Dari Universe ke Metaverse?
Bangsa ini perlu segera mereproklamasi kemerdekaannya kembali. Kita membutuhkan imajinasi negeri baru di universe, bukan negeri jongos dan zombie 2-dimensi di metaverse. Kita membutuhkan sistem pendidikan baru sebagi platform budaya untuk belajar merdeka di ruang 3-dimensi.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts
SELAMA duapuluh tahun terakhir ini, manusia secara diam-siam sedang diusir, jika bukan diungsikan, dari dunia nyata ke dunia semu. Melalui kekuatan-kekuatan ifrity yang bekerja melalui kedipan biner kosong-satu berkecepatan sangat tinggi, terjadi proses dua dimensionalisasi dari realitas tiga dimensi.
Akibat proses reduksi dimensi ini, waktu menghilang. Padahal ruang dan waktu itu adalah prasyarat adanya pengalaman, yaitu sebuah penyadaran mengAKU. Hidup sebagai pengalaman spiritual memerlukan ruang 3 dimensi sekaligus waktu. Spiritualitas itu lenyap di metaverse.
Begitulah reduksi dimensi ini adalah sebuah proses penzombiean. Setelah gagal mewujudkan janji-janjinya, para global oligarch berusaha menutup-nutupi kegagalannya di universe ini dengan menyodorkan metaverse, sebuah kehidupan palsu. Begitulah dajjal memalsukan Isa al Masih.
Di sana neraka tampak seperti surga, sedang surga tampak seperti neraka. Di metaverse itu child free lifestyle dilihat halal, sedangkan berkeluarga dengan banyak anak dianggap kuno, close minded dan primitif.
Riba dan bisnis spekulasi berjaya, sedang dinar dan agromaritim terpuruk. Hampir semua tata nilai kehidupan jungkir balik.
Setelah kemerdekaan massal manusia dirampas melalui persekolahan paksa dan televisi – di Indonesia terjadi sejak Orde Baru –, manusia dijadikan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia patuh bekerja bagi para majikan lokal yang menjadi kaki tangan oligarki global.
Segera sejak proklamasi kemerdekaan sebagai operasi false flag, Republik ini tidak pernah dibiarkan untuk benar-benar merdeka. Pancasila dan UUD ‘45 tidak pernah berhasil diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan sejak reformasi 1998, kita hidup dengan konstitusi palsu yaitu UUD 2002. Dengan UUD palsu itu kita dimurtadkan dari Pancasila secara kaffah.
Begitulah prinsip keterwakilan dipalsukan oleh prinsip keterpilihan. Prinsip permusyawaratan dengan hikmah kebijaksanaan diganti dengan voting. Pemilihan melalui perwakilan diganti dengan pemilihan langsung. Reformasi justru menghasilkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maladministrasi publik terjadi di banyak sektor dimana undang-undang dan peraturan turunannya dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elit politik yang bermesraan dengan para taipan oligarch domestik maupun global.
Sayang sekali, pemerintah yang semula dibentuk untuk melaksanakan misi negara justru takluk dengan tekanan oligarki ini. Berjuta hektar lahan negara dikuasai segelintir orang, buruh makin ditekan dengan upah murah dan perumahan kumuh, pendunguan massal terjadi terus menerus.
Sedangkan rezim justru menjadi kaki tangan asing. Bahkan, dengan pakai dana APBN dan BUMN, rezim ini justru membuka jalan lebar-lebar bagi penjongosan massal. Fenomena IPO WIR Group adalah bukti mutakhir atas perayaan kepalsuan ini saat saham GOTO anjlog dan LUNA Crypto bangkrut.
Bangsa ini perlu segera mereproklamasi kemerdekaannya kembali. Kita membutuhkan imajinasi negeri baru di universe, bukan negeri jongos dan zombie 2-dimensi di metaverse. Kita membutuhkan sistem pendidikan baru sebagi platform budaya untuk belajar merdeka di ruang 3-dimensi.
Para patriot muda bangsa ini perlu bangkit dari kenyamanan mager sambil rebahan di metaverse, harus sanggup berdiri di atas kakinya sendiri dan bergerak berkeringat mengolah semua potensi-potensi agromaritim universe yang diberkati Allah ini. Gunung Anyar, 18 Mei 2022. (*)