OPINI
Dunia yang Interdependen
Satu contoh yang sering saya sampaikan dalam konteks Amerika adalah Islamophobia dan Anti semitisme. Saya melihat bahwa keduanya adalah bagaikan dua sisi mata uang. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation LANJUTAN oleh-oleh dari acara interfaith di University of North Florida Ahad lalu. Salah poin penting yang saya sampaikan adalah betapa perubahan sosial (social shifting) yang juga ditandai oleh perubahan demografi (demographic shifting) menjadi salah satu hal yang menakutkan bagi sabagian orang. Biasanya yang mengalami ketakutan seperti ini adalah mereka yang berada pada posisi “upper hand” (mayoritas misalnya). Mereka biasanya mengalami perasaan terancam (threaten) dengan membesarnya mereka yang berada pada posisi minoritas. Bayang-bayang ketergeseran (shifting) itu menjadi pemicu ketakutan (phobia), kebencian (hate) bahkan sering membawa kepada kekerasan (violence). Kebencian ras misalnya, yang menimbulkan beberapa kekerasan di berbagai belahan dunia, khususnya di dunia Barat, menjadi bukti dari fenomena di atas. Tendensi ini kemudian diperkuat oleh bangkitnya keangkuhan ras (racial supremacy) di kalangan masyarakat putih yang disebut “white nationalism”. Dan semua itu kemudian diperburuk oleh bangkitnya politisi-politisi oportunis radikal dengan memainkan kartu rasisme itu. Bagi Komunitas Muslim sendiri, peristiwa pembantaian jamaah di dua masjid Christchurch di Selandia Baru adalah pengalaman pahit akibat kebencian ras itu. Sebanyak 52 orang yang terbantai di tangan seorang white nationalis dalam waktu sekejap. Tapi bagi Umat Islam phobia dan dan kebencian sebagian mayoritas di dunia Barat tidak saja karena alasan ras. Tapi ketakutan dan kebencian ganda, ras dan agama sekaligus. Sehingga, sering saya katakan bahwa Umat Islam itu menjadi obyek phobia dan kebencian secara berlapis-lapis. Dalam dunia global yang interconnected atau interdependent (saling terkait) fenomena kebencian bahkan kekerasan seperti ini tidak boleh lagi dilihat secara sepihak. Artinya peristiwa yang terjadi kepada Komunitas tertentu tidak lagi seharusnya dilihat sebagai permasalahan Komunitas tertentu saja. Sebaliknya, justeru permasalahan-permasalahan yang ada/terjadi harus dilihat pada konteks kolektif. Artinya sebuah kejadian yang menimpa sebuah kelompok Komunitas harusnya dipahami bahwa dampaknya tidak saja kepada kelompok termaksud. Tapi menimpa semua kelompok karena saling terikat. Satu contoh yang sering saya sampaikan dalam konteks Amerika adalah Islamophobia dan Anti semitisme. Saya melihat bahwa keduanya adalah bagaikan dua sisi mata uang. Walau dengan terminologi berbeda namun sesungguhnya memiliki esensi yang sama. Yaitu kebencian kepada orang tertentu karena keyakinannya. Pada konteks inilah semua harus memahami bahwa dunia kita bagaikan sebuah rumah mungil bersama dan untuk semua. Ada tanggung jawab moral bersama untuk menjaganya. Karena apa yang terjadi di sebuah bagian bumi akan berdampak kepada bagian lainnya. Inilah salah satu makna terpenting dari Interfaith dalam dunia global. Di tengah keragaman manusia harus belajar membangun kebersamaan, bergandeng tangan untuk membangun dan menjaga/memelihara dunia ini sebagai rumah bersama. Semua tentunya punya mimpi untuk mewujudkan “Kingdom of God” (kerajaan Tuhan) di atas bumi ini. Atau dalam bahasa Al-Quran manusia harus bersama-sama membangun: “baldatun thoyyibah wa Rabbun Ghafur”. Manhattan, 16 Mei 2022. (*)
Penegakan Hukum Terhadap Islamopobia
Menurut hukum positif, Islamophobia termasuk perbuatan pidana. Islamophobia bersintuhan dengan delik “berita bohong (hoaks)”, “penodaan agama”, dan “diskriminasi ras dan etnis”. Oleh karena itu, para pelaku Islamophobia harus diproses hukum sesuai dengan perbuatan dan kesalahannya. Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. - Ketua Umum HRS Center KETAKUTAN yang sangat berlebihan (fobia) terhadap Islam maupun pemeluknya menurut resolusi Majelis Umum PBB harus diperangi. Merebaknya Islamophobia bukan hanya menjadikan umat Islam tidak nyaman, tetapi juga menjadi korban. Pelabelan seperti “Islam intoleran”, “Islam radikal” dan “Islam teroris” demikian menyudutkan yang berujung ‘pengasingan’. Pembubaran HTI dan FPI diyakini publik sebagai bentuk pengasingan akibat Islamophobia. Jika pada HTI Islamophobia menunjuk pada ajaran Khilafah, adapun FPI ditujukan terhadap Syariat Islam. Eksponen Islamopobhia menganggap, baik HTI maupun FPI berbahaya bagi eksistensi Indonesia. Keduanya dituduh ingin merubah atau mengganti Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketika HTI dibubarkan, penulis pernah mengatakan bahwa pembubaran HTI sebagai entry point pembubaran FPI dan ternyata itu benar terjadi. Khilafah dan Syariat Islam diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang sama. Keduanya dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Keberlakuan Syariat Islam tentunya memerlukan sosok Khalifah. Kekhalifahan itu sendiri diadakan berdasarkan Syariat Islam. Dengan demikian, maka kekuasaan Khalifah harus berlandaskan pada Syariat Islam. Seorang Khalifah dalam menjalankan kekuasaannya tunduk dan patuh pada perintah Allah SWT dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, legitimasi Kekhalifahan menunjuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jadi apabila ada umat Islam yang mencela atau menyerang Kekhalifahan, maka patut diragukan keimanannya. Perlu penulis tegaskan bahwa Khilafah bukanlah ancaman terhadap negara, justru yang menjadi ancaman adalah ajaran Imamah Syi’ah yang dikendalikan oleh negara Iran. Terkait dengan itu Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 7 Maret 1984 telah mengeluarkan pendapat (rekomendasi) terkait dengan paham Syi’ah. Pada butir keempat disebutkan, “Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan (imamah) adalah termasuk rukun agama”. Selanjutnya disebutkan, “menyangkut perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terutama mengenai perbedaan tentang imamah (pemerintahan), Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.” Frasa “meningkatkan kewaspadaan” mengandung makna ada suatu ancaman atau bahaya, yakni ajaran Syi’ah itu sendiri. Sebelumnya, terdapat Surat Edaran Kementerian Agama (d.h Departemen Agama) tanggal 5 Desember 1983 perihal “Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syi’ah”. Tidak berselang lama sejak terbitnya rekomendasi Majelis Ulama Indonesia, penganut Syi’ah melakukan tindakan terorisme. Pertama, tanggal 24 Desember1984 aksi pengeboman kompleks Seminari Al Kitab Asia Tenggara dan Kompleks Gereja Kepasturan Katolik di Malang. Kedua, tanggal 21 Januari 1985 aksi pengeboman Candi Borobudur. Ketiga, bulan Februari 1985 rencana pengeboman di Bali. Namun bom terlanjur meledak di dalam bus Pemudi Express jurusan Malang-Bali. Khilafah menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah berbeda dengan ajaran Syi’ah. Khilafah juga tidak dapat dipersamakan dengan ideologi manapun. Lain halnya dengan Syi’ah, keberadaannya telah menjadi ideologi, sebagaimana dijalankan oleh negara Iran. Keberlakuannya menjangkau para penganutnya dimana saja mereka berada. Tidak terkecuali di Indonesia. Mereka diwajibkan untuk taat dan patuh kepada Rahbar Ali Khamenei selaku mandataris/wakil Imam Mahdi yang diklaim dalam masa ghaib. Majelis Ulama Indonesia Pusat melalui Buku Panduan “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” tahun 2003, menyebutkan adanya perencanaan secara sistematis mendirikan Negara Islam Syi’ah sebagai ancaman laten. Mengacu kepada hal-hal tersebut di atas, maka yang seharusnya diwaspadai dan dilarang penyebarannya adalah ajaran Syi’ah (imamah) yang menginduk pada negara Iran. Khilafah sebagai bagian ajaran Islam dipraktikan pertama kali oleh Khulafaur Rasyidin sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Konsepsi tentang Kekhalifahan banyak ditemukan dalam berbagai kitab Fiqh yang disusun oleh para Fuqaha, baik pada masa klasik maupun kontemporer. Oleh karenanya, Khilafah bukanlah suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum. Setiap orang yang menyampaikan ajaran Khilafah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terdapat dalam Pasal 28E ayat 2 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Kemudian, Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Mengidentikan ajaran Khilafah dengan radikalisme (benih terorisme) termasuk perbuatan penyiaran berita atau pemberitahuan bohong. Setidak-tidaknya menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap. Perbuatan dimaksud diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Pernyataan demikian juga bersintuhan dengan delik penodaan agama. Perbuatan dimaksud diatur dalam Pasal 156a hurus a KUHPidana. Tidak berhenti sampai disini, pernyataan radikalisme pada seseorang yang menyampaikan ajaran Khilafah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. Tepatnya pada Pasal 4 huruf b angka 2, yang menyebutkan “tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan: berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain.” Frasa “kata-kata tertentu” termasuk didalamnya pernyataan mempersamakan Khilafah dengan sesuatu sifat yang tercela semisal radikalisme sebagai benih terorisme. Seiring dengan kampanye anti radikalisme dan anti terorisme, maka pemerintah harus pula memiliki semangat anti Islamophobia. Islamophobia termasuk perbuatan pidana. Oleh karena itu, pelaku Islamophobia harus diproses hukum sesuai dengan perbuatan dan kesalahannya. Ketiga undang-undang yang disebutkan di atas menjadi dasar (legalitas) proses penegakan hukum bagi pelaku Islamophobia. Jakarta, 16 Mei 2022
Ruhut Dan Paceklik Literasi Politik
Sejumlah politisi meminta Fatia dan Haris meminta maaf kepada Luhut. Namun, keduanya bergeming. Mereka setuju meminta maaf asalkan pihak Luhut membeberkan data tandingan yang membantah hasil riset mereka. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI PADA akhirnya, pelaku rasisme akan melukai dirinya sendiri. Setelah sekian lama menari-nari di atas cuitan-cuitan provokatif, Ruhut Sitompul akhirnya kesandung. Kali ini, ia diduga bertindak rasis unggahan foto editan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpakaian adat ala Papua. Captionnya, “Hahaha kata orang Betawi usaha ngeri x sip deh”. Cuitan itu memancing murka netizen. Jagad maya riuh. Reaksi keras datang dari dua pihak. Badan Musyawarah (Bamus) Betawi marah karena nama Betawi dibawa-bawa. Ketua Umum Bamus Betawi Riano P Ahmad meminta Ruhut memohon maaf kepada masyarakat Betawi yang telah membawa-bawa nama Betawi dalam menyebarkan hoaks. Foto yang diunggah memang hasil rekayasa digital. Reaksi dari Papua lebih keras lagi. Petrodes Mega Kelinduan melaporkan Ruhut ke Polda Metro Jaya. Ia menilai postingan Ruhut Sitompul melecehkan budaya Papua. Luka hati Petrodes dan warga Papua lainnya bisa dimaklumi. Pasalnya, postingan Ruhut dapat dimaknai mengandung unsur pelecehan terhadap Anies dengan pakaian adat suku di Papua itu. Terlebih bila dikaitkan dengan cuitan-cuitan Ruhut yang bernada kebencian. Sebelumnya, Ruhut menampilkan foto rombongan pengendara motor dengan kaos bertuliskan “Haram Dukung Anies Baswedan”. Foto ini dipastikan hasil editan menyusul unggahan foto asli oleh netizen di twitter. Kini, dugaan ujaran bernuansa rasis Ruhut sedang ditangani kepolisian. Kita mendukung proses hukum ini dan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat kepolisian. Semoga kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan. Gaya politik bar-bar belakangan ini memang banyak mewarnai dinamika politik nasional. Saling serang menajam setiap waktu. Sayangnya, yang membuncah adalah serangan personal, menjauh dari debat argumentatif. Kering narasi, miskin gagasan. Sebagai akibatnya, keberagaman dipecah dalam kotak terpisah, kotak bernama suku, agama, budaya dan lain-lain. Mulut menyanjung Pancasila setinggi langit, namun sikap menginjak-injak falsafah hidup bangsa itu. Lidah bertutur NKRI harga mati, namun tindakannya terasa memecah-belah. Cuitan Ruhut hanya salah satu dari banyak peristiwa politik yang terindikasi rasis. Lainnya, tak terbilang banyaknya ujaran kebencian, provokasi SARA, dan sejenisnya lalu lalang di hadapan kita, merusak hubungan sosial kultural masyarakat Indonesia yang lama dan sudah susah payah dibangun. Sayangnya, pentas politik nasional gagal menghadirkan sosok pemersatu. Kita tidak melihat ada tokoh bangsa yang menjadi panutan oleh kubu-kubu politik yang berseteru. Tokoh agama yang terkadang mengambil alih peran ini, malah dibunuh karakternya oleh buzzer-buzzer politik. Buzzer-buzzer politik kini sangat meresahkan. Sampah politik ini seolah-olah dibiarkan dan diduga sengaja dirawat dan dibiayai. Bahkan, ini diduga kuat mengalir dana APBN untuk keperluan tersebut. Pada acara Halal Bihalal HMI MPO, Bang Rizal Ramly memiliki saya sebuah pertanyaan yang lain disampaikan kepada pemerintah berapa besar alokasi dana yang digunakan untuk memecah-belah Ormas, termasuk organisasi kemahasiswaan hingga menghasilkan Partai Mahasiswa. Kehadiran buzzer membuat politik semakin dalam membelah masyarakat. Alhasil, segregasi kian menebal, kohesivitas sosial terganggu. Cuitan politik bernada rasis, SARA, atau ujaran kebencian adalah gejala paceklik literasi politik. Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Dengan begitu, literasi politik adalah kemampuan membangun kesadaran politik baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap seseorang untuk melek secara politik. Politik bukan saja tentang kekuasaan semata. Tapi, politik juga menyangkut hak politik seseorang termasuk menyangkut pendidikan politik itu sendiri. Dan pendidikan politik tidak hanya diperoleh melalui buku saja, tetapi juga pengamatan. Artinya, generasi muda belajar politik juga dari sepak terjang para politisi. Tapi, kalau pelaku politik nasional saja miskin literasi politik, lalu bagaimana dinamika politik kita mencerdaskan rakyat? Bagaimana mungkin minat politik generasi muda tumbuh dan mekar, sementara narasi-narasi pemecah-belah telah begitu rakus mendegradasi martabat politik? Di lain pihak, ketika ada anggota masyarakat yang mengajukan kritik dengan data, malah dianggap pencemaran nama baik dan jadi tersangka. Perseteruan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, misalnya. Sejumlah politisi meminta Fatia dan Haris meminta maaf kepada Luhut. Namun, keduanya bergeming. Mereka setuju meminta maaf asalkan pihak Luhut membeberkan data tandingan yang membantah hasil riset mereka. Situasi itu menunjukkan, iklim politik kita memang sedang tidak sehat. Jauh hari, kita semua harus menyadari ini, wabilkhusus pemerintah. Atau, jangan-jangan pemerintah malah menikmati kerontangnya literasi politik rakyat? (*)
“The Rise and Fall of the Indonesian Oligarchs”
Diskriminasi sosial dan keterpecahan tersebut terwujud hingga di sekolah dan kawasan perumahan. Situasi ini tidak bisa diterima, dan dibiarkan begitu saja karena akan mengancam eksistensi Republik ini. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts KEBANGKITAN oligarki Indonesia boleh dikatakan terjadi sejak Orde Baru. Di tangan besi Soeharto, kekuasaan politik menumpuk di sekitar Soeharto dan lingkar pertama orang-orang kepercayaannya. Kemudian dinastinya. Dalam rangka pembangunan ekonomi dengan obsesi pertumbuhan, dibukalah keran penanaman modal asing dari AS, Eropa Barat dan Jepang. Lalu, Soeharto memilih segelintir kelompok China untuk membangun ekonomi Indonesia seperti Liem Siu Liong. Lalu juga segelintir pribumi seperti Abu Rizal Bakrie. Munculah proses konglomerasi yang besar karena difasilitasi Soeharto yang kemudian disebut sebagai kapitalisme semu atau ersatz capitalism oleh Kunio Yoshihara. Gejala serupa juga terjadi di Malaysia, dan Asia Tenggara pada umumnya. Kejatuhan Soeharto pada 1998 ternyata melahirkan sebuah konglomerasi baru secara ekonomi, dan politik yang dimungkinkan oleh UUD 2002 yang sangat liberal kapitalistik. Ongkos rekrutmen politik makin mahal yang mengharuskan kemampuan logistik yang besar bagi para politikus. Perselingkuhan para politikus partai politik dan para taipan terjadi makin mesra. Sebagai agenda reformasi, pemberantasan korupsi menjadi omong kosong dan pepesan kosong walau awalnya KPK menjadi simbol awal keberhasilan reformasi. Kini terbukti bahwa reformasi telah menimbulkan deformasi besar-besaran kehidupan berbangsa dan benegara. Partai politik menjadi makelar curang suara publik, sementara Pemilu justru semakin memilukan publik pemilih. Demokrasi dibajak oleh para politikus atas tekanan para taipan sebagai oligarki yang makin brutal sejak lima tahun terakhir. Kini kita sejatinya telah memasuki satu periode krisis demokrasi dan korupsi yang disebabkan oleh krisis konstitusi di mana mekanisme self-correction dilumpuhkan oleh kekuatan oligarki sehingga Republik menghadapi prospek jatuh menjadi negara gagal. Maladministrasi publik telah terjadi di hampir semua sektor di mana undang-undang dan peraturan dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan oligarki. Dipicu goncangan eksternal oleh krisis global yang kini mengancam, oligarki yang sejak awal mengidap retak internal, kini mengalami perambatan retak yang makin lebar. Republik Indonesia bisa kemudian berpotensi mengalami gelombang anarki, seperti amuk masa yang belum lama ini telah melanda Sri Langka. Pemusatan kekuatan ekonomi (terutama melalui penguasaan lahan berjuta-juta hektar) dan politik pada segelintir elit ini tidak saja mengakibatkan kesenjangan spasial dan ketimpangan pendapatan yang makin berbahaya, juga terjadi kelas-kelas sosial politik baru yang makin memecah belah bangsa ini. Diskriminasi sosial dan keterpecahan tersebut terwujud hingga di sekolah dan kawasan perumahan. Situasi ini tidak bisa diterima, dan dibiarkan begitu saja karena akan mengancam eksistensi Republik ini. Negara gagal Indonesia akan sekaligus mengancam keseimbangan regional di IndoPasific. Kita sebenarnya berharap, para patriot muda seperti mahasiswa segera bangkit untuk mengembalikan hitung mundur keruntuhan Republik ini dengan menghentikan kerakusan oligarki yang terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan Republik ini. Pringsewu, Lampung 16 Mei 2022. (*)
Kemana Arah Dua Pemimpin yang Berbeda
Jokowi beserta semua kroninya harus bisa mengamankan masa jabatannya berakhir, sementara Anies akan melompat dan meneruskan karir politiknya yang lebih besar. Searah dengan kehendak alam dampak politiknya dari kedua pemimpin tersebut akan berbeda. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan kunjungan kerja di Eropa. Diketahui ada 3 negara didatangi Anies Baswedan, yakni Inggris, Jerman, dan Perancis selama 8 hari. Tujuan dari kunjungan Anies di ketiga negara Eropa itu guna membahas kerja sama pembangunan Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta. Menindaklanjuti kerja sama transportasi, termasuk pembiayaan MRT, tapi juga transportasi lainnya. Membahas rencana kerja sama sister city (kota kembar) dan smart city (kota cerdas). Saat ini, Jakarta sudah memiliki kerja sama sister city dengan sejumlah kota di dunia, seperti Jeddah, Seoul, Islamabad, Rotterdam, Tokyo, Los Angeles, Casablanca, dan Beijing. Kemudian, Arkansas, Berlin, New South Wales, Paris, Bangkok, Hanoi, Istambul, Maputo, Kyiv, Moskow, Al Qud\'s As-Shareef atau Jerusalem, Pyongyang, hingga Budapest. Kolaborasi antara Jakarta dengan Inggris dalam berbagai program terkait iklim apalagi Jakarta memiliki target untuk mencapai zero emission (emisi nol) pada tahun 2050. Anies Baswedan dilantik pada 16 Oktober 2017, sehingga masa jabatan Anies akan berakhir tepat 5 tahun setelah pelantikan, yakni 16 Oktober 2022. Mengapa Anies yang kita sentuh (tidak ada niat mengabaikan tokoh bangsa lainnya) karena Anies memiliki agenda kedepan sebagai kandidat Capres pada Pilpres 2024. Anies pasti menyadari masa bhaktinya sebagai gubernur akan berahir pada 16 Oktober 2022. Untuk apa melakukan kunjungan kerja dan membahasa program zero emission (emisi nol) pada 2050. Nuansa kerja politik tidak bisa dinafikan. Dalam suasana yang berbeda Bung LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang sedang menjalankan umroh terpantau melakukan kegiatan politik yang cantik dan cerdas. Bisa saja kecerdasan Anies melampaui pemikiran hanya sesaat dan kekinian. Anies memiliki sejarah dan darah sebagai juang pasti melintas dalam benak pikiranya bukan hanya masa kekinian atau hanya berpikir masa depan DKI, tetapi masa depan Indonesia. Sebab peluang sebagai RI-1 pada Pilpres 2024 terbuka dengan segala peluang dan kemungkinannya. Potensi keilmuan, kemampuan, dan integritasnya akan mengawal karir politiknya ke masa depan. Sampai di sini sudah terlintas realitas apa yang sedang dan akan terjadi pada Presiden Joko Widodo, kalau aman akan berakhir pada tahun 2024. Politik yang dimainkan selama ini sebagai presiden memiliki residu dan resiko politik yang sangat besar. Bisa jadi akan berakhir dengan menyandang gelar sebagai pahlawan “Bapak Pembangunan Infrastuktur”. Tapi justru sejarah gelap bisa terjadi sebaliknya sebagai Presiden terburuk dan berakibat resiko hukum atas kesalahannya selama menjabat sebagai presiden. Kesalahan seorang pemimpin tidak akan berubah karena perjalanan waktu (Muhammad Abduh). Agak sulit dianalogikan dua figur Anies Baswedan dengan Jokowi dalam karir dari akhir perjalanan politiknya dengan kapasitas wawasan dan intelektual, integritas, kapasitas dan potensi keilmuan yang yang berbeda, masing melekat dalam dirinya. Pada saat yang sama kunjungan ke luar negeri – Jokowi ke Amerika dan Anies ke Eropa. Dalam kapasitas yang berbeda Jokowi sebagai Presiden dan Anies sebagai Gubernur tetapi akan membawa resonansi dan kilas balik politik yang berbeda. Jokowi beserta semua kroninya harus bisa mengamankan masa jabatannya berakhir, sementara Anies akan melompat dan meneruskan karir politiknya yang lebih besar. Searah dengan kehendak alam dampak politiknya dari kedua pemimpin tersebut akan berbeda. Kedua pemimpin tersebut terus bergerak menjalankan aksinya: “Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, kita tidak dapat membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali melalui aksi’’ (Ernes Mandel). Dalam tanbih Syaikhuna al Mukarom Ahmad ShohibulwafaTajul Arifin ra: Setinggi-tingginya tahu, sedalam-dalamnya tahu. Seluas-luasnya tahu, belum tentu mengerti. Sedalam-dalamnya mengerti, seluas-luas mengerti, belum tentu merasa. Seorang pemimpin harus tahan dan legawa dengan jiwa negarawan mau dan mampu menerima kritik dan tahan berdebat dalam sebuah tekanan, tidak sebaliknya. “Ketika kalah dalam debat, dan rentan kritik - fitnah menjadi alat bagi pecundang” (Socrates). Muncul makhluk Buzer kerjanya hanya fitnah dan adu-domba. Pilpres mendatang masih cukup waktu, semoga Polres 2024 berjalan aman dan lancar, berjalan jujur dan adil, jauh dari macam-macam rekayasa tipuan. “The ballot is stronger then the bullet,” kata Presiden Amerika Abraham Lincoln. Ya, dalam pemilu, suara lebih kuat dari peluru. Bagi Jokowi bisa mengakhiri masa jabatannya dengan aman sudah cukup bagus. (*)
Mengapa Heran Jokowi Tak Dihargai Di Amerika?
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior, Pemerhati Sosial-Politik SEJUMLAH penulis dan komentator menyimpulkan secara ekplisit maupun implisit bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak diharga di Amerika Serikat (AS). Misalnya, Pak Jokowi tak disambut ketika mendarat di pangkalan militer Andrews (dekat Wahington) pada 10 Mei 2022. Kemudian, dia disambut dengan kaus oblong oleh pengusaha Elon Musk ketika Jokowi berkunjung ke komplek Space-X di Hawthorn, Californiana, pada Sabtu, 14 Mei. Sewaktu bincang-bincang di halaman Gedung Putih, ada foto yang menunjukkan Jokowi tak punya lawan bicara. Sementara Presiden Biden ngobrol dengan Sultan Hassanal Bolkiah. Di sisi lain ada PM Lee Hsien Loong yang ngobrol dengan orang lain. Di antara itulah Jokowi berdiri sendirian tanpa lawan bicara. Semua hal ini menghebohkan jagad medsos Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa Presiden Jokowi tak dianggap di AS. Yang mengherankan, mengapa banyak orang heran melihat Jokowi tak dihargai di AS? Salah siapa? Bukankah orang Indonesia sendiri, termasuk para sekutu dekat Jokowi, tidak lagi menghargai dia? Lihat saja Bu Megawati tak menghargai Jokowi. Para ketua umum parpol koalisi lainnya juga tak menghargai. Para menteri pun sama, termasuk Menko Polhukam Mahfud MD. Bu Mega yang sejak awal merendahkan Jokowi sebagai petugas partai. Dan sekarang tegas tak mau kasih Jokowi tambahan waktu 2-3 tahun, apalagi tiga periode. Di mana penghargaan Bu Mega? Mahfud MD malah bilang Indonesia perlu pemimpin yang kuat (strong leader). Yang bermakna bahwa Jokowi sudah tak bisa diharapkan lagi. Bukankah itu artinya Mahfud tidak lagi menghargai Jokowi? Menteri BUMN Erick Thohir tak lagi peduli tugasnya. Dia sibuk mencari elektabilitas dan popularitas. Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Suharsa Monoarfa, Muhaimin Iskandar, Surya Paloh, dll, juga tak lagi peduli Jokowi. Bahkan, jika kabar ini benar, Luhut Panjaitan yang paling dekat dengan Jokowi pun, kini mulai tak menghargai Jokowi. Kabarnya, Luhut mau berhenti dan akan bermukim di luar negeri. Ini kan juga tak menghargai Jokowi. Cuma Menhan Prabowo Subianto yang masih “siap gerak” dan peduli penuh setiap saat. Yang lain-lain menjauh. Sekali lagi, mengapa Anda komplen atau mencemooh Jokowi tak dihargai di AS? Aneh sekali, bukan? Ada lagi yang sangat menyedihkan. Yaitu, foto editan yang memaksa-maksakan Presiden Biden seolah berhadap-hadapan dengan Jokowi. Editan itu kasar sekali. Latarbelakang kedua orang itu tak sinkron. Ini kan memalukan. Kalau yang membuat editan itu adalah buzzer Jokowi, ini pun termasuk tidak menghargai Presiden. Jadi, sudahlah! Stop komentar bahwa Jokowi tak dihargai. Bagus Anda berdoa agar Elon Musk tidak membatalkan janji datang ke Indonesia di bulan November. Bedoa juga agar Wapres Ma’ruf Amin sehat wal afiat untuk menyambut kepulangan Jokowi di bandara Halim PK hari ini. Berdoa pula agar para staf media di Setneg mendapat inspirasi untuk mengarang berita atau tulisan tentang hasil kunjungan Jokowi ke AS. Ini pekerjaa berat. Tidak main-main.[]
Welkam Hom, Pak
Oleh M. Rizal Fadillah Piknik atau bukan kunjungan Jokowi ke Amerika ditentukan oleh hasil yang diperoleh atau manfaat konkrit untuk bangsa dan negara. Bila hanya menguntungkan diri, keluarga atau kelompok, maka itu adalah piknik. Tanda-tanda sudah ditunjukkan sejak awal, ketika kedatangan tanpa penyambutan yang memadai. Berbeda dengan sambutan kepada Kepala Negara Malaysia, Singapura, atau Brunai Darussalam. Amerika tentu melihat sikap Indonesia lebih pada basa-basi dalam konteks kerjasama ASEAN karena Indonesia lebih dekat dengan musuh Amerika, China. Bagaimana mungkin ada simpati untuk negara yang berkolaborasi dengan lawan. Tawaran bantuan keuangan 150 Juta US Dollar kepada ASEAN nyatanya lebih fokus untuk \"keamanan inklusif\" penguatan maritim melawan China. Tumpangan kegiatan berupa pertemuan dengan CEO perusahaan AS dinilai mengemis-ngemis. Tawaran investasi, dalam bahasa wartawan senior Hersubeno Arief, seperti \"Indonesia for sale\". Publik mengkritisi dan mempertanyakan kepentingan siapa Jokowi menawarkan besi, baja, bauksit, nikel, dan industri ekonomi digital tersebut? Pertemuan di Intercontinental the Willard Hotel, Washington DC tersisip olok-olok publik ketika Presiden Jokowi salah menterjemahkan status US Secretary of Commerce Gina Raimondo. Secretary of Commerce adalah Menteri Perdagangan bukan Sekretaris sebagaimana yang disebut Jokowi. Ketika menemui pemilik Space X di Boca Chica, sebagaimana Luhut Panjaitan dulu, Elon Musk tetap menyambut dengan mengenakan kaos oblong. Pemberitaan obrolan hangat antara keduanya tanpa dibarengi dengan video yang menunjukkan kemampuan bahasa Inggris Jokowi. Bahkan tersebar Presiden Jokowi sulit berkomunikasi bebas saat berdiskusi dengan Joe Biden atau lainnya. Sebenarnya para CEO dan Elon Musk bukan tidak tahu potensi SDA Indonesia seperti besi baja, nikel dan lainnya tetapi persoalan investasi itu kompleks. Realita bahwa perizinan sulit, rumit, dan berbelit membuat investor ragu. Pengadaan lahan baik soal harga maupun konflik dengan masyarakat sering terjadi. Regulasi tumpang tindih dan berubah-ubah. Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah tidak jelas. Ganti Gubernur ganti kebijakan. Permasalahan utama tentunya adalah korupsi dan stabilitas politik. Kepercayaan rakyat pada kepemimpinan Jokowi terus merosot. Ketika Pemerintahan Jokowi lemah dan goyah jangan harap investor akan datang apalagi dengan berbondong-bondong. Maksimum 2024 Presiden Jokowi dan \"Perdana Menteri\" Luhut Binsar juga akan tamat. Kini Jokowi kembali ke tanah air dengan berharap bahwa undangan pertemuan G 20 di Bali nanti, dimana Indonesia menjabat sebagai Presidency, dapat dihadiri AS. Amerika mempersyaratkan Indonesia untuk tidak mengundang Rusia. Suatu kondisi yang membuat Presidency dilematis. Kembali ke tanah air dengan wajah belum sumringah. Janji bukan solusi. Bukankah Jokowi juga menyandang predikat sebagai Presiden seribu janji tanpa bukti dan solusi ? Dunia masih akan melihat-lihat. Apalagi jika kembalinya Pak Jokowi ke Ibu Pertiwi ternyata disambut hangat oleh aksi protes mahasiswa, buruh, atau emak-emak yang terus menerus menggelinding dan menggumpal. Maka jangan harap investasi akan datang bergelombang, malahan mungkin yang ada juga akan menghilang. Atau kemungkinan besar bahwa investasi segera datang tanpa harus diundang jika Pak Jokowi sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden? Mundur atau dimundurkan. Bay de wey, welkam hom, Pak. Bandung, 16 Mei 2022
Kecewa dan Cemas di Tengah Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PERTUMBUHAN ekonomi triwulan I (Q1)/2022 tercatat 5,01 persen. Cukup mengecewakan! Loh, kok mengecewakan? Bukankah banyak pihak yang bangga dengan pertumbuhan ekonomi sebesar ini? Mengecewakan, karena kenaikan harga komoditas yang tinggi ternyata tidak mampu membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 7 persen. Padahal, kalau tercapai, lumayan untuk memenuhi janji kampanye, meskipun hanya satu kuartal. Mengecewakan, karena pertumbuhan ekonomi ternyata hanya 5 persen. Bayangkan, harga komoditas pada 2022 meroket. Harga Batubara mencapai harga tertinggi sepanjang sejarah. Begitu juga harga minyak sawit mentah. Kedua komoditas ini membuat ekspor Indonesia naik tajam. Ekspor Q1/2022 naik 35,2 persen dibandingkan Q1/2021, atau naik 17 miliar dolar AS. Sedangkan surplus neraca perdagangan naik 69 persen, dari 5,5 miliar dolar AS menjadi 9,3 miliar dolar AS, atau naik 3,8 miliar dolar AS. Tapi semua itu tidak membuat ekonomi meroket. Konsumsi masyarakat dan Investasi masih stagnan, masing-masing hanya memberi kontribusi 2,3 persen dan 1,3 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Jauh lebih rendah dari tahun 2012 ketika harga komoditas juga melonjak tajam. Ketika itu, konsumsi masyarakat dan investasi masing-masing memberi kontribusi 3,0 persen dan 2,9 persen. Artinya, kenaikan harga komoditas yang melonjak tajam tersebut dinikmati sendiri oleh para oligarki. Kenaikan ini tidak menetes ke masyarakat. Karena itu juga tidak membuat investasi naik. Selanjutnya, kenaikan harga komoditas membuat penerimaan negara melonjak. Penerimaan Negara dari Perpajakan naik 38,25 persen, dari Rp290,4 triliun pada Q1/2021 menjadi Rp401,8 triliun pada Q2/2022, atau naik Rp111,4 triliun. Ditambah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), total kenaikan Pendapatan Negara menjadi Rp122,2 triliun. Tetapi, anehnya, Belanja Negara malah kontraksi, atau turun Rp32,4 triliun. Belanja Negara pada Q1 tahun lalu mencapai Rp523 triliun, sedangkan pada Q1 tahun ini hanya Rp490,6 triliun. Sehingga kontribusi Konsumsi Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi minus 0,5 persen. Di lain sisi, masyarakat dibebani kenaikan harga pangan dan harga energi. Hal ini membuat daya beli masyarakat melemah, konsumsi masyarakat stagnan. Namun demikian, Pemerintah tidak membantu meringankan beban hidup masyarakat, tidak membantu stimulus ekonomi, di mana Konsumsi Pemerintah kontraksi. Apakah kebijakan fiskal yang tidak lazim ini hanya untuk mencapai surplus anggaran APBN, di tengah derita masyarakat? APBN pada Q1/2021 tercatat defisit Rp144,2 triliun, tiba-tiba menjadi suplus Rp10,3 triliun pada periode sama tahun ini. Hal ini menunjukkan kebijakan fiskal tidak pro rakyat. Kalau saja kebijakan fiskal dilakukan secara benar, pertumbuhan ekonomi 7 persen seharusnya tidak sulit dicapai. Tambahan 2 persen bisa diperoleh dari konsumsi pemerintah, konsumsi masyarakat dan investasi. Tetapi karena negara tidak diurus, karena para pejabat lebih sibuk dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen melayang. Tidak bisa dipungkiri, kenaikan harga komoditas dunia menjadi faktor pendongkrak ekonomi Indonesia, membuat kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 3,5 persen, merupakan kontribusi tertinggi sejak 2011. Tetapi, semua itu hanya dinikmati oleh para pengusaha oligarki. Masyarakat hanya mendapat getah berupa kenaikan harga. Kesempatan pertumbuhan ekonomi 7 persen sudah menjadi bubur. Sekarang dunia sedang menghadapi koreksi kebijakan moneter. Suku bunga global akan naik untuk melawan inflasi. Koreksi kebijakan moneter ini akan membawa konsekuensi buruk terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Harga komoditas akan turun, suku bunga akan naik, kurs rupiah akan tertekan dan melemah, pendapatan negara akan turun tajam, defisit anggaran 2023 akan kembali menjadi maksimal 3 persen dari PDB dan membuat konsumsi pemerintah akan kontraksi. Artinya, masa depan ekonomi Indonesia hingga menjelang pemilu Februari 2024 terlihat sangat suram. (*)
Diplomasi Presiden yang Kalang-Kabut
Juga, akan ditekan hentikan ketergantungan Indonesia kepada China. Harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang selama ini dan Islamophobia yang terus terjadi di Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SEORANG Presiden harus menguasai minimal lima (5) fokus utama dalam penjalinan relasi dan berdiplomasi dengan negara lain, yaitu: Representing, kemampuan untuk mewakili negara; Priomoting, yaitu kemampuan untuk mempromosikan negara; Protecting, yaitu perlindungan terhadap bangsa dan kepentingan negara; Negotiating, yaitu kemampuan negosiasi demi kepentingan negara; Reporting, yaitu melaporkan situasi dan kondisi suatu negara, termasuk sidang yang dilakukan demi kepentingan negara. Seorang Presiden dituntut untuk bisa berbahasa asing agar dalam percakapan dengan lawan bicara tidak terkendala. Sangat tragis ketika sedang berdialog dengan lawan bicara tampak senyum-senyum kecut seolah sedang menunjukkan dirinya paham apa yang sedang disampaikan lawan bicara. Padahal, yang sesungguhnya terjadi dalam otaknya mengalami kebuntuan dan kemacetan karena tidak paham apa yang sedang disampaikan lawan bicaranya. Seorang Presiden juga harus berwawasan luas, terutama jika bersinggungan dengan topik ekonomi, politik, dan budaya. Kemampuan untuk bernegosiasi juga diperlukan agar perundingan berjalan dengan baik, sehingga tidak terjadi fenomena kebingungan pada nalarnya. Seorang Presiden harus memiliki kepribadian yang unggul dan wibawa itu diperlukan karena pada diri seorang Presiden menempel atas nama negara, dituntut untuk bisa bekerja diatas tekanan. Sementara itu, fungsi diplomasi lainnya dapat dipelajari selama berproses. Ketika Presiden kita melakukan kunjungan kerja ke negara lain sebagian masyarakat kita merasa was-was, karena kemampuan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya. Was-was akan terjadi kendala hanya mengandalkan penerjemah dan ketidak-mampuannya menangkap dan sekedar berdialog secara normal dengan mitra dialog dalam forum penting. Nama, harga diri, citra dan wibawa negara melekat dalam penampilan seorang Presiden saat berada dalam forum percakapan dengan Presiden atau kepala negara dalam percaturan dunia. Jangan sampai negara dipertaruhkan karena terjadinya kecelakaan, Presiden tidak paham situasi dan kondisi politik baik negara yang dikunjungi atau situasi politik global yang sedang terjadi dan menyelimuti masalah antar negara. Apa tidak mengetahui Presiden AS Joe Biden, sedang menggalang blok untuk mengepung Presiden Rusia Vladimir Putin, tapi dia datang ke Biden ketika Indonesia berketetapan akan mengundang Putin pada pertemuan G.20. Over confidence seolah-olah Biden akan bisa ditaklukkan dalam diplomasi acak-acakan hanya bermodal pengalaman bisa marah-marah di dalam negerinya kepada para pembantu menterinya. Apa tidak mengetahui bahwa Singapura di-blacklist Russia, tapi dia mengekor Singapura untuk mencari perlindungan ke AS. Amerika dan sekutunya sedang sibuk luar biasa menggalang kekuatan melawan Rusia. Kepentingan Joe Biden dan PM Singapura Leen Hsien Loong dalam US-ASEAN Summit cuma mau melakukan diplomasi dan demonstrasi menekan Putin dan Presiden China Xi Jinping. Apabila Presiden kita mengabaikan situasi politik global, sedang di kepala sang Presiden, hanya karena ingin menyelamatkan perekonomian Indonesia, dan mencari pinjaman berdalih menarik investasi, kalau ini yang terjadi maka terjadilah proses diplomasi yang kalang-kabut. Sinyal tidak ada sambutan resmi dari pemerintah Amerika. Dikabarkan ketika Jokowi dan rombongan tiba di Pangkalan Militer Andrews, Washington D.C., Amerika, Selasa (10/5), sekitar pukul 21.40 waktu setempat atau pukul 08.40 WIB, Rabu, tidak ada penyambutan resmi dari pejabat Amerika. Ini sinyal harus melangkah dan bersikap hati-hati. Itu sinyal politis, Amerika merasa tak berkepentingan dengan Indonesia atau lebih parah Indonesia hanya dianggap sebagai negara yang tidak diperlukan baik secara politik, ekonomi dan kekuatan yang layak diajak bicara apalagi untuk diajak masuk malam sekutu mereka. “Seperti kambing lapar mencium rumput, dia sadar ada harimau bersembunyi di situ. Tapi dia berharap sang harimau berbaik hati”, ini fatal sekali. Presiden Indonesia datang ke Amerika dalam rangka menghadiri US-ASEAN Summit (KTT ASEAN – Amerika membahas perubahan iklim). Kalau dalam fokus bukan perubahan iklim yang menjadi prioritas, “tetapi bagi Presiden Joko Widodo, ini langkah terakhir menyelamatkan krisis di dalam negerinya”. Dia datang ke Amerika pasti dengan kepala menunduk”. Presiden Jokowi mungkin sekuat tenaga berusah saat ketemu Joe Biden akan menyelipkan agenda mohon bantuan (mungkin juga akan berhutang dengan dalih investasi). Kalau itu yang menjadi agenda dalam pikirannya, proses diplomasi akan kocar-kacir. Presiden Jokowi harus siap mental, apabila negosiasi permintaannya akan ditolak atau minimal tidak direspon. Berbalik arah bisa jadi justru akan ditekan Biden yang bersikeras dan tegas minta Jokowi tidak mengundang Putin untuk hadir dalam G20 di Bali (batalkan mengundang Putin). Juga, akan ditekan hentikan ketergantungan Indonesia kepada China. Harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang selama ini dan Islamophobia yang terus terjadi di Indonesia. Kalau itu tidak dipahami dan tidak direspon positif oleh Presiden Jokowi bisa terjadi sinyal terburuk datang dari Joe Biden: Anda harus segera berhenti jadi Presiden secepatnya. Bisa jadi dalam lingkup convidential dibatasi waktunya, agar secepatnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Akibat kekacauan dalam komunikasi, lemahnya kepekaan dan kemampuan berdiplomasi dalam pertemuan tingkat tinggi berhadapan dengan negara adidaya dan atau pada pertemuan di forum internasional, itu akan berakibat fatal. Semoga semua itu tidak terjadi karena akibat diplomasi yang kalang-kabut, nama baik negara menjadi taruhannya. (*)
Keragaman Itu Keberkahan yang Menantang
Jika ada rasa itu maka sesungguhnya kerjasama (partnership) bukan sesuatu yang mustahil. Di sìnilah manusia akan mampu membangun dunia secara bersama di tengah keragaman dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation MASIH seputar interfaith dinner tahunan Florida Minggu lalu. Salah seorang pembicara ketika itu menekankan Urgensi diversitas (keragaman). Beliau bahkan menganalogikan keragaman itu bagaikan taman bunga yang indah karena ragam warna-warni di dalamnya. Pada sesi keynote speech saya menyetujui itu. Keragaman tidak saja indah. Tapi sejatinya menjadi sunnatullah (hukum atau aturan Allah) dalam cipta-Nya. Sekaligus menjadi salah satu ayat-Nya (tanda-tanda kebesaran-Nya) dalam penciptaan. “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah bahwa Dia menciptakan langit dan bumi. (Demikian pula pada) perbedaan lisan (bahasa) dan warna (kulit) kalian. Sungguh yang demikian adalah tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir” (Ar-Rum). Maka dengan sendirinya menolak eksistensi keragaman itu. Sesungguhnya tanpa disadari sekaligus menolak kekuasaan Tuhan. Mengingkari keragaman seolah mengingkari eksistensi kekuasaan Allah SWT. Keragaman (diversity) itu memaknai adanya perbedaan-perbedaan. Sehingga jelas keliru dan tidak rasional ketika ada pihak-pihak tertentu yang ingin menyamakan segala hal. Satu di antaranya ingin menyamakan semua agama. Padahal agama-agama tersebut tidak mungkin sama. Semua agama memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Mereka yang mengaku pahlawan keragaman tapi di sisi lain ingin menyamakan (menyeragamkan) agama-agama mengalami “self paradox” (pribadi yang bertolak belakang). Jika semua agama dipandang sama/seragam berarti dengan sendirinya keragaman tidak lagi eksis. Oleh karenanya pemahaman tentang keragaman yang benar adalah tetap meyakini adanya Perbedaan bahkan seringkali bersifat mendasar di semua agama. Konsep Islam tentang Yesus (Isa AS) dan Kristen berbeda secara mendasar (prinsip). Maka Islam dan Kristen adalah dua bentuk keyakinan yang ragam (berbeda). Oleh karena keragaman adalah karunia (ciptaan, aturan, hukum, keputusan) Allah maka dengan sendirinya keragaman merupakan keberkahan (blessing) Allah dalam hidup manusia. Dengan keragaman manusia dapat memilih yang terbaik berdasarkan pikiran dan kebebasan kemanusiaannya. Sehingga agama itu berdasar pada pilihan dan personal. Agama tidak mungkin bisa dipaksakan karena bertentangan dengan tabiat dasar nanusia yang diberikan kebebasan oleh Tuhan. Islam dalam hal ini jelas dengan “Laa ikraaha fid diin” (tiada paksaan dalam agama). Pada sisi lain walaupun keragaman itu adalah keberkahan namun penuh dengan tantangannya. Saya menyebutnya dengan “a challenging blessing” atau keberkahan yang menantang. Dikatakan menantang karena walau bersifat alami dalam hidup manusia, bahkan menjadi sunnatullah, sering tidak disadari dan dengan mudah manusia mengoyaknya. Hal itu karena pada diri manusia ada tendensi egoisme yang tinggi. Di sìnilah sering kita lihat keragaman tidak membawa keberkahan (atau dalam bahasa agama Islam sebagai rahmah). Sebaliknya justeru menjadi jembatan perpecahan, permusuhan bahkan peperangan. Islam pun hadir dengan penawaran solusi. Saya mengistilahkan solusi ini dengan “nourishment” atau gizi keragaman. Itulah konsep “ta’aruf”. Seperti yang ditegaskan Al-Quran: “dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk lita’arafu atau saling mengenal”. Ta’aruf itu sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam dan luas, lebih dari terjemahan “saling mengenal”. Saling mengenal hanya langkah awal dari ta’aruf. Karena kata ini bermakna ‘urf misalnya yang berarti tradisi, kebiasaan, bahkan semua yang menjadikan orang lain dikenal dengannya. Dari saling mengenal akan tumbuh saling memahami (understanding). Pada tataran ini akan tumbuh sikap toleransi. Sebagai contoh saja. Saya tidak sepakat/tidak setuju dengan orang itu. Tapi saya paham kalau orang itu juga merasa benar dengan keyakinannya. Karenanya saya memahami sikap dan keputusannya. Pada tingkatan ini secara alami akan tumbuh rasa solidaritas dan kedekatan (compassion). Jika ada rasa itu maka sesungguhnya kerjasama (partnership) bukan sesuatu yang mustahil. Di sìnilah manusia akan mampu membangun dunia secara bersama di tengah keragaman dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Sebenarnya lebih jauh lagi kerjasama itu harus ditingkatkan kepada saling membantu dan membela antara satu sama lain (defending for one another). Dunia kita adalah dunia global yang “deeply interconnected” (saling terkait). Satu contoh yang terasa di Amerika adalah bahwa “Islamophobia & Antisemitisme” adalah dua hal yang senyawa. Keduanya adalah bentuk kebencian kepada orang lain karena keyakinannya. Dalam dunia yang saling terkait keburukan yang menimpa seseorang itu adalah sejatinya keburukan yang menimpa semua orang. Perang Rusia-Ukraine saat ini berdampak pada semua manusia di semua penghujung dunia. Dan karenanya benar sebuah pernyataan yang mengatakan: “enough for evil to thrive when the good people say or do nothing” (cukuplah bagi kejahatan untuk merajalela ketika orang-orang baik diam atau tidak berbuat apa-apa”. Palestina mungkin menjadi contoh terdekat akhir-akhir ini. Para penguasa Muslim, khususnya Timur Tengah diam membisu bak tidak punya rasa melihat kekerasan-kekerasan yang menimpa saudara-saudaranya. What a tragedy! Jamaica City, 14 Mei 2022. (*)