OPINI

Kebangkitan Emak-emak

Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan Ada jangkar sejarah kalau emak-emak dalam tahun-tahun terakhir di Indonesia bangkit memelopori gerakan perubahan politik. Ada Cut Nya Din dalam perang Aceh, Christina Martha Tiahahu dalam perang Pattimura, Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro. Dalam revolusi kemerdekaan ada Jo Masdani, Jakarta, Nurjanah, Kebon Siri Jakarta, Emmy Saelan, Sulawesi Selatan. Pegiat-pegiat demo sekarang ada Menuk, Wati, Monita. Dan masih banyak lagi emak-emak yang bergiat untuk perubahan politik. Perubahan diperlukan karena the existing regiem sudah exhausted. Apresiasi Internasional juga rendah terhadap rezim sekarang, itu dapat disimpulkan dari suasana sidang KTT Asean-USA dan di luar sidang baru-baru ini. Di bidang econ keadaan memburuk. Sebenarnya kesalahan tak dapat ditimpakan pada satu orang saja, tapi kepada tim yang dibentuknya yang sangat lemah lagi pula lunglai. Walau pun buntut-buntutnya tanggung jawab yang membentuk tim. Konstitusi Reformasi memungkinkan dibentuknya lembaga non kementerian yang banyak tak kira-kira, dan masing-masing vertikal pula. Anggota DPR di jaman Suharto 360 orang. Tiap 4 anggota dapat 1 staf. Kini anggota DPR 560 orang. Tiap 1 anggota dapat  2 sespri dan 5 tenaga ahli. Berarti jika ambil sample Senayan saja, populasi tenaga ahli 2530 orang. Tapi bikin judul UU tak bisa dipaham. IKN Ibukota Nusantara. Nusantara mengacu kemana, kenegerian atau lokasi? Kalau begini caranya pantas saja perimbangan anggaran rutin dan pembangunan ngejomplang, untung tidak jumpalitan. Saya pernah Wakil Ketua Komisi APBN DPR. Menkeu Ali Wardana bicara 4 mata dengan saya. Katanya, Ridwan, anda hantam pemerintah terus coba pertimbangkan, katanya. Beberapa tahun terakhir perimbangan anggaran pembangunan dan rutin 70 : 30, berubah sedikit saja misalnya rutin 31, anda hantamlah pemerintah. Menkeu yang sekarang ditanya apa saja jawabnya AMAN. Sejak Syawal 1442 H sampai Syawal 1443 H sekarang, kata aman sudah tak diucapkan Bu Menkeu lagi. Perubahan sistem juga keharusan, bukan sekedar gonta-ganti orang. Reformasi cukuplah sejilid saja, tak perlu dua jilid. Sejilid saja orang banyak yang bonyok, apalagi dua jilid. Ini bukan persoalan orang saja, tapi juga sistem. Emak-emak selamat berjuang demi generasi mendatang. Rsaidi. (*)

Kebijakan Singapura atau Pesanan Indonesia?

Bila Pemerintah Indonesia lembek dan membebebek bahkan Dubes RI untuk Singapura bertindak seperti Jubir Singapura, maka itu akan menjadi pertanda bahwa telah terjadi kongkalikong antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura yang berbasis pelanggaran HAM dan Islamophobia. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan PENAHANAN Ustad Abdul Shomad (UAS) di Bandara Singapura yang ditindaklanjuti dengan deportasi ini menghebohkan. Masalahnya adalah ketidakjelasan alasan cekal tersebut. UAS sendiri tidak mendapat penjelasan atas sebab apa tidak diperkenankannya ia dan keluarga untuk melakukan kunjungan liburan ke Singapura itu. Perlakuan pihak Imigrasi Singapura di Bandara dinilai tidak pantas. UAS dipisahkan dari rombongan dan dirinya berada di ruang 1 x 2 meter yang menurutnya seperti liang lahat. Pihak Imigrasi Singapura bungkam, justru Dubes Indonesia untuk Singapura yang menjelaskan bahwa UAS mendapat Not To Land Notice. Larangan mendarat karena tidak memenuhi syarat. Syarat apa yang tidak dipenuhi itupun tidak jelas pula. Ini menyangkut hubungan antar negara walau berkaitan dengan seorang warga negara. Setuju sekali dengan pandangan politisi PKS bahwa Pemerintah Indonesia harus memanggil Duta Besar Singapura untuk Indonesia. Masalah penghinaan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Dubes mesti memberi penjelasan detail. UAS adalah mubaligh, ulama, dan tokoh Islam. Sikap terhadapnya bukan tanpa pengaruh dan dampak. Umat dipastikan mempertanyakan pencekalan tersebut. Dulu waktu UAS tidak dapat masuk ke Timor Leste alasan yang dianggap mengada-adanya adalah teroris, kini disebut tidak memenuhi syarat. Syarat apa? Wajar jika orang menduga jangan-jangan ada pesanan dari Pemerintah Indonesia agar Imigrasi Singapura menolak kunjungan UAS. Pemerintah Indonesia harus membuktikan \'clean and clear\' dalam kasus ini. Pembuktiannya adalah dengan serius memanggil Dubes Singapura untuk Indonesia. Kemudian kepada publik disampaikan keterangan Dubes tersebut. Perbuatan sewenang-wenang termasuk pelanggaran HAM yang dapat dituntut secara hukum. Kuasa hukum UAS dapat menggugat Pemerintah Singapura. Gugatan kepada Pemerintah Singapura dilakukan jika interogasi dan deportasi adalah kebijakan penuh Pemerintah Singapura. Akan tetapi jika perbuatan itu dalam rangka memenuhi pesanan Pemerintah Indonesia, maka baik Dubes RI di Singapura, Menteri Hukum dan HAM, maupun Presiden RI dapat dimintakan pertanggungjawaban. UAS bukan teroris, bukan koruptor, bukan pula penjahat yang berbahaya sehingga interogasi dan deportasi layak diprotes. Secara hukum Internasional insiden seperti ini dapat menimbulkan konflik diplomatik antara Indonesia Singapura. Bila Pemerintah Indonesia lembek dan membebebek bahkan Dubes RI untuk Singapura bertindak seperti Jubir Singapura, maka itu akan menjadi pertanda bahwa telah terjadi kongkalikong antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura yang berbasis pelanggaran HAM dan Islamophobia. UAS adalah tokoh kritis, ulama alumni Azhar Mesir dan pejuang Islam. Umat Islam layak untuk membela dan melawan kezaliman yang sengaja atas agama. Bandung, 18 Mei 2022. (*)

Dari Universe ke Metaverse?

Bangsa ini perlu segera mereproklamasi kemerdekaannya kembali. Kita membutuhkan imajinasi negeri baru di universe, bukan negeri jongos dan zombie 2-dimensi di metaverse. Kita membutuhkan sistem pendidikan baru sebagi platform budaya untuk belajar merdeka di ruang 3-dimensi. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts SELAMA duapuluh tahun terakhir ini, manusia secara diam-siam sedang diusir, jika bukan diungsikan, dari dunia nyata ke dunia semu. Melalui kekuatan-kekuatan ifrity yang bekerja melalui kedipan biner kosong-satu berkecepatan sangat tinggi, terjadi proses dua dimensionalisasi dari realitas tiga dimensi. Akibat proses reduksi dimensi ini, waktu menghilang. Padahal ruang dan waktu itu adalah prasyarat adanya pengalaman, yaitu sebuah penyadaran mengAKU. Hidup sebagai pengalaman spiritual memerlukan ruang 3 dimensi sekaligus waktu. Spiritualitas itu lenyap di metaverse. Begitulah reduksi dimensi ini adalah sebuah proses penzombiean. Setelah gagal mewujudkan janji-janjinya, para global oligarch berusaha menutup-nutupi kegagalannya di universe ini dengan menyodorkan metaverse, sebuah kehidupan palsu. Begitulah dajjal memalsukan Isa al Masih. Di sana neraka tampak seperti surga, sedang surga tampak seperti neraka. Di metaverse itu child free lifestyle dilihat halal, sedangkan berkeluarga dengan banyak anak dianggap kuno, close minded dan primitif. Riba dan bisnis spekulasi berjaya, sedang dinar dan agromaritim terpuruk. Hampir semua tata nilai kehidupan jungkir balik. Setelah kemerdekaan massal manusia dirampas melalui persekolahan paksa dan televisi – di Indonesia terjadi sejak Orde Baru –, manusia dijadikan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia patuh bekerja bagi para majikan lokal yang menjadi kaki tangan oligarki global. Segera sejak proklamasi kemerdekaan sebagai operasi false flag, Republik ini tidak pernah dibiarkan untuk benar-benar merdeka. Pancasila dan UUD ‘45 tidak pernah berhasil diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan sejak reformasi 1998, kita hidup dengan konstitusi palsu yaitu UUD 2002. Dengan UUD palsu itu kita dimurtadkan dari Pancasila secara kaffah. Begitulah prinsip keterwakilan dipalsukan oleh prinsip keterpilihan. Prinsip permusyawaratan dengan hikmah kebijaksanaan diganti dengan voting. Pemilihan melalui perwakilan diganti dengan pemilihan langsung. Reformasi justru menghasilkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maladministrasi publik terjadi di banyak sektor dimana undang-undang dan peraturan turunannya dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elit politik yang bermesraan dengan para taipan oligarch domestik maupun global. Sayang sekali, pemerintah yang semula dibentuk untuk melaksanakan misi negara justru takluk dengan tekanan oligarki ini. Berjuta hektar lahan negara dikuasai segelintir orang, buruh makin ditekan dengan upah murah dan perumahan kumuh, pendunguan massal terjadi terus menerus. Sedangkan rezim justru menjadi kaki tangan asing. Bahkan, dengan pakai dana APBN dan BUMN, rezim ini justru membuka jalan lebar-lebar bagi penjongosan massal. Fenomena IPO WIR Group adalah bukti mutakhir atas perayaan kepalsuan ini saat saham GOTO anjlog dan LUNA Crypto bangkrut. Bangsa ini perlu segera mereproklamasi kemerdekaannya kembali. Kita membutuhkan imajinasi negeri baru di universe, bukan negeri jongos dan zombie 2-dimensi di metaverse. Kita membutuhkan sistem pendidikan baru sebagi platform budaya untuk belajar merdeka di ruang 3-dimensi. Para patriot muda bangsa ini perlu bangkit dari kenyamanan mager sambil rebahan di metaverse, harus sanggup berdiri di atas kakinya sendiri dan bergerak berkeringat mengolah semua potensi-potensi agromaritim universe yang diberkati Allah ini. Gunung Anyar, 18 Mei 2022. (*)

Hikmah Al-Kahf dan Fitnah Kehidupan

Di Surah Yusuf dikisahkan perintah Ya’qub kepada anak-anaknya: “wahai anak-anakku pergilah cari Yusuf dan jangan berputus asa. Sesungguhnya yang berputus asa hanya orang-orang yang Kafir” (Surah 12: 87). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundaiton SURAH Al-Kahf termasuk salah satu surah pilihan yang disunnahkan untuk dibaca/dikaji setiap pekan. Membaca Surah ini merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW pada setiap hari Jum’at. Yaitu sejak terbenam matahari pada Kamis malam hingga terbenam matahari pada Jumat malam. Tentu banyak keutamaan-keutamaan membaca surah Al-Kahf di hari Jumat. Di antaranya menjadi “kaffarah” (penghapus) dosa di antara dua Jum’at dan menjadi cahaya dalam kehidupan seorang Mukmin. Selain itu juga dengan membacanya seseorang akan terhindar dari fitnah Dajjal akhir zaman. Selain karena keutamaan-keutamaan membacanya, juga karena kandungan Surah Al-Kahf memang berbicara tentang ragam fitnah yang rentang terjadi dalam kehidupan manusia. Berbagai fitnah inilah yang kerap menjadikan manusia terjerumus ke dalam kehancurannya. Fitnah yang kita maksud adalah ujian atah cobaan kehidupan yang dihadapi setiap manusia dalam hidupnya. Bahwa semua manusia tanpa kecuali akan menghadapi tantangan atau cobaan hidup. Kesuksesan atau kegagalan hidup seorang insan justeru akan diukur pada bagaimana seseorang itu merespon fitnah dalan hidupnya. Dan karenanya, Sesungguhnya esensi permasalahan bukan pada fitnah itu sendiri. Bukan juga bagaimana melarikan diri dari fitnah atau tantangan itu. Karena tak seorang pun dapat melarikan diri darinya. Tapi lebih kepada bagaimana menghadapinya secara proporsional dan bijak sehingga keburukan akibat fitnah itu tidak saja bisa diminimalkan (diperkecil). Sebaliknya, bahkan bagaimana fitnah atau tantangan itu dibalik menjadi sumber keberkahan. Realitanya memang hidup itu identik dengan fitnah (tangangan/cobaan). Itu ditegaskan oleh Al-Quran: “Dialah (Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa diantara kalian yang terbaik dalam karya (amala)” (Al-Mulk:1). Kata “ayyukum ahsanu amala” dimaknai sebagai “how to respond to each form of challenge”. Atau bagaimana merespon kepada setiap bentuk fitnah atau tantangan/ujian kehidupan. Hidup adalah ujian. Yang berbeda atau berubah kemudian hanyalah format atau bentuk dari ujian itu. Fitnah atau ujian/tantangan itu sendiri menurut Al-Quran dalam dua wajah: “Khaer atau syarr”. Bisa berwajah nyaman dan cantik. Tapi boleh juga berwajah jahat dan buruk. Namun intinya keduanya adalah fitnah atau tantangan/ujian. Di sìnilah makna “ahsanu amala” tadi. Yaitu bagaimana menyikapi fitnah atau ujian itu pada masing-masing wajahnya. Sebagai contoh saja. Ketika Anda sehat dan kaya. Apakah kesehatan dan kekayaan itu Anda syukuri dengan mempergunakannya di jalan kebaikan dan keridhoan Allah? Atau sebaliknya Anda kufur nikmat sehat dan kaya dengan keangkuhan seraya menggunakannya di jalan yang salah dan mendatangkan kemurkaan Allah? Pilihan yang benar dalam menyikapi sebuah bentuk ujian atau keadaan hidup itulah sikap yang dikategorikan “Ahsanu amala”. Dari pemahaman makna “ahsanu amala” ini yang membangun semangat amal (karya dan inovasi) kehidupan. Ketika seorang Mukmin berada pada posisi “lower hand”, unfortunate atau kurang beruntung maka dia akan menyikapinya dengan sabar (patience). Dan dalam konsep Islam patience is power (sabar itu adalah kekuatan). Bukan kelemahan. Apalagi frustrasi atau putus asa. Seorang Mukmin yang sadar dengan konsep hidup yang tertantang dan sadar pula dengan konsep merespon “ahsanu amala” akan selalu berakhir pada ujung yang optimis. Dan Karenanya hidup seorang Mukmin itu berkarakter optimis. Bukan pessimis. Karena memang  pessimisme dalam Islam dilarang, bahkan dianggap “kekufuran”. Di Surah Yusuf dikisahkan perintah Ya’qub kepada anak-anaknya: “wahai anak-anakku pergilah cari Yusuf dan jangan berputus asa. Sesungguhnya yang berputus asa hanya orang-orang yang Kafir” (Surah 12: 87). Sebaliknya dengan tantangan hidup seorang Mukmin akan membangun “azimah”. Yaitu tekad atau keinginan yang tak kenal pamrih yang dibarengi oleh sikap tawakkal. “Fa idza azamta fatawakkal ala Allah” (jika kamu telah bertekad maka bertawakkallah kepada Allah). Lalu apa saja bentuk fitnah-fitnah kehidupan  yang disampaikan di Surah Al-Kahfi? (Bersambung). (*)

Demokrasi di Indonesia Dikendalikan Istana

Pembusukan lahan demokrasi, dengan dimarginalkan pemilik sah kedaulatan negara yaitu rakyat. Adalah menjadi tragedi, catatan sejarah hitam kelam dan terburuk dalam demokrasi di Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SEPERTI diketahui ada 271 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023. Mereka akan diganti dengan cara penunjukan oleh Presiden dengan eksekutor oleh Menteri Dalam Negeri. Hingga terpilih kepala daerah definitif hasil Pilkada serentak November 2024. Keputusan/kebijakan ini akan merusak dan mencederai proses demokrasi. Legitimasi negara demokratis mutlak bahwa kekuasaan negara adalah di tangan rakyat. Prinsip demokrasi berbunyi: kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat (sovereignty of the people) dan pemerintah dijalankan atas persetujuan yang dipimpin dalam hal ini adalah rakyat (government based upon the consent of the governed). Mulai kapan demokrasi berbasis dan berprinsip pada appointment (penunjukan) oleh para penguasa. Sekalipun terjepit sebagai bawahan Presiden - Mendagri terus bertahan bahwa proses penunjukkan pengganti kepala daerah telah memenuhi syarat dengan orgumentasi andalannya bahwa Pengunduran Pilkada 2,5 tahun dilakukan oleh UU yang dibuat Oleh DPR. Sejak awal sudah diingatkan bahwa hakekat UU tidak boleh melanggar atau mengkudeta kedaulatan rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Pelaksana negara (Eksekutif) mutlak harus taat aturan konstitusi di bawah UUD. Proses demokrasi tidak boleh diperkosa dan dilibas oleh akal-akalan penguasa. Dengan kata lain, semua norma dan aturan sebagai penjabaran dari UUD 45 yang diciptakan oleh pemerintah apapun bentuk dan isinya, tidak boleh mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat. Langkah yang dilakukan pemerintah mengarah pada pemaksakan seluruh kekuasaan kontrol dan penindakan berada di dalam satu tangan, dengan mengamputasi persyaratan dasar dan melanggar UUD adalah sesat dan kesalahan yang fatal. Bahaya lain – para penjabat hasil penunjukkan akan memiliki wewenang yang sama dengan kepala daerah definitif, yang terpilih oleh aspirasi rakyat melalui kontestasi politik di dalam ajang Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Sementara rakyat tidak pernah memberikan mandat dan legitimasi kepada mereka. Prediksi akan terjadinya kekacauan dan kegaduhan dikemudian hari akan terjadi, potensinya sangat besar. Pada acara diskusi Kompas XYZ Forum bertajuk “Penjabat Menguasai Daerah: Kebijakan Terarah vs Konservatisme Kebijakan”, Selasa (10/05/2022), Prof. Djohermansyah Djohan, salah satu pembicara mengatakan, di dalam tata cara penunjukan penjabat dari ASN, seharusnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP), sesuai saran pertimbangan di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika PP belum jadi, sementara waktu Sekda bisa diangkat sebagai pelaksana harian kepala daerah. Materi muatan PP antara lain memastikan pengisian penjabat mengedepankan prinsip demokrasi, transparansi dalam birokrasi, kompetensi dan kondisionalitas daerah. Untuk memastikan terpenuhinya prinsip demokratis, perlu dibentuk panitia seleksi untuk menutup celah politik transaksional. Setiap tahapannya juga diumumkan ke publik serta diawasi KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Negara harus dikendalikan dan dikelola taat konstitusi – jangan dimainkan dan dijalankan dengan cara-cara dagelan yang konyol seperti ini. Benar-benar parah: belakangan akan muncul masalah lain dari praktik penunjukkan kepala daerah yang tidak melibatkan DPRD yang notabene representasi aspirasi rakyat. Dipastikan akan muncul dampak ikutan yang lebih rumit,  akibat praktik anomali demokratisasi anti demokrasi. Penunjukkan penjabat bukanlah sekedar memilih administrator, melainkan penjabat politik yang harus memiliki legitimasi dan kemampuan politik yang mumpuni. Kalau asal tunjuk oleh sang penguasa akan sangat mudah melahirkan perlawanan dan gugatan rakyat. Tidak boleh ada keputusan yang bernama “keputusan inkonstitusional bersyarat”, dengan dalih dan dalil yang mengada ada. Pembusukan lahan demokrasi, dengan dimarginalkan pemilik sah kedaulatan negara yaitu rakyat. Adalah menjadi tragedi, catatan sejarah hitam kelam dan terburuk dalam demokrasi di Indonesia. Kesan pendegradasian lahan demokrasi itu terjadi justru saat lahan demokrasi yang relatif kering menjadi semakin gersang. Rezim ini berpotensi melanggar kedaulatan tertinggi rakyat yang dijamin oleh UUD 1945. Akan mengakibatkan kegaduhan dan kekacauan tak berkesudahan dikemudian hari dan keadaan negara akan terus meluncur menuju kehancurannya. Kecurigaan rakyat tiba-tiba muncul ke permukaan, terekam dan tertangkap melalui media sosial tercium bau busuk menyengat, ini ada rekayasa dari segelintir Penguasa dan Pengusaha (PengPeng) yang bersenyawa dengan makhluk oligarki, akan menyedot suara rakyat untuk meloloskan dan memenangkan Capres bonekanya pada Pilpres 2024. Rezim versus Oligarki tentu tidak peduli dengan proses demokrasi yang membusuk, bahkan akan dibuat busuk, asal kekuasan tetap dalam kendali dan remotnya untuk menguasai negara ini. (*)

Luka UAS, Luka Kita

Ada baiknya Pemerintah memanggil Duta Besar Singapura di Jakarta untuk menjelaskan alasan deportasi tersebut. Ketegasan itu harus terlihat. Kalau tidak, negara lain akan terus menyepelekan Indonesia. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI USTAZ Abdul Somad (UAS) mengalami peristiwa tidak menyenangkan saat hendak berlibur ke Singapura. Mubaligh kondang tersebut menuturkan, dirinya ditahan masuk Singapura tanpa proses wawancara. Juga tidak ada keterangan resmi dari keimigrasian Singapura kepadanya. Otoritas keimigrasian Singapura kemudian memintanya kembali ke Indonesia. Sebelum itu, UAS dipisahkan dengan istri dan anaknya, dan dimasukkan ke ruangan sempit berukuran 1x2 meter. Akibat perlakuan diskriminatif tersebut, agenda liburan UAS di Singapura pun batal.  Terkait peristiwa itu, ada dua informasi yang berkembang. Pertama, bahwa UAS dideportasi oleh pihak imigrasi Singapura. Kedua, UAS tidak dideportasi, tetapi ditolak izin masuknya ke Singapura. Penjelasan ini disampaikan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura. Apapun bentuk pelarangannya, dampaknya tetap sama yakni UAS tidak dapat masuk ke Singapura dan harus kembali ke tanah air. Adalah hak pihak imigrasi atau pemerintah Singapura melarang warga negara lain masuk ke negaranya. Kita menghormati kedaulatan itu. Namun, imigrasi atau Pemerintah Singapura berkewajiban menjelaskan alasan pelarangan itu. Tidak ujug-ujug dilarang, dicekal, atau dideportasi begitu saja. Apakah UAS teroris? Tentu bukan. Kalau beliau teroris, Detasemen Khusus 88 jelas telah lebih dahulu bertindak. Apakah UAS punya sejarah buruk? Juga tidak. UAS adalah manusia terdidik. Beliau S1 dari Al-Azhar Mesir, S2 Darul Hadith Maroko dan S3 Oum Durman Islamic University, Sudan. Tidak adanya penjelasan imigrasi Singapura melahirkan berbagai pertanyaan, di samping juga memunculkan spekulasi dan opini liar. Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin, misalnya, menilai dideportasinya UAS dari Singapura tak terlepas dari kepanikan rezim ini atas pengaruh dakwah UAS di masyarakat. Apa iya ada peran Indonesia dalam peristiwa itu? Kita tidak tahu dan selamanya akan menjadi misteri kalau imigrasi atau pemerintah Singapura tidak memberi keterangan resmi. Ditolak mentah-mentah tanpa penjelasan jelas membuat siapapun terluka. Luka hati UAS adalah luka hati banyak rakyat Indonesia. Kita tahu, UAS adalah ulama dan intelektual muslim yang cukup berpengaruh. Beliau adalah seorang warga negara Indonesia (WNI) yang terhormat. Maka, sangat tidak pantas UAS diperlakukan seperti itu. Perlakuan Singapura dapat dipastikan membuat sejumlah WNI kecewa. Peristiwa ini adalah pelecehan terhadap martabat seorang tokoh publik yang menjadi panutan banyak orang di Indonesia. Secara tidak langsung juga bisa dimaknai pelecehan bagi Indonesia. Terhadap peristiwa ini, saya menyesalkan dua hal. Pertama, deportasi atau larangan masuk warga negara terhormat dari Indonesia tanpa penjelasan memadai. Kedua, sikap Pemerintah Indonesia yang cenderung tidak tegas. Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar RI di Singapura mengaku telah mengirimkan Nota Diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Singapura. Namun, dalam situasi sekarang, langkah itu agaknya belum cukup. Indonesia perlu bersikap lebih tegas. Ada baiknya Pemerintah memanggil Duta Besar Singapura di Jakarta untuk menjelaskan alasan deportasi tersebut. Ketegasan itu harus terlihat. Kalau tidak, negara lain akan terus menyepelekan Indonesia. Marwah bangsa di mata dunia internasional harus dijaga dan dikukuhkan dengan baik. Sebab, saat ini Indonesia terasa mulai dipinggirkan. Kesan ini tertangkap juga saat Presiden Joko Widodo menghadiri KTT Amerika Serikat-ASEAN belum lama ini. Dalam agenda acara tersebut, negara-negara Asean didaulat berbicara di depan audiens. Tetapi presiden Indonesia tidak. Berbagai latar belakang politis berpotensi jadi pencetus. Tapi, tetap saja kita harus merefleksi diri. Mengapa kita mulai tidak dianggap? (*)

Menyedihkan Penjelasan Dubes RI untuk Singapura soal UAS

Oleh : Tjahja Gunawan - Penulis Wartawan Senior FNN SUNGGUH menyedihkan penjelasan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryopratomo mengenai kasus deportasi yang dialami Ustadz Abdul Somad (UAS).  Suryopratomo membantah kalau UAS dideportasi. Kata dia, UAS itu tidak mendapat izin masuk Singapura sehingga diminta kembali. \"Beliau tidak dideportasi tetapi tidak mendapatkan izin masuk ke Singapura sehingga diminta untuk kembali,” kata Suryopratomo lewat pesan teks, Selasa, 17 Mei 2022, sebagaimana dikutip portal berita Tempo.  Sementara itu UAS membenarkan bahwa dirinya dideportasi bersama dengan keluarga dan sahabatnya. \"Info bahwa saya dideportasi dari imigrasi Singapura itu sahih, betul, bukan hoax,” kata UAS dalam wawancara yang ditayangkan Channel YouTube ‘Hai Guys Official’, Selasa 17 Mei 2022.  \"Saya dimasukan ke dalam ruangan lebarnya satu meter, panjang dua meter, pas liang lahat. Satu jam saya di ruang kecil. Persis seperti luas kuburan,” papar UAS. UAS mengakui sempat ditahan di ruang mirip tahanan imigrasi sejama satu jam, kemudian di ruang pemeriksaan imigrasi selama tiga jam. UAS dan rombongan akhirnya dideportasi Singapura pada Senin sore (16/5/2022), sekitar pukul 14.30 waktu setempat. Arti deportasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ.   Nah, penjelasan UAS diatas sudah sesuai dengan kategori deportasi sebagaimana disebutkan dalam KBBI. Lalu kenapa Dubes RI untuk Singapura sampai harus membantah deportasi yang dialami UAS. Kalau memang UAS yang notabene Warga Negara Indonesia (WNI) ini tidak boleh masuk Singapura, sebagaimana disebutkan Suryopratomo, seharusnya pihak imigrasi Singapura bisa menjelaskan secara langsung kepada UAS begitu dia tiba di Singapura. Yang terjadi, UAS justru dimasukkan ke dalam ruangan ukuran 2x1 meter. Dubes Ngeles Dari penjelasan UAS itu, sudah sangat terang benderang bahwa ustaz kondang ini dideportasi. Lalu kenapa Dubes RI untuk Singapura masih saja ngeles dan mengelak dari peristiwa penghinaan yang dialami WNI yang juga tokoh agama ini?  UAS bukan hanya dikenal di dalam negeri, tetapi dia juga dikenal di luar negeri dan sering diundang berceramah ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Selama ini dia aman-aman saja keluar masuk negara tersebut. Ini Singapura negara kecil yang selama ini banyak dikunjungi wisatawan Indonesia, justru malah telah melakukan penghinaan terhadap tokoh agama Islam Indonesia.  Seharusnya pemerintah Singapura mengumumkan saja secara terbuka alasan dibalik pendeportasian UAS agar rakyat Indonesia khususnya umat Islam bisa paham. Kemudian kami rakyat di Indonesia juga bisa mengambil sikap yang jelas terhadap sikap dan penjelasan pemerintah Singapura tersebut. Hal ini penting bukan hanya terkait kasus UAS tetapi juga menyangkut kedaulatan rakyat Indonesia.  Kalau pemerintah Indonesia khususnya Dubes di Singapura diam saja atau lepas tangan menghadapi kasus seperti ini, akan menjadi preseden buruk bagi WNI yang bepergian ke luar negeri. Mereka bisa tiba-tiba dideportasi dari negara lain tanpa alasan yang jelas seperti yang dialami UAS di Singapura.  Jika membaca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, pasal 4 menyebutkan bahwa  salah satu  tugas pokok Dubes adakah mewakili dan memperjuangkan kepentingan Bangsa, Negara, dan Pemerintah RI serta melindungi WNI.  Alih-alih melindungi atau membantu WNI yang sedang mengalami masalah seperti UAS, Dubes RI untuk Singapura malah justru meminta pihak lain (UAS) agar meminta penjelasan langsung ke Kedubes Singapura di Jakarta. Seharusnya seorang Dubes itu bisa menjalankan tugas pokoknya dengan benar. Dalam kasus UAS, misalnya,  Dubes Suryopratomo seharusnya bisa menghubungi Kementerian Luar Negeri Singapura untuk meminta penjelasan mengapa UAS dilarang masuk atau dideportasi dari Singapura. Dengan begitu, Dubes yang bersangkutan juga jadi tahu dan mengerti alasan dan latar belakangnya. Selain itu rakyat Indonesia terutama umat Islam pun bisa jadi paham duduk perkara yang sebenarnya. Bukan malah rakyat Indonesia yang harus meminta penjelasan dari pemerintah Singapura. Kalau begitu, untuk apa ada perwakilan diplomatik (Dubes) di Singapura.  Dalam keterangan kepada portal berita Tempo, Suryopratomo tak menjelaskan alasan UAS tak mendapatkan izin dari Singapura. Dia mengatakan yang bisa menjelaskan alasan tersebut adalah pemerintah Singapura. Dubes RI untuk Singapura Suryopratomo seharusnya paham tugas pokoknya. Apalagi dia latar belakangnya seorang wartawan senior. Jika seorang perwakilan diplomatik tidak bisa melindungi WNI di luar negeri, jangan disalahkan kalau ada yang menduga kebijakan deportasi terhadap UAS dan beberapa Ustadz lainnya adalah karena adanya \"pesanan dari Jakarta\" . **

Penjajah Itu Bernama Oligarki

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PILIHAN kita adalah demokrasi yang diformulasi dengan \"Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan\". Kedaulatan di tangan rakyat yang melalui proses politik memilih wakil-wakil rakyat. Lawan dari demokrasi adalah otokrasi atau oligarki. Keduanya menyebabkan rakyat teralienasi atau terjajah. Oligarki adalah kolonialisme atau sistem penjajahan baru.  Oligarki artinya kekuasaan ada pada kelompok tertentu. Kecil tetapi menentukan. Kelompok itu bisa kumpulan dari ketua partai koalisi yang berkuasa. Bisa juga para pengusaha yang mengatur pengelolaan negara dengan kekuatan modal atau uang. Mereka menjadi bandar untuk operasi politik, hukum, ekonomi dan juga perusakan agama. Kepala Pemerintahan berada  di bawah kendalinya.  Demokrasi Indonesia kini berada dalam posisi menyimpang. Apabila formalnya masih ditempelkan label demokrasi, maka itu adalah Demokrasi Terpimpin. Jika di masa Orde Lama kekuasaan tersentralisasi pada seorang Presiden, maka kini keterpimpinan  itu berada pada sekelompok orang berkuasa yang bernama Oligarki.  Ciri penjajah sekurangnya ada lima, yaitu : Pertama, menguasai elemen pemaksa seperti tentara dan polisi, mengendalikan semau dan sekehendak pengambil kebijakan. Aparat yang tegak lurus  dengan Pemerintah.  Kedua, hukum menjadi alat represi untuk membungkam rakyat. Keadilan diinterpretasi sekedar melindungi kelompok penguasa atau establishment. Hukum menjadi kepanjangan tangan politik.  Ketiga, eksploitasi habis-habisan sumber daya alam milik bangsa. Tanah, air, hutan dan tambang dikuasai oleh segelintir penguasa politik yang berkolusi dengan pebisnis. Rakyat diposisikan sebagai budak pekerja yang tetap miskin.  Keempat, harga barang pokok dibuat melambung tinggi sementara pajak-pajak diperberat, hal ini dimaksudkan agar tetap ada ketidak berdayaan permanen dan ketergantungan pada belas kasih sang penjajah.  Kelima, pejuang kritis diberi label pemberontak, ekstremis, radikalis, atau penjahat pengganggu stabilitas. Pejuang kemerdekaan harus ditempatkan sebagai penghianat dan dianggap pembuat teror bagi masyarakat. Penjajah menciptakan musuh palsu.  Negara oligarki adalah negara kolonial. Jika ada seruan untuk melawan dan menghancurkan oligarki maka itu tiada lain adalah seruan untuk memerdekakan negeri. Merebut kemerdekaan dari kaum penjajah. Kolaborasi penguasa pribumi dengan pengusaha yang berwarna kulit dan bermata berbeda dengan pribumi. Musuh demokrasi.  Uang dan modal mampu mengendalikan senjata dan birokrasi. Rakyat terus dikencingi oleh penjajah oligarki. Tukang peras itu selalu berpura-pura lugu atau bermanis muka agar dapat terus menipu dan menguasai.  Gelorakan kembali pekik perjuangan :  Hancurkan oligarki, mereka adalah penjajah negeri..Merdeka atau Mati. (*)

Jangan Heran Ustad Somad Dideportasi, Singapura Sudah Lama Anti-Islam

Oleh Asyari Usman - Jurnalis, Pemerhati Sosial-Politik Ustad Abdul Somad (UAS) dideportasi dari Singapura, kemarin. Sebelum dideportasi, beliau dimasukkan ke tahan imigrasi. Sel tahanan hanya sebesar 1x2 meter. Tidak mengherankan ini terjadi. Sebab, nama UAS pasti ada di dalam daftar hitam (black list) imigrasi negara itu. Singapura itu sudah sejak lama anti-Islam. Di internal negara itu, umat Islam dikontrol ketat. Termasuk dakwah dan ibadah. Tak keliru kalau Singapura disebut menerapkan islamofobia secara institusional. Artinya, negara itu memiliki perangkat regulasi yang anti-Islam. Termasuklah regulasi keimigrasian. Dapat dipastikan pula bahwa persekusi ini tidak akan sebatas penahanan dan pendeportasian UAS. Lembaga-lembaga keamanan mereka akan mempersoalkan pihak yang pengundang andaikata ada yang mengundang ustad kondang ini. Sangat mungkin pihak yang mengundang akan diinterogasi. Tidak tertutup pula kemungkinan mereka akan mengalami perlakuan khusus dari badan-badan keamanan Singapura.  Penahana di sel imigrasi tidak seharusnya dilakukan terhadap UAS. Pihak keamanan pastilah bisa melakukan evaluasi (assessment) apakah beliau akan menjadi ancaman keamanan di bandara. Mereka bisa menggeledah (body search) untuk memastikan benda-benda bawaan yang bisa akan menjadi sumber bahaya. Tidak perlulah dimasukkan ke sel tahanan sebelum dideportasi. Kalau orang-orang yang terduga membawa narkoba atau yang mungkin melakukan keributan, bisa dipahami kalau harus ditahan di sel sebelum dideportasi. Sebelum ini, pernah beberapa ustad Indonesia yang dideportasi oleh penguasa Singapura.  Banyak orang yang menyebut Singapura sebagai “Israel Asia Tenggara”. Dalam hal sekuriti, ada benarnya. Tetapi, orang Melayu di negara kecil ini tak mungkinlah bisa menjadi “Hamas”.[]

Penzombiean di Metaverse

Hidup adalah pengalaman spiritual. Dunia metaverse dengan demikian adalah dunia zombie, sebuah kehidupan palsu karena tanpa spirit. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts BELUM lama ini jagad ekonomi virtual digemparkan oleh WIRG yang konon memperoleh mandat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyiapkan masyarakat Indonesia memasuki Metaverse. WIRG kembali menyemburkan sihir Augmented Reality, Virtual Reality dan Artificial Intelligence. Tidak saja para taipan bergabung menjadi pemilik saham awalnya, bahkan Yeni Wahid serta Himbara (klaster bank negara) seperti BNI, BRI dan Mandiri pun ikut menjadi pemiliknya. Kemudian  melalui IPO di bursa efek, para pemilik saham menuai gain milyaran dalam hitungan hari saja. Kesuksesan WIRG ini seolah menutupi keruntuhan saham GOTO baru-baru ini, dan kebangkrutan LUNA crypto. Makin jelas bahwa kekuatan-kekuatan ifrity dan riba makin men-jongos-kan masyarakat, dan mencengkeram hampir semua segi kehidupan. Sebagai jongos, setelah diberi mimpi cepat kaya melalui dunia maya, masyarakat semakin digiring ke realitas semu yang tidak mampu dikendalikannya sendiri. Penyemuan realitas ini bisa disebut sebagai proses dua dimensionalisasi. Yang secara perlahan masyarakat direduksi menjadi masyarakat 2-dimensi melalui massive digitilisation, lalu kini sudah mulai terlatih untuk puas dengan ruang virtual 3-d. Lalu melalui metaverse, ruang publik dibajak oleh segelintir perusahaan IT menjadi private space. Seperti cara kerja korporasi, metaverse adalah ruang otoritarian, highly controlled environment yang berbahaya bagi kebebasan pribadi dan publik. Ini adalah bagian dari mind control project yang terstruktur, sistemik dan masif oleh satu kekuatan IT oligarchs yang hegemonik. Digitalisasi hingga tingkat tertentu masih menyehatkan dan meningkatkan kreativitas, produktifitas dan kualitas hidup. Tapi melalui metaverse ini telah terjadi over – digitalisation yang merusak kemanusiaan kita. Seperti gula darah masih menyehatkan dalam kadar tertentu, tapi jika sudah berlebian akan mengakibatkan diabetes mellitus. Begitulah massive digitalisation berpotensi merusak. Sebagai manusia, kita makin mati rasa, lalu mati spiritual. Dua hal ini lenyap di metaverse karena keduanya hanya ada di universe. Masyarakat setelah mengalami penjongosan akan dijerumuskan kedalam penzombiean. Rasa dan spiritualitas hanya muncul dalam universe, sebuah ruang 3D. Hanya dalam ruang 3D itu waktu bisa dipahami. Hidup sebagai pengalaman membutuhkan ruang 3D dan waktu. Waktu adalah cara mengurutkan peristiwa, satu cara menyusun kronologi. Tanpa waktu tidak ada proses. Tidak ada awal dan akhir. Manusia gepeng 2D tidak membutuhkan waktu karena sudah mati. Hidup adalah pengalaman spiritual. Dunia metaverse dengan demikian adalah dunia zombie, sebuah kehidupan palsu karena tanpa spirit. Kita menolak penjongosan dan penzombiean massal oleh global oligarchs yang dibantu domestic oligarchs sebagau kaki tangannya di sini. Sudah saatnya kita mereproklamasikan Republik ini untuk merdeka dari para oligarchs sontoloyo yang tidak pernah berhenti menjarah kemerdekaan bangsa ini. Kita menolak kemerdekaan semu di metaverse, menuntut kemerdekaan sejati di universe. (*)