Menggugat Posisi Dominan Dalam Presidential Threshold
PKS dan DPD akan mengajukan Judicial Review Pasal 222 Undang-Undang Pemilu (Presidential Threshold). Apakah Mahkamah Konstitusi akan memeriksa dan memutus permohonan tersebut?
Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. - Ketua Umum HRS Center
ATURAN Presidential Threshold menyebutkan syarat perolehan kursi DPR paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pileg sebelumnya untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Persyaratan yang sebenarnya tidak sulit untuk dimaklumi, tetapi demikian sulit dipahami. Terkait dengan hal ini sejumlah pihak mengatakan ambang batas tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Keberlakuannya semakin menguatkan hegemoni Parpol Politik tertentu dan sekaligus menghambat demokrasi yang fair dan kompetitif. Partai Politik yang berkoalisi dengan perolehan (kumulasi) suara lebih dari 50% (lima puluh persen) pada Pilpres sebelumnya memiliki posisi dominan sebab aturan ambang batas tersebut. Kondisi demikian akan terus berlanjut pada setiap Pilpres. Posisi dominan menunjuk pada adanya pembatasan pasangan Capres dan Cawapres. Disisi lain kontestan yang memiliki posisi dominan dapat dipastikan tidak akan mempunyai pesaing yang berarti.
Sebagai referensi perbandingan, posisi dominan dalam Undang-Undang Anti Monopoli dicirikan salah satunya adalah menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar. Penguasan tersebut menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Dengan demikian syarat perolehan kursi DPR atau perolehan suara Partai Politik akan melahirkan posisi dominan. Terlebih lagi Pileg dan Pilpres dilakukan secara bersamaan, maka posisi dominan sangat ditentukan oleh gabungan Partai Politik pengusung Capres dan Cawapres. Menjadi lain halnya jika Pileg dan Pilpres dilakukan secara terpisah.
Presidential Threshold telah banyak diajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konsitusi, namun selalu saja kandas. Alasan ditolaknya permohonan adalah karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, sebagaimana dialami oleh Partai Ummat. Menurut Mahkamah Partai Ummat belum dapat dinyatakan sebagai Partai Politik peserta Pemilu sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional. Perihal yang sama juga berlaku pada permohonan sejumlah tokoh antara lain, Tamsil Linrung dkk, Lieus Sungkharisma dan Gatot Nurmantyo.
Perkembangan terbaru, Partai Keadilan Sejahtera dan Dewan Perwakilan Daerah akan melakukan hal yang sama. Perkembangan ini menarik untuk dicermati, mengingat keduanya berbeda dengan pemohon sebelumnya. PKS adalah Partai Politik peserta Pemilu sebelumnya, sedangkan DPD adalah lembaga tinggi negara. Mahkamah Konstitusi akan kesulitan untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Penulis mencatat adanya beberapa pertentangan antara Pasal 222 Undang-Undang Pemilu dengan UUD 1945. Pasal a quo telah menyeleksi Partai Politik untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Disini terjadi konflik norma dengan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Sejalan dengan ketentuan ini, maka jaminan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus mendasarkan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Tidak berhenti disini, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dengan demikian ambang batas yang berlaku sebagai norma pembatasan (penyeleksian) merupakan bentuk penyimpangan terhadap “persamaan yang adil atas kesempatan” dan “persamaan yang adil atas atas kemanfaatan”. Norma tersebut juga bertentangan dengan prinsip “kepastian hukum yang adil” dan “perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Salah satu bentuk kepastian hukum yang adil adalah perolehan kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya persamaan dan keadilan. Pemenuhan hak harus diterima sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Dengan demikian norma ambang batas tersebut menjadi tidak bermakna dan oleh karenanya tidak memiliki kepastian hukum. Lolosnya Partai Politik untuk mengikuti Pemilu merupakan suatu prestasi yang seharusnya diberikan kemudahan dan perlakuan khusus guna memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama.
Lebih lanjut, konstitusi sebenarnya menghendaki pasangan Capres dan Cawapres lebih dari dua, baik yang diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Oleh karena itu, Pasal 6 UUD 1945 tidak membatasi perolehan suara Partai Politik atau perolehan kursi DPR dalam Pileg sebelumnya untuk menjadi syarat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Sistem seleksi yang dianut bersifat alami, penentuannya diserahkan kepada rakyat. Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan perolehan suara paling sedikit 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi dengan lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia berlaku sebagai penyeleksian lanjutan. Dimaksudkan ketika tidak ada pasangan Capres dan Cawapres yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen). Untuk kemudian dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali. Lain halnya jika terdapat Capres dan Cawapres yang mendapatkan suara mayoritas, yakni 50% + 1 (lima puluh persen plus satu) dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi, maka dinyatakan sebagai pemenang.
Demokrasi mengandung agregasi antara Partai Politik, Capres dan Cawapres yang diusung dan konstituen adalah satu kesatuan. Dengan demikian demokrasi bukan hanya persaingan secara adil dan kompetitif antar Partai Politik, namun jauh lebih penting adalah perluasan partisipasi rakyat guna menilai dan memberikan keputusan atas persaingan tersebut. Hal ini adalah sebagai aktualisasi demokrasi politik dalam perspektif kedaulatan rakyat.
Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of constitution” sepatutnya mengambil posisi progresif berparadigma konstruktivisme. Mengingat persyaratan ambang batas berpotensi pada praktik “unfair competition” dengan munculnya posisi dominan yang berkelanjutan. Konstitusionalitas Pemilu yang berasaskan “jujur dan adil”, memerlukan jaminan pemenuhan keadilan substansial yang berdiri tegak di atas kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan memutus perhohonan Uji Materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Tidak ada alasan lagi. Mencari alasan akan melahirkan kekecewaan yang berkelanjutan. (*)