OPINI
Manuver Politik Undur Pemilu, The Beginning of The End
Lewat serangan kubu PDIP ini, pertanyaan pun berlanjut; apa iya LBP berani melangkahi Presiden begitu saja? Apa sudah sebegitu jauhkah kekuatan LBP yang bisa semaunya dan atas nama kepentingan ‘politik pribadi’ dan kelompoknya bersuara mengatasnamakan ‘misi politik istana’? Oleh: Erros Djarot, Budayawan Entah apa yang ada dalam benak pembisik di lingkaran satu Presiden Joko Widodo, sehingga ‘keinginan’ Istana untuk menggelontorkan paket politik tunda Pemilu begitu santer menjadi pembicaraan di ruang publik. Apalagi ketika sejumlah Ketua Umum partai dijadikan alat politik ‘testing the water’ dan begitu saja mau menjadi corong penguasa untuk melontarkan isu tersebut. Sialnya setiap pemain di lapangan politik segera membaca, bahwa pernyataan Ketua Umum partai-partai ini diduga keras tidak murni datang dari kubu partainya. Maklum, dalam ruang kekuasaan, masalah tekan menekan lewat mereka yang ‘bermasalah’, merupakan salah satu menu politik praktis yang sangat populer. Bagi para pendukung Jokowi yang dengan tulus ingin mengawal secara baik dan benar mengantarnya menghabisi masa jabatan dengan mulus, dipaksa berpikir kospiratif menanggapi isu yang sangat membuat mereka ketar-ketir. Mereka menjadi teringat bagaimana kejatuhan Pak Harto yang mungkin bisa dihindari asal saja saat itu beliau mau mengakhiri masa jabatannya sebelum Pemilu 1997 digelar. Begitu pun rekam ulang peristiwa kejatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Gambaran peristiwa ini pun sempat memunculkan pertanyaan; legacy apa lagi yang ingin dibangun oleh Pak Jokowi lewat manuver politik yang rawan dan penuh ‘jebakan batman’ yang bisa membuka kemungkinan terjadinya drama politik yang berjudul ‘The Beginning of The End’. Pikiran konspiratif pun melahirkan sejumlah bacaan tentang skenario di balik politik tunda Pemilu yang datang dari ‘pintu belakang’ Istana. Tidak sedikit yang kemudian menyimpulkan…yah beginilah kalo Jokowi dikelilingi dan di bawah ‘cengkraman’ panglima politik yang kental aroma Orde Barunya. Hembusan bau angin politik busuk yang meresahkan masyarakat ini pun diduga keras datang dari kubu pro Ordebaruis-oligark yang berkuasa dan menguasai istana. Nama Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sang super minister yang kekuasaannya dibaca banyak pengamat nyaris ‘melebihi’ Presiden, menjadi muncul sebagai figur sentral dari hembusan angin politik yang tak sedap ini. Manuver politik tunda Pemilu ini pun dibaca oleh para tokoh kelompok Nasionalis sebagai upaya ‘njongkrongke’ Pak Jokowi yang dalam kedudukannya kental bernaung di bawah bendera Banteng. Maka PDIP pun sebagai institusi politiknya kaum banteng yang hafal watak dan perilaku politik Orde Baru —yang selalu mengandalkan kekuatan uang, birokrasi, dan politiking konstitusi, langsung bereaksi. Trauma peristiwa ’65 pun menjadi kajian dan analisa yang serius. Apalagi ketika PDIP sadar bahwa sebagai partai penguasa, PDIP berlalu tanpa penguasaan dan tidak menguasai apa-apa. Mulai di wilayah ekonomi-finansial, industri-produksi, distribusi, bahkan hingga menembus ke wilayah retail, bisa dikatakan Zero! Lewat Hasto Sekretaris Jenderal-nya, PDIP pun langsung mengeluarkan sikap politik yang cukup keras dan sangat tegas menolak politik busuk penundaan Pemilu. Dalam hal ini, saya yang mengenal betul cara dan kebiasaan Megawati menangani masalah politik yang super sensitif, seorang Hasto Kristiyanto (tegak lurus Mega) tidak mungkin bergerak maju tanpa seizin dan dorongan Megawati sebagai Ketua Umum. Dan seorang Megawati tidak mungkin membiarkan Sekjen Hasto melakukan politik perlawanan terhadap kubu Istana, sebelum beliau tahu pasti gagasan politik busuk ini, bukan atas perintah dan kemauan Presiden Jokowi sebagai salah satu kader terbaiknya. Kubu PDIP pun langsung menyoal dan mempertanyakan posisi LBP dalam konteks manuver politik yang cenderung dibaca mengatasnamakan seolah sepenuhnya suara istana. Terkhusus lagi mempertanyakan masalah pengatasnamaan Big Data sebagai senjata politik yang digunakan untuk menyihir meyakinkan publik seolah kehendak tunda Pemilu datang dari kemauan rakyat. Nah, dengan hadirnya serangan kubu PDIP terhadap LBP ini, maka bacaan pun semakin jelas. PDIP begitu pasti bahwa LBP lah biang keladi dari kegaduhan politik yang telah mengundang berbagai reaksi yang telah menebar keresahan umum ini. Bagi para pemain papan atas di wilayah politik, situasi yang memanas ini justru menyisakan pertanyaan; apakah LBP seperti juga Hasto, berani melangkah begitu jauh tanpa sepengetahuan dan dorongan dari atasannya? Bila ternyata benar LBP hanya sebagai ujung tombak manuver politik istana yang dikomandani langsung oleh Pak Jokowi, maka masalahnya akan menjadi lebih pelik. Pertama karena Megawati saya yakini telah melakukan manuver bertanya langsung pada Presiden. Bila Sekjen PDIP bersikap keras menentang secara terbuka, dipastikan jawaban yang diperoleh Megawati tentunya bahwa Presiden Jokowi menyatakan bukan atas keinginan dan perintahnya. Hanya dengan adanya pernyataan inilah, menjadi wajar dan pantas bila kemudian banteng PDIP menajamkan tanduknya dan bersiap untuk menanduk musuh dalam selimut yang selama ini bercokol di ranjang istana. Lewat serangan kubu PDIP ini, pertanyaan pun berlanjut; apa iya LBP berani melangkahi Presiden begitu saja? Apa sudah sebegitu jauhkah kekuatan LBP yang bisa semaunya dan atas nama kepentingan ‘politik pribadi’ dan kelompoknya bersuara mengatasnamakan ‘misi politik istana’? Maka para analis usil pun melanjutkan pertanyaan ini dengan berbagai hipotesa yang salah satunya meneropong seberapa besar kekuatan para Oligarki berada dalam genggaman tangan LBP, sehingga begitu besar pengaruhnya untuk mengarahkan politik istana sesuai dengan desain dan tujuan politik LBP dan kelompoknya? Di lain sisi, bila benar sepenuhnya manuver politik tunda Pemilu datang dari seorang LBP sebagai salah satu pembantu Presiden, persoalan pun menjadi lebih mudah diselesaikan. LBP diminta mundur dan Presiden menunjuk gantinya! Bila Presiden ragu dan tak ada keberanian untuk melakukan yang harus dilakukan demi menghindari gelembungan moral hazard politik di lingkaran kekuasaan istana; wajar bila kemudian masyarakat bertanya-tanya; ada apa dengan mereka? Karena masyarakat telah terbiasa berada dalam lingkar pertanyaan; ada apa dengan cinta? Secara kebetulan saya salah seorang yang sangat tahu awal mula hingga sampainya Luhut Binsar Panjaitan duduk di kursi kekuasaan lingkaran istana dalam jabatannya sebagai Kepala Staf Kepresidenan pada awal pemerintahan Jokowi di tahun 2014. Seingat saya, LBP pernah bersaksi (saya langsung mendengar) bahwa; ia sebagai pribadi telah memiliki segalanya. Dalam sisa hidupnya ini, ia hanya ingin mempersembahkan segala daya, pikiran, dan pengalamannya selama berkiprah baik di wilayah militer maupun di wilayah sipil sebagai pejabat negara, untuk sepenuhnya hanya mengabdi kepada negara tanpa keinginan sedikit pun menumpuk kekayaan pribadi dan ha-hal yang merugikan bangsa dan negara. Saya simpulkan saat itu, ia anti Oligarki dan segala bentuk penyelewengan yang bertentangan dengan konstitusi. Dengan kegaduhan belakangan ini; kebenarannya hanya bisa kita temukan dari catatan sejarah perjalanan empirik di dunia nyata kekuasaan yang penuh godaan dan tantangan. Kepada Lae Luhut dan Mas Jokowi sahabatku, saya hanya mampu berpesan; rakyat hanya butuh kepastian, dan rakyat akan selalu meminta pertanggungjawaban! (*)
Catat, Saya Seorang Radikal
Oleh Dr. Ir. Masri Sitanggang - KETUA UMUM GERAKAN ISLAM PENGAWAL NKRI SEBAGAI seorang muslim, jenuh juga mendengar kata “radikal”. Ibarat makan, sudah tidak selera untuk menyuap lagi. Kalau dipaksa juga, maka yang terjadi adalah muntah. Enneg, mungkin ungkapan dalam bahasa Jawa inilah yang tepat untuk menggambarkannya. Betapa tidak? Sudah sejak lama kata itu disematkan kepada ummat Islam. Setiap ada peristiwa yang melibatkan ummat Islam, dapat dipastikan kata radikal akan muncul dan ditempelkan kepada mereka sehingga Islam dan radikal melekat erat membentuk “Islam Radikal”. Tidak perduli apakah peristiwa itu kriminal atau politik, dilakukan secara indvidu atau pun berjemaah. Yang penting pelakunya adalah muslim atau ada simbol Islam, titik! Cilakanya, label radikal yang disematkan itu berkonotasi negatip dan berbau busuk. Radikal sudah menjadi kosa kata politik yang tidak bebas nilai dan digunakan untuk maksud menghabisi kelompok yang menjadi lawan politik (baca Islam). Simaklah peristiwa yang terakhir ini : Aksi Bela Islam (ABI) 411 atau 212 dan seterusnya. Aksi super damai jutaan ummat Islam yang menuntut persamaan di hadapan hukum, menuntut tegaknya keadilan atas kasus pinastaan agama oleh Basuki Tjahya Purnama alias Ahok --yang tidak merusak walau seranting pohon dan tidak pula meninggalkan sejemput sampah pun, sehingga menjadi aksi terbesar dan terdamai di dunia-- dituduh juga sebagai aksi kelompok radikal. Kemenangan Anis-Sandi atas Ahok-Jarot dalam Pilkada DKI pun kemudian disebut juga sebagai kemenangan kelompok Islam Radikal ! Saya tidak tahu, apakah proyek deradikalisasi yang diprogramkan pemerintah meliputi juga program agar ummat islam tidak lagi berunjuk rasa menyuarakan aspirasinya menuntut keadilan dan tidak pula memenangkan calon pemimpin beragama Islam ? Sangatlah nyata beda antara ABI dan aksi pendukung Ahok (Ahokers) yang dilakukan setelah vonis 2 tahun penjara buat Ahok. Tidak ada yang menyebut aksi Ahokers sebagai radikal, malah seperti ada pembiaran (kalau bukan difasilitasi) aparat terhadap aksi itu. Padahal, di situ ada kericuhan, ada upaya merobohkan gerbang Lapas Cipinang, melewati batas waktu ketentuan berunjuk rasa dan bahkan ada yang menginap; jangan ditanya soal taman yang rusak dan sampah yang berserakan ! Inilah yang membuat saya bertambah enneg. Tetapi, biarlah apa kata orang, saya harus tetap menjadi seorang radikal. Sebagai seorang yang berpendidikan doktoral (Phylosophy Doctor), saya memang harus membiasakan diri berpikir radikal dan tak mau larut dengan opini sesat. Sebagai penganut agama Islam, yang saya yakini kebenarannya, saya juga harus bersikap radikal dan tidak kompromi terhadap kejahiliyahan. Begitu juga sebagai anak Indonesia Asli, saya harus berpikir dan bersikap radikal, tak ingin goyah dari Pembukaan UUD 1945 yang menjadi gentlemen agreement para founding fathers negeri ini. Bagi saya, radikal atau radikalisme itu sesungguhnya adalah hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Ia adalah gejala alam yang muncul mengikuti hukum kausalitas, sebab-akibat. Simaklah Encyclopædia Britannica, akan ditemukan bahwa Charles James Fox adalah orang pertama yang menggunakan kata “radikal” dalam dunia politik. Ia pada tahun 1797 mendeklarasikan reformasi radikal sistem pemilihan, menyatakan diri sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Perhatikanlah alam semesta. Jika keseimbangan ekosistem terganggu, misalnya oleh manusia, maka alam akan bereaksi (mungkin disertai banjir, longsor, kemarau, peningkatan suhu bumi atau bencana lainnya) membangun keseimbangan baru. Ingat pula, misalnya, segerombolan gajah liar di Aceh dan Lampung masuk ke pemukiman dan merusak rumah-rumah penduduk di sekitar tahun 2006. Gajah yang lucu dan menyenangkan itu, berubah jadi beringas, kenapa ? Semua orang –baik yang ahli mau pun yang awam, sepaham: karena manusia telah merusak habitatnya. Artinya, manusia punya andil membuat gajah jadi “radikal”. Jadi, sekali lagi, radikal adalah hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Ia merupakan gejala alam yang muncul mengikuti hukum kausalitas, sebab-akibat: ada kiri jauh, muncul kanan jauh; ada kondisi ekstrim, muncul ekstrim baru yang berlawanan. Hukum ini berlaku untuk semua makhluk, yang bernyawa maupun tidak. Semua menuju titik keseimbangan baru. Dalam Ilmu Fisika, ada Hukum ke-3 Newton (1642 – 1726) : “setiap aksi ada reaksi dengan arah yang berlawanan”. Ada Hukum *Archimedes* (287 SM – 212 SM) tentang berkurangnya berat benda padat yang dicelupkan ke dalam air sebagai akibat reaksi air yang terpindahkan dari ruangnya semula oleh benda padat tersebut. Ada juga Hukum Boyle (1627 –1691) yang menjelaskan bahwa aksi memperkecil volume udara, akan direspon oleh udara dengan memperbesar tekanannya. Dalam dunia Ilmu pengetahuan, sikap radikal justeru memegang peran sangat penting. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan hampir seluruhnya (kalau tidak semuanya) diawali dan didasari oleh ide, gagasan dan pemikiran radikal. Tanpa gagasan, ide, pemikiran radikal, dapat dipastikan ilmu dan teknologi tidak akan mencapai seperti apa yang kita sasikan sekarang. Bagaimana, misalnya, jika *Galileo Galilei* (1564- 1642) tidak melawan kekuasaan “ilmuwan” gereja dan filsof Aristoteles –yang percaya bahwa bumi adalah datar, statis dan matahari mengitari bumi-- dengan teori radikalnya bahwa bumi adalah bulat dan bergerak mengitari matahari yang menjadi pusat tata surya? Bagaimana, misalnya lagi, kalau Louis Pasteur (1822 – 1895) tidak berani menentang para guru dan ilmuwan pendahulunya yang telah berabad-abad mengajarkan doktrin spontaneous generation, bahwa makhluk hidup berasal dari makhluk mati? Dan seterusnya... ! Demikian juga dalam kehidupan sosial politik. Gerakan radikal muncul sebagai jawaban terhadap kondisi radikal yang ada (gerakan kiri jauh muncul sebagai jawaban terhadap kanan jauh), sehingga ada dua kutub radikal. Indonesia pernah melakukan gerakan radikal merespon “radikal” kolonialis, berbuah kemerdekaan. Ketika Pancasila, oleh rezim Orde Lama diperas menjadi Trisila dan selanjutnya Ekasila, serta demokrasi menjadi terpimpin sesuai keinginan penguasa, muncul gerakan radikal kembali ke UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Begitu juga ketika Orde Baru dinilai telah otoriter, lahirlah gerakan radikal : reformasi menuju demokrasi. Dan jika kita mau jujur, sesungguhnya organisasi yang disebut Amerika Serikat sebagai teroris pun adalah respon belaka terhadap perilaku radikal yang mereka alami. Sebutlah Taliban-Alqaeda, lahir untuk merespon invasi Rusia dan (diteruskan) Amerika terhadap Afghanistan. Hamas, lahir untuk merespon penjajahan ekstrim Israel. Begitulah gerakan radikal lainnya. Maka, John L. Esposito, guru besar di Georgetown University berpendapat, terabaikannya kedzaliman Israel di Palestina, sengketa Kashmir, konflik di Afghanistan, hingga kesewenang-wenangan Amerika Serikat terhadap Iraq, dipastikan menyuburkan radikalisme Islam. Sulit rasanya kita akan mampu membendung radikalisme agama, apabila akar masalahnya itu kita abaikan begitu saja. Sekali lagi, radikalisme adalah gejala alam biasa yang muncul mengikuti hukum kausalitas. Dalam kehidupan sosial politik ia hanyalah respon terhadap keadaan yang sedang berlangsung, yang menurut Horace M Kallen (1972), muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak. Oleh karena itu, radikalisme tidak terkait dengan kelompok masyarakat atau agama tertentu. Maka, tergantung pada nilai kondisi yang sedang berlangsung –yang mejadi objek evaluasi atau penolakan dan bahkan perlawanan-- radikalisme bisa bernilai positip atau negatip. Jika kondisi yang berlangsung adalah negatip, maka radikalisme yang muncul bernilai positip dan sebaliknya. Beberapa contoh yang dinukilkan di atas adalah radikalisme positip. Sama halnya dengan gerakan menyeru kembali kepada Alqur’an dan sunnah serta membuka kembali pintu ijtihad melawan kejumudan pemikiran oleh Ahmad Ibn Taymiyah (1263-1326) adalah positip. Persoalan muncul ketika kekerasan dijakdikan penyelesaian, baik oleh pihak pro maupun anti kemapanan. Bagi yang pro kemapanan, gagasan baru yang radikal, kata Karen Armstrong (2001), dianggap mengganggu tatanan sosial dan membahayakan masyarakat. Pada situasi ini, stabilitas dan keteraturan sosial dianggap lebih penting dari pada kebebasan berekspresi. Dan respon balik terhadap gagasan baru ini –yang dikemudian hari dinilai sebagai tindakan bodoh, bisa berupa kekerasan seperti terjadi pada para ilmuwan dahulu di masa dominasi gereja, atau seperti pada para pejuang kemerdekaan. Persoalan serius juga bisa muncul ketika pandangan politik kelompok lebih mengedepan ketimbang mencari kebenaran-penyelesaian. Dalam situasi seperti ini, pandangan politik penguasa biasanya lebih dominan dalam mengarahkan pandangan publik. Kata “radikal” yang semula netral dan kemunculannya wajar, bisa berbaur pengertiannya dengan fundamentalisme, ekstrimisme dan dalam kadar tertentu dikaitkan dengan terorisme. Dus, kata “radikal” bisa menjadi sesuatu yang sangat negatip dan menakutkan. Pengeritan “radikal” ini sepenuhnya dikontrol oleh penguasa, baik makna maupun arah kepada kelompok mana ditujukan. Jika kemudian salah satu atau kedua belah pihak (pro dan anti kemapanan) memiliki agenda poliitik progressif, maka keadaanya bisa sangat sulit dan berbahaya. Di sini, platform nilai yang disepakati bersama harus sungguh-sungguh ditegakkan sebagai rujukan. Dalam konteks Indonesia, platform nilai yang disepakati bersama adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, bukan yang lain. Di situlah saya berpijak. Bila anda menilai saya memang seorang radikal, maka sesungguhnya anda adalah seorang radikal yang sedang berpijak pada sisi lain di luar platform Pancasila yang saya maksud. Atau, anda adalah seorang yang dimaksud oleh Karen Armstrong. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Umat Islam Ku Sayang, Umat Islam Ku Malang
Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI Allah telah menjadikan Islam sebagai agama yang mulia.Tapi sayang banyak umatnya lebih memilih dusta dan berbuat aniaya. Allah telah memenuhi Islam sebagai agama yang sempurna.Taapisayang umatnya memilih jalan lain yang hina. Islam menuntun umat manusia agar lebih manusiawi.Tapi sayang banyak umatnya memilih cara hidup yang keji. Islam mengajak manusia menggunakan akal dan nurani.Tapi sayang banyak umatnya lebih menyukai ilusi dan halusinasi. Allah telah menyeru manusia pada keselamatan akhirat dan dunia.Tapi sayang banyak umat manusia gandrung pada mara bahaya dan angkara murka. Allah telah memberikan limpahan anugerah dan cahayaNya.Tapi sayang banyak manusia lebih nyaman berbuat nista. Islam mengajarkan umatnya budi pekerti.Tapi sayang banyak umatnya mengingkari janji. Islam memandu kecintaan pada Ilahi.Tapi sayang banyak umatnya sibuk mengejar materi. (*)
Seharusnya Bu Mega Tampar Jokowi, Bukan Salahkan Rakyat Pakai Migor
Oleh Asyari Uaman, Jurnalis Senior FNN KETUM PDIP Bu Megawati bilang, kenapalah emak-emak itu antre segitunya untuk dapatkan minyak goreng? Apakah mereka itu menggoreng tiap hari ya? Kan bisa merebus atau mengukus saja? Nah, kelihatan lagi cara seenaknya para elit merespon situasi yang sedang menyulitkan rakyat. Reaksi yang lagi-lagi menyalahkan rakyat ketika para penguasa bandit bertindak sesuka hati. Haruskah kita katakan lagi: “Yah, Bu Mega memang begitu”. Reaksi “rebus saja”, “apakah tiap hari menggoreng”, dlsb, memang ada benarnya di satu pojok kecil dari gambar besar persoalan kelangkaan migor. Tapi, Bu Mega menepikan subatansi kelangkaan komoditas penting ini. Pertama, Bu Mega perlu lebih sering keliling sendirian ke lorong-lorong negeri. Tutup wajah Bu Mega supaya tidak dikenal orang. Jangan pakai pengawal berseragam. Kalau bisa, pakai angkot saja. Lihat bagaimana emak-emak itu cari makan. Banyak yang jualan gorengan seadanya. Minyak goreng adalah bahan pokok yang teramat penting bagi para pedagang asongan itu. Menu makanan? Iya, memang bisa diresbus. Tapi, wahai Bu Mega yang selalu mengaku berjuang untuk ‘wong cilik’, Anda itu tidak paham atau terbiasa menyalahkan rakyat terus? Anda tidak mengerti bahwa bagi keluarga muda, yang baru berusia 25-45 tahun, dengan anak yang masih remaja, menu bergoreng itu tak terelakkan. Kalau usia lanjut memanglah cenderung menghindari makanan yang digoreng. Kedua, mengapa cara Anda melihat kelangkaan migor itu dari sudut penggunaannya? Bukan dari sudut manajemen bobrok petugas partai Anda? Seharuanya Anda sorot kebusukan pemerintah di balik penghilangan migor itu. Kenapa bisa langka? Ada permain atau tidak? Ada mafia atau tidak? Siapa saja yang meraup keuntungan dari bisnis migor dan CPO? Siapa yang melakukan perbuatan licik dengan menghilangkan migor dari pasar? Seharuanya Anda tampar Presiden Jokowi karena kelangkaan migor merenggut nyawa manusia. Bukan mengkritik cara ibu-ibu memasak meskipun ada benarnya. Sebab, kelangkaan migor patut diduga sebagai rekayasa para penguasa untuk mencari uang besar karena kas pemerintah terancam. Anda kan punya banyak tangan untuk mengorek informasi. Mudah bagi Anda untuk mengetahui kejahatan dalam penghilangan migor itu, Bu. Anda kan punya akses ke semua lini pemerintahan. Mengapa bukan pengusutan yang Anda lakukan? Apakah Bu Mega tak tahu berapa ratus triliun rakyat dipalak dari drama kelangkaan migor? Rakyat dipalak? Yes, Bu! Dirampok dari kantong rakyat yang hari ini harus beli migor curah 20,000 perak seliter meskipun HET-nya 14,000. Rampok-merampok ini yang seharusnya Anda soroti. Kenapa cara memasak digoreng atau direbus yang diangkat? Bukan itu isu sentralnya, Bu. Di seluruh dunia orang lebih banyak mengkonsumsi menu bergoreng kok. Kenapa ini yang Anda risaukan? Itu, suruh Puan panggil menteri-menteri yang urus sawit, CPO, migor, biodisel, dll. Panggil juga para raja sawit yang rakus-rakus itu. Giling mereka di DPR. Perintahkan fraksi PDIP untuk mencacar mereka sampai keringat dingin. Begitu dulu ya Bu Mega. Mudah-mudahan besok-lusa tidak asal omong lagi.[]
Cawapres untuk Puan Maharani
Sangat sulit dan berat pada Pilpres mendatang Megawati menempatkan kader lain, selain Puan. Bisa juga Megawati ahirnya menerima tawaran Jokowi. Puan sebagai wakilnya, sekaligus untuk mematangkan dan menyiapkan Puan dalam belantara politiknya ke depan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ADANYA wacana tentang sikap Mega yang menolak perpanjangan atau jabatan presiden tiga periode nampaknya serius, sesungguhnya masih ada di persimpangan jalan. Proteksi Megawati Soekarnoputri terhadap capres mendatang fokus pada nasib Puan Maharani, putrinya, yang masih dalam dilema kemampuannya dalam perpolitikan nasional. Megawati sangat paham posisi Puan untuk RI 1 sangat berat. Sekalipun PDIP untuk mencalonkan capres dan cawapres bisa mandiri. Hanya menempatkan Puan pada posisi RI 1 jelas resikonya sangat besar, menempatkan Capres lainnya dengan berhitung usia Megawati, jelas tidak mungkin Megawati Soekarnoputri memang bisa digoyang dengan tawaran Puan RI 2 untuk wakil Joko Widodo, untuk memperpanjang masa jabatannya dan atau untuk meloloskan masa tiga periode. Maka logika Presiden Jokowi mengatakan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan dan atau tiga periode adalah bebas karena ada dalam koridor demokrasi. Pernyataan ini sambung dengan adanya nego yang masih berlangsung dengan Megawati untuk posisi Puan sebagai RI.2. Tawaran ini sangat serius. Adalah seorang menteri senior Jokowi yang melakukan operasi untuk menundukkan Bu Mega. Bisa ditebak ada keterlibatan Oligarki nimbrung di dalamnya. Karir politik Puan ke depan benar menjadi beban politik Megawati dengan PDIP-nya. Oligarki tentu memiliki kepentingan dan strategi politik sendiri untuk menjaga keamanannya yang selama ini berjalan relatif tanpa hambatan. Dan pasti sudah berhitung sangat berbahaya kalau penguasa selanjutnya berbeda haluannya. Kalau tawaran Puan menjadi RI 2 untuk Jokowi berhasil - tidak perlu diramal terlalu jlimet, mengubah UUD (pasal 7) agar presiden bisa memperpanjang jabatannya atau masa jabatan tiga periode, hampir pasti akan berhasil. Megawati sudah tegas dan lugas. Beliau menolak usul tiga periode maupun penundaan pemilu/pilpres 2024. Menurut Bu Mega, kedua skenario itu akan merusak disiplin dalam berdemokrasi. \"Hanya proses politik kepentingan bisa saja berubah mendadak\". Sangat sulit dan berat pada Pilpres mendatang Megawati menempatkan kader lain, selain Puan. Bisa juga Megawati ahirnya menerima tawaran Jokowi. Puan sebagai wakilnya, sekaligus untuk mematangkan dan menyiapkan Puan dalam belantara politiknya ke depan. Apabila Megawati ahirnya luluh, dan bisa menerima perpanjangan masa jabatan atau mengubah UUD (pasal 7 ) untuk jabatan tiga periode, akan beresiko cacat pendirian yang selama ini kukuh untuk taat konstitusi. Dan Puan juga akan menelan akibatnya, cacat politik untuk selamanya. \"Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu,\" kata Franklin D. Roosevelt.\". Kata \"Otto Von Bismarck: Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best. \"Politik adalah seni dari kemungkinan, sesuatu yang dapat dicapai –seni dari (pilihan) yang terbaik berikutnya\". Prakteknya adalah kepentingan tidak lagi urusan baik dan buruk. Yang akan terjadi kalau Oligarki tetap tidak dihancurkan maka politik yang akan terjadi di Indonesia adalah politik Oligarki dan buahnya adalah Presiden dan Wakil Presiden boneka. (*)
Minyak Goreng Itu Langka Ditahan Produsen Atau Dihilangkan?
Pertanyaan lainnya: mengapa pemerintah merespon kelangkaan dengan penghapusan subsidi dan menaikkan harga curah, tidak lebih dulu menghukum para penanggung jawab migor? Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN SETELAH subsidi kemasan dicabut dan harga curah dinaikkan, akhirnya minyak goreng (migor) banjir kembali di pasar. Selama sekitar dua bulan ini, migor langka di tingkat ritel. Terutama, migor curah. Ada satu pertanyaan yang menarik: apakah selama dua bulan ini migor langka karena ditahan produsen dan distributor atau ada yang meminta supaya dihilangkan? Kalau dicermati kronologi dan penanganan kelangkaan, ada terlihat jejak rekayasa di situ. Sangat patut diduga. Tapi, siapa yang mungkin melakukan rekayasa penghilangan migor? Dan apa tujuannya? Pertanyaan ini sangat valid karena operasi pencarian penimbunan migor oleh aparat kepolisian atau satgas pangan tampak tidak serius. Apa indikasinya? Antara lain adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk menemukan para penimbun. Kalau pun ditemukan, para penimbun itu tidaklah signifikan untuk disebut sebagai penyebab kelangkaan. Apakah sulit sekali menemukan lokasi penimbunan? Kelihatannya, dengan segala keterampilan investigasi aparat dan data tentang produsen serta distributor migor, agak sulit dipercaya keluhan bahwa penimbunan tak mudah dicari. Kalau serius mengusut siapa yang menahan atau menimbun migor, apa iya kecanggihan para investigator kepolisian kalah dengan, katakanlah, para mafia minyak goreng? Tak mungkin. Polisi kita hebat-hebat kok. Sekarang, setelah pemerintah mencabut subsidi kemasan premium dan kemasan sederhana, dan kemudian menaikkan harga migor curah menjadi Rp14,000 per liter, tiba-tiba saja semua kembali normal. Ribuan ton migor curah muncul lagi. Nah, siapa yang menghilangkan migor? Jawabannya ialah: apakah para produsen, distributor, dan pedagang berani melakukan itu? Kemudian, kelangkaan itu serentak terjadi di seluruh Indonesia. Apa iya dalam situasi dan kondisi sulit sekarang ini mereka berani beramai-ramai melakukan penimbunan? Sulit dipercaya. Sebab, penimbunan makanan pokok itu ada pidananya. Kisi-kisi lainnya adalah bahwa pihak yang berkuasa tidak langsung mengarahkan terlunjuk ke para pelaku industri migor. Hanya sambil lalu saja mereka menyebut ada mafia. Sekali lagi harap diingat: kelangkaan ini relatif sudah berlangsung cukup lama. Apakah masuk akal pemerintah dengan begitu banyak perangkat penyelidikan dan penindakan memerlukan waktu dua bulan untuk mengatasi kelangkaan migor? Pertanyaan lainnya: mengapa pemerintah merespon kelangkaan dengan penghapusan subsidi dan menaikkan harga curah, tidak lebih dulu menghukum para penanggung jawab migor? Seterusnya, apa tujuan penghilangan migor? Dalam banyak pengalaman, produk yang hilang dari pasar hampir pasti akan muncul kembali dengan harga baru. Harga yang “disesuaikan” –meminjam istilah yang sangat sopan yang sering diucapkan oleh para pejabat. Dalam kasus penaikan harga migor sekarang ini, mudah dibaca siapa yang diuntungkan. Dari sini pula terkuak apa tujuannya. Mengatasi kelangkaan dengan tindakan menghapus subsidi kemasan dan menaikkan harga curah menjadi Rp14,000 per liter dari Rp11,500 berarti akan meringakan beban keuangan pemerintah. Semua orang tahu, pemerintah sedang mengalami kelangkaan uang. Jadi, di balik tirai yang hampir tembus pandang itu, bisa dilihat samar-samar-jelas apakah migor langka secara natural atau sengaja dihilangkan. Dan Anda juga mungkin bisa menebak bayangan siapakah yang berkelebat di panggung drama kelangkaan komoditas vital ini. (*)
Turunnya Presiden Tergantung Cara Naiknya
Oleh Michael Attarturk Sampurno - Pemerhati Sejarah Kepemimpinan Nusantara. Saya tiba-tiba ingat, potrait masa lalu Bung Karno diawal masa kemerdekaan bersama Dwitunggal Mohammad Hatta dari Minangkabau, gegap gempita bersama ephoria rakyat yang begitu haus akan sebuah nama kemerdekaan. Soekarno-Hatta, adalah proklamator berdirinya bangsa bernama Indonesia. Soekarno sebagai presiden pertamanya, yang begitu sangat dielu-elukan rakyat, karena ciri khas pidatonya yang berapi-api membakar semangat bangsa Indonesia yang baru berdiri. Namun, 20 tahun kemudian tiba-tiba semuanya berubah. Pasca kudeta gagal PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1965. Figur dan sosok Soekarno yang awalnya begitu di elu-elukan, kondisinya berbalik arah 180 derjat. Menjadi tumpuan kemarahan masyarakat, karena dianggap terlalu membela dan menganak emaskan PKI yang jelas merusak dan mau merubah negara Indonesia yang berKeTuhanan Yang Maha Esa menjadi negara Komunis atas dukungan Peking dan Moskow. Tahun 1945 di elu-elukan sebagai tokoh Proklamator, di tahun 1965 di buru-buru karena kudeta gagal PKI terhadap bangsa Indonesia. Tiba-tiba saya teringat Soeharto. Dimana, pada tahun 1965 namanya muncul begitu harum dan juga dielu-elukan rakyat seluruh Nusantara. Karena dianggap atas keberaniannya, berhasil secara taktis dan strategis menumpas balik dan menggagalkan kudeta PKI di tahun 1965. Dimana tabiat PKI ketika itu sudah sangat meresahkan dan menakutkan. Melakukan teror, caci maki, dan menyebar kebencian terhadap apa saja yang berbau agama khususnya Islam. Berbekal Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), Mayjend Soeharto ketika itu di tunjuk sebagai Pangkokamtib (Pangkima Komando Keamanan dan Ketertiban), dan selanjutnya mulus mengatarkannya menjadi Presiden Indonesia ke-dua selama 32 tahun lamanya. Nasib Soeharto hampir sama dengan pendahulunya Soekarno. Di elu-elukan pada tahun 1965, sebagai Jendral patriot penyelamat bangsa dari ancaman pemberontakan komunis, berubah 180 derjat di tahun 1998, menjadi sasaran kemarahan rakyat atas krisis moneter dengan isu KKN, sampai akhirnya Soeharto dengan gentleman mengundurkan diri dari jabatan Presiden melalui reformasi 98. Tiba-tiba saya teringat Prof Eng BJ Habibie. Seorang genius yang namanya begitu harum sebagai ahli pesawat terbang didunia. Tak sampai setahun menjadi Wakil Presiden Soeharto, BJ Habibie lalu diangkat menjadi Presiden RI ke-3 melalui Sidang paripurna Istimewa MPR-RI. BJ Habibie yang di anggap anti tesa dari kepemimpinan Soeharto yang di cap militeristik, akhirnya juga tidak bertahan lama. Prof BJ Habibie, dilantik melalui sidang istimewa MPR RI (1998), namun juga di berhentikan melalui sidang istimewa MPR (1999) dengan isu lepasnya provinsi ke 27 Timor Leste dari pangkuan ibu pertiwi. Tiba-tiba saya teringat KH Abdurrahamn Wahid alias GusDur. Cucu pendiri Ormas Islam terbesar di Indonesia NU yaitu KH Hasyim Asyari. Mantan ketua PBNU ini, kemudian jadi Presiden RI yang ke-4 melalui politik poros tengah gagasan tokoh reformasi Prof Amien Rais. Faksi poros tengah ini adalah faksi di parlemen bentukan Amien Rais Cs. Untuk menjegal Megawati dari PDIP waktu itu menjadi Presiden. Begitu juga nasib Gus Dur. Ahli fiqih ini, naik jadi Presiden melalui dukungan faksi poros tengah (1999) namun juga di jatuhkan (impeachmant) melalui poros tengah ini juga atas isu Bulog Gate (tahun 2001) Berbagai macam isue yang berkembang saat itu. Suasana politik pro dan kontra hingga adu kekuatan massa juga tak terelak kan. Ada yang bilang pelengseran Gus Dur otaknya adalah Amien Rais, tapi ada juga yang mengatakan skenario Megawati agar mulus jadi Presiden. Dan siapa yang menjatuhkan Gus Dur ketika itu, tetap jadi misteri sampai saat ini. Tiba-tiba saya teringat Megawati. Ketua Umum PDIP yang terkenal dengan jargon Partai Wong Cilik. Megawati juga puteri Soekarno. Dan akhirnya berhasil jadi Presiden RI yang ke-5 menggantikan Gus Dur (2002) hingga habis masa jabatan tahun 2004. Nasib Megawati juga hampir sama. Naik jadi Presiden menggantikan (atasannya) Gus Dur, berhenti jadi Presiden karena kalah dalam pemilihan oleh (mantan anak buahnya) sendiri Pak SBY. Tiba-tiba saya teringat Jendral TNI Soesilo Bambang Yudhoyono. Menantu mantan komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. SBY naik jadi Presiden RI yang ke-6 melalui Pilpres secara langsung pertama kali di Indonesia mengalahkan para mantan atasannya seperti Megawati dan Wiranto. SBY menjabat dua periode (2004-2014), dan mengakhiri masa jabatannya sesuai amanah konstitusi UUD 1945, bahwasanya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua periode per-lima tahun. Tiba-tiba saya ingat Joko Widodo atau familiar di kenal Jokowi. Menjadi Presiden ke-7 RI pada tahun 2014 menggantikan SBY. Dan sampai saat ini masih menjabat memasuki periode ke-dua nya. Jokowi berhasil menjadi Presiden yang ke-7 ini sangat penuh dengan dinamika politik yang luar biasa. Dari Walikota Solo yang adem dan homogen, meloncat jadi Gubernur DKI seiring dengan isu mobil Esemka, dan menjadi Presiden RI mengalahkan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014. Saya tak bisa berbicara banyak tentang sepak terjang seorang yang bernama Jokowi. Di elu-elukan bak dewa di kelompok Cebong, namun di caci maki di kelompok kampret alias kadrun. Namun yang jelas, sejak kepemimpinan Jokowi ini, harmonisasi kebangsaan kita sedikit berbeda. Bangsa ini tiba-tiba berubah beringas, permisif, sinis, fasis, dan penuh rasa kebencian. Tapi yang terpenting dalam penulisan ini adalah, bagaimana kita memotrait sebuah sejarah bangsa yang penuh dinamikanya masing-masing. Yang menariknya adalah ; Ada satu karakter, kesamaan, dan bentuk ulang persamaan dari bagaimana naik dan turunnya seorang presiden di Indonesia. Yaitu : “Turun dan berhentinya seorang Presiden di Indonesia, tergantung bagaimana cara mereka mendapatkan jabatan Presiden itu”. Mari kita lihat secara seksama satu persatu. Soekarno jadi Presiden, atas kehendak para pejuang dan tokoh bangsa hingga Soekarno di culik ke rengas dengklok agar segera memprolakmirkan kemerdekaan Indonesia. Tak perlu menunggu janji manis Jepang yang mau beri kemerdekaan. Maka jadilah Soekarno-Hatta menjadi Presiden yang di elu-elukan rakyat. Namun lihat bagaimana turunnya Soekarno. Juga atas desakan dan tekanan para Jendral dan tokoh bangsa saat itu. Pasca peristiwa Kudeta gagal PKI, nama Soekarno dikait-kaitkan dengan PKI dan menjadi muara kebencian masyarakat. Sampai pada sidang MPRS 1967 Soekarno di berhentikan atas desakan dan demonstrasi besar-besaran mahasiswa, pelajar, dan tokoh agama se-nusantara. Selanjutnya begitu juga dengan Soeharto. Melalui pengajuan dirinya untuk mendapatkan mandat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) mengambil alih kekuasaan Soekarno, menstabilkam kondisi sosial politik negara dan menumpas habis PKI dan antek-anteknya mendapat simpati masyarakat. Namun lihat Soeharto turun. Naik melalui pengajuan diri dapat mandat Supersemar, turunnya pun melalui pengunduran diri setelah di demo besar-besaran oleh mahasiswa yang minta reformasi atas dukungan Amerika dan sekutunya. Demo reformasi ini juga ada yang mengatakan di tinggangi oleh pembalasan dendam para anak-anak PKI yang sakit hati karena di tumpas dan di kungkung mati Soeharto semasa berkuasa. Selanjutnya Gus Dur, naik jadi Presiden melalui poros tengah Amien Rais, turunnya pun melalui manuver politik poros tengah Amien Rais Cs. Selanjutnya BJ Habibie. Naik jadi presiden melalui sidang paripurna istimewa, turunnya juga melalui sidang paripurna istimewa. Selanjutnya Megawati, naik jadi Presiden menggantikan atasannya Gus Dur, turun juga di gantikan oleh anak buahnya SBY. Sedikit berbeda dengan SBY, naik jadi Presiden melalui Pilpres dan konstitusional, turunnya juga secara konstitusional habis masa jabatan dua periode. Lalu bagaimana dengan Jokowi ? Naiknya melalui apa ? Turunnya juga melalui apa? Kalau melihat kepada sejarah. Seperti apa yang di tulis diatas. Seorang Presiden RI dalam sejarahnya, akan turun dari jabatan akan sama dengan bagaimana caranya mendapatkan jabatan itu. Kembali kepada Jokowi, silahkan tuangkan pendapat dan analisanya masing-masing. Apakah akan turun? Lanjut periode ? Perpanjangan periode? Habis masa jabatan ? Atau naik melalui berita Esemka turun melalui berita Esemka? Wallahu’alam. Surabaya, 18 maret 2022. Sumber: www.fnn.co.id
Gawat Darurat Negeri Dukunkrasi
Oleh Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan MASIH buntut dari lakon \"Kendi Nusantara\" yang pemeran utamanya adalah Joko Widodo dengan pemain lain yaitu para dukun nusantara. Perannya \"gaib\", ada yang sekedar komentar, terlibat, maupun menerawang. Spiritualitas dan mistik sulit dibantah sebagai warna atau nuansa dari ritual \"Kendi Nusantara\". Gaib juga peran Jokowi apakah menyewa dukun, petugas dukun, atau sudah menjadi dukun. Menurut paranormal Mbah Mijan yang berkumpul saat ritual \"Kendi Nusantara\" bukan hanya manusia, tetapi juga sosok tak kasat mata. Sesepuh gaib yang hadir. Menurutnya IKN baru di Penajam ini \"direstui\" atau \"diizinkan\" oleh yang gaib. Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) yang berkedudukan di Banyuwangi juga turut mendukung. Ritual yang dipimpin Jokowi menurut Ketua Persatuan Dukun Nusantara Gus Abdul Fatah Hasan adalah pas untuk siklus 100 tahunan. Baru 100 tahun kemudian akan muncul tokoh lagi seperti Jokowi. \"Zaman leluhur kehidupan manusia ini bergandengan dengan alam supranatural sehingga diperlukan keselarasan dan harmonisasi alam milik manusia dan alam lain\", demikian Gus Abdul Fatah. Seorang praktisi spiritual Ki Surau menegaskan bahwa ritual \"Kendi Nusantara\" yang melibatkan Gubernur seluruh Indonesia ini adalah usulan dari salah satu dukun asal Solo Jawa Tengah. Menurut Ki Surau dukun asal Solo tersebut selalu memberi kekuatan secara spiritual kepada Presiden Jokowi. Yang lucu adalah ungkapan dukun asal Medan Ki Bedul Sakti bahwa ritual Jokowi hampir gagal jika tidak diselamatkan olehnya. Terjadi insiden baik Gubernur pingsan maupun perubahan cuaca drastis adalah akibat dari penghuni gaib yang marah. Bagi Ki Bedul Sakti hampir gagalnya ritual itu disebabkan oleh penghianatan Anies. Gubernur DKI ini tidak membawa tanah keramat tetapi tanah biasa. Menurut Ki Bedul, Anies Baswedan ditakuti oleh sekawanan bangsa Jin. Jokowi yang dekat dengan dunia mistik atau klenik adalah persoalan sendiri bagi bangsa ini. Teringat ketika pelantikan dahulu bulan Oktober 2019, ruang gedung DPR juga diisi oleh makhluk gaib seperti Nyi Loro Kidul, Nyi Blorong, dan Jin Kahyangan. Adalah Ki Sabdo yang mengundang atau \"memasok\" atas perintah Jokowi. Itu menurut pengakuannya. Menjadi persoalan sendiri karena memang berbahaya jika kebijakan pemerintahan atau kenegaraan tidak didasarkan pada pertimbangan yang masuk akal, tetapi atas nasehat, masukan, atau bimbingan dari para dukun atau praktisi spiritual. Terbuka benturan dengan pandangan sehat rasional dan keagamaan. Kekuasaan dukun yang dominan akan melengkapi krasi-krasi yang sudah melekat pada Pemerintahan Jokowi seperti korporatokrasi, buzzerkrasi, dan kleptokrasi. Kini dukunkrasi adalah fenomena baru yang terkuak, terbuka dan terdeklarasi. Kekuasaan dukun dapat mereduksi input-input rasional dan bijak dalam memimpin negeri. Kondisi ini menyebabkan negara ada dalam keadaan gawat darurat. Dukunkrasi nyata-nyata bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dianut bangsa dan rakyat Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Jokowi janganlah menyerupai kehidupan masa lalu seperti Fir\'aun yang dikelilingi oleh elemen oligarki Haman, Bal\'am, dan Qarun. Kahin dan tukang-tukang sihir. Fir\'aun adalah leluhur bagi penguasa zalim, pendusta, paganis dan tidak beriman. Indonesia maju tidak sama dengan Indonesia mundur. Maju mundur sama juga hancur. Jokowi harus membawa Indonesia itu maju. Jika tidak, sebaiknya mundur teratur. Rakyat bahagia dan akan sangat bersyukur. (*)
Kalau Megawati Setuju Puan Wapres, Tiga Periode Jokowi Bisa Gol
Bu Mega tampaknya dilanda kecamuk pikiran. Beliau ingin mewariskan langkah politik yang tidak dikutuk rakyat. Menerima tawaran wapres dengan tebusan tiga periode Jokowi, pastilah akan dicela. Akan dicerca habis sebagai bentuk egoisme yang merusak bangsa dan negara. Oleh: Asyari Usman, Wartawan Senior FNN KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sedang digoyang dengan tawaran yang sangat menggoda hati. Puan Maharani akan duduk sebagai wakil presiden kalau Bu Mega dukung Jokowi tiga periode atau penundaan pemilu. Inilah formula yang sedang disodorkan di belakang layar. Sumber yang sangat bisa dipercaya mengatakan, tawaran ini sangat serius. Adalah seorang menteri senior Jokowi yang melakukan operasi untuk menundukkan Bu Mega. Tawaran ini cukup nekat. Tidak saja nekat di pihak yang menawarkan, melainkan membuat pihak yang ditawari bisa menjadi nekat juga menerima. Soalnya, kalau Puan pasti menjadi wapres maka akan banyak berkurang beban pikiran Bu Mega berkenaan dengan karir politik Puan. Tidak hanya itu (wapres) yang dijanjikan. Ada juga pernak-pernik lain yang akan sangat menawan. Wapres untuk Puan itu mahar utamanya. Ada lagi hadiah-hadiah pengiring. Diplomasi kursi wapres untuk Puan pada pilpres 2024 diperkirakan bisa berhasil. Tawaran ini kelihatannya sedang dipertimbangkan dengan serius oleh pihak Bu Mega. Memang diakui sangat berat untuk diterima. Sejauh ini, permukaan PDIP menampakkan penolakan keras. Kalau Megawati menerima tawaran wapres untuk Puan, itu berarti target untuk menunda pemilu 2-3 tahun atau mengubah UUD (pasal 7) agar presiden bisa duduk tiga periode, hampir pasti akan berhasil. Tawaran ini memang menimbulkan gejolak di dada. Kepala pun bisa pusing. Sebenarnya, Bu Mega sudah tegas dan lugas. Beliau menolak usul tiga periode maupun penundaan pemilu/pilpres 2024. Menurut Bu Mega, kedua skenario itu akan merusak disiplin dalam berdemokrasi. Persoalannya, apakah Bu Mega bisa teguh? Itulah yang menjadi masalah. Sebab, banyak sekali alasan pragmatis dan praktikal yang lebih berat timbangannya. Kondisi pribadi Bu Mega dan situasi politik internal partai beliau itu lebih berpihak ke tawaran posisi wapres. Artinya, Jokowi tiga periode atau perpanjangan 2-3 tahun. Bu Mega tampaknya dilanda kecamuk pikiran. Beliau ingin mewariskan langkah politik yang tidak dikutuk rakyat. Menerima tawaran wapres dengan tebusan tiga periode Jokowi, pastilah akan dicela. Akan dicerca habis sebagai bentuk egoisme yang merusak bangsa dan negara. Namun, di sisi lain, ada desakan “now or never”. Dalam arti, Puan mau menjadi wapres sekarang atau tak akan pernah sampai kapan pun. Sangat ruwet. Ruwet, di usia dan gejolak politik nasional yang bersuasana “on the brink”. Di ujung tanduk. Dan tanduknya kelihatan sudah terasah tajam. Perlu kontemplasi yang mendalam. Tetapi, tidak harus perenungan yang disertai kendi yang diisi tanah dan air dari 34 DPW PDIP. Lebih santailah. Hanya sekadar memutuskan setuju atau tidak Jokowi tiga periode dengan Wakil Presiden Puan Maharani. Medan, 17 Maret 2024. (*)
Minyak Goreng, Kematian dan Balap Motor
Oleh: E. Firmansyah, Ahli Sastra Universitas Negeri Jakarta (UNJ) MEDIA massa Tanah Air akhir-akhir ini diramaikan oleh berbagai berita utama terkait kelangkaan minyak goreng, perhelatan balap motor/MotoGP, Ibu Kota Negara Nusantara, dan wacana penundaan pemilu. Akan tetapi dari berbagai berita tersebut, topik antri minyak goreng dan riuh rendahnya perhelatan balap motor seolah saling berlomba untuk mendapat perhatian masyarakat. Pemberitaan kedua topik berita tersebut bahkan kini mulai masuk babak baru yang amat menarik perhatian. Di satu sisi, perhelatan balap motor makin kuat gaungnya dengan parade para pembalap motor di depan Istana Negara. Presiden Joko Widodo mengambil perhatian penuh, memberi dukungan yang luar biasa dengan mengistimewakan kehadiran para pembalap di Istana. Di sisi lain, nun jauh di Kalimantan Timur, ada berita yang tidak kalah penting dan perlu mendapat perhatian khusus mestinya, karena sudah mulai ada seorang ibu yang meninggal dunia beberapa waktu setelah antri minyak goreng. Ini perlu perhatian khusus, karena berlarut-larutnya masalah kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng mulai merenggut nyawa manusia, warga negara Indonesia. Tentunya kita ingat amanat konstitusi tentang perlunya, \"melindungi segenap tumpah darah Indonesia\". Sungguh ironi perkembangan kedua berita tersebut. Pemerintah dan semua pihak terkait perlu bahu-membahu mengatasi kelangkaan minyak goreng supaya tidak berlarut-larut yang dikhawatirkan akan mengakibatkan bertambahnya korban-korban baru. Tentu saja dengan tidak mengesampingkan begitu saja perhelatan MotoGP untuk menyelamatkan wajah Indonesia di mata internasional dan dampak ekonomi yang diharapkan. Sebagai Ahli Sastra Universitas Negeri Jakarta (UNJ), saya secara personal menangkap realitas itu dalam bentuk puisi berikut ini: Minyak Goreng, Nyawa Rakyat, dan Balap Motor Media masa ramai Susul menyusul berita Antre minyak goreng dan persiapan balap motor Ya, sesekali diselingi berita bagi-bagi lahan di IKN Dilema memang, Bagaimana upaya agar ibu-ibu lebih tertarik membeli tiket balap motor daripada mendapat kupon belanja minyak goreng murah Perlu kerja keras untuk mendapatkanya Kerja! Kerja! Kerja! Keras! Keras! Keras! Memang teramat susah Perlu kerja kreatif Bagaimana mas Menteri ekonomi kreatif ? Agar ibu-ibu itu bisa paham Menonton balap motor beserta gemerlap persiapan dan pelaksanaannya Jauh lebih penting dari hanya sekadar mendapat minyak goreng murah, begitukah? Konon balap motor yang sukses Dapat melambungkan nama Indonesia Investasi melaju kencang Pariwisata menjulang Ekonomi bangsa melesat bak roket Rusia menuju Ukraina Dilema itu pun perlu Kerja kreatif dan inovatif Di bidang pendidikan Dipandang perlu perubahan kurikulum mendasar Agar mampu menghasilkan generasi cerdas Sesuai amanat, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Kelak nantinya lahir generasi ibu-ibu cerdas Yang mengerti, Menonton balap motor Itu jauh lebih penting dibanding hanya sekadar mendapat minyak goreng murah Dilema keduanya itu Perlu upaya semua pihak Semua media masa perlu berlomba menunjukkan kepiawaian Menyajikan berita yang gencar Pagelaran menonton balap motor Jauh lebih penting dan bergengsi Daripada mengantre minyak goreng yang amat sepele Antri balap motor Harus lebih panjang dibanding Antri minyak goreng Itu tanda sukses yang patut dipuji Semua jenis usaha Baik itu swasta Milik pemerintah terlebih lagi, Perlu menunjukkan jati diri Berpartisipasi melambungkan gemerlap balap motor Segala upaya tentu ditandai Agar mendapat bumbu di kemudian hari Pawai pembalappun disediakan hari Keberhasilan balap motor adalah bukti, Tepati janji-janji kampanye, Sebagai bakti pada negeri Kelangkaan minyak goreng bisa diurus nanti-nanti Pegawai negeri juga perlu berpartisipasi Beli tiket balap adalah bukti Bakti padamu negeri Mari sisihkan uang minyak gorengmu Untuk menonton balap motor yang jauh lebih berarti Kekuasaan pun Nampaknya perlu diperpanjang Agar balap motor yang sukses dan gemerlap bisa merata di seluruh pelosok negeri Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa Memberi kekuasaan yang diberkati Dilema menjadi pergi Kesejahteraan dan keadilan sosial merata tak lagi mimpi Nah loh nyatanya masih mimpi ya? Jakarta, 17 Maret 2021. (*)