Kebijakan Singapura atau Pesanan Indonesia?
Bila Pemerintah Indonesia lembek dan membebebek bahkan Dubes RI untuk Singapura bertindak seperti Jubir Singapura, maka itu akan menjadi pertanda bahwa telah terjadi kongkalikong antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura yang berbasis pelanggaran HAM dan Islamophobia.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PENAHANAN Ustad Abdul Shomad (UAS) di Bandara Singapura yang ditindaklanjuti dengan deportasi ini menghebohkan. Masalahnya adalah ketidakjelasan alasan cekal tersebut. UAS sendiri tidak mendapat penjelasan atas sebab apa tidak diperkenankannya ia dan keluarga untuk melakukan kunjungan liburan ke Singapura itu.
Perlakuan pihak Imigrasi Singapura di Bandara dinilai tidak pantas. UAS dipisahkan dari rombongan dan dirinya berada di ruang 1 x 2 meter yang menurutnya seperti liang lahat. Pihak Imigrasi Singapura bungkam, justru Dubes Indonesia untuk Singapura yang menjelaskan bahwa UAS mendapat Not To Land Notice. Larangan mendarat karena tidak memenuhi syarat. Syarat apa yang tidak dipenuhi itupun tidak jelas pula.
Ini menyangkut hubungan antar negara walau berkaitan dengan seorang warga negara. Setuju sekali dengan pandangan politisi PKS bahwa Pemerintah Indonesia harus memanggil Duta Besar Singapura untuk Indonesia. Masalah penghinaan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Dubes mesti memberi penjelasan detail.
UAS adalah mubaligh, ulama, dan tokoh Islam. Sikap terhadapnya bukan tanpa pengaruh dan dampak. Umat dipastikan mempertanyakan pencekalan tersebut.
Dulu waktu UAS tidak dapat masuk ke Timor Leste alasan yang dianggap mengada-adanya adalah teroris, kini disebut tidak memenuhi syarat. Syarat apa? Wajar jika orang menduga jangan-jangan ada pesanan dari Pemerintah Indonesia agar Imigrasi Singapura menolak kunjungan UAS.
Pemerintah Indonesia harus membuktikan 'clean and clear' dalam kasus ini. Pembuktiannya adalah dengan serius memanggil Dubes Singapura untuk Indonesia. Kemudian kepada publik disampaikan keterangan Dubes tersebut. Perbuatan sewenang-wenang termasuk pelanggaran HAM yang dapat dituntut secara hukum. Kuasa hukum UAS dapat menggugat Pemerintah Singapura.
Gugatan kepada Pemerintah Singapura dilakukan jika interogasi dan deportasi adalah kebijakan penuh Pemerintah Singapura. Akan tetapi jika perbuatan itu dalam rangka memenuhi pesanan Pemerintah Indonesia, maka baik Dubes RI di Singapura, Menteri Hukum dan HAM, maupun Presiden RI dapat dimintakan pertanggungjawaban.
UAS bukan teroris, bukan koruptor, bukan pula penjahat yang berbahaya sehingga interogasi dan deportasi layak diprotes. Secara hukum Internasional insiden seperti ini dapat menimbulkan konflik diplomatik antara Indonesia Singapura.
Bila Pemerintah Indonesia lembek dan membebebek bahkan Dubes RI untuk Singapura bertindak seperti Jubir Singapura, maka itu akan menjadi pertanda bahwa telah terjadi kongkalikong antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura yang berbasis pelanggaran HAM dan Islamophobia.
UAS adalah tokoh kritis, ulama alumni Azhar Mesir dan pejuang Islam. Umat Islam layak untuk membela dan melawan kezaliman yang sengaja atas agama. Bandung, 18 Mei 2022. (*)