OPINI

Pemerintah Larang Operasi Migor, Kebijakan Dzolim!

Oleh : Tjahja Gunawan - Wartawan Senior FNN KEMENTERIAN Perdagangan melarang Pemprov DKI Jakarta melakukan operasi pasar minyak goreng. Dibalik larangan tersebut, sudah sangat jelas terlihat bahwa pemerintah pusat (Kemendag) tidak menghendaki harga migor turun. Dengan kata lain, pemerintah pusat lebih pro kepada produsen migor ketimbang pada kepentingan rakyat. Padahal sebelumnya, saat migor menghilang di pasaran para ibu rumah tangga terpaksa antri di berbagai daerah di Indonesia. Mereka antri untuk membeli migor bukan minra-minta ke pemerintah. Bahkan di Kalimantan ada seorang ibu yang meninggal karena berdesakan saat antri  membeli migor. Setelah empat bulan menghilang, sekarang migor kemasan tiba-tiba melimpah di pasaran namun dengan harga yang sangat tinggi.  Tingginya harga migor ini terjadi setelah pemerintah mencabut harga eceren tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter. Pemerintah yang menetapkan HET, pemerintah sendiri yang mencabut kembali aturan yang dibuatnya sendiri. Terlihat sekali kebijakan penetapan HET migor ini seakan-akan tidak dikehendaki para produsen migor. Sehingga akhirnya pemerintah mencabut kembali aturan HET untuk migor curah.  Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) per 18 Maret 2022, Kontan memberitakan harga rata-rata minyak goreng kemasan bermerek 1 secara nasional mencapai Rp 22.100 per kg. Harga tertinggi berada di Baubau, Sulawesi Tenggara mencapai Rp 57.500 per kg. Sementara harga rata-rata minyak goreng kemasan bermerek 2 secara nasional mencapai Rp 21.300 per kg. Harga tertinggi berada di Baubau, Sulawesi Tenggara mencapai Rp 48.750 per kg.  Nah, untuk mengatasi melambungnya harga migor, Pemprov DKI semula berencana menggelar operasi pasar. Namun, rencana tersebut terpaksa dibatalkan karena adanya permintaan dari Kemendag agar tidak melakukan operasi pasar. Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Pamrihadi Wiraryo mengatakan, pihaknya akan mengikuti aturan pemerintah itu. \"Seusai Permendag, kepala dinas tidak melakukan operasi pasar. Tujuannya agar tidak membuat resah,\" ujar Pamrihadi sebagaimana dikutip media, Senin (21/3/2022).  Jika pemerintah berkepentingan membantu rakyat menekan harga migor, seharusnya justru bisa menyambut baik rencana Pemprov DKI menggelar operasi pasar. Sebab dalam mekanisme pasar bebas, harga akan turun jika pasokan barang melimpah. Di Indonesia, kini hampir semua aktivitas ekonomi dan bisnis diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Yang berlaku adalah hukum permintaan dan penawaran. Pemerintah sudah tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan harga-harga barang termasuk harga sembako. Sehingga sangat boleh jadi krisis sembako masih akan terjadi di masa datang nanti.  Alih-alih pemerintah mengurangi penderitaan rakyat akibat melambungnya harga migor, yang terjadi sekarang justru pemerintah memperlihatkan dengan kasat mata keberpihakannya pada kepentingan produsen migor. Tujuan larangan Kemendag agar Pemprov DKI tidak menggelar operasi pasar, jelas dimaksudkan agar harga migor tidak turun alias tetap tinggi. Sungguh kebijakan yang sangat dzolim!.  Memasuki bulan Ramadhan, permintaan kebutuhan pokok masyarakat biasanya selalu meningkat. Dari tahun ke tahun fenomenanya selalu begitu. Untuk mengatasi lonjakan harga, seharusnya pemerintah banyak melakukan operasi pasar sembako agar harga sembako terjangkau masyarakat. Tapi, sekarang justru pemerintah MELARANG operasi pasar migor. Kebijakan ini sungguh sulit diterima akal sehat. Sesungguhnya tidak ada alasan apapun bagi Kemendag melarang pemda manapun termasuk Pemprov DKI yang hendak menggelar operasi pasar. Sebab, kebijakan pemda itu dimaksudkan membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.  Larangan operasi pasar migor dari Kemendag bukan bersifat lisan tapi resmi dituangkan dalam surat tertulis. Dalam aturan Surat Edaran Kemendag nomor 84/PDN/SD/03/2022 para kepala dinas di setiap wilayah diminta untuk menghentikan pelaksanaan operasi pasar karena minyak goreng kemasan sudah mulai didistribusikan secara normal dengan harga sesuai mekanisme pasar. Apapun alasan dibalik larangan Kemendag ini sungguh sangat tidak berdasar. Selain itu, migor kemasan adalah barang bebas yang bisa diperdagangkan oleh pihak manapun juga. Dalam konteks ini, rencana Pemprov DKI untuk menggelar operasi pasar migor sudah pasti untuk memperbanyak pasokan barang. Dengan begitu diharapkan bisa menekan harga jual. Sehingga dengan begitu, masyarakat sebagai konsumen diuntungkan.  Kemendag sebaiknya fokus ngurusin minyak curah yang harganya seharusnya dikontrol pemerintah. Setelah migor menghilang di pasaran, pemerintah kemudian menaikkan harga eceran tertinggi (HET) migor curah dari Rp 11.000 per liter menjadi Rp 14.000 per liter. Namun HET inipun akhirnya dicabut oleh pemerintah sendiri. Akhirnya kita sekarang semakin paham dengan pernyataan Menteri Perdagangan M. Lutfi  yang menyatakan tidak berdaya menghadapi mafia migor. Jika dikaitkan dengan dicabutnya aturan HET yang kemudian diikuti dengan melambungnya harga migor kemasan, pernyataan Mendag bisa diartikan bahwa saat ini kebijakan di Kemendag sudah ditentukan oleh mafia migor.  Jika realitas manajemen pemerintahan sudah seperti itu, sangat mungkin harga-harga sembako lainnya akan kembali digoyang oleh para mafia pangan. Dan nanti pemerintah melalui Mendag kembali akan menyatakan, \"Kami tidak berdaya menghadapi mafia pangan\". Sebelum buzzer rupiah meradang membaca kritik ini, saya akhiri tulisan ini sampai disini. Salam migor!

Tangkap Penghancur Masjid

Oleh  M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MENGENASKAN. Masjid Nurul Ikhlas di Jl. Cihampelas 149 Bandung dihancurkan tanpa ada sikap  berarti dari Pemerintah Daerah. Komunitas muslim telah mencoba menghalangi tetapi tidak berdaya. Arogansi kekuasaan PT KAI membuldozer aksi. Warga sudah teriak bahwa yang akan dihancurkan itu adalah bangunan Cagar Budaya berdasarkan Perda Kota Bandung No 7 tahun 2018. Tapi penghancuran dengan pengawalan preman tetap berjalan dan sukses.  Kini tanpa kejelasan proses, tiba-tiba di area Masjid Cagar budaya tersebut telah berdiri mini market Indomaret. Konon pemohon pembangunan adalah PT Indomarco pemilik Indomaret. Ada apa antara PT KAI dengan PT Indomarco  ? Yang jelas kebersamaan keduanya telah memporakporandakan bangunan unik milik bangsa, milik masyarakat Sunda, milik umat Islam. Indomaret jumawa merasa sebagai pemenang diujung.  Tim Ahli Cagar Budaya tak berkutik,  Pemerintah Kota atau Propinsi tidak peduli. Masyarakat hanya bisa mengelus dada. Apakah gerilya kepentingan telah menyusup ke mana-mana ?  Telah terjadi kezaliman agama dan budaya yang berlokasi di Jalan Cihampelas 149 depan pusat perbelanjaan City Walk Cihampelas Bandung.  Ironi sekali. Suguhan pertunjukan dari suatu keangkuhan dan kedigjayaan kapital.  Perbuatan penghancuran Cagar budaya adalah kejahatan. UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengancam perusak dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun dan denda 5 Milyar. Siapapun yang melakukan atas perusakan atau penghancuran tersebut. Kepolisian semestinya mulai mengendus dan melacak pelaku penghancuran Masjid Nurul Ikhlas.  Kita simpati kepada Palestina atas kezaliman Israel yang melakukan pembantaian, menduduki dan menghancurkan bangunan-bangunan termasuk banyak Masjid. Ternyata di depan mata kita, didekat-dekat sini saja, Masjid diruntuhkan dihancurkan dan kita diam saja. Ini bangunan Cagar Budaya.  Masjid yang telah terdaftar resmi di Kemenag itu berasal dari bangunan jaman Belanda. Wajib dilestarikan di lokasi yang juga ditetapkan sebagai area Cagar Budaya.  Indomaret seperti juga Alfamart sudah ada dimana-mana. Perdagangan ritel yang sudah menjadi konglomerasi ini merajai sampai ke peloksok. Namun keserakahan tidak henti. Nyatanya tempat ibadah yang merupakan Cagar Budaya juga dibantai dan dihabisi juga. Sungguh terlalu. Rakyat protes atas ketidakadilan ini. Di sepanjang jalan Cihampelas kini telah berdiri 7 toko Indomaret.  Kembali ke penghancuran Masjid Nurul Ikhlas yang melanggar Perda dan Undang-Undang maka sudah sangat mendesak untuk segera menangkap pelaku, penyerta, dan penyuruh penghancuran Masjid Cagar Budaya peringkat/tipe C ini. Proses hukum untuk selanjutnya. Segel dan tutup Indomaret yang dibangun tanpa izin (PBG). Pulihkan bangunan Masjid semula.  Sebagai perbandingan, Pemkot Cimahi mampu menyegel pembangunan menara di Kelurahan  Cibeureum Kecamatan Cimahi Selatan karena tidak memiliki PBG. Anehnya Pemkot Bandung tidak mampu untuk menyegel dan menutup Indomaret yang juga tidak memiliki PBG. Terkesan  ketakutan.  Penghancuran sepihak Masjid Nurul Ikhlas oleh PT KAI (dan Indomarco ?) adalah perbuatan yang salah. Pihak-pihak yang membiarkan  sama saja membiarkan atau ikut melakukan suatu kesalahan yang berkualifikasi kejahatan. Negara hukum kah kita? (*)

Nestapa Minyak Goreng: Lawan Kebijakan Pro Oligarki!

Oleh Marwan Batubara - IRESS Pada 16 Maret 2022 pemerintah kembali merubah kebijakan minyak sawit mentah (CPO) dan olein melalui Permendag No.11/2022. Peraturan ini mencabut ketentuan HET Permendag No.6/2022 yang berisi ketentuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng (migor) dalam tiga kelompok, yakni HET migor kemasan premium Rp 14.000 per liter, migor kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan migor curah Rp 11.500 per liter.  Dengan Permendag No.11/2022, maka  HET hanya berlaku untuk migor curah, dan naik menjadi  Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kg. Sedangkan migor kemasan sederhana dan premium, harganya berfluktuasi sesuai mekanisme pasar. Prinsipnya di luar migor curah harganya dilepas sesuai harga pasar internasional. Kebijakan ini jelas melanggar konstitusi dan sangat nyata memihak kepada oligarki, dan wajib dilawan! Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diungkap berbagai kegagalan pemerintah mengelola industri migor dan sawit, terutama dalam menetapkan kebijakan yang adil, kredibel dan berkelanjutan. Dengan terbitnya Permendag No.11/2022, maka hanya dalam waktu dua bulan sejak Januari 2022, pemerintah telah menerbitkan enam kebijakan yang berubah-ubah.  Pemerintah mengaku harus menerbitkan peraturan baru karena peraturan lama belum dapat mengatasi masalah kelangkaan, antrian panjang, dll. Pemerintah biasa mengungkap berbagai alasan guna menjustifikasi terbitnya peraturan baru seperti misalnya terjadinya penimbunan, penyeludupan, pengalihan penggunaan, pengoplosan, dll. Terakhir dikampanyekan tentang maraknya mafia yang membuat peraturan lama harus dicabut, diganti Permendag No.11/2022. Semua peraturan diterbitkan secara coba-coba, tanpa kajian komprehensif, dan tanpa rasa bersalah. Namun hal ini sekaligus menunjukkan kegagalan pemerintah mengelola hajat hidup rakyat dan menegakkan kedaulatan negara sesuai Pancasila dan UUD 1945. Kegagalan ini terjadi terutama karena yang menjadi motif utama di balik perubahan kebijakan bukanlah kepentingan masyarakat banyak, tetapi kepentingan oligarki dan optimasi penerimaan pajak guna menambal defisit APBN yang sangat dalam.  Prahara migor yang berlangsung sejak Oktober 2021 membuka peluang terbitnya aturan harga migor sesuai mekanisme pasar yang tampaknya sudah lama diinginkan. Tak peduli jika rakyat menjadi korban, yang penting untung pengusaha oligarkis dan penerimaan pajak tetap tinggi. Guna menutupi atau mengalihkan perhatian publik atas perubahan yang merugikan rakyat ini, pemerintah dan oligarki sengaja terus membesar-besarkan isu mafia. Sebaliknya, walau mafia tersebut ada, maka sangat absurd jika pemerintah sampai takluk oleh mafia!  Padahal sebagai produsen CPO terbesar dunia dan  memiliki pabrik migor di dalam negeri, maka Indonesia seharusnya bisa mengatur volume dan harga khusus CPO untuk dalam negeri (domestic market obligation, DMO dan domestic price obligation, DPO). Dengan demikian, kepentingan migor rakyat secara keseluruhan terpenuhi dan inflasi akibat naiknya migor dapat dicegah. Ternyata yang dipilih kebijakan harga pasar yang merugikan rakyat! Kerugian Rakyat Total konsumsi migor nasional sekitar 5,78 miliar liter per tahun, yang terdiri dari kemasan premium 1,27 miliar liter atau 22%; kemasan sederhana 0,231 miliar liter atau 4%; curah rumah tangga 2,43 miliar liter atau 42%; dan curah industri 1,85 miliar liter atau 32%. Sedangkan 46,9% konsumen migor adalah rakyat berpendapatan Rp 400.000 - Rp 1 juta per bulan dan 44,7% konsumen berpendapatan Rp 1 juta - Rp 3 juta per bulan.  Secara keseluruhan konsumen migor rumah tangga adalah rakyat kelas menengah ke bawah yang mengkonsumsi sekitar 4,63 miliar liter migor. Dengan kebijakan pemerintah yang pro oligarki, dalam 6 bulan terakhir (hingga Maret 2022) diperkirakan mereka mengalami kerugian sekitar Rp 4,5 triliun. Jumlah ini bisa mencapai Rp 10 triliun akibat kebijakan harga yang dilepas ke pasar.  Penerimaan Negara Selama dua tahun terkahir (Maret 2020 - Maret 2022) harga CPO telah naik dari Rp 7.920 per kg menjadi Rp 25.400 per kg. Sedangkan menurut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), volume ekspor CPO periode Juli 2015- Nov. 2021 adalah 18,49 - 40,77 juta ton, atau rata-rata ekspor 34,6 juta ton/tahun. Periode yang sama, rata-rata nilai ekspor (FOB) US$ 20,86 Miliar/tahun dan pungutan ekspor rata-rata Rp 19,8 triliun/ tahun.  Berdasarkan data di atas, maka selama 6 tahun (2015 – 2021) total nilai ekpsor sekitar US$ 120 miliar. Dari nilai ekpor ini, dengan asumsi biaya pokok produksi sekitar US$ 400/ton, maka total keuntungan yang diperoleh produsen sebelum dipotong pajak ekspor adalah:  US$ 120 miliar – (34,6 juta ton/tahun x 6 tahun x US$ 400/ton) = US$ 37 miliar. Jika diasumsikan total pajak ekspor, pungutan BPDPKS dan berbagai potongan lain yang diperoleh negara adalah 50% total keuntungan, maka keuntungan bersih pengusaha sawit adalah 50% x US$ 37 miliar = US$ 18,5 miliar atau sekitar Rp 264 triliun. Apakah selama 6 tahun terakhir realisasi penerimaan negara mencapai nilai sekitar Rp 264 triliun dari ekspor CPO? Hal ini perlu dibuktikan. Audit harus dilakukan.  Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, maka sebagai pemilik lahan, porsi yang diterima negara seharusnya lebih besar dari 50% dari keuntungan bersih. Jika skema pajak progresif yang diterapkan tidak adil, maka negara tidak akan memperoleh penerimaan yang seharusnya. Apalagi jika terjadi praktik bernuansa moral hazard, maka negara sebagai pemilik lahan akhirnya akan memperoleh nilai yang jauh di bawah nilai yang seharusnya. Tampaknya hal inilah yang terjadi, sehingga untuk subsidi migor rakyat mealui APBN gagal dilakukan.  Menurut BPDPKS, dari Rp 120 triliun pungutan/iuran ekspor selama 6 tahun, sebesar Rp 91 triliun disalurkan untuk mensubsidi penyediaan biodisel. Sedangkan perusahan CPO penerima subsidi biodisel tersebut antara lain Wilmar Grup, Musim mas Grup, Apical Grup, Duta Palma Grup, Permata Hijau Grup dan Sinar Mas Grup. Tampaknya dana subsidi biodisel yang sudah captive ini hanya dinikmati segelintir pengusaha oligarkis, dan tidak ada sedikitpun yang dinikmati para pemilik kebun sawit rakyat (plasma). Dana Oligarkis Pajak dan iuran ekspor yang nilainya ratusan triliun Rp setiap tahun sangat besar untuk digunakan bagi kepentingan oligarki dan mengendalikan oknum-oknum penguasa guna menerbitkan aturan pro oligarki. Karena itu tak heran jika aturan harga liberal sesuai mekanisme pasar ditetapkan sepenuh hati oleh oligarki kekuasaan. Karena sejak awal memang prinsip harga mekanisme pasar tersebutlah yang dituju. Rakyat sengaja ditipu dengan modus pengalihan isu, tentang maraknya mafia seputar bisnis migor. Padahal kebijakan apapun yang akan terapkan, termasuk penerapan DMO & DPO, HET tertinggi migor curah dan kemasan, atau subsidi terbatas hanya migor curah, maka penyelewengan dan mafia di berbagai sektor pasti terjadi. Namun berbagai penyelewengan dan distorsi tersebut akan bisa dicegah dan diatasi dengan berbagai langkah preventif dan penerapan sanksi, karena negara mempunyai seluruh instrumen dan aparat yang dibutuhkan untuk menerapkan dan mengamankan kebijakan tersebut.  Yang jadi masalah, pemerintah tidak bekerja komprehensif termasuk menggunakan semua instrumen yang dimiliki. Karena itu, maka terjadilah kezoliman terhadap sesama anak bangsa: ratusan juta rakyat, yakni 90% masyarakat konsumen migor kelas menengah ke bawah  mengalami kerugian sekitar Rp 5 triliun hingga Rp 10 triliun, sedangkan para konglomerat sawit justru menikmati untung besar Rp 91 triliun hanya dari subsidi biodisel.  Kenikmatan para konglomerat sawit, pebisnis industri migor dan jaringan bisnis terintegrasi dari hulu hingga hilir semakin besar dengan adanya moral hazard, manipulasi pajak, transfer pricing, dll. Sehingga dengan besarnya keuntungan tersebut, dana yang diperoleh akan sangat berlebihan untuk mengendalikan para para oknum penguasa oligarkis membuat kebijakan sesuai keinginan. Mendag M. Lutfi mengakui Permendag No.11/2022 yang melepas harga migor sesuai harga internasional merupakan kebijakan yang terbit atas perintah Presiden Jokowi (17/3/2022). Uraian di atas menjelaskan kebijakan CPO dan harga migor sangat memihak pengusaha sawit dan oligarki kekuasaan. Ratusan juta rakyat harus membayar puluhan triliun Rp lebih mahal untuk migor yang diproduksi dari lahan milik negara. Sementara pada saat yang sama para konglomerat sawit memperoleh subsidi dan untung besar dari lahan tersebut. Kebijakan ini jelas melanggar konstitusi, melecehkan Pancasila dan mengusik rasa keadilan. Sudah saatnya rakyat bangkit melawan rezim pro oligarki.[]   

Represi Islam di Indonesia dan Anies Baswedan

Oleh Smith Alhadar - Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) Ada rasa bersalah komunitas internasional atas nasib umat Islam di seluruh dunia saat ini. Ketika AS pada 2001 mendeklarasikan \"war against terrorism\"  yang kebetulan berlatar belakang agama Islam, atmosfir islamphobia pun berkecambah di seluruh dunia. Baik rezim-rezim zalim di negara-negara Islam maupun di negara non-Muslim, yang repot berurusan dengan kaum Islamis maupun separatis Islam, memanfaatkan momentum itu untuk mengganyang musuh mereka. Semua mengatasnamakan perang melawan terorisme. Pada kenyataannya, sebagian besar hanya preteks untuk membungkam mereka yang kritis terhadap rezim. Maka kita menyaksikan penindasan Muslim Uighur oleh rezim komunis Cina. Di Myanmar, junta militer melakukan ethnic cleansing terhadap Muslim Rohingya. Di Afghanistan, AS memerangi Taliban yang dulu dilabeli teroris. Di  negara-negara Arab -- seperti Mesir, Suriah, Arab Saudi, Bahrain -- dan negara-negara Asia Tengah, kelompok-kelompok Islam yang menuntut demokrasi diperangi habis-habisan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Di India, sayap kanan Hindu pendukung Partai Bharatya Janata yang berkuasa, melancarkan kampanye anti-Islam yang berpotensi mengganggu ketertiban dan perdamaian dunia. Tak dapat dimungkiri bahwa ada kaum Muslim di seluruh dunia yang hendak mendirikan khilafah, seperti ISIS, berbasis ideologi salafi ultrakonservatif. Mereka tak saja memerangi non-Muslim, tapi juga kelompok Islam mana pun yang berseberangan faham dengan mereka. Tapi jumlah mereka, menurut PBB, hanya satu persen dari sekitar 1,6 miliar umat Islam di seluruh dunia. Untuk menebus rasa bersalah itu, PBB menetapkan 15 Maret sebagai \"Hari Internasional Melawan Islamphobia\". Beberapa waktu sebelumnya , AS juga mengeluarkan UU Anti-Islamphobia. Tujuan PBB dan AS adalah menutup peluang para penguasa otoriter menyalahgunakan kebijakan \"war against terrorism\" dengan membasmi kelompok-kelompok politik yang mengganggu status quo, bahkan dilakukan dengan cara-cara yang sangat biadab. Sebagian dari kelompok-kelompok itu justru mendukung demokrasi.Juga bertujuan mengekang  aktor-aktor non-negara, baik yang bergerak independen maupun atas sponsor rezim, melampiaskan dendam mereka pada seluruh kaum Muslim, ternasuk mereka yang tidak bersalah. Memang sangat tidak adil, bahkan kejam dan picik, meletakkan Islam sebagai agama yang mengusung terorisme. Islam bukan agama kemarin sore. Eksistensinya telah melewati lebih dari 14 abad di hampir semua sudut dunia. Sepanjang waktu itu sebelum kemunculan Al-Qaedah pada 1990-an dan ISIS pada 2014 -- yang keduanya ditolak Islam mainstream di seluruh dunia -- Islam adalah bagian dari peradaban dunia, yang sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan, sains, filsafat, teknologi, toleransi, pluralisme, dan kebebasan dunia tak dapat dibandingkan dengan agama mana pun yang pernah ada di dunia. Penghapusan perbudakan dan pengakuan atas perbedaan etnis dan ras manusia merupakan deklarasi Islam paling mendasar, yang baru diadopsi dunia lebih dari satu milenial kemudian. Tanpa kontribusi peradaban Islam yang gemilang itu, tidak mungkin ada renaisans di Eropa yang kebetulan hari ini menjadi menara gading peradaban dunia. Betul dalam sejarah Islam pernah muncul kaum khawarij dan assassin, yang kadang melancarkan kekerasan terhadap establishment. Namun, kelompok-kelompok sempalan seperti ini, yang juga terdapat di seluruh agama-agama dunia, terlalu kecil untuk disebut. Kemunculan pendukung Al-Qaedah dan ISIS pun harus dilihat dari fenomena sosial, budaya, dan politik dunia kekinian di mana Barat pimpinan AS menghegemoni weltanschaung (world view) dunia Islam. Frustrasi menghadapi kekalahan demi kekalahan di hadapan hegemoni Barat, yang tak jarang mendukung penguasa-penguasa zalim demi keuntungan mereka sendiri, mereka mengangkat senjata melawan musuh jauh maupun dekat. Al-Qaedah memilih serangan terorisme terhadap sasaran-sasaran AS (musuh jauh), sementara ISIS meneror penguasa Islam itu sendiri beserta semua perangkat politiknya (musuh dekat). Tentu saja aksi-aksi brutal dan picik mereka sangat menyedihkan. Tetapi hal itu harus dilihat sebagai pemberontakan orang-orang yang putus asa terhadap ketidakadilan global di mana komunitas Muslim hanyalah pemain pinggiran sebagai pelengkap penderita dalam menunjang hegemoni Barat dan kapitalisme global. Dalam frustrasi ini mereka menemukan khotbah Said Qutb bahwa kemalangan kaum Muslim saat ini disebabkan kelalaian kaum Muslim sendiri yang telah meninggalkan ajaran Islam yang sejati sambil memeluk peradaban Barat yang korup (jahiliyah modern). Bagaimanapun, ideologi jihadi dan takfiri dari Al-Qaedah dan ISIS harus ditolak karena Islam pada hakikatnya mengajak pemeluknya untuk berpikir rasional menghadapi fenomena alam maupun fenomena sosial. Berkat ajaran inilah Islam membawa obor peradaban dunia selama paling tidak seribu tahun. Sejarah otentik Islam ini tak difahami oleh kaum Muslim sendiri dan rezim otoriter merepresi kaum Muslim yang berakibat pada instabilitas negara, mengganggu progres bangsa, perpecahan dalam masyarakat, pelanggaran HAM, dan mendegradasi demokrasi. Di saat komunitas internasional dan AS menyadari ketidakadilan mereka terhadap Islam, di Indonesia yang demokratis -- negara Muslim terbesar di dunia yang mengklaim diri sebagai penganut Islam moderat dan toleran -- peran kaum Muslim urban di ruang publik justru sedang ditindas. Tokoh-tokohnya dipenjarakan dan organisasinya dibubarkan. Kebijakan diskriminatif ini dibuat sejak 2014 ketika populisme Islam yang memberikan suara pada pasangan Prabowo Subianto kalah melawan pasangan Joko Widodo. Pasalnya, kendati kalah, populisme Islam melanjutkan perlawanan mereka terhadap rezim Jokowi, bahkan perlawanan kian keras seiring dengan kian kerasnya penindasan rezim kepada mereka. Diksi radikalisme, yang sebenarnya merujuk pada aktivitas politik, dipakai untuk melabeli kelompok agama. Mereka dituduh hendak mendirikan khilafah. Tentu saja tuduhan ini palsu belaka. Tujuannya hanya menakut-nakuti rakyat dan memecah-belah masyarakat agar memudahkan rezim mengontrolnya dan membuat kaum Muslim sibuk bertengkar sehingga luput dari perhatian pada kinerja rezim yang bekerja untuk oligarki ekonomi dan politik. Populisme Islam bukan mereka yang hendak mengganti negara Pancasila dengan khilafah. Tapi mereka yang ingin rezim Jokowi menghadirkan keadilan sosial bagi semua. Juga perhatian pada aspirasi budaya mereka ketika nilai-nilai liberalisme dari luar menyusup hingga ke kamar tidur keluarga-keluarga Muslim. Gelombang pasang konservatisme Islam di Indonesia harus dilihat dari kacamatan ini. Kecuali HTI yang ideologinya kurang appeal di masyarakat, tidak ada kelompok Islam di Indonesia yang menghendaki tegaknya negara Islam, termasuk FPI pimpinan Habib Rizieq Shihab. Rizieq menganggap NKRI berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika sudah final. Tapi memang ia menghendaki pemberlakuan syariah berdampingan dengan hukum positif karena, menurut interpretasinya berdasarkan Piagam Jakarta, negara Pancasila mengakomodasi aspirasi syariah. Kita boleh tak sependapat dengannya, tapi lawan argumennya secara ilmiah karena Rizieq mengemukakan pendapatnya berdasarkan kajian ilmiah tentang sejarah lahirnya Pancasila-UUD dikaitkan dengan aspirasi syariah para tokoh Muslim pada waktu itu. Saya bukan pendukung Rizieq, tapi bangsa ini harus didewasakan dengan perdebatan ilmiah di antara komponen bangsa untuk segala hal, termasuk isu sensitif terkait dasar negara. Apalagi, meski selalu dikatakan Pancasila sebagaimana bentuknya sekarang telah final, sesungguhnya bentuk relasi negara dan agama belum selesai. Kita tak perlu takut pada pikiran Rizieq. Apalagi, mayoritas Muslim Indonesia bersikap moderat. Aspirasi pemberlakuan syariah pun sudah sangat melemah setelah intelektual Muslim Nurcholish Madjid dan pengikutnya melakukan desakralisasi politik. Melemahnya aspirasi negara Islam dapat dilihat dari kecilnya perolehan suara parpol-parpol dengan konstituen Muslim. Dalam hasil pileg terakhir, total suara yang diraih  parpol berbasis Islam -- PKB, PKS, PPP, dan PAN -- hanya sekitar 30 persen. Ini menunjukkan kaum Muslim kini lebih peduli pada masalah budaya dan ekonomi ketimbang pada politik. Nampaknya, mereka lebih percaya pada kemampuan parpol non-Islam melahirkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa ketimbang parpol Islam, meskipun pada kenyataannya parpol-parpol pendukung rezim lebih banyak terlibat korupsi dan melayani kepentingan rezim yang bekerja untuk kepentingan oligarki. Sayangnya ormas Islam yang strategis menari dengan gendang yang ditabuh rezim. Mereka sibuk mengamplifikasi propaganda rezim tentang bahaya  radikalisme Islam tanpa merinci apa yang dimaksud dengan istilah itu. Da\'i Wahabi Khalid Basalamah, misalnya, dikaitkan dengan Islam radikal, padahal ia sangat apolitis. Ia menolak sikap dan kiprah politik Rizieq. Khalid menganggap tidak etis mengkritik pemerintah secara terbuka. Kalau memang ada yang tidak beres dengan rezim, maka Khalid menganjurkan agar ulama datang diam-diam ke istana, lalu membisiki presiden tentang hal-hal yang dianggap melenceng. Pandangan Khalid ini mewakili pandangan Wahabi ortodoks yang mungkin sejalan dengan pandangan NU yang selalu menekankan pada stabilitas negara sebagaimana pandangan mayoritas Wahabi ortodoks di Arab Saudi. Kita juga dibuat tak habis pikir ketika NU sangat toleran pada non-Muslim tapi sangat intoleran terhadap kelompok Islam lain. PBNU di bawah Yahya Cholil Staquf ingin memainkan peran konstruktif di arena internasional dengan mempromosikan Islam moderat dan toleran. Dengan kata kain, Gus Yahya ingin menjadi juru bicara Islam sedunia. Namun, bagaimana mungkin itu bisa dilakukan ketika di dalam negeri sendiri NU menunjukkan sikap permusuhan terhadap kalangan Islam non-NU. Ia bahkan menunjukkan sikap sinis terhadap Arab. Sikap anti terhadap apa yang disebut sebagai \"Islam radikal\" itu ditunjukkan rezim lebih jauh dengan mengangkat Ketua PB Banser Anshor Yaqut Cholil Quomas sebagai menteri agama. Yaqut diketahui sangat toleran pada non-Muslim, tapi sangat galak terhadap orang-orang yang dicap Wahabi. Baru-baru ini dia membuat analogi yang kontroversial ketika ia menyamakan suara adzan dengan gonggongan anjing. Sebenarnya kalau benar NU sangat concern pada kelangsungan hidup NKRI, dan karena itu menjaga keharmonisan hidup antargolongan agama, maka menerima eksistensi semua kelompok Islam merupakan keniscayaan. Melawan sesama Muslim, yang disukai rezim, justru memecah belah masyarakat yang akan jadi penghalang bagi kemajuan bangsa, bahkan mengancam stabilitas negara yang hendak dijaga NU. Harus diketahui bahwa pendukung populisme Islam, yakni  mereka yang sekadar menuntut pengakuan  atas eksistensi mereka,  cukup besar. Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2020 mengungkapkan, jumlah pendukung populisme Islam sebesar 16,3 persen, penentangnya 33,9 persen, dan yang netral sebesar 49,8 persen. Kalau dikonversikan  ke dalam angka, 16,3 persen itu hampir mendekati 50 juta jiwa. Ini jumlah yang tidak main-main. Terus menekan mereka tanpa alasan yang masuk akal, bukan saja akan menimbulkan ketegangan yang serius di dalam masyarakat, tapi juga akan membengkakan jumlah mereka. Mereka yang netral (49,8 persen) menyatakan, keberpihakan mereka pada salah satu bergantung pada situasi dan kondisi politik yang dihadapi. Dus, ada potensi membesarnya jumlah pendukung populisme Islam bilamana rezim semakin memarginalisasi mereka. Perpecahan umat Islam di masyarakat akan bertahan kecuali pilpres 2024 menghasilkan pemimpin yang memahami masalah ini. Tetapi memahami saja tidak cukup. Ia harus punya akseptabilitas tinggi terhadap dua kelompok yang bertikai dan punya komimen kuat untuk mendamaikan mereka. Dari aspiran capres dengan elektabilitas tinggi, hanya Anies Baswedan yang punya modal sosial untuk itu. Ia cerdas, tulus, dan  nasionalis-relijius yang punya cita-cita besar memajukan Indonesia. Ia juga memasang jarak dengan oligarki, pihak yang diduga kuat berperan penting dalam mendesak Jokowi merepresi pendukung populisme Islam yang terlalu vokal menyuarakan penentangan mereka terhadap kebijakan dan sikap rezim yang dipandang merugikan bangsa Indonesia. Pilpres 2024 juga akan disorot kekuatan-kekuatan dunia karena Indonesia sebagai kekuatan Islam terbesar di Asia Pasifik merupakan game changer dalam persaingan Cina-Rusia melawan kekuatan Barat plus sekutunya. Indonesia diharapkan Barat cukup berjarak dengan Cina ketika beberapa anggota Asean, seperti Myanmar, Kamboja, dan Laos condong ke Cina. Tidak seperti rezim Jokowi yang terlalu membuka pintu lebar-lebar terhadap masuknya pengaruh Cina, pasca 2024 Barat menginginkan Indonesia lebih \"resisten\" terhadap pengaruh Cina dan lebih berimbang dalam kebijakan luar negerinya dalam konteks persaingan negara-negara besar itu. Dengan demikian, Barat pimpinan AS menginkan pemerintah Indonesia yang barub dalam  ideologi dan visi yang mengakomodasi aspirasi Islam sehingga menjadi penyeimbang dalam formula politik regional Indonesia vis a vis Cina. Maka Anies Baswedan merupakan harapan Barat memimpin Indonesia ke depan. Kebetulan Anies meng-share nilai-nilai demokrasi dan HAM dengan mereka. Tentu Anies tak diharapkan membuat kebijakan anti-Cina yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Yang diharapkan Barat adalah Anies mengakomodasi keprihatinan Barat atas sikap Cina yang makin asertif di Indo-Pasifik. Maka kemunculan Anies sebagai presiden merupakan jawaban Indonesia terhadap masalah nasional, regional, dan internasional. (Tangsel, 22 Maret 2022)

Ki Bedul Sakti yang Tidak Sakti

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH menyebut bahwa ritual Kendi Nusantara hampir gagal karena Anies berkhianat dengan tidak membawa tanah keramat, kini Ki Bedul Sakti dukun asal Medan mengomentari gagalnya pawang hujan Rara menghentikan hujan saat MotoGP Mandalika yang dihadiri Presiden Jokowi juga Anies.  \"Ini semua gara-gara Anies auranya aneh karena sering bertemu dengan ulama radikal  !! \" kata Ki Bedul Sakti.    Menurutnya, Mbak Rara bukan pawang sembarangan ia bisa berbicara dengan awan. Pengalamannya di atas rata-rata \"hanya bisa disejajarkan dengan saya\". Sergah Ki Bedul yang pernah menjadi tim pemenangan spiritual Jokowi Ma\'ruf. Pawang Rara yang berjalan di sirkuit membawa baskom emas bertopi proyek putih telah gagal menahan hujan. Malah petir menyambar sirkuit. Menjadi tontonan pembalap dan kru tim serta penonton balap. Memalukan dan mengenaskan.    Anies yang kehadirannya di Lombok mendapat sambutan meriah warga, ternyata dianggap penyebab dari kegagalan itu oleh Ki Bedul Sakti. Lucunya Ki Bedul ini bawa-bawa radikal-radikul segala. Itu akibat Anies sering bertemu ulama radikal, katanya. Padahal mungkin saja awan yang sedang \"ga mood\" di ajak bicara dan ngobrol dengan mbak Rara. Meski sudah teriak-teriak tetapi hujan tetap lebat. \"Emang gua  pikirin\" cetus awan, mungkin.    Ki Bedul Sakti juga ternyata tidak sakti-sakti amat. Dengan menyalahkan Anies karena gaul dengan ulama radikal, ia pun gagal mengerahkan genderuwo, tuyul, leak, nyi blorong dan lainnya untuk menaklukkan Anies Baswedan. Ki Bedul tidak sakti tetapi mungkin sakit.    Rakyat Indonesia sedang dibawa oleh Jokowi ke dunia lain, dunia pedukunan, dunia penampakan. Hancur negara ini oleh proses pembodohan sistematis. Sejak ritual IKN hingga pawang Mandalika. Bangsa Indonesia menjadi tontonan dunia yang memilukan dan memprihatinkan. Presiden Jokowi yang konon ingin tiga periode mungkin juga tengah mengerahkan bantuan pasukan genderuwo dan sejenisnya dengan arahan dan undangan para dukun.    Allah SWT yang Maha Esa dan Maha Kuasa sedang memperlihatkan kebodohan para pemimpin bangsa. Terganggu kesehatan iman dan konsistensi dalam beragama. Presiden dan kabinet yang belepotan hampir di semua aspek baik ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun agama. Rakyat kehilangan harapan atas perilaku  pemimpin yang telah mempersetankan ideologi, konstitusi, dan misi suci dalam membangun negeri. Mereka hanya memikirkan diri dan kelompoknya sendiri.    Kini di era Ki Bedul Sakti yang tidak sakti ini dunia tengah mentertawakan kebodohan dan keprimitifan kita. Kita sendiri yang membunuh sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia.    Bubarkan BPIP dan seluruh jajaran personalianya. Tidak terasa manfaatnya, hanya pemborosan, pencitraan, dan pengkooptasian kedaulatan rakyat. Ataukah keberadaan badan ini juga hasil saran, bisikan atau nasehat para dukun  ?  Dukun itu ternyata bedul-bedul tidak sakti.   *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan   Bandung, 22 Maret 2023

Hari Melawan Islamfobia Tanda Akhir Era “Mulkan Jabriyah”

 Wartawan veteran Chris Hedges bilang, imperium Amerika sudah tamat. Pakar globalisasi Noam Chomsky mengatakan, sejarah imperium Amerika yang merupakan teroris terbesar di dunia sudah berakhir. Oleh: Anwar Hudijono, Veteran Wartawan Tinggal di Sidoarjo. PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamfobia. Sungguh! Bagi umat Islam ini merupakan peristiwa luar biasa. Bagaikan terbebas dari himpitan batu sebesar gunung. Sayangnya di Indonesia yang merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, penyambutannya nyaris tak terdengar bagaikan orong-orong terinjak. Kadang-kadang saya berpikir, Indonesia  ini memang embuh. Resolusi itu atas inisiatif negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) – anggotanya termasuk Indonesia – yang kemudian disepakati dalam sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Penetapan Hari Melawan Islamfobia ini waktunya bersamaan dengan perang Rusia vs Ukrania. OKI super cerdas memanfaatkan momentum. Sehingga Amerika, Barat  dan sekutunya mati kutu. Tidak ada pilihan lain selain bersetuju. Jika Rusia tidak menyerang Ukrania, apakah resolusi itu bisa ditetapkan oleh PBB. Apa Amerika dan sekutunya akan bergitu saja menyetujui? Apa Amerika dan gengnya akan rela kehilangan alatnya (Islamfobia) yang selama ini sangat ampuh untuk meneror, menekan, menggayang, mengharu-biru, menjarah, mengobok-obok, memprorak-porandakan dunia Islam? Sebab, jika menolak usulan OKI berarti memberi peluang Rusia semakin dekat dengan dunia Islam. Dalam kasus Rusia menyerang Ukrania saja, banyak negara Islam yang abstain. Menolak mengikuti tekanan Amerika agar mendukung resolusi PBB yang mengutuk Rusia. Bahkan Presiden Pakistan Imran Khan dengan terang-terangan mengatakan, “Kami bukan budak Amerika dan Barat. Mengapa harus mematuhi mereka.” Imperium Penindas Dalam perspektif eskatologi Islam (ilmu akhir zaman), peristiwa ini luar biasa menarik. Sangat mungkin ini pertanda masa akhir era “Mulkan Jabriyah”. Era di mana dunia dikuasai oleh imperium penindas. Despotisme. Semakin memperkuat spekulasi bahwa bangsa Rum yang akan bersekutu dengan Muslim melawan golongan penindas menjelang kiamat adalah Rusia. Ditambah penampilan Pasukan Muslim Chechnya di Ukrania yang menakjubkan dunia seolah persekutuan itu sudah dimulai. Apalagi jika nanti ditambah relawan Hisbullah Lebanon, Hammas Palestina, tentara Suriah, Garda Revolusi Islam Iran dan Taliban dll, kesahihan spekulasi itu tinggal tunggu tanggal mainnya. Dalam hadits riwayat Ahmad, Rasulullah dawuh, perjalanan sejarah umat Islam dibagi lima fase. Pertama, masa Rasulullah. Kedua, masa Manhaj Nubuwah atau Khulafaur Rasyidin. Ketiga, Mulkan ‘Adhan atau masa kerajaan-kerajaan Islam mulai Daulah Umayyah sampai Utsmaniyah. Keempat, Mulkan Jabriyah. Kelima, kembalinya khilafah atau Manhaj Nubuwah, yaitu kembalinya kejayaan peradaban Islam. Fase “Mulkan Jabriyah”,  yaitu ketika dunia ini dikuasai oleh imperium atau penguasa yang menindas. Penguasa despotisme. Mereka hendak menguasai dunia seperti yang pernah dilakukan Raja Namrud, Firaun, Alexander de  Great, Jenggis Khan. Siapa Mulkan Jabriyah itu? Sangat cocok kalau dilamatkan kepada Amerika dan Barat yang menjadi sekutunya. Jantung penggeraknya, mengikuti pemikiran pakar eskatologi dunia Syekh Imran Hossein adalah aliansi zionisme Yahudi dan zionisme Kristen. Mereka sudah menguasai dunia lebih kurang 300 tahun. “Amerika itu setan besar,” tegas Imam Khomeini, Pemimpin Revolusi Islam Iran. Konon yang dimaksud setan besar itu adalah Dajjal. Presiden Suriah Bashar Al Assad mengatakan, dunia ini di bawah cengkeraman Barat sekitar 300 tahun. Mereka melakukan pejajahan ke seluruh penjuru dunia. Membunuh, merampas, menindas, merampok yang semuanya untuk kepentingannya. “Suriah sudah merasakan betapa jahatnya Amerika dan Barat.” Perang Rusia-Ukrania, kata Bashar Al Assad telah menjadi mementum menelanjangi Amerika dan Barat. Menyibak topeng mereka. Selama ini mereka bertopeng kemanusiaan, keadilan, kemakmuran bersama, kesejahteran dunia. Mereka sangat ndakik-ndakik bicara kemanusiaan, tapi pada dasarnya justru tangan mereka yang berlumuran darah. Mereka sangat canggih bicara keadilan. Tapi mereka yang melakukan terorisme, penindasan, perbudakan. Promotor Utama Selama ini Amerika dan Barat yang menjadi promotor pertama dan utama gerakan Islamfobia di seluruh dunia. Menjadikan Islam dibenci. Diidentikkan  dengan terorisme. Radikal. Intoleran. Monster haus darah. Bahkan, sampai menjadi agama yang ditakuti dan dibenci di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Malah ada orang muslim menjadi penyebar Islamfobia (tapi kemungkinan di Indonesia tidak ada. Itu mungkin ada di Somalia sono. Kalaulah di sini ada paling-paling ya cuma satu, dua, tiga dst haha ha. Masuk?) Tentu saja model demikian itu muslim yang hatinya berpenyakit. Fenomena gerakan global Islamfobia itu sudah diperingatkan Allah di Quran Surah Al Maidah ayat 51-52. “Wahai orang-orang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang  Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” “Maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati mereka (Yahudi dan Kristen) seraya berkata, kami takut akan mendapat bencana.” Syekh Imran Hossein berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan tidak semua Yahudi dan Nasrani. Melainkan golongan tertentu di antara mereka. Saat ini yaitu aliansi zionisme Yahudi dan zionisme Kristen. Di Quran surah As-Shaf ayat 14 ditegaskan bahwa segolongan Bani Israil (Yahudi) ada yang beriman, dan segolongan lagi kafir. Al Maidah ayat 82 disebutkan bahwa ada golongan Kristen yang paling dekat persahabatannya dengan umat Islam. “Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman ialah orang-orang yang berkata, sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasrani.” Tanda-tanda melemahnya Amerika dan gengnya sebenarnya sudah cukup banyak. Medio Agustus 2021 Amerika dan gengnya harus merasakan malu yang teramat hina karena harus lari lintang pukang dari Afghanistan setelah digebuk pasukan sandal jepit Taliban. Dan Amerika tidak merasa malu merampok uangnya rakyat Afghanistan yang dilanda kelaparan. Tekanan maksimum yang dilakukan Amerika terhadap Iran sama sekali tidak membuat Iran bertekuk lutut. Malah Iran semakin moncer dengan teknologinya. Termasuk teknologi militernya. Pengaruhnya meluas bukan hanya di kawasan Timur Tengah bahkan sampai Afrika. Iran diperhitungkan akan menjadi the new emerging force (kekuatan baru dunia). Mendekati Maghrib Masih banyak lagi tanda-tanda bahwa Amerika itu ibarat matahari yang terus bergerak mendekati ufuk barat alias maghrib. Misalnya, menjadi negara pengutang terbesar di dunia. Ekonominya sudah ditenggelamkan China. Di dalam negeri tidak berdaya menghadapi sindikat narkoba, perdagangan manusia, fasisme, rasisme. Perang saudara tinggal menunggu waktu saja. Bencana alam dahsyat silih berganti. Wartawan veteran Chris Hedges bilang, imperium Amerika sudah tamat. Pakar globalisasi Noam Chomsky mengatakan, sejarah imperium Amerika yang merupakan teroris terbesar di dunia sudah berakhir. Yang paling gres, Amerika dan gengnya, NATO benar-benar seperti mendadak jadi dungu melihat sepak terjang Rusia di Ukrania. Hanya bisa koar-koar layaknya burung gagak melihat telornya dicuri elang. Obral pepesan kosong kepada Ukrania. Akhirnya Ukrania sendiri yang remuk redam, hancur lebur senasib dengan rejim-rejim boneka Amerika sebelumnya seperti Ashraf Ghani di Afghanistan. Diktator Sah Reza Pahlevi di Iran. Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Presiden Vietnam Selatan Duong Van Minh. Hari Melawan Islamfobia ini senapas dengan petunjuk Allah di Quran Surah As Shaf ayat 10-11: “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.” Kita tunggu. Kehidupan ini seperti peredaran matahari yang masa edarnya tidak bisa diperlambat atau dipercepat kecuali oleh pemiliknya. Rabbi a’lam. Sidoarjo, 21 Maret 2022. (*)  

Seri Radikalisme-Terorisme-02: Membidik Umat Islam

Apa status hukum kriteria radikal yang disusun BNPT? Mengapa persoalan internal umat Islam ditempatkan sebagai ancaman terhadap negara? Mungkinkah di negeri ini sedang terjadi pertarungan antara kelompok anti agama melawan umat Islam? Oleh Dr. Masri Sitanggang DALAM Seri 01, sepintas telah diungkap mengapa umat Isam merasa terteror dan dijadikan target operasi penanggulangan radikalisme-terorisme. Dalam Seri ini kita akan lebih mendalami dan mencoba melihat apakah ada kemungkinan semangat lain di balik operasi ini?  Kasubdit Pemulihan Korban BNPT, Rudi Widodo, di Institusi Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, Jakarta Selatan, 26/11/2019, mengatakan: “Kriteria radikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 disampaikan bahwa yang menjadi kriteria adalah pertama anti Pancasila, anti kebhinnekaan, anti NKRI, anti Undang-Undang Dasar 45\" (dari berbagai media). Tiga pekan sebelumnya (5/11/19), di ILC TV One, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, menyatakan ada empat kriteria radikal: (1) Intoleran, semua orang yang tidak sejalan dengannya salah; (2) munculnya konsep takfiri dalam masyarakat; (3) menolak NKRI; dan (4) menolak Pancasila.  Sementara itu, indikator terpapar radikal, kata Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwakhid, ditunjukkan dengan pemikiran dan sikap anti-Pancasila, pro khilafah, eksklusif, intoleran, anti budaya dan kearifan lokal. Indikator lainnya termasuk membenci pemerintah dengan menyebarkan hoaks, adu domba dan fitnah yang dapat memecah belah masyarakat (kureta.id, 11/10/21). Sebelumnya, Ahmad membeberkan tiga indikator: 1) ingin mengganti ideologi negara Pancasila dan juga sistem pemerintahan dengan segala cara; 2) takfiri yang berciri intoleran, cenderung anti budaya kearifan lokal, senang melabel kelompok di luar mereka sesat dan kafir; 3) cenderung lemah di bidang akhlak, perilaku, budi pekerti, lebih menonjol pada hal-hal yang sifatnya ritual keagamaan, identitas keagamaan, tampilan luar keagamaan (Tribunnews.com, 1/4/2021). Dalam kesempatan lain lagi, Ahmad menambah ciri lain, yakni sikap membenci dengan menganggap kenduri, yasinan, sedekah bumi, maulid, bidah, sesat, kafir. (Tribunnews.com, 29/10/2021). Jadi, BNPT menggunakan tiga macam istilah untuk mengungkapkan (seseorang terpapar) paham radikal :  kriteria, indikator dan ciri. Tidak jelas, apa maksud dan kegunaaan penggunaan istilah-istilah tersebut.  Masyarakat kebanyakan, rasanya sulit membedakan ketiga istilah itu. Apalagi bila menilik apa saja yang termasuk kriteria, apa saja yang termasuk indikator dan apa pula yang menjadi ciri. Semuanya tumpang tindih. Meminjam istilah matematika himpunan, intercept satu dengan lainnya.  Mengenai kriteria, terdapat perbedaan antara versi Rudi dengan versi Irfan. Rudi tidak memasukkan “intoleran” dan “takfiri” sebagai kriteria melainkan menggantinya dengan “anti kebhinnekaan” dan “anti UUD 45”.  Ini jelas bukan perbedaan diksi semata, melainkan juga esensi.  Lelah saya menelaah UU Nomor 5 Tahun 2018 (selanjutnya disebut UU Terorisme) yang dirujuk Rudi. Juga UU Nomor 15 Tahun 2003 serta Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang jadi dasar lahirnya UU terorisme itu.  Tidak saya dapati kriteria radikal.  Lalu, dari mana kriteria radikal dilahirkan BNPT? Apakah ia merupakan ekstraksi atau, sebutlah, pointer dari sebagaian UU Teroris? Tidak sama sekali. Untuk menyebutnya sebagai tafsir, pun tidak. Sebab, bahkan kata “Pancasila” dan “UUD 1945” dalam kaitannya dengan kata “radikal” pun tidak ada. Apalagi kata “takfiri” ,”intoleran, “anti”,  dan “kebhinekaan”. Undang-undang Teroris tidak menyinggung soal keriteria sama sekali. Bahkan (entah mengapa) tidak pula mendefinisikan radikal, sehingga tidak jelas, sejenis “makhluk” apa radikal yang  menghantui negeri ini sesungguhnya.  Oleh karena itu menjadi pertanyaan: status hukum rumusan kriteria (juga indikator dan ciri) itu apa? Bolehkah digunakan sebagai dasar melakukan tindakan hukum? Koq, bisa membuat tak nyaman umat Islam? Itu poin pertama. Perbedaan kriteria radikal yang disampaikan dua petinggi BNPT itu, boleh jadi menunjukkan longgarnya rumusan keriteria radikal BNPT. Rumusan itu terbuka untuk ditambah, diubah atau disesuaikan dengan kepentingan. Begitu juga dengan indikator dan ciri terpapar radikal sebagaimana telah kita lihat variasinya di atas. Mungkin sangat tergantung pada respon masyarakat. Kalau respon negatif (ada perlawanan), lakukan perubahan, coret indikator dan ciri yang menimbulkan kemarahan itu. Ini, misalnya, terjadi pada kasus celana cingkrang, cadar, good looking, dan semacam itu yang kemudian diklarifikasi oleh BNPT bahwa radikal tidak dapat dinilai dari ciri-ciri fisik. Bila tidak ada yang keberatan, go ahead, lanjut atau tambah lagi.  Keadaan semacam ini jelas buruk bagi upaya penegakan hukum. Itu poin kedua. Meski ada perbedaan besar - masing-masing antar rumusan kriteria, indikator dan ciri terpapar radikal - tetapi ada satu hal yang sama. Semua mengaitkan radikal - langsung maupun tidak, dengan agama. Yang dimaksud dengan agama di sini adalah Islam. Istilah-istilah yang digunakan khas merujuk pada ajaran Islam, persoalan dakwah dan sikap keberagamaan orang Islam. Bukan sekedar Istilah. Apa maksud BNPT memasukkan takfiri sebagai kriteria atau indikator radikal?  Takfiri itu adalah persoalan internal umat Islam, yakni mudah mengafirkan sesama Islam. Bukan kepada orang di luar Islam, karena untuk orang di luar Islam persoalan sudah jelas. Apakah BNPT ingin menempatkan masalah internal umat Islam sebagai ancaman terhadap negara? Dalam ajaran Islam, memang tidak dibenarkan menghukumkan seseorang sebagai kafir sebelum jelas kafirnya. Tetapi kalau sudah jelas kafirnya, tidak boleh pula ragu untuk menyebutnya kafir. Bersandar kepada Bukhori, Muslim dan Abu Dawud: “Tidaklah sesorang menuduh orang lain fasik atau kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya sendiri, jika yang dituduh itu tidak seperti yang dituduhkan kepadanya”. Kaidahnya menjadi begini: kalau seorang beriman menuduh orang beriman lain kafir, padahal tuduhannya tidak benar, maka yang kafir adalah yang menuduh. Sebaliknya, kalau seseorang sudah jelas kafir tetapi disebut beriman (bukan kafir), maka yang menyebut beriman itu adalah kafir. Kenyataannya, memang ada kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam dengan ajaran yang menyimpang dari Islam. Diperlukan sikap tegas menetapkan hukum kepada mereka sebagai sesat atau kafir. Tujuannya agar tidak merusak ajaran Islam, atau merusak aqidah umat Islam, atau merusak keharmonisan hidup umat Islam. Tetapi, memang, menetapkan hukum sesat atau kafir itu bukan tugas individu, melainkan diemban oleh lembaga Ulama yang memiliki kompetensi untuk itu. Negara pun, sesungguhnya mengemban amanah ini, sebagaimana dimaktubkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI khususnya Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e; dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Jaksa Agung RI  No: PER - 019/A/JA/09/2015 tentang Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat. Jadi, tidak salah menyatakan seseorang atau sekelompok orang sebagai sesat atau kafir, sepenjang itu dinyatakan oleh lembaga Ulama. Oleh karena itu, BNPT selayaknya tidak mencampuri urusan ini. Biarlah MUI berkoordinasi dengan Kejaksaan RI sebagaimana berlaku selama ini.  Perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam hal furu’ (cabang) di kalangan umat Islam sudah ada jauh sebelum NKRI lahir. Tetapi tidak pernah ada kerusuhan yang timbul karenanya. Kalau pun ada ribut, adalah ribut adu argumentasi saling mengemukakan dalil; dan itu adalah tradisi akademis. Bila semua pihak memiliki dalil yang dapat dipertanggungjawabkan, keributan berakhir dengan sendirinya dengan saling menghargai (contoh masalah qunut, ushalli, wirid yasin, maulidan). Itulah tradisi intelektual Islam yang telah berlaku berabad. Itu adalah jalan dan proses dakwah yang memang harus dilalui.   Dengan memasukkan masalah-masalah khilafiyah ke dalam kriteria-indikator-ciri orang terpapar radikal, justru bisa memicu kegaduhan/kekacauan. Bukan ribut adu argumentasi berdasarkan dalil lagi, melainkan kecurigaan, kebencian dan permusuhan. Mereka yang tidak ikut Yasinan, Maulidan dan semacamnya, akan dilabel radikal.  Demikian juga ustadz-ustadz yang mengajarkan hal-hal yang dapat merusak aqidah (seperti tahayul dan churafat) adalah radikal.  Apalagi membahas masalah Politik Islam yang, mau-tidak mau, bersinggungan dengan Khilafah. Pintu diskusi sudah ditutup, pintu permusuhanlah yang lebar terbuka.  Jadi, menjadikan persoalan-persoalan internal umat Islam sebagai persoalan radikalisme-terotisme (yang nota bene adalah persoalan ancaman terhadap negara), justeru akan memecah belah umat Islam dan membenturkan umat Islam dengan kelompok yang disebut penganut kearifan lokal keagamaan. Bila BNPT tetap melakukan itu, maka sangat sulit menghindari kesan kuat bahwa BNPT memang tendensius.  Itu poin ke tiga. Para pejabat BNPT mengulang-ulang pernyataan bahwa \"Terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun karena tidak ada satu agama pun yang membenarkan semua tindakannya, namun ia terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama”, seperti kata Ahmad.    Saya percaya bahwa “terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun”. Tetapi anak kalimat “namun ia (terorisme-pen) terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama” dan fakta bahwa kriteria-indikator-ciri terpapar radikal menunjukkan identitas Islam, saya menjadi berpikir sebaliknya.   Simaklah pernyataan di atas, lalu jawab pertanyaan berikut: Siapakah yang menjadi teroris? Jawabannya  adalah: orang yang beragama, yang salah dalam pemahaman dan cara beragama.  Atau, pertanyaan diubah: terkait dengan apakah terorisme? Jawabnya: terkait dengan pemahaman dan cara beragama. Jadi, siapakah yang jadi teroris? Jawabnya: orang beragama.  Dus, pernyataan yang diulang-ulang itu dapat dilhat sebagai upaya membidik kaum beragama, membentuk opini dan mengindoktrinasi publik sehingga memiliki pikiran alam bawah sadar bahwa teroris adalah orang beragama. Pernyataan itu sekaligus menutup kemungkinan adanya radikalis-teroris lain, khususnya dari kalangan anti agama (Komunis atheis). Komunis-atheis “terlindungi” oleh pernyataan ini. Dalam konteks ini, pandangan Ketua BPIP, Yudian Wahyudi: “Musuh terbesar Pancasila adalah agama”, mendapat pembenaran. Faktanya, hingga kini, belum ada laporan BNPT tentang adanya kalangan anti agama (komunis, atheis) terkait dengan radikalisme-terorisme. Entahlah, apakah Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tidak lagi ditegakkan.  Padahal, Tap MPRS dan UU itu  sangat jelas dan tegas mencantumkan paham Komunis dan segala aktivitas yang berkaitan dengan penyebaran paham komunis, termasuk melakukan hubungan/kerjasama dengan organisasi komunis baik di dalam maupun di luar negeri adalah kejahatan terhadap negara.  KSAD Jendral Dudung Abdurachman memperingatkan adanya ancaman kelompok radikal kanan di masyarakat. Mata publik pun terarah ke kanan. Mereka lupa bahwa, kalimat Dudung itu menuntut konsekuensi adanya kelompok radikal kiri.   Tidaklah sesuatu diberi keterangan tempat “kanan”, kecuali ada sesuatu yang sama di sebelah kiri. Artinya, bila ada radikal kanan, wajib ada radikal kiri. Dudung ada di posisi mana? Sebagai aparat pemerintah yang ingin membela konstituisi, kita berharap Dudung ada di posisi tengah. Jadi, ada tiga posisi: kanan, tengah dan kiri. Tapi untuk menjadi orang tengah, Dudung harus membuktikan adanya radikal kiri. Sebab, kalau tidak, maka posisi cuma ada dua: kanan dan kiri (tidak ada tengah). Maka maaf (sekedar untuk mebuka pikiran saja), Dudung terpapar radikal kiri.    Kalau demikian adanya, maka dapatlah disimpulkan, ada dua radikal di Indonesia yang kini sedang bertarung berhadap-hadapan: radikal kanan versus radikal kiri, tanpa penengah.  Dengan cara yang sama, BNPT harus menghadirkan fakta bahwa BNPT menyorot juga radikalisme -terorisme kaum anti agama. Kalau tidak, maka pernyataan yang diulang-ulang oleh BNPT dapat melahirklan kesimpulan yang sama: di Indonesia ada dua kelompok yang saat ini sedang bertarung berhadap-hadapan: kelompok kaum beragama (Islam) versus kelompok anti agama (komumis-atheis), tanpa wasit. Ini akan menjadi masalah besar bagi bangsa.  Itu poin ke empat.  Pancasila adalah kesepakatan luhur kita dalam medirikan negara ini. Ia adalah Philosophische grondslag  yang mendasari semua kehidupan benegara. Tetapi, sebagaimana agama, Pancasila juga bisa dijadikan topeng oleh kalangan tertentu untuk mencapai ambisi politiknya (Insya Allah, kita ulas pada seri berikutnya). Kita sungguh berharap Boy Rafli Amar dapat menata BNPT tidak hanya merubah diksi dan peristilahan serta kriteria dan inkator radikal, tapi juga kinerja BNPT yang menjangkau semua potensi yang membahayakan negara dengan semua perangkat hukum yang terkait. Wallahu a’lam bisshawab. (*)

Seri Radikalisme-Terorisme – 01: Setelah Madrasah, Masjid, dan Pesantren, Apa Lagi?

Umat Islam Indonesia memang merasa terteror selama pelaksanaan program penanggulangan radikalisme-terorisme. Sekadar kesalahan diksi dan peristilahankah, atau ada semangat islamofobia? Aparat selayaknya memahami Pancasila dan ajaran Islam yang benar. Oleh Dr. Masri Sitanggang PERMINTAAN maaf Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar, terkait pernyataannya 198 pesantren terafiliasi dengan terorisme, kepada Pengurus MUI Pusat Kamis (03/02/2022), sedikit melegakan hati Umat Islam. Apalagi, Boy Rafli kemudian berjanji bahwa BNPT tidak akan sungkan-sungkan mengubah peristilahan dan diksi yang dianggap kurang tepat dan dapat menimbulkan kesan stigma negatif kepada Islam dan umat Islam. Termasuk ketika membuat kriteria dan indikator kelompok teroris. Umat Islam memang merasa terteror oleh kegiatan pelaksanaan penanggulangan radikalisme-terorisme selama ini. Mereka merasa sedang dipojokkan, bahkan dijadikan target. Lumrah, karena sepanjang yang berkaitan dengan penyebaran paham radikal dan penangkapan terduga teroris, semuanya dihubungkan dengan orang Islam dan simbol-simbol Islam.  Framing berita sedemikian rupa sehingga tercipta kesan bahwa Islam dan umat Islam demikian jahat terhadap negara ini. Yang disasar bukan saja mereka yang diduga telah dan/atau akan melakukan aksi teror, melainkan juga yang berpakaian cingkrang, bercadar dan yang berjenggot. Malah, telah pula merambah ke wilayah pemikiran dan keyakinan agama yang disebut sebagai “radikal dan dapat mengarah pada tindakan terorisme”.  Stigmatisasi Islam radikal sudah terasa sejak periode pertama Presiden Joko Widodo berkuasa. Berdasarkan apa yang disebut “survey”, disiarkan bahwa paham radikal telah merambah ke sekolah-sekolah dan kampus melalui pengajian dan Studi Islam Intensif yang dilakukan OSIS atau Lembaga Dakwah Kampus. Tak pelak, program menghafal Alquran yang dilaksanakan oleh OSIS, pun dhubungkan dengan radikalisme di sekolah (Ade Chariri, mengutip Ma’arif Intitute, 2018). Buku ajar Islam, termasuk di Madrasah Aliyah, juga tak lepas menjadi sorotan. Padahal, konten buku itu bukanlah hal yang baru. Entahlah, apakah survey-survey itu bagian dari kegiatan akademik atau dirancang untuk kepentingan tertentu. Yang pasti, jika ditilik dari laporan survey-survey (setidaknya yang terekspose) tersebut, objek survey hanya siswa Islam dan kegiatan keislaman.   Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, kecemasan umat Islam meningkat. Pasalnya, semua kementerian dalam Kabinet Indonesia Maju seperti punya tugas yang sama: berantas radikalisme; dan itu, sekali lagi, terarah kepada Islam dan Umat Islam.  Radikalisme (Islam) tiba-tiba seolah menjadi persoalan utama bangsa yang mendesak untuk ditangani secara keroyokan, mengalahkan masalah-masalah lain – yang sesungguhnya dikeluhkan publik semisal kemiskinan, pengangguran dan tenaga kerja asing, ketimpangan sosial dan ketidakadilan di berbagai bidang, penggusuran lahan, masalah hukum dan perundang-undangan, mega korupsi di berbagai instansi, masalah Papua, dll. Seakan Islam dan umat Islam-lah musuh aktual negara saat ini.  Masih hitungan bulan Kabinet Indonesia Maju, negeri ini sudah gaduh. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian  Wahyudi – waktu itu baru menjabat sepekan, menumpahkan isi hatinya: “Musuh terbesar Pancasila adalah agama”. Yudian menyingung adanya partai yang menggunakan azas Islam dan adanya Ijtima’ ulama menjelang Pilpres 2019, sehingga tidak keliru kalau kemudian orang berkesimpulan bahwa yang dimaksud “agama” olehnya adalah Islam. Meski pun Yudian coba meluruskan –setelah gaduh besar, bahwa yang dimaksud adalah adanya kelompok yang menggunakan agama untuk memusuhi Pancasila, tetapi tetap saja tidak bisa lurus. Logika pelurusannya, tidak lurus. Belum reda soal Yudi Wahyudi, Menteri Agama Jendral (Purn) Fachrur Razi – yang sejak awal diangkat menjadi menteri menyatakan siap memerangi radikalisme, melemparkan pernyataan yang sunguh mengejutkan. Dikatakan, faham radikalisme masuk ke lingkungan ASN melalui orang-orang yang - good looking - yakni sosok orang yang berpenampilan menarik,  aktif di Masjid, hafal Al-Quran dan terlihat mumpuni dalam soal agama. Sukar menggambarkan betapa beratnya pukulan Fachrurozi kepada umat Islam. Bukan saja karena ia seorang Menteri Agama dan ucapannya terang mengarah kepada umat Islam, melainkan juga karena spektrum sasarannya sangat luas: penghapal Qur’an – berarti juga lembaga pendiikan penghafal Al Qur’an; orang yang terlihat mumpumi soal agama – berarti termasuk pendakwah; berpenampilan menarik dan aktif di mesjid – berarti terkait dengan masjid. Semua itu harus dicurigai sebagai penyebar atau sumber radikalisme. Yang demikian inikah tugas Menteri Agama? Pada awal 2022 ini, para pejabat seperti berkompetisi mengambil bagian dalam urusan radikalisme (Islam).  Serasa negara sudah sangat genting. Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk PNS untuk siap memerangi berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, yang ingin menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  Layaknya seorang penguasa, Jumat (21/1/2022), dia mengatakan: \"Saya ingin menegaskan kita harus bisa menentukan sikap. Menentukan siapa kawan dan siapa lawan pada kelompok, perorangan, atau golongan yang anti Pancasila, anti Bhinneka Tunggal Ika, anti NKRI, anti kemajemukan bangsa dan UUD 1945,\" ujar Tjahjo (iNews.id). Beberapa hari kemudian, KSAD Jendral Dudung Abdurachman, di depan 2.655 prajurit TNI AD, menyatakan adanya ancaman kelompok radikal kanan di masyarakat dan sudah masuk di kelompok-kelompok pelajar. Perkembangan kelompok radikal kanan ini, dikatakan, sudah dalam hitungan menit. Kata Dudung: “Saya kemarin dapat informasi dari Rapim Kemhan, begitu juga dari penyelidikan kita, dari mulai perilaku dan sebagainya mulai mengarah-arah seperti itu\" (Republika.id, 25-I -22). Tidak ada penjelasan, seperti apa perilaku yang mengarah ke paham radikal dimaksud. Yang pasti, istilah “kanan” dalam sejarah Indonesia selalu merujuk pada Islam.  Selanjutnya, Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Selasa (25/1), menyebut ada 198 pesantren yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Sehari kemudian, tersiar berita: Polri bakal memetakan masjid-masjid se-Indonesia dalam rangka mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme lewat rumah ibadah. Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen dan Keamanan Polri, Brigjen Umar Effendi, mengatakan: \"Masjid ini sekarang \'warna\'-nya macam-macam ada yang hijau, ada yang keras, ada yang semi keras dan sebagainya.\" Tidak jelas juga apa yang dimaksud dengan “hijau”, “keras” dan “semi keras”; dan apa ukuran yang dipakai untuk mengelompokkan seperti itu : apakah Islam sebagaimana sumber nilainya, atau (Islam) menurut pandangan Polri?  Masih banyak catatan yang bisa diungkap. Namun sepenggal senarai di atas, cukuplah untuk memahami kenapa umat Isam merasa diteror. Bayangkan! Berpenampilan baik, dicurigai; berpengetahuan Islam dengan baik, dicurigai; aktif di Masjid, juga dicurigai; Masjid dan Pesantren yang punya andil terbesar dalam perjuangan melawanan penjajah, sudah pula dicurigai; kegiatan kerohanian di sekolah dan kampus juga dicurigai. Apa lagi yang tersisa? Mungkin tinggal beribadah haji ke Baitullah yang belum. Entahlah beberapa hari ke depan. Mungkin akan dicurigai juga  sebagaimana yang dilakukan penjajah Belanda. Syukur, Boy Rafli dapat membaca denyut jantung umat Islam. Sebagai badan yang bertanggungjawab penuh soal rasikalisme-terorisme, BNPT sudah sepatutnya mengontrol sepenuhnya isu radikalisme dan terorisme sehingga tidak liar dan justeru berpotensi memecah kesatuan bangsa.  Namun demikian, ada tersisa pertanyaan mendasar: Apakah terterornya umat islam dalam hal penanganan radikalisme-terorisme semata-mata karena pilihan diksi dan peristilahan yang kurang tepat? Atau, tidakkah diksi dan peristilahan yang dipakai selama ini memang  begitulah adanya, keluar dari hati sebagai cerminan semangat Islamofobia? Pertanyaan kedua ini muncul mengingat semua pejabat yang berbicara radikalisme dan terorisme menggunakan diksi dan peristilahan yang lebih kurang sama. Artinya, sulit membayangkan sejumlah pejabat tinggi negara melakukan kesalahan diksi secara bersamaan dalam satu hal.   Jika pertanyaan ke dua jawabannya “Ya”, maka penggantian diksi dan peristilahan tidak akan mengubah situasi kecuali meninabobokkan sementara umat Islam. Perubahan diksi dan peristilahan tak lebih sekedar obat penenang, tidak menyelesaikan masalah.  Apa yang telah dilakukan selama ini oleh aparat, seperti sebagian telah disenarai di atas, berkonsekuensi sangat luas dan tidak menghasilkan kebaikan pada negara ini (persoalan ini akan diulas pada tulisan terpisah). Maka, tepat sekalilah jika Boy Rafli bersedia mengubah kriteia dan indikator yang menyangkut radikalisme-trerorisme.  Hemat saya, setidaknya empat azas harus dipenuhi agar penanggulangan radikalisme-terorisme tidak malah menjadi teror bagi sesiapa dan kelompok apa pun. Pertama. Defenisi “radikal” dan “teror” haruslah benar-benar jelas,  sehingga terhindar dari kemungkinan bias atau dibiaskan.  Khusus masalah “radikal”, perlu ditentukan batasan: radikal macam apa yang dibolehkan dan radikal seperti apa yang dilarang. Atau dicarikan isltilah lain (karena kita terlanjur membingungkan diri dengan memaknai radikal  secara negatif)  untuk radikal yang dilarang. Ini penting agar jangan sampai anak-anak kita di kemudian hari (karena takut) tidak  lagi mau melakukan hal-hal radikal (meski positip), tidak mampu berfikir radikal. Akibatnya lahirlah generasi yang pikirannya tanpa pijakan alias mengawang-awang, ucapannya kosong tanpa bobot dan  tindakannya hanya mengekor tanpa inisiatif dan tak mampu berinovasi. Yang demikian inilah  generasi terjajah. Kedua, Khusus menyangkut radikaisme. Sepanjang terkait dengan kenegaraan, maka alat ukur yang tepat untuk menentukan  tingkat negatifitas radikal  (batas toleransi) adalah Pancasila dan UUD 1945. Bukan pandangan subjektif penguasa. Orang beragama yang baik haruslah radikal, berpegang teguh pada dasar-dasar ajaran agama yang dianut sebagaimana yang ada di kitab suci dan ajaran Nabinya. Maka, bila berkaitan dengan keyakinan dan ajaran agama, negatifitas radikal sesesorang atau kelompok orang harus diukur dengan nilai-nilai ajaran agama yang mereka yakini. Sepanjang  masih memiliki landasan dari sumber nilainya, tidak boleh diharamkan. Ini untuk menjamin terlaksananya Pasal 29 ayat 2 UUD1945.   Jadi, tidak diukur dengan agama atau pandangan lain. Jika diukur dengan nilai lain selain agamanya, sudah jelas tidak cocok; deradikalisasi akan berubah menjadi deagamaisasi (bila menyangkut Islam, deislamisasi). Oleh sebab itu aparatus negara, terutama yang concern terhadap radikalisme-terorime,  harus betul-betul memahami dan melaksanakan Pancasila (saya ragu soal ini, akan diulas dalam tulisan terpisah). Karena di lapangan akan berhadapan dengan mayoritas muslim, maka juga harus mendalami ajaran Islam agar dapat mengukur “radikalisme Islam” secara tepat.  Dalam prakteknya, perlu mendengar/melibatkan secara aktif para ulama atau pimpinan ormas Islam. Ketiga, Sepanjang radikalisme masih di wilayah pemikiran, perdebatan gagasan intelektual, deradikalisasi harusnya dilakukan dengan dialog adu pemikiran, perdebatan gagasan intelektual. Dengan demikian akan terbangun/terpelihara suasana akademik berkemajuan. Bukan menghakimi, apalagi dengan pendekatan kekuasaan. Cara terakhir ini, ciri pemerintahan otoriter, hanya akan membunuh kreatifitas berfikir dan mematikan membunuh intelektualitas.   Keempat, Transparan dan adil dalam implementasi. Penanganan radikalisme-terorisme haruslah transparan agar terhindar dari fitnah yang berujung pada pendzoliman. Tidak melempar isu tanpa penjelasan yang kongkrit dan terverifikasi yang menimbulkan kecurigaan dan kegaduhan. “Kamera pengintai” radikalisme-terorisme haruslah adil. Bila Indonesia ini diibaratkan sebuah ruangan yang diisi sejajaran orang yang mewakili masing-masing suku dan agama yang ada, maka kamera yang sama dalam waktu yang sama harus menyorot semua warga yang ada di ruangan tanpa kecuali. Dengan demikian akan terlihat wajah setiap orang dengan kelebihan dan kekurangannya. Bukan hanya menyorot sosok orang Islam dari sisi yang diinginkan cameraman. Empat azas inilah yang selama ini tidak tampak, sehingga niat menanggulangi radikalisme-terorisme agar tercipta Indonesia yang aman, berbalik menjadi sumber kegaduhan dan mengancam kesatuan.   Wallahu a’lam, semoga Boy Rafli diberi Allah SWT kekuatan untuk melaksanakan niat luhurnya. (*)

Urgensi Undang-undang Anti Islamophobia

Oleh  M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan ISLAMOPHOBIA adalah produk global yang tidak bisa dipisahkan dari konflik peradaban dunia dimana peradaban Barat yang selalu ingin menguasai. Islam adalah adalah civilisasi yang ditakuti dan bagi Barat harus ditaklukan atau dilumpuhkan. Semestinya tidak demikian jika berprinsip ko-eksistensi secara damai. Islamophobia merupakan isu atau program yang tidak sehat dan bernuansa permusuhan.  Diawali dengan peristiwa 9/11 dimana 4 (empat) pesawat penumpang yang dibajak menyerang jantung Amerika. Pesawat United Airlines dan American Airlines menabrak dan meruntuhkan menara kembar WTC di New York. Satu menyerang Pentagon di Arlington Virginia dan lainnya gagal untuk menabrak Gedung Putih atau Capitol di Washington DC. Tuduhan diarahkan kepada Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.  Tuduhan palsu dan skenario tingkat tinggi telah dimainkan oleh Amerika (dan Israel). Dunia telah mencurigai sejak awal. Rusia belakangan ini mengancam akan membongkar citra satelit peristiwa 9/11 sebagai perbuatan dan konspirasi Amerika yang nekad mengorbankan warga negaranya sendiri. Islamophobia dijalankan secara sistematis Pasca peristiwa 9/11 tersebut.  Aksi terorisme \"buatan\" terjadi di berbagai belahan dunia Islam. Menciptakan ketergantungan dunia pada Amerika untuk memerangi terorisme \"Islam\". Irak, Suriah, Afghanistan diporakporandakan. Saudi Arabia, Kuwait dan Uni Emirat dikendalikan. Iran menjadi mainan. Hampir seluruh dunia membuat pasukan anti teroris tidak terkecuali Indonesia. Densus 88 pun merajalela. Teroris aneh bermunculan tanpa jelas target. Bom panci, pasangan boncengan motor hingga perempuan linglung yang ditembak.  Setelah 20 tahun operasi Islamophobia ini berjalan, rupanya Amerika merasa lelah. Di bawah Presiden Joe Biden perang ini dihentikan. Council on American Islamic Relations (CAIR) berhasil \"mencairkan\" dengan mendorong Partai Demokrat untuk menginisiasi UU anti Islamophobia dan berhasil. Amerika memberi landasan perundang-undangan untuk menghapus Islamophobia.  PBB melanjutkan. Atas ajuan Pakistan, PBB menyetujui resolusi penghapusan Islamophobia. Tanggal 15 Maret dinyatakan sebagai hari perlawanan Islamophobia.  Dunia Islam harus merespon konstruktif perkembangan ini. Indonesia yang ternyata juga terjangkit penyakit Islamophobia tidak boleh abai. Diharapkan diawali dengan pembentukan Undang-Undang Anti Islamophobia.  Jika Undang-Undang ini dapat diproduk, maka akan dirasakan terjadi perubahan politik terhadap umat Islam. Umat Islam tidak dianggap lagi sebagai musuh di negeri yang jumlahnya mayoritas. Umat Islam ditempatkan sebagai potensi besar untuk memajukan dan mensejahterakan rakyatnya. Cita-cita atau tujuan bernegara sebagaimana dikehendaki Konstitusi akan semakin didekati.  Sebaliknya, jika pergeseran dunia yang mengarah pada penghapusan Islamophobia ini tidak disikapi dengan baik oleh Pemerintah dan wakil-wakil rakyat di DPR, maka posisi penzaliman terhadap umat Islam semakin kuat dirasakan. Ini artinya menjadi lebih berhadap-hadapan. Umat Islam yang merasa terjajah akan berjuang untuk memerdekakan dirinya.  Menumbangkan rezim yang menjajah itu. (*)

Krisis Minyak Goreng Bukti Ketahanan Pangan Nol Besar

Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN TERLEPAS dari masalah subsidi atau persoalan-persoalan lain, krisis minyak goreng (migor) menyentakkan kita semua bahwa “food security” (ketahanan pangan) Indonesia tidak ada sama sekali. Nol besar. Minyak goreng adalah salah satu makanan pokok yang gampang dibuat di negeri ini. Tapi, ternyata migor bisa dijadikan salah satu komoditas yang melumpuhkan masyarakat. Krisis migor terjadi karena tiga hal. Pertama, pemerintah tidak menangani sebab. Mereka selalu sibuk dengan akibat. Apa saja yang terjadi, selalu yang diurus akibat. Dalam hal migor, penyebab krisis belakangan ini adalah ketiadaan peranan negara dalam menjamin komoditas yang sangat strategis ini. Pemerintah seharusnya menugaskan BUMN perkebunan untuk memproduksi migor. PTPN bisa melakukan itu dengan gampang. Membuat migor tidak memerlukan teknologi canggih. Kedua, pemerintah Presiden Jokowi terbelenggu oleh obsesi proyek-proyek besar yang tidak atau belum diperlukan oleh rakyat secara luas. Jokowi terlalu ambisius. Dia ingin disebut sebagai presiden yang melakukan pekerjaan hebat. Padahal, di balik semua pekerjaan besar itu menumpuk utang yang sangat meresahkan. Ketiga, pemerintah terlalu ‘lenient’ (lunak) terhadap perusahaan-perusahaan raksasa yang berkebun sawit. Semua mereka itu rakus. Hanya memikirkan keuntungan sendiri. Mereka lebih senang mengekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO). Bisa dipahami. Karena transaksinya mengikuti harga internasional. Keuntungan yang mereka peroleh jauh lebih besar dibandingkan menjual CPO ke pabrik migor dalam negeri. Selain tiga faktor ini, Pemerintah cenderung membiarkan saja para produsen CPO mendiktekan kehendak mereka. Sekarang, regulasi CPO malah dihapuskan. Para konglomerat jahat akan semakin brutal. Rakyat kecil bakalan menderita. Kewajiban menjual 30% untuk pasar domestik (DMO, domestic market obligation) tidak ada lagi. Ini semua gara-gara kerakusan produsen CPO. Kerakusan itu tidak boleh dibiarkan. Pemerintah perlu memikirkan strategi jangka panjang agar migor tidak seratus persen dikendalikan oleh pasar bebas. Inilah penyebab krisis yang terjadi sekarang. Kalangan produsen berada pada posisi yang sangat kuat. Sampai-sampai Menteri Perdagangan tidak bisa berbuat apa-apa. Ada satu contoh tentang kekuatan produsen migor. Di Sumatera Utara, polisi menemukan timbunan migor sebanyak 1.1 juta liter. Polisi langsung mengetahui bahwa migor itu adalah milik PT Salim Ivomas Pratama, anak perusahaan PT Indofood Sukses Makmur, yang berada di bawah Salim Group milik Anthony Salim. Polda Sumut terkesan tak berani mengusut timbunan minyak itu, Polisi menggunakan bahasa yang sangat sopan. Mereka mengatakan akan “mengundang” pemilik gudang untuk memberikan klarifikasi di Markas Polda. Di tempat-tempat lain dengan temuan ribuan atau puluhan ribu liter di level eceran, kepolisian menggunakan bahasa “gerebek”, “dijadikan tersangka”, dlsb.  Tidak sesantun dan selunak menghadapi Salim Group. Krisis minyak goreng tidak boleh terulang lagi. Semua pemangku kepentingan publik harus membicarakan ketahanan pangan (food security) nasional, termasuk migor. Ini sangat krusial. Sebab, kedaulatan sebuah negara bisa diinjak dengan mudah oleh elit bisnis (oligarki bisnis). Jika oligarki bisnis saja bisa menguasai negara, konon pula kekuatan asing yang jauh lebih lengkap dalam melakukan invasi keras (dengan senjata militer) maupun invasi lunak (dengan senjata binis). Banyak yang berpendapat krisis besar seperti yang melanda migor ini sebetulnya berpangkal dari krisis kepemimpinan nasional. Krisis ‘leadership’ di Istana. Terlihat Presiden Jokowi tidak peduli, atau mungkin juga tidak paham, soal ketahanan pangan. Padahal, Presiden wajib menjaga ketat ketahanan pangan rakyatnya agar tidak disandera oleh para pengusaha besar dan konglomerat jahat. Krisis minyak goreng ini seharusnya menjadi pelajaran.[]