Diplomasi Presiden yang Kalang-Kabut
Juga, akan ditekan hentikan ketergantungan Indonesia kepada China. Harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang selama ini dan Islamophobia yang terus terjadi di Indonesia.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
SEORANG Presiden harus menguasai minimal lima (5) fokus utama dalam penjalinan relasi dan berdiplomasi dengan negara lain, yaitu: Representing, kemampuan untuk mewakili negara; Priomoting, yaitu kemampuan untuk mempromosikan negara;
Protecting, yaitu perlindungan terhadap bangsa dan kepentingan negara; Negotiating, yaitu kemampuan negosiasi demi kepentingan negara; Reporting, yaitu melaporkan situasi dan kondisi suatu negara, termasuk sidang yang dilakukan demi kepentingan negara.
Seorang Presiden dituntut untuk bisa berbahasa asing agar dalam percakapan dengan lawan bicara tidak terkendala.
Sangat tragis ketika sedang berdialog dengan lawan bicara tampak senyum-senyum kecut seolah sedang menunjukkan dirinya paham apa yang sedang disampaikan lawan bicara. Padahal, yang sesungguhnya terjadi dalam otaknya mengalami kebuntuan dan kemacetan karena tidak paham apa yang sedang disampaikan lawan bicaranya.
Seorang Presiden juga harus berwawasan luas, terutama jika bersinggungan dengan topik ekonomi, politik, dan budaya. Kemampuan untuk bernegosiasi juga diperlukan agar perundingan berjalan dengan baik, sehingga tidak terjadi fenomena kebingungan pada nalarnya.
Seorang Presiden harus memiliki kepribadian yang unggul dan wibawa itu diperlukan karena pada diri seorang Presiden menempel atas nama negara, dituntut untuk bisa bekerja diatas tekanan. Sementara itu, fungsi diplomasi lainnya dapat dipelajari selama berproses.
Ketika Presiden kita melakukan kunjungan kerja ke negara lain sebagian masyarakat kita merasa was-was, karena kemampuan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya. Was-was akan terjadi kendala hanya mengandalkan penerjemah dan ketidak-mampuannya menangkap dan sekedar berdialog secara normal dengan mitra dialog dalam forum penting.
Nama, harga diri, citra dan wibawa negara melekat dalam penampilan seorang Presiden saat berada dalam forum percakapan dengan Presiden atau kepala negara dalam percaturan dunia.
Jangan sampai negara dipertaruhkan karena terjadinya kecelakaan, Presiden tidak paham situasi dan kondisi politik baik negara yang dikunjungi atau situasi politik global yang sedang terjadi dan menyelimuti masalah antar negara.
Apa tidak mengetahui Presiden AS Joe Biden, sedang menggalang blok untuk mengepung Presiden Rusia Vladimir Putin, tapi dia datang ke Biden ketika Indonesia berketetapan akan mengundang Putin pada pertemuan G.20.
Over confidence seolah-olah Biden akan bisa ditaklukkan dalam diplomasi acak-acakan hanya bermodal pengalaman bisa marah-marah di dalam negerinya kepada para pembantu menterinya.
Apa tidak mengetahui bahwa Singapura di-blacklist Russia, tapi dia mengekor Singapura untuk mencari perlindungan ke AS. Amerika dan sekutunya sedang sibuk luar biasa menggalang kekuatan melawan Rusia. Kepentingan Joe Biden dan PM Singapura Leen Hsien Loong dalam US-ASEAN Summit cuma mau melakukan diplomasi dan demonstrasi menekan Putin dan Presiden China Xi Jinping.
Apabila Presiden kita mengabaikan situasi politik global, sedang di kepala sang Presiden, hanya karena ingin menyelamatkan perekonomian Indonesia, dan mencari pinjaman berdalih menarik investasi, kalau ini yang terjadi maka terjadilah proses diplomasi yang kalang-kabut.
Sinyal tidak ada sambutan resmi dari pemerintah Amerika. Dikabarkan ketika Jokowi dan rombongan tiba di Pangkalan Militer Andrews, Washington D.C., Amerika, Selasa (10/5), sekitar pukul 21.40 waktu setempat atau pukul 08.40 WIB, Rabu, tidak ada penyambutan resmi dari pejabat Amerika. Ini sinyal harus melangkah dan bersikap hati-hati.
Itu sinyal politis, Amerika merasa tak berkepentingan dengan Indonesia atau lebih parah Indonesia hanya dianggap sebagai negara yang tidak diperlukan baik secara politik, ekonomi dan kekuatan yang layak diajak bicara apalagi untuk diajak masuk malam sekutu mereka.
“Seperti kambing lapar mencium rumput, dia sadar ada harimau bersembunyi di situ. Tapi dia berharap sang harimau berbaik hati”, ini fatal sekali. Presiden Indonesia datang ke Amerika dalam rangka menghadiri US-ASEAN Summit (KTT ASEAN – Amerika membahas perubahan iklim).
Kalau dalam fokus bukan perubahan iklim yang menjadi prioritas, “tetapi bagi Presiden Joko Widodo, ini langkah terakhir menyelamatkan krisis di dalam negerinya”. Dia datang ke Amerika pasti dengan kepala menunduk”.
Presiden Jokowi mungkin sekuat tenaga berusah saat ketemu Joe Biden akan menyelipkan agenda mohon bantuan (mungkin juga akan berhutang dengan dalih investasi). Kalau itu yang menjadi agenda dalam pikirannya, proses diplomasi akan kocar-kacir.
Presiden Jokowi harus siap mental, apabila negosiasi permintaannya akan ditolak atau minimal tidak direspon. Berbalik arah bisa jadi justru akan ditekan Biden yang bersikeras dan tegas minta Jokowi tidak mengundang Putin untuk hadir dalam G20 di Bali (batalkan mengundang Putin).
Juga, akan ditekan hentikan ketergantungan Indonesia kepada China. Harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang selama ini dan Islamophobia yang terus terjadi di Indonesia.
Kalau itu tidak dipahami dan tidak direspon positif oleh Presiden Jokowi bisa terjadi sinyal terburuk datang dari Joe Biden: Anda harus segera berhenti jadi Presiden secepatnya. Bisa jadi dalam lingkup convidential dibatasi waktunya, agar secepatnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden.
Akibat kekacauan dalam komunikasi, lemahnya kepekaan dan kemampuan berdiplomasi dalam pertemuan tingkat tinggi berhadapan dengan negara adidaya dan atau pada pertemuan di forum internasional, itu akan berakibat fatal.
Semoga semua itu tidak terjadi karena akibat diplomasi yang kalang-kabut, nama baik negara menjadi taruhannya. (*)