompok kecil yang mempengaruhi, bahkan menentukan kebijakan negara. Oligarki terdiri dari dua kelompok, yaitu elit penguasa dan pengusaha papan atas, yang memiliki sumber finansial sangat besar dan bisa membeli semua instrumen politik untuk kepentingan politik dan ekonominya.
Penguasa dan pengusaha – ekonom senior Rizal Ramli menyebutnya sebagai PengPeng – ingin mengamankan kepentingannya ke depan. Secara hukum aman, kepentingan politik berkelanjutan, dan nasib bisnis para pengusaha terjaga, bahkan berkembang.
Paska upaya rekayasa perpanjangan masa jabatan atau masa jabatan Presiden tiga periode ada perlawanan dari rakyat. Cukong hitam Oligarki harus berpikir ulang super hati-hati untuk memilih dan memenangkan calon Presidennya pada Pilpres 2024. Calon Presiden yang menjadi pilihannya dalam pemilu nanti pasti harus dalam radar kendalinya. Untuk mempertahankan kepentingan politik dan bisnis mereka, salah kalkulasinya yang terjadi bisa sebaliknya.
Saat ini Oligarki dipaksa untuk bersikap realistis, mereka akan merapat dan memberi dukungan kepada calon yang potensial menang. Siapapun calon yang harus dimenangkan, bagi cukong hitam Oligarki, mutlak harus menjaga dan mengamankan kepentingan mereka – adalah aman secara hukum, politik dan ekonomi.
Jika mereka salah atau terlambat mengambil langkah yang tepat, maka ini akan menjadi bumerang bagi masa depan mereka, baik masa depan politik maupun masa depan ekonomi. Bahkan, resiko hukum menjadi bayang-bayang ancamannya.
Sejak awal sudah dirancang koalisi partai gemuk (non PKS dan Partai Demokrat) kekuatan politik telah mencapai 82 %. Seandainya bisa dipertahankan oleh oligarki, itu artinya Pilpres 2024 saat ini sudah selesai. Inilah yang kini sedang dimainkan Muhaimin Iskandar (PKB) ditengarai setelah menjadi pion Luhut Binsar Pandjaitan untuk perpanjangan masa jabatan gagal di tengah jalan.
Dalam rumor politik, Muhaimin juga gagal membuka lapak jualan partainya untuk Capres pada Pilpres 2024.
Paska tuntutan bergelombang Yudisial Review Presidential Threshold (PT) 20 % menjadi 0 % semua dirontokkan (ditolak MK) – penentuan Capres harus mentaati PT 20 %, maka kendaraan partai adalah menjadi persyaratan mutlak bagi semua Capres.
Koalisi besar yang saat ini masih dalam kendali oligarki berpotensi akan pecah dengan mulai muncul Capres Puan Maharani, Prabowo Subianto, Muhaimin Iskandar (adalah kader dari pemilik partai). Sementara, AA LaNyalla Mahmud Mattaliti, Ganjar Pranowo, Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan (non partai).
Terkait dengan partai akibat PT 20 % gagal menjadi PT 0 % – adalah hanya para tataran peluang bagi partai untuk buka lapak bagi Capres yang mau membeli partainya untuk maju Capres 2024 – otomatis berpotensi koalisi besar partai di pemerintahan bisa retak dan bubar.
Pilpres saat ini tidak akan bisa melepaskan diri dari budaya transaksi politik jual-beli partai dan suara, magnet kendalinya tetap oleh Oligarki, dengan kata lain, sampai pada penentuan kemenangan untuk setiap Capres pada 2024 harus tunduk dengan bandar hitam Oligarki.
Sampai di sini harus dipahami bagaimana caranya agar setiap Capres pada Pilpres 2024 bisa lepas dari genggaman Oligarki. Menghancurkan peran oligarki rasanya mustahil dengan cara-cara konstitusional yang semuanya ditolak rezim boneka saat ini.
Satu satunya jalan keluar adalah dengan kekuatan People Power dan atau Revolusi untuk mengatasi kebuntuan tersebut. Maka seruan Kobarkan dan Nyalakan Revolusi jangan di maknai semata perbuatan makar tetapi itu adalah jalan keluar untuk menyelamatkan Indonesia. (*)