Partai Koalisi Pemerintah Jebol
Pada kondisi pemerintah sudah dilepas (sapih) dari koalisi partai, tidak bisa lagi campur tangan dengan gerakan partai yang sudah terpecah. Bisa jadi Presiden justru masuk dalam permainan Pilpres mendatang sekedar menjadi makelar salah satu Capres.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
SETIAP parpol yang berada di kubu pemerintah tentu membawa kepentingan masing-masing partainya, dan itu potensi sebagai pemicu konflik diantara mereka. Juga akan menjadi embrio konflik di internal partainya.
Saatnya tiba ketika mendekati Pemilu/Pilpres Partai Koalisi akan terpecah, itu normal karena mereka harus bisa mempertahankan hidup partainya dan/atau ada keuntungan politik untuk kelangsungan hidup partai dan Capresnya pada Pilpres 2024 mendatang.
Sesungguhnya Presiden dan partai koalisi memiliki agenda masing masing. Keliru kalau menafsirkan bahwa koalisi partai gemuk mati-matian akan mengamankan program pemerintah dan tetap tenang dalam koalisinya.
Keliru juga menafsirkan bahwa dalam kondisi partai akan terpecah dan lepas dari pemerintah, dianggap akan tetap bertugas mengamankan program pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Mereka saat itu solid bersatu, partai masih setia sebagai pelaksana remote Istana karena target keuntungan kepentingan politik ekonominya terpenuhi dengan masa waktu yang cukup bermanuver dalam koalisi gemuk.
Menjelang Pemilu dan Pilpres sudah tidak peduli dengan program pemerintah (masa bodoh) juga tidak akan peduli lagi soal isu reshuffle kabinet menjelang akhir masa pemerintahan Jokowi karena keuntungan politiknya sudah rendah.
Di akhir pemerintahan itu memang para parpol sudah longgar komitmennya dalam satu koalisi gemuk dengan pemerintah karena mereka berupaya untuk menaikkan popularitas partai sendiri dan juga mencari peluang untuk bisa bertahan di kekuasaan mendatang, sedang Presiden akan berahir.
Perbedaan pandangan antar partai politik di dalam koalisi menjelang akhir masa jabatan presiden merupakan suatu hal yang wajar. Setiap partai mempunyai kepentingannya masing-masing untuk bisa bertahan hidup pada Pemilu dan Pilpres mendatang.
Adanya fragmentasi atau terbelahnya suara di koalisi pemerintahan Jokowi sekarang ini, itu adalah normal. Muncul partai koalisi bermain dua kaki atau sepuluh kali, itu keniscayaan ketika mereka mulai membentuk koalisi partai menyongsong Pilpres.
Sekalipun berkoalisi antar partaipun bukan persoalan yang mudah dan akan terpecah, sesuai kekuatan dan kepentingan politiknya masing masing. Antara partai besar dan partai kecil, akan berbeda pola dan bentuk manuvernya.
Koalisi dalam sistem presidensial itu sifatnya tidak permanen tetapi lebih pada upaya bagaimana mencari keuntungan politik dan finansial. Ketika Presiden akan mengakhiri masa jabatannya maka partai saling berjuang untuk bisa bersekutu dengan pemenang Presiden mendatang.
Hebatnya menjelang Pilpres ada kepentingan super pragmatis yaitu buka lapak jualan partai sebagai kendaraan capres yang berminat membelinya. Persoalan Capres memakai partai sebagai kendaraannya tidak peduli akan jadi atau tidak, akan menang atau kalah. Konon harga partai belum termasuk biaya operasional.
Jadi semakin dekat dengan berakhirnya masa jabatan presiden, koalisi gemuk partai dengan pemerintah saat ini pasti pecah mencari selamat sendiri-sendiri dengan cara membuat koalisi partai menyongsong Pilpres mendatang tidak peduli lagi dengan pemerintah.
Fragmentasi partai akan membentuk koalisi baru seperti Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) adalah koalisi partai politik di Indonesia yang terbentuk melalui kesepakatan politik antara tiga partai politik dari Koalisi Indonesia Maju, yaitu Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan dalam menghadapi Pemilu Presiden 2024.
Terdengar juga akan ada koalisi Partai Nasdem - PKS dan Partai demokrat. Sementara PKB masih melayang di udara diduga masih menunggu lapaknya laku, dan PDIP relatif sedikit tenang sebagai satu satunya partai yang akan bisa mengusung Capresnya dengan Presidential Threshold 20%.
Siapa yang akan menentukan mereka pada akhirnya bisa membentuk koalisi permanen menyongsong Pilpres 2024. Lagi-lagi ketika bersentuhan dengan finansial mereka berlomba cepat untuk mengajukan proposalnya kepada Bandar Pilpres.
Ketika salah satu koalisi ditolak proposalnya oleh bandar politik oligarki, akan terjadi dua kemungkinan tetap eksis maju tanpa dukungan bandar politik atau pecah dengan istilah menjadi partai pengusung atau pasrah hanya sebagai partai pendukung.
Di sini tetap ada harganya masing masing sekalipun dengan harga tanpa tawar-menawar, bisa hanya dengan harga seikhlasnya.
Keadaan akan berubah total apabila ada keajaiban tiba-tiba MK memenuhi tuntutan perubahan Presidential Threshold menjadi 0 %. Partai tetap ada harganya tetapi peluang tawar-menawar harga melemah. Sementara Bandar Pilpres akan putar haluan cara kerja politiknya.
Pada kondisi pemerintah sudah dilepas (sapih) dari koalisi partai, tidak bisa lagi campur tangan dengan gerakan partai yang sudah terpecah. Bisa jadi Presiden justru masuk dalam permainan Pilpres mendatang sekedar menjadi makelar salah satu Capres.
Menyongsong Pemilu legislatif dan Pilkada setiap partai harus siap-siap untuk mengawasi daerah pemilihannya masing-masing untuk bisa bersaing dan memenangkan politik 2024. Karena itu soal nasib partai lolos ke Senayan atau harus hangus di tengah jalan.
Sekiranya pemerintah saat ini masih over confidence merasa masih akan bisa mempertahankan koalisi gemuknya, pemerintah ini buta politik dan buta melihat prospek politik ke depan yang akan jebol, terpecah, memecahkan diri. (*)