UAS dan Potensi Operasi Intelijen
Sikap tegas Presiden Jokowi perlu agar marwah bangsa yang mulai melemah di mata internasional dapat ditegakkan kembali.
Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR
ADA tiga poin pernyataan Kementerian Dalam Negeri Singapura terkait Deportasi Ustadz Abdul Somad (UAS). Pertama, membenarkan bahwa UAS ditolak masuk ke Singapura dan dipulangkan kembali ke Batam dengan feri dari Terminal Feri Tanah Merah Singapura pada hari yang sama.
Kedua, penolakan itu dilakukan karena UAS dikenal menyebarkan ajaran ekstremis dan segresi yang tidak dapat diterima di masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura. Misalnya, Somad telah mengkhotbahkan bahwa bom bunuh diri adalah sah dalam konteks konflik Israel-Palestina, dan dianggap sebagai operasi syahid. UAS juga disebut mengkafirkan non muslim.
Ketiga, menegaskan bahwa berkunjung atau mengunjungi Singapura tidaklah otomatis menjadi hak seseorang. Setiap kasus dinilai berdasarkan kasusnya masing-masing.
Kita menghargai kedaulatan Singapura dan kebijakan pemerintahnya yang mengatur siapa yang bisa dan tidak bisa berkunjung ke negaranya. Namun, pelarangan itu menjadi aneh karena untuk ke Singapura dan negara ASEAN lainnya sebenarnya WNI tidak memerlukan Visa. Begitu pula WN Singapura yang ingin berkunjung ke Indonesia.
Lalu mengapa UAS ditolak? Petinggi Persaudaraan Alumni 212 (PA 212), Slamet Maarif mengendus adanya operasi intelijen di balik kasus deportasi Ustadz Abdul Somad dari Singapura. Slamet meyakini, tidak mungkin UAS dideportasi tanpa ada informasi dari intelijen Indonesia.
Memang, secara hukum hubungan internasional, ada lima cara untuk mendeportasi atau cekal terhadap seseorang atau lembaga/organisasi untuk masuk ke negara lain. Yaitu: Notice dari PBB, notice interpol, kebijakan keamanan dalam negeri atas UU ISA, Operasi Tangkap Tangan (OTT) perlintasan. Terakhir adalah soft-notice diplomatic atau “permintaan dari negara asal warga negara yang bersangkutan”.
Ingat kasus dicekalnya UAS di Timor Leste pada akhir 2018 silam? Dalam keterangannya, UAS menyatakan bahwa pencekalan itu dilakukan karena informasi dari Jakarta melalui faks bahwa UAS adalah teroris.
Jika tudingan Slamet Maarif benar, maka wajar tiga poin besar pernyataan Kementerian Dalam Negeri Singapura terkait Deportasi Ustadz Abdul Somad terasa aneh, diskriminatif, dan berstandar ganda.
Pertama, hampir seluruh pernyataan UAS disampaikan dalam forum pengajian tertutup atau terbatas yang audiensnya umat Islam. Pada akhir forum, UAS acapkali meluangkan sesi tanya jawab. Pada sesi tanya jawab inilah berbagai permasalahan umat dipertanyakan. Dan, UAS menjawab sesuai substansi pertanyaan, termasuk saat jamaah bertanya tentang bom bunuh diri di Palestina.
Syahid diakui dalam Islam. Siapa yang ingin membantah keabsahannya? Permasalahannya muncul pada parameter-parameter untuk disebut syahid. Dan berdasarkan keilmuannya, UAS menyimpulkan bahwa pejuang Palestina yang mati dalam perang melawan penjajahan zionis Israel (apapun caranya sepanjang niatnya betul) adalah syahid. Salahnya di mana?
Persoalannya, kajian terbatas itu divideokan oleh beberapa orang, kemudian di-upload ke media sosial sehingga menjadi komsumsi publik luas. Maklum, UAS adalah ulama kondang yang ceramahnya diminati jutaan orang.
Di-upload-nya video tersebut pasti menimbulkan polemik. Berbagai perspektif ramai-ramai menganalisis. Padahal, ketika UAS membicarakannya, sudut pandangnya hanya satu, yakni bagaimana ajaran agama Islam memandang bom bunuh diri di Palestina.
Pun dengan istilah kafir. Istilah ini adalah pemberian Allah melalui wahyu jauh sebelum Indonesia dan Singapura lahir. Istilah kafir diabadikan dalam Al Quran sehingga tidak mungkin Muslim merevisinya. Lagi pula, semua agama memiliki istilah yang sama bagi penganut agama lain di luar dirinya. Kenapa hanya Islam yang dipermasalahkan?
Kedua, Singapura mendukung Israel dan menjalin hubungan diplomatik yang semakin mesra menyusul rencana mendirikan Kedutaan Besar di Israel. Ini hak Singapura. Namun ketika dukungan terhadap Israel itu dipersandingkan dengan pelarangan UAS masuk ke Singapura dengan alasan menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi, persoalannya menjadi lain.
Terlihat, ada standar ganda Singapura dalam memandang ekstremisme dan segregasi. Di satu sisi Singapura mendukung negara yang meluluhlantakkan kemanusiaan, sementara di sisi lain negara Kota Singa ini melarang seorang warga negara terhormat masuk ke wilayahnya dengan alasan ekstremisme dan segregasi.
Ada kematian perdata seorang WNI di negara lain. Namun negara kalem dan bahkan menganggap itu bukan urusan pemerintah, sebagaimana dikatakan tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin.
Bagaimana mungkin WNI bukan urusan pemerintah? Bila Ngabalin benar, untuk apa Kedutaan Besar RI mengirim nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Singapura dan mempertanyakan penolakan tersebut?
Jadi, untuk satu perkara ini saja pemerintah tak satu suara. Di akar rumput, buzzer politik ramai-ramai menyudutkan UAS. UAS di-bully, sementara kasus relawan Jokowi bernama Lin Che Wei yang viral pada momentum yang sama akibat menjadi tersangka mafia minyak goreng, seolah-olah tidak mendapat perhatian.
Politik dalam negeri telah begitu dalam merusak sendi-sendi persatuan bangsa. Nasionalisme terpinggirkan dan kecendrungannya berganti baju menjadi siapa mendukung siapa, atau kelompok mana yang harus dibela. Mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah acapkali dituding radikal.
UAS bukan ulama radikal. Namun, UAS juga bukan ulama pendukung pemerintah. Sebaliknya, ia berkali-kali mengkritik pemerintah sebagai wujud rasa cinta dan baktinya pada tanah air. Jadi, meski tidak berpolitik praktis, UAS adalah ulama kritis yang dipandang oposan.
Kewajiban pemerintah adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, termasuk UAS yang diperlakukan secara diskriminatif oleh negara lain. Konstitusi tidak memandang orang perorang, oposisi atau bukan, pendukung pemerintah atau bukan.
Kita tidak berharap pemerintah mengintervensi kebijakan Singapura. Kita hanya ingin negara ini kukuh menopang marwahnya. Panggil Duta Besar Singapura, dan minta penjelasan terhadap alasan irasional dan standar ganda Singapura.
Tidak boleh tidak, Presiden Joko Widodo harus tegas dan memperlihatkan gregetnya. Greget yang sama ketika memaksakan Undang-Undang Ibukota Negara Baru, yang tetap dilakukan meski sejumlah analis menyebut kebijakan itu keliru.
Sikap tegas Presiden Jokowi perlu agar marwah bangsa yang mulai melemah di mata internasional dapat ditegakkan kembali.
Tidak hanya pada kasus UAS, juga melemahnya cara dunia melihat Indonesia yang tertangkap saat Presiden menghadiri KTT Amerika Serikat-ASEAN belum lama ini.
Dalam agenda acara tersebut, negara-negara Asean didaulat berbicara di depan audiens. Tapi Presiden Indonesia tidak. Pertanyaan yang menggantung, mengapa Indonesia mulai tidak dianggap? (*)