OPINI
Tragedi Ade Armando, dan Kerja Buzzer Setengah-setengah
Oleh Ady Amar - Kolumnis ENTAH malam sebelum peristiwa itu terjadi, Ade Armando sebenarnya mimpi apa. Kemarin, Senin (11 April) sore hari. Sekitar pukul 16.00. Peristiwa itu terjadi. Peristiwa dahsyat yang dialami dosen Ilmu Komunikasi, Fisip UI, dan pegiat media sosial. Dalam hitungan menit, peristiwa menghajar Ade Armando (selanjutnya disebut AA) menyebar ke pelosok bumi. Tidak saja scope Indonesia. Dunia saat ini terasa kecil, dan bisa ditempuh dalam hitungan menit bahkan detik, pesan yang disebar menyeruak kebelahan dunia. Maka, berita tidak selayaknya saat Aksi Demonstrasi Mahasiswa, yang diawaki BEM SI, itu menyita perhatian publik. Tidak saja para mahasiswa yang hadir di sana, tapi juga mereka yang simpati pada isu tuntutan mahasiswa. Maka, semua unsur dalam masyarakat hadir di sana. Tidak ketinggalan Emak-emak militan, yang pusing mengatur uang belanja, karena hampir semua kebutuhan primer naik mencekik. Maka, gerakan mahasiswa dengan isu yang digulirkan itu mendapat kesesuaian dengan apa yang dirasakan publik luas. Demonstrasi di mana pun yang melibatkan banyak orang, ribuan bahkan puluhan ribu, pastilah ada kelompok yang punya agenda lain dengan mencoba bermain di air keruh. Biasa disebut juga dengan penumpang gelap. Punya misi mengacaukan gerakan dari tujuan yang digagas semula. Agar dari gerakan simpati menjadi antipati. Orang menyebut ini kerja \"intelijen\". (Sengaja diberi tanda kutip pada kata intelijen, agar tidak bias makna seolah itu digerakkan lembaga intelijen resmi/BIN). Kerja \"intelijen\" dengan misi khusus itu mestinya tugas Kepolisian untuk membongkarnya, jika benar ingin mencari tahu aktor penggerak penganiayaan pada AA. Pada awal kejadian AA diperlakukan dengan brutal dan keluar dari norma kepatutan, itu bisa jadi mayoritas khususnya massa yang pernah tersakiti khususnya umat Islam, senang dengan perlakuan atasnya. Narasi yang muncul, misal rasain lho, sesuai dengan apa yang diperbuatnya, dibayar kontan sesuai dengan sumpahnya, Alhamdulillah... dan seterusnya. Sepertinya, semua merasa puas atas upaya penghakiman itu. Foto-foto dan bahkan video sadistis perlakuan terhadap AA menyebar ke ruang publik. Bahkan fotonya tertelungkup di aspal tanpa baju dan hanya menyisakan celana dalam warna hitam, itu tersebar luas. Wajah AA yang babak belur dengan wajah dan kepala mengucur darah, jalan tertatih-tatih dengan pengawalan polisi itu menyebar dengan angle pengambilan sudut gambar berbeda menyebar lewat WhatsApp khususnya. Semua merasa terpuaskan, lalu berlomba-lomba mengabarkan pada yang lain. Ada kepuasan massa atas tragedi itu. AA memang menyimpan bara kemarahan umat yang belum terselesaikan--yang muncul pada saat ia sebenarnya, sebagaimana pengakuannya--memonitor gerakan mahasiswa. Menurutnya, ia sepakat dengan tuntutan mahasiswa, utamanya menolak Jokowi 3 Periode atau penundaan pemilu. AA konsen pada demokratisasi, yang tidak boleh dicederai. Tapi AA lupa, bahwa di lapangan ia lebih dikenal sebagai buzzer penista agama, yang kebal hukum. Banyak kasus hukumnya yang dilaporkan, bahkan sejak 2017 ia tersangka pada satu kasus, dan sampai sekarang kasusnya mandek di Kepolisian. Sebagai buzzer ia punya semacam privilage untuk tidak disentuh. Sikap jumawa merasa kuat. Maka ia aktif memproduksi ujaran kebencian yang nyerempet penghinaan atas agama (Islam). AA lupa dan merasa kuat juga di alam nyata, bukan alam maya (medsos). AA tidak memahami psikologi massa, yang melihatnya sebagai penista agama. Munculnya ia di hadapan para demonstran heterogen, yang dengan kepentingannya masing-masing, memunculkan kejadian mengerikan bahkan sadistis itu. Lalu, yang jadi sasaran melakukan perbuatan menghakimi sendiri itu umat Islam. Gaung bahwa pelakunya itu kelompok intoleran, radikal, dan bahkan kadrun (julukan para buzzerRp pada kelompok yang aktif mengkritisi rezim). Tampak Denny Siregar, Abu Janda dan lainnya mengambil kesempatan menyudutkan kelompok Islam, yang disebutnya intoleran ada di belakang perlakuan menghajar AA dengan sadistis itu. Denny Siregar dan Abu Janda muncul dengan \"menantang-nantang\" massa yang disebutnya kaum intoleran/kadrun, yang cuma beraninya menghajar AA dengan cara beramai-ramai. BuzzerRp semacamnya itu memang cuma dibekali narasi menghantam pihak yang mengkritisi rezim, entah itu tokoh, pemimpin partai politik, pengamat politik, ulama. Pokoknya siapa saja yang mengkritisi rezim, muncul pembelaan mereka dengan narasi gonggongan tidak berkelas. AA tentu beda dengan buzzerRp yang tanpa nalar itu. AA masih punya daya kritis pada hal-hal tertentu, khususnya yang berkaitan dengan demokratisasi dan hak asasi manusia. AA masih bisa bersikap lempeng soal-soal itu. AA tidak bisa \"dijinakkan\" sejinak-jinaknya. AA menjadi tampak serba tanggung, yang bisa dihantam kiri-kanan pada waktunya. Dan, kejadian kemarin itu, pastilah bisa ditarik sebagai sebuah analisa, siapa sebenarnya yang bermain di situ. Bermain menggebuki AA sampai babak belur. Tentu paling mudah adalah menyudutkan kelompok yang dinarasikan buzzerRp sebagai kaum intoleran/radikal/kadrun. Padahal analisa lain bisa diambil, misal bahwa AA sudah dianggap melenceng dari khittah buzzer, yang harus terus menggonggong sambil membuang nalar ke tong sampah. Maka, menyudahi \"kontrak kerja\" dengan AA sudah waktunya diputus. Dan itu dengan dihajar babak belur sebagai sinyal pada yang lain agar tidak bermain-main dengan kerjanya. Semua analisa bisa dibuat atas peristiwa yang menimpa AA. Berharap AA tersadar dan mengambil ibrah dari kejadian yang menimpanya, bahwa jangan bermain-main dengan sesuatu yang beraroma keyakinan/keimanan. Apalagi dipakai bahan candaan. Bagus jika ia jadikan itu peringatan dari Tuhan untuk introspeksi diri. Dan satu lagi, sebaiknya bekerjalah pada tempat yang sesuai dengan nalar yang masih bisa dipakai dengan sempurna. Jangan setengah-setengah. Itu bisa mengakibatkan peristiwa tidak mengenakkan, sebagainana yang dialaminya... Wallahu a\'lam (*)
Ade Armando, Korban Kesewenangannya Sendiri
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik SEPINTAS lalu, Ade Armando terkesan menjadi korban kesewenangan massa. Dari kaca mata kesewenangan penguasa dan kesewenangan dosen UI itu, kesimpulan ini ada benarnya. Bahwa orang-orang yang mengeroyok dia sampai babak belur di tengah demo mahasiswa 11 April di komplek DPR, telah berlaku sewenang-wenang. Sekali lagi, ini seratus persen benar. Dan ini tidak boleh terjadi. Sangat setuju. Tapi, beginilah cara pandang yang sewenang-wenang di pihak yang terbiasa sewenang-wenang. Cara pandang ini disebut sewenang-wenang karena mengabaikan kronologi panjang yang melibatkan kesewenang-wenangan mulut Ade Armando. Ade bisa sewenang-wenang melakukan berkali-kali peninstaan agama dengan proses hukum yang sewenang-wenang. Padahal, untuk salah satu atau beberapa kasus, dia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, tidak berlanjut karena pihak yang berwenang bertindak sewenang-wenang. Jadi, peristiwa kemarin itu adalah kesewenangan massa yang menjadi episode penutup dari serial kesewenangan Ade Armando sendiri. Pusing! Tidak juga. Sederhana sekali masalahnya. Pertama, tidak ada alasan apa pun yang membenarkan perlakuan buruk terhadap Pak Dosen. Tapi, yang kedua, aduan tentang provokasi yang dia lakukan selama ini selalu bisa dibelokkan oleh semua lembaga penegak hukum di semua tingkatan. Ketiga, Ade selalu bisa lepas melenggang dengan jumawa sambil busung dada. Lagi-lagi kita kembali ke isu ketidakadilan. Yang telah menumpuk tinggi, bergunung-guung, di masa Presiden Jokowi ini. Sampai akhirnya rakyat megap di bawah tumpukan ketidakadilan itu. Kemarin, massa rakyat menemukan celah kecil untuk menghirup udara keadilan. Mereka pun berlomba-lomba menggapainya. Udara keadilan menjadi langka dan mahal bagi orang-orang yang berseberangan dengan penguasa negeri. Bisa dipahami kalau mereka berdesak-desakan ketika melihat ada udara keadilan yang bocor halus di Senayan. Sekadar melepas rindu mereka untuk mencium aroma keadilan itu. Para penguasa seharusnya bisa mengambil pelajaran dari ketidakadilan yang mereka jadikan kebijakan setengah resmi. Pelajarannya adalah bahwa peristiwa yang menimpa Ade Armando itu adalah “proses peradilan” atas ketidakadilan itu. Bahwa kemarin publik melakukan sidang kilat terhadap ketidakadilan yang selama ini merajalela di Indonesia. Kita tidak perlu bicarakan aspek-aspek sekunder dari pengeroyokan Ade. Misalnya, ada yang berteori bahwa peristiwa kemarin itu adalah desain untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu besar yang sedang dipersoalkan oleh massa pendemo. Bisa jadi benar. Tapi saya yakin tidak benar. Kalau pun benar, itu bukan kepingan penting dari kekacauan pengelolaan negara Ketidakadilan adalah sumber kekacauan yang melanda bangsa dan negara. Ade Armando ada di pusaran itu. Kesewenangan yang dia nikmati mungkin tidak sebesar yang ditumpuk oleh para bandit politik dan bandit bisnis yang menguasai Indonesia. Tetapi, celakanya, kilauan kesewenangan Ade Armando itu sangat mencarang, membuat banyak orang marah bercampur iri. Pantas ditambahkan di sini ucapan Ade dari tempat tidur perawatannya di rumah sakit bahwa dia tidak takut. Bahwa dia akan makin gila lagi setelah ini. Yang bisa diartikan dia akan semakin sewenang-wenang lagi.[] MEDAN, 12 April 2022
Ketika “Street Justice” Menimpa Ade Armando
Kalau hanya sekedar “memantau” demontrasi mahasiswa, mengapa dia justru menampakkan diri di depan umum, bahkan secara atraktif terkesan gembira saat diwawancarai wartawan? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN ENTAH siapa yang menugaskan dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando untuk memantau unjuk rasa mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/4/2022). Kehadiran Ade berbarengan dengan para mahasiswa dari BEM SI yang ingin demonstrasi menolak presiden tiga periode. Ade juga sepakat dengan salah satu tuntutan BEM SI yakni menolak perpanjangan masa jabatan Presiden. “Kalau gugatannya agar tidak diperpanjang, agar dihentikan wacana tiga periode, saya juga setuju,” kata Ade yang dikenal di media sosial sebagai pendukung Presiden Joko Widodo ini di lokasi, Senin (11/4/2022). Ade mengaku tak ikut demonstrasi. Hanya sekadar memantau. “Saya tidak ikut demo, cuma sepakat saja,” ungkap Ade yang mengenakan kaos hitam bertuliskan “Pergerakan Indonesia untuk Semua” ini. Namun, kehadiran Ade ini justru “memicu” kemarahan Emak-emak yang juga ikut unjuk rasa mahasiswa. Dalam video yang beredar, Ade langsung diumpat dengan ucapan buzzer, munafik, pengkhianat, dan sadar kamu, sehingga ia tampak marah. Rupanya, kemarahan Ade karena diumpat emak-emak itu telah memancing massa yang ada di sekitarnya. Bogem mentah pun melayang di tubuh Ade. Melihat ada yang mukulin Ade, massa yang lain ikut memukulinya. Wajah Ade tampak babak belur. Ade kemudian ditolong dan dipapah 2 polisi dalam keadaan tanpa celana (panjang). Salah satu petugas yang memapahnya adalah Wakapolres Metro Jakarta Pusat AKBP Setyo. Rupanya ketika dipukuli oleh massa itu, celana Ade diplorotin hingga hanya tampak celana dalamnya saja. Tak hanya itu. Hidung Ade juga mengeluarkan darah dan matanya bonyok. Menurut penilaian Managing Director Political Economy & Policy Studies Anthony, pengeroyokan yang dialami Ade Armando saat aksi unjuk rasa BEM SI di depan Gedung DPR itu merupakan dampak dari sistem hukum yang tak adil di Indonesia. Sehingga, ketidakadilan itu memicu pengadilan jalanan. “Ade Armando korban sistem hukum yang tidak adil, dari pemeriksaan hingga pengadilan. Sebagian masyarakat tidak tersentuh hukum, yang lainnya dicari-cari untuk dihukum: memicu pengadilan jalanan. Semoga jadi pelajaran, tegakkan hukum sesuai hukum berlaku,” tulis Anthony melalui akun Twitternya, @AnthonyBudiawan, Senin (11/4/2022). Perlu dicatat, Ade telah berkali-kali dilaporkan ke polisi karena kasus penistaan agama dan ujaran kebencian. Bahkan pada 2017 Ade telah ditetapkan sebagai tersangka karena mengatakan \'Allah bukan orang Arab\', tetapi hingga kini ia tetap tak tersentuh hukum. Di sisi lain, hanya karena menyelenggarakan resepsi pernikahan anaknya, Habib Rizieq Shihab (HRS) dan panitia pernikahan tersebut, dipenjarakan. Bahkan Ustadz Maaher At-Thuwailibi yang dilaporkan karena menghina Habib Luthfi, meninggal dunia di Rutan Bareskrim Polri pada Februari 2021. HRS kemudian divonis 4 tahun karena menyatakan dirinya baik-baik saja sebelum hasil swab test yang dilakukan oleh Mer-C saat HRS dirawat di RS Ummi Kota Bogor pada November 2020, belum keluar. Selain itu, seperti halnya Denny Siregar dan Permadi Arya (Abu Janda), Ade Armando memang kerap membuat kubu oposisi, khususnya umat Islam, marah dengan pernyataan-pernyataannya di media sosial. Seperti Ade, meski sering dilaporkan, Denny dan Abu Janda, nyaris tak tersentuh hukum. Memang sangat tidak aman bagi Ade berada di tempat terbuka, apalagi berada di tengah massa yang berseberangan dengan pemerintah yang dibela dan didukungnya itu. Jika aparat penegak hukum tetap tidak berlaku adil di tengah masyarakat, bukan tidak mungkin Denny dan Abu Janda suatu saat juga akan mengalami nasib serupa dengan Ade Armando: Street Justice alias “Pengadilan Jalanan”. Apalagi, dari pengakuan Denny Siregar di FB-nya, ternyata dia berhasil “menyusup” di tengah-tengah peserta unjuk rasa mahasiswa BEM SI pada Senin (11/4/2022). Dengan bangganya Denny memamerkan foto sebelum dan sesudah aksi. Pengeroyokan terhadap Ade Armando itu terjadi setelah massa mahasiswa membubarkan diri di depan Gedung DPR. Beberapa saat setelah peristiwa tersebut, tersebar foto empat orang yang diduga sebagai pelakunya berikut identitasnya. Tapi, tidak sampai sejam, soal dugaan keterlibatan satu diantaranya, Try Setia Budi Purwanto, Jl. Inpres RT 002/RW 001, Kelurahan Lembasung, Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Waykanan, Lampung, telah dibantah Michael Azriel Ibrahim selaku Kepala Kampung Lembasung. Bahwa, tentang keterlibatannya adalah tidak benar. “Karena beliau sampai saat ini masih berada di kampung Lembasung bersama keluarganya. Semoga dapat menjadi perhatian kita semua soal berita-berita yang sudah viral yang tidak benar beritanya,” tegasnya melalui akun FB-nya. Terlepas dari apakah mereka benar-benar terlibat, semua ini sepertinya sudah direncanakan, sehingga menjadi bola liar untuk diarahkan bahwa unjuk rasa mahasiswa 11 April 2022 tersebut tercoreng. Karena telah disusupi kelompok radikal dan intoleran. Entah siapa yang “bermain”. Apakah Ade Armando memang sengaja dipasang dan dihadirkan di tengah-tengah massa karena wajahnya mudah dikenalinya. Artinya, bisa saja Ade berperan sebagai “provokator” untuk memancing massa sehingga marah atas kehadirannya? Sementara jauh sebelumnya sudah “dipersiapkan” beberapa orang yang akan bertindak sebagai “eksekutor” Ade Armando hanya untuk memancing supaya massa lainnya ikut memukulinya? Target: “tidak boleh” ada lagi demonstrasi di wilayah DKI Jakarta karena dikhawatirkan anarkis. Kalau hanya sekedar “memantau” demontrasi mahasiswa, mengapa dia justru menampakkan diri di depan umum, bahkan secara atraktif terkesan gembira saat diwawancarai wartawan? Mengapa Ade Armando tidak meniru Denny Siregar yang dengan bangganya berhasil “menyusup” di tengah-tengah massa? Lebih menarik lagi, ketika dijenguk Wakil Ketua Umum PSI), Grace Natalie, di rumah sakit, Ade Armando bukannya jera. Ini terlihat dari akun Grace yang dibagikan melalui unggahan akun Instagram pribadinya, @gracenet. Melalui caption di unggahan tersebut, Grace menyebutkan terindikasi pelaku bukan kalangan mahasiswa. Menurutnya, pengroyokan terhadap Ade terjadi setelah aksi membubarkan diri. “Kebanyakan mahasiswa mulai berangsur pulang. Kalau melihat video dan bahasa yang mereka pakai, para pelaku adalah kelompok penyusup, orang-orang cacat logika yang sering dikritisi Bang Ade selama ini,” katanya dalam unggahan tersebut, Senin (11/4/2022). Seperti dilansir Okezone, Grace Natali menyebutkan, dengan tragedi ini tidak membuat rekannya itu takut. Tapi sebaliknya, dengan apa yang ia alami akan membuatnya semakin berani. “Tadi dia bilang dengan suara tidak gentar sedikitpun: jangan kalian pikir saya akan takut dan diam. Saya justru akan semakin gila setelah ini,” tulis Grace menirukan apa yang diucapkan Ade. Benarkah Ade Armando bakal “semakin gila” seperti kata Grace Natali ketika menjenguk tokoh yang dinilai “kebal hukum” ini? (*)
Menelanjangi Ade Armando
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DUA berita penting aksi mahasiswa BEM SI di depan Gedung DPR 11 April 2022 sore adalah kericuhan aksi dan pemukulan pegiat medsos Dosen UI Ade Armando. Ade babak belur dan ditelanjangi dengan menyisakan celana dalam. Itupun melorot. Berita Ade Armando lebih menawan dan menyita perhatian. Ade yang dikenal sebagai buzzer dan pembela Jokowi membuat kejutan dengan tiba-tiba hadir untuk mendukung tuntutan mahasiswa. Entah siapa pemukul pertama yang membuat Ade seberantakan itu, spontanitas atau disain ? Apalagi ada teriakan buzzer, munafik, dan tudingan lain kepadanya. Muncul dirinya di arena tentu menjadi pertanyaan. Mendukung tuntutan mahasiswa berarti melawan kemauan Istana. Di balik misteri, ada secercah keceriaan dari kalangan umat Islam yang merasa sering disakiti oleh Ade Armando. Rasain, lu. Sungguh luar biasa penganiayaan sekejap yang membuat sang Dosen ini nyaris telanjang. Minta ampun dan menangis dia. Rupanya takut mati juga, apalagi dikeroyok. Aksi 11 April ini menegangkan. Diawali oleh orasi di mobil komando Kapolri Listyo Sigit dan Pimpinan DPR. Sebelumnya ditandai adanya pertemuan Panglima TNI dengan Ketua DPD. Kelompok misterius baik \"komunitas hitam\", anak-anak \"sekolah\" maupun \"pemulung\" sudah tersebar di berbagai tempat. Video Ade Armando yang tergeletak nyaris telanjang cukup untuk mengingatkan pada kaum sodomi Pompeii korban letusan gunung Vesuvius. Ade sendiri menganggap LGBT tidak menjadi perbuatan terlarang dalam agama. Qur\'an tidak melarang, katanya. Hampir saja massa mengaraknya jika tidak dicegah dan dilindungi aparat kepolisian. Ade Armando sang jagoan yang selalu tampil angkuh itu kini berwajah payah, memelas, dan terengah-engah. Mahasiswa telah menciptakan neraka baginya. Orang mulai menelanjangi rekam jejak Ade yang menghina habis HRS soal chat mesum hingga sempat \"bermubahalah\" untuk ini. Mengedit HRS dan barisan ulama berpakaian Santai Claus. Qur\'an bisa dibaca dengan langgam atau gaya minang, blues, dan hip hop. Menyatakan haji tidak wajib dan umroh pemborosan. Shalat lima waktu tak ada dalam Qur\'an, Hadits tidak persis sama yang dijalankan Nabi. Biasa menyakiti umat Islam, kini Ade Armando merasakan sakit dan dibuat bonyok oleh entah siapapun yang melakukan itu. Ade terpaksa harus mempertontonkan fakta untuk minta ampun dengan termewek-mewek. Foto nyaris bugilnya viral, memilukan, dan memalukan. Catatan manis seumur hidup dari seorang penghina agama yang merasa kebal hukum dan dimanja kekuasaan. Allah telah menelanjangi Ade Armando dan kini ia menderita lahir batin. Netizen bertanya tajam kapan hal ini terjadi pada dua tokoh kebal hukum lainnya yaitu Denny Siregar dan Abu Janda ? Keduanya juga dikenal sebagai musuh umat yang selalu tercatat dan terekam dalam memori kemarin, hari ini dan esok. -Jika Allah membenci seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman \"Sesungguhnya Aku membenci si fulan, maka bencilah dia\" Jibril pun membencinya. Rosullah bersabda \"Lalu Jibril menyeru penduduk langit \'sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia\'. Penduduk langit membenci si fulan, kemudian dia pun dibenci oleh penduduk bumi--(HR Bukhari dan Muslim). Bandung, 12 April 2022
Menyikapi Demo 1104
Oleh karena itu, unjuk rasa mahasiswa sebaiknya tetap dihormati sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan kepedulian pemuda terhadap problem pokok bangsa. Perlawanan mereka adalah jihad konstitusi. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD MPR RI ADA yang berubah dari substansi narasi Presiden Joko Widodo. Sebulan lalu, Presiden bilang siapapun boleh-boleh saja memunculkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Tapi, sebulan kemudian, Jokowi menegaskan penyelenggaraan pemilu tetap dilaksanakan sesuai agenda agar tidak ada lagi isu dan spekulasi soal penundaan pemilu atau presiden tiga periode. Penegasan itu disampaikan dalam Rapat Terbatas di Istana Negara, sehari sebelum demo besar BEM SI. Mengapa Jokowi berubah? Kalau melihat momentumnya, boleh jadi karena eskalasi gerakan mahasiswa. Sebelum demo besar 11 April 2022, berbagai demonstrasi pendahuluan telah marak terjadi di daerah. Di Jambi, kunjungan kerja presiden yang disambut demo mahasiswa bahkan membuat orang nomor satu di tanah air itu dikabarkan mengambil langkah seribu. Perubahan sikap Jokowi terkait penundaan Pemilu tidak merubah rencana mahasiswa. Lagi pula, demo kali ini tidak cuma terkait penundaan pemilu semata. Banyak aspirasi lain yang harus disampaikan, sehingga unjuk rasa pada 11 April 2022 tetap dilakukan. Alhasil, jalan-jalan kembali menjadi podium, mobil komando kembali menjadi panggung penyampai aspirasi. Lautan manusia membanjiri depan Gedung Parlemen. Jakarta dan sejumlah kota besar lain gegap gempita, tetapi media sepi meliput. Minimnya pemberitaan media tak membuat bara api semangat mahasiswa meredup. Media sosial menjadi sarana alternatif penyampai informasi. Sayangnya, aksi demo diwarnai insiden pengeroyokan terhadap Dosen UI Ade Armando. Peristiwa tersebut jelas melawan hukum. Namun, sebagai bahan renungan, tidak juga keliru bila melihatnya sebagai warning kian menajamnya polarisasi. Ketidakadilan jangan-jangan telah membuat luka hati masyarakat mengendap seperti magma di perut bumi. Ketika endapannya semakin besar, magma terdorong kuat dan akhirnya menyembur melalui gunung api begitu menemukan momentum. Kita menyerahkan penyelesaian pengeroyokan Ade Armando kepada aparat kepolisian. Sang pengeroyok tentu harus diusut tuntas. Di saat bersamaan pula, status tersangka Ade Armando sejak 2017 melalui putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus pula diselesaikan hingga berkekuatan hukum tetap, agar rakyat merasakan keadilan. Di luar persoalan itu, demonstrasi mahasiswa adalah refleksi dari proses demokrasi sekaligus ekspresi kebebasan berpendapat atau menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang dipandang. Terlebih lagi, undang-undang menjamin kebebasan berpendapat di muka umum dan demokrasi memang menginginkan partisipasi masyarakat mengawal jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, unjuk rasa mahasiswa sebaiknya tetap dihormati sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan kepedulian pemuda terhadap problem pokok bangsa. Perlawanan mereka adalah jihad konstitusi. Mahasiswa menolak penundaan pemilu, sebab penundaan Pemilu adalah itikad buruk yang mengangkangi konstitusi. Mahasiswa meminta stabilitas harga pangan, sebab kebutuhan pokok yang terjangkau merupakan hak rakyat sekaligus kewajiban negara. Mahasiswa juga meminta evaluasi UU IKN, sebab UU IKN dipandang banyak menimbulkan masalah, di samping sangat minim partisipasi publik, dan memang belum layak di tengah berbagai problem ekonomi bangsa. Pun dengan tuntutan lainnya: usut tuntas mafia minyak goreng, selesaikan konflik agraria, dan realisasi janji kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin adalah hal lumrah yang layak ditagih. Maka, negeri ini harus bangga masih memiliki kaum intelektual muda yang senafas dengan rakyat, yang merasakan dan memperjuangkan persoalan mereka. Itulah sejatinya jati diri mahasiswa, yang tidak akan diam melihat pembungkaman, ketidakadilan, atau penghilangan hak-hak rakyat. Gerakan mahasiswa adalah reaksi atas aksi-aksi kegagalan pemerintah dalam melakukan tugasnya. Kegagalan tersebut memuncak pada rapuhnya ekonomi bangsa yang, sayangnya, diiringi belitan hutang negara yang menembus angka Rp 7.000 triliun. Sayangnya, berbagai kebijakan yang ditempuh itu justru semakin membuat bangsa terpuruk lebih dalam. Apa urgensinya IKN di tengah problem ekonomi kita? Mengapa harus ada pembelahan di sana-sini? BEM SI diadu dengan BEM Nusantara yang terkesan sebagai bentukan pemerintah. APDESI diadu dengan APDESI “baru” yang palsu karena tidak terdaftar di Kemenkumhan. Semakin bangsa ini terbelah, semakin lemah NKRI, walau semakin keras dielukan sebagai harga mati. Kini, pascademo, apa yang harus dilakukan? Tidak lain dan tidak bukan, pemerintah harus introspeksi diri, segera melakukan perubahan kebijakan yang signifikan, dan memenuhi tuntutan mahasiswa. Bila tidak, maka tidak menutup kemungkinan aksi-aksi mahasiswa berikutnya terus terjadi dan justru berpotensi memicu gerakan-gerakan dari elemen masyarakat lainnya. Sejarah menuliskan, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia. Soeharto yang berkuasa 32 tahun saja harus tumbang. Kita tidak ingin itu terjadi pada Pemerintahan Joko Widodo. Maka, Presiden Jokowi harus pula belajar dari sejarah itu. (*)
Peringatan Terakhir Makar Terhadap Konstitusi
Arus Gerakan mahasiswa yang hari ini menjadi harapan, bisa jadi benih terhadap repetisi sejarah pembaruan di negeri ini jika telinga dan mata kekuasaan tidak mau mendengar dan menyaksikan betapa sulitnya kehidupan rakyat di bawah. Betapa kemarahan rakyat telah menggumpal. Terakumulasi oleh kebijakan yang tak berpihak. Oleh Tamsil Linrung - Ketua Kelompok DPD di MPR RI ESKALASI demonstrasi menyergap dari berbagai penjuru negeri. Gairah pergerakan kembali bersemi. Gelombang protes mahasiswa menggema. Tampak ada orkestrasi yang terkonsolidasi. Dipicu oleh kegelisahan nurani. Lalu menjadi komando perlawanan dengan fokus isu dan tuntutan yang menjadi problem mendasar dan aktual bangsa ini. Menyelamatkan demokrasi. Kebanggaan sebagai salah satu bangsa paling demokratis memang perlahan sirna. Indeks Kebebasan Sipil sebagai salah satu indikator penting negara demokratis yang dilansir oleh Bank Dunia, tercatat merosot secara tajam. Bahkan, kini berada di bawah rata-rata dunia. Skor Civil Liberties Indonesia melorot dari angka 0,66 tahun 2015 menjadi 0,59 pada tahun 2020. Lima komponen penting dari kebebasan sipil ini adalah kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan beragama, kebebasan aktivisme, dan jaminan keamanan pribadi, yang masing-masing mencerminkan konsep inti dalam literatur hak asasi manusia. Pada tahun 2020, secara umum indeks demokrasi Indonesia bahkan mencatatkan angka terendah sejak Indeks Demokrasi diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU). Problem demokrasi tidak sebatas isu-isu politik dan kebijakan publik. Tapi juga mencakup demokrasi ekonomi yang merupakan dampak turunan dari acakadut perpolitikan di negeri ini. Problem ketimpangan, pengangguran, dan ketidakadilan terhadap akses-akses ekonomi sudah menjadi perbincangan yang populer di negeri ini. Namun, kebijakan publik yang dilansir oleh pemerintah tidak pernah bisa menyelesaikan masalah itu. Sebaliknya, bahkan melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan. APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) sebagai manifestasi kedaulatan rakyat yang dilembagakan untuk redistribusi, gagal menjadi indikator pemersatu bangsa. Nilai jumbo anggaran negara, tidak banyak yang betul-betul sampai kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan, akumulasi utang yang semakin mencemaskan, tidak bisa menyelesaikan malapraktik pengelolaan anggaran negara. Gairah gerakan mahasiswa yang kembali bangkit setelah lama dinanti, tentu saja layak kita harapkan mengoreksi arah bangsa yang melenceng. Meski upaya ini akan menghadapi ujian. Apalagi pergerakan mahasiswa sempat dianggap mati suri. Lantaran banyak isu penting yang dilewatkan tanpa perlawanan berarti. Belakangan terjadi degradasi gerakan. Ditandai oleh elit organisasi mahasiswa sowan ke Istana Negara. Ritual yang pantang dilakukan oleh gerakan moral. Sebagai moral force, mahasiswa dituntut berada di barisan gerakan yang memilih tetap berdiri di atas aspirasi murni dari rakyat. Kini, almamater perjuangan dikenakan. Agen perubahan turun ke jalan. Menggelar mimbar-mimbar demokrasi. Lantang berorasi. Menyuarakan aspirasi. Menyoroti ancaman terhadap mandat reformasi. Melawan ambisi penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden yang menghianati konstitusi. Gugatan dari seantero penjuru negeri menjadi peringatan terakhir sebelum mandat reformasi dan cita-cita demokrasi dimakamkan di pelataran pusara kekuasaan. Peringatan ini mungkin tidak datang dua kali. Karena wacana penundaan pemilu dan penambahan jabatan presiden adalah makar terhadap konstitusi. UUD NRI 1945 hanya mengenal lima tahun masa jabatan presiden. Dibatasi dua periode. Dimotori oleh mahasiswa, rakyat akan bergerak jika agenda penghianatan itu berlanjut. Meski ada upaya cooling down yang diisyaratkan dengan pengumuman jadwal pemilu maupun rencana pelantikan Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) oleh presiden, namun wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden tidak bisa dianggap selesai. Ancaman terhadap demokrasi ini bukan angin lalu. Jika dibiarkan, akan terus terulang dengan pendekatan dan strategi baru. Patut pula dicatat, agenda itu dilontarkan langsung oleh orang yang dianggap paling dekat dengan Presiden Jokowi di kabinet. Diucapkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan. Menteri yang karena kedekatannya dengan Jokowi, bahkan didapuk merangkap 14 jabatan. Tak sampai di situ, penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden, juga disahuti secara serius dan berulang oleh beberapa menteri dan Ketua Umum Partai Politik kolisi pemerintah. Wacana ini datang dari orang-orang dekat presiden. Mencuat dari istana. Bukan basa-basi obrolan warung kopi. Nalar kita sulit menerima untuk tidak mengatakan bahwa agenda penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden dipersiapkan secara serius. Terorganisir dengan rapi. Sejumlah indikasi terbaca oleh publik. Termasuk peristiwa yang amat disayangkan ketika acara pertemuan nasional perangkat desa jadi ajang mengamplifikasi wacana tersebut. Namun kini, kita bisa sedikit punya harapan. Masih ada nurani yang siuman. Paling tidak, hal itu diperlihatkan dari gelombang demonstarsi mahasiswa yang meminta presiden bersikap tegas terhadap wacana yang dilontarkan para menterinya. Bukan sebatas menyudahi wacana penundaan pemilu, tetapi juga bertindak konkret atas kegaduhan yang ditimbulkan tersebut. Memang, muruah pemerintah kadung jatuh. Kredibilitas pernyataan yang disampaikan secara lisan, bahkan yang didengungkan di depan rekaman dan jepretan media, kini tak lagi mudah ditelan mentah-mentah. Sudah amat sering publik terkecoh oleh sesuatu yang tidak berkesesuaian antara kata dan perbuatan. Bahkan muncul lelucon bahwa pernyataan itu “harus dibaca terbalik”. Arus Gerakan mahasiswa yang hari ini menjadi harapan, bisa jadi benih terhadap repetisi sejarah pembaruan di negeri ini jika telinga dan mata kekuasaan tidak mau mendengar dan menyaksikan betapa sulitnya kehidupan rakyat di bawah. Betapa kemarahan rakyat telah menggumpal. Terakumulasi oleh kebijakan yang tak berpihak. Bahkan urusan teknis pun tidak pernah bisa tuntas. Dari problem banjir produk impor yang memukul UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikri) lokal, hingga minyak goreng langka dan mahal. Pemerintah bahkan mengakui tak berdaya di hadapan mafia. Demikian pula harga BBM yang melambung dengan alasan relaksasi fiskal mengatasi pembengkakan subsidi. Ditimpali dengan pungutan pajak berbasis konsumsi dikerek dalam situasi daya beli yang terengah-engah. Situasi kebatinan serba sulit yang tengah dihadapi, membuat rasa sabar rakyat semakin menipis. Diperparah oleh perbincangan elit yang hanya berkutat pada soal jabatan. (*)
Dukungan untuk Aksi Mahasiswa
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM waktu kurang satu bulan mahasiswa telah melakukan aksi tiga kali 28 Maret, 1April, dan hari ini 11 April. Mengarah ke Istana dengan isu utama perpanjangan masa jabatan Presiden. Masyarakat menyambut gembira akan geliat mahasiswa ini. Ada kerinduan dan harapan. Media sosial dipenuhi berita dan percakapan atas agenda aksi mahasiswa. Mulai ajakan aksi kepada seluruh mahasiswa, BEM yang didekati hingga pertemuan Panglima TNI Andika dengan Ketua DPD Lanyalla soal rencana aksi 11 April 2022. Menghindari tindakan represif. BEM Seluruh Indonesia akan mengajukan 6 tuntutan yaitu penolakan perpanjangan masa jabatan Presiden, evaluasi UU IKN, stabilitas harga, usut mafia minyak goreng, menyelesaikan konflik agraria serta penuntasan janji-janji kampanye Jokowi. Enam tuntutan ini menurut BEM SI akan menjadi panduan gerakan. Ada gairah dan harapan rakyat atas gerakan mahasiswa yang berkelanjutan. Secara psiko-politis membangun semangat baru untuk \"turun\" mendukung tuntutan para mahasiswa tersebut. Mungkin buruh melakukan aksi sendiri atau bersama-sama, demikian juga dengan PA 212 yang membawa komunitas umat. Cukup banyak persoalan keumatan akibat kezaliman rezim. Rakyat di sekitar akan mendukung dengan segenap kemampuannya. Jika gerakan yang melibatkan masyarakat menjadi masif maka terjadilah \"people power\". Jokowi tentu akan kerepotan menghadapinya. Represivitas tinggi, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa, justru boomerang bagi rezim sendiri dan mempercepat keruntuhan. Mahasiswa masih melakukan aksi dengan membatasi tuntutan pada penggagalan perpanjangan masa jabatan Presiden. Tentu harapannya Jokowi menyerah. Jika maju terus atau ambigu, maka waktu akan menghukum dan keterlambatan sulit untuk dimaafkan. Bola telah bergulir menuju gawang. Aksi jalan terus, pasukan juga didatangkan untuk \"menghadang\". Aksi mahasiswa di bulan ramadhan saat mahasiswa melaksanakan puasa tentu cukup unik dan heroik. Ibrah nubuwwah menjadi rujukan. Puasa itu tidak menghalangi perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Mahasiswa tengah mengibarkan panji-panji untuk melawan arogansi kekuasaan. Menyanyi menyindir Jokowi : Potong bebek angsa, masak di kuali Gagal ngurus bangsa, minta tiga kali Bohong ke sana, Bohong ke sini Lalalalalala...lala Selamat menikmati bapak yang ingin tiga periode.. Lalala lalala.. lala Bandung, 11 April 2022
Akhirnya, Sebagian Tuntutan Mahasiswa Dipenuhi Presiden: Percaya?
Jika menyimak tuntutan janji-janji kampanye di atas, itu berarti mahasiswa masih memberi kesempatan Jokowi untuk menuntaskan jabatannya hingga berakhir pada 2024. Persoalannya, masih percayakah? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN SETIDAKNYA ada dua peristiwa menarik pada Jum’at dan Sabtu (8 dan9 April 2022) akhir pekan lalu. Kemunculan Jenderal TNI Purn Wiranto, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang bertemu BEM Nusantara. Pertemuan Wiranto di depan publik untuk yang pertama kalinya dengan BEM Nusantara ini dituding sebagai upaya penggembosan terhadap rencana aksi unjuk rasa BEM Seluruh Indonesia, Senin (11 April 2022) pekan ini. Yang menarik, dalam kesempatan jumpa persnya, Wiranto sempat menyentil soal klaim Big Data masyarakat yang ingin Pemilu 2024 ditunda yang pernah disampaikan Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan. Wiranto meminta apabila memang benar ada big data itu untuk diperlihatkan kepadanya. “Ya, sudah ndak mungkin. Kalau ada datanya sini kasihkan saya, saya bisa jawab,” kata Wiranto di kantor Wantimpres, Jumat (8/4/2022). Kalau memang big data itu hanya sekedar ucapan, maka Wiranto menganggap isu penundaan pemilu tersebut hanya menjadi pembahasan yang tidak akan kunjung selesai. Apalagi ia lebih memilih untuk berpikir secara rasional terkait isu penundaan pemilu tersebut. “Satu debatable yang tidak akan (pernah) selesai. Ya, kita bicara rasionalitas,” ujarnya. Pada kesempatan yang sama, Wiranto juga menegaskan kalau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode itu harus melewati proses yang tidak mudah. Menurutnya, untuk mengabulkan perpanjangan masa jabatan presiden itu butuh jalan yang panjang dan berat karena menyangkut amandemen UUD 1945. Dari sisi masyarakatnya harus sepakat terlebih dahulu, kemudian MPR RI juga harus menyetujui adanya perubahan UUD 1945. MPR sendiri merupakan gabungan DPR RI dan DPD RI yang tergabung dalam 9 parpol, lanjut Wiranto, sehingga perjalanannya tidak akan semudah yang dibayangkan. “DPR sendiri dari 9 parpol hanya 3 parpol yang setuju mengubah itu, 6 parpol tidak setuju. Dibawa ke MPR, ditambah DPD, DPD tidak setuju. Jadi, mana mungkin terjadi perubahan amandemen UUD 1945 mengenai jabatan presiden 3 periode?” tegasnya. Kemunculan Wiranto bersama BEM Nusantara ini seolah memberi penegasan bahwa Presiden Joko Widodo tidak sepakat dengan manuver isu perpanjangan masa jabatan maupun penundaan pemilu 2024. Di sini Wiranto sudah menjadi “juru bicara” dan kepanjangan tangan Presiden Jokowi, karena Jokowi sendiri tidak pernah secara tegas menolak usulan tiga parpol (PKB, PAN, dan Golkar) tersebut. Sebagai Ketua Wantimpres, seharusnya Wiranto memberikan masukan pada Presiden Jokowi sebelum persoalan perpanjangan jabatan dan penundaan itu menjadi isu liar yang semakin berkembang di masyarakat. Itulah peristiwa menarik pertama yang menyita perhatian publik. Manuver perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu menjadi “bola liar” di kalangan elit politik dan pemerintah. Bahkan Luhut pernah mengklaim ada 110 juta big data di media sosial yang setuju terkait wacana penundaan Pemilu 2024. Ia mengatakan bahwa ratusan juta orang itu menginginkan Jokowi memperpanjang masa jabatannya. Peristiwa menarik kedua adalah kunjungan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa ke Rumah Dinas Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti untuk membahas dinamika yang terjadi belakangan ini, Sabtu (9/4/2022). Terutama aksi-aksi mahasiswa di beberapa kota, termasuk rencana aksi besar BEM SI yang akan digelar pada Senin, 11 April 2022. Jenderal Andika menyatakan dukungan terhadap pernyataan Ketua DPD agar aparat keamanan tidak represif dalam menghadapi aksi mahasiswa. “Kami berterima kasih sudah diingatkan oleh Ketua DPD RI. Memang pasukan kami sudah di-BKO ke Polda dan Polres untuk antisipasi aksi. Tetapi kami tegaskan bahwa TNI dan seluruh jajaran tetap disiplin, sesuai tugas pokok dan fungsi serta kewenangannya,” katanya. Melansir FNN.co.id, Sabtu (09 April 2022 18:57:17), menurut Jenderal Andika, demonstrasi itu merupakan hak politik yakni hak berpendapat yang dijamin konstitusi dan dilindungi Undang-undang. Namun jangan sampai merusak fasilitas umum dan infrastruktur yang ada, karena yang rugi kita semua. Suara rakyat pasti didengar oleh pemerintah. “Termasuk suara dari Pak Ketua DPD yang merupakan tokoh di negeri ini,” ujarnya. Sebelumnya, LaNyalla Mahmud Mattalitti sudah menjelaskan bahwa aspirasi mahasiswa merupakan arus yang tidak bisa dibendung. Enam tuntutan yang disampaikan mahasiswa adalah suara rakyat kebanyakan. “Adik-adik mahasiswa ini sebagai saluran dari suara rakyat. Itu harus dihargai dan diterima dengan baik,” ujarnya. Karena itu, ia mengingatkan pada aparat keamanan agar kebebasan berpendapat itu harus difasilitasi dengan baik. “Saya sudah telepon langsung Kapolri (Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo), saya minta agar kepolisian, jangan represif terhadap aksi demonstrasi penyampaian pendapat dan sikap,” tegas Senator asal Jawa Timur itu. Terkait suara-suara yang minta agar Jokowi mundur, LaNyalla dan lembaga DPD RI sudah menyampaikan komitmennya, akan mengawal pemerintahan Presiden Jokowi hingga 2024. “Saya dan anggota DPD RI mengawal pemerintahan ini hingga akhir masa jabatan, tahun 2024. Kita taat terhadap konstitusi. Jadi jangan tanyakan komitmen kami soal konstitusi,” paparnya. Ditambahkan LaNyalla, dia juga menyampaikan ke para mahasiswa melalui siaran persnya, bahwa terkait tuntutan tentang janji kampanye yang belum ditepati, harus kita beri kesempatan sampai 2024. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan aparat penegak hukum tidak boleh ada kekerasan saat menjaga dan mengawal aksi unjuk rasa mahasiswa.Mahfud menyampaikan pesan itu salah satunya kepada Wakil Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Irjen Pol Merdisyam yang mewakili Kapolri saat Rapat Koordinasi Terbatas di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Sabtu.“Dalam menghadapi rencana unjuk rasa itu, pemerintah sudah melakukan koordinasi dengan aparat keamanan dan penegak hukum, agar melakukan pelayanan dan pengamanan sebaik-baiknya, tidak boleh ada kekerasan, tidak membawa peluru tajam, juga jangan sampai terpancing provokasi,” katanya. Dari enam tuntutan yang disampaikan mahasiswa, satu diantaranya seperti yang disampaikan LaNyalla. Yakni, mahasiswa menuntut Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin supaya menuntaskan janji-janji kampanye sebelum masa jabatannya berakhir pada 2024. Jika menyimak tuntutan janji-janji kampanye di atas, itu berarti mahasiswa masih memberi kesempatan Jokowi untuk menuntaskan jabatannya hingga berakhir pada 2024. Persoalannya, masih percayakah? Apalagi, Ahad (10/4/2022), melalui YouTube Sekretariat Negara, Jokowi telah menugaskan menterinya agar menjelaskan kepada masyarakat bahwa tanggal Pemilu telah disepakati 14 Februari 2024. Sedangkan Pilkada serentak digelar pada November 2024.Jokowi sebelumnya meminta jajarannya memastikan agar tidak lagi muncul spekulasi di masyarakat, pemerintah sedang melakukan upaya penundaan Pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Presiden Jokowi sampaikan hal itu dalam pengantar rapat Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Ramainya rencana aksi mahasiswa pada 11 April ternyata tidak saja ingin menyuarakan aspirasi tolak tunda Pemilu dan tolak tiga periode Jokowi. Mahasiswa ternyata juga ingin Jokowi meletakkan jabatan Presiden. “Semestinya Presiden Jokowi tahu diri dan mundur. Semua persoalan bangsa ini juga tak lepas dari ketidakcakapan Jokowi mengelola pemerintahan,” ujar Rizky Awal, Ketua GP-PMI dalam diskusi online di YouTube Ahmad Khozinudin Channel, pada Ahad (10/4/2022) Afandi Ismail selaku Ketua Umum PB HMI juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, sangat disayangkan kalau aspirasi tuntutan mahasiswa tidak sampai pada menuntut Jokowi mundur. “Kami dari HMI tegas menyampaikan aspirasi tuntutan pada aksi 11 April 2022, agar Presiden Jokowi turun,” ungkap Afandi. Afandi melihat, problem bangsa Indonesia sangat kompleks. Benalu oligarki yang menunggangi Jokowi harus dipangkas, agar tidak merusak bangsa Indonesia. Kapitalisme liberal telah menggerogoti bangsa Indonesia. (*)
Mengapa Jokowi Gelisah Terhadap Demo Besar 11 April?
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik BESOK, 11 April 2022, mahasiswa akan kembali menggelar unjuk rasa. Dalam 10 hari ini, mereka sukses membuat Presiden Jokowi gelisahj dengan demo-demo di banyak kota. Demonstrasi besok pastilah membuat Jokowi lebih gelisah lagi. Sebab, diperkirakan skala aksi ini akan sangat besar. Bisa ratusan ribu massa yang berasal dari elemen-elemen masyarakat umum. Tidak hanya mahasiswa. Meskipun mahasiswalah yang menjadi motornya. Respon masyarakat sangat antusias, terutama emak-emak. Bahkan, menurut berbagai sumber, para pensiunan perwira tinggi TNI dan Polri pun akan turun gunung. Begitu juga para tokoh ormas besar yang pro-rakyat. Ini yang membuat para penguasa khawatir. Kegelisahan Jokowi terhadap demo mahasiswa terlihat dari reaksi Polri yang mencerminkan bahwa mereka akan bertindak represif. Memang di sejumlah tempat Polisi membuktikan mereka represif. Main pukul, main tendang. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattaliti meminta agar polisi tidak represif menghadapi mahasiswa. La Nyalla langsung menelefon Kapolri untuk menyampaikan permintaan itu. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, ketika berkunjung ke kantor La Nyalla beberapa hari lalu juga menyatakan setuju dengan Ketua DPD. Panglima sempat menyindir polisi. Dia mengatakan anggota TNI yang dikerahkan untuk mengamankan demo 11 April bersama aparat kepolisian tidak akan bertindak represif. Aksi unjuk rasa mahasiswa, khususnya skala besar besok, jelas sangat tak diinginkan oleh Jokowi dan Polri. Ada kekhawatiran demo akan melebar dari tuntutan penurunan harga-harga, stop wacana penundaan pemilu dan tiga periode, ke tuntutan agar Jokowi mundur. Selama ini pun sudah diteriakkan “Jokowi mundur sekarang juga” dalam unjuk rasa di berbagai kota yang hanya dilakukan oleh mahasiswa. Para penguasa sangat khawatir teriakan itu akan digemakan dalam aksi besar besok. Kalau sampai tuntutan “Jokowi mundur” menjadi tema utama, alamat situasi akan semakin ruwet. Teriakan ini pasti akan “trending” dengan cepat. Ini sangat tidak diinginkan oleh penguasa. Sebab, begitu tuntutan ini menjadi populer dan viral, tidak bisa lagi ditarik atau diralat oleh para demonstran. Target menjadi berubah. Dan taruhannya menjadi makin tinggi. Ruwetnya ada di sini. Polisi dipastikan tidak akan membiarkan itu terjadi. Mereka akan menindas tuntutan Jokowi mundur. Suasana akan bergeser menjadi panas jika mahasiswa dan peserta dari elemen lain tidak mau berhenti meneriakkan “Jokowi mundur sekarang juga”. Karena itu, polisi akan “tukar persneling”. Mereka akan ganti ke gigi represif. Misalnya, meminta agar unjuk rasa segera diakhiri. Atau bahkan dibubarkan secara paksa. Langkah inilah yang mungkin akan “menaikkan tensi”. Dalam arti, jika tindakan represif polisi menyebabkan korban-korban luka berat atau bahkan tewas, maka percaturan akan berubah drastis. Bola salju akan mulai bergulir. Besar kemungkinan demonstrasi lebih besar tak terhindarkan. Para penguasa menjadi terperangkap ke dalam situasi “meminum air laut”. Semakin banyak ditenggak, semakin haus. Korban yang semula sekian orang, akan bertambah terus menjadi “berkian-kian” orang. Kalau sampai ke titik ini, maka penyelesaiannya tidak mudah. Konsititusi negara bisa terancam dilanggar atau bahkan dibekukan. Pambangkangan sipil dan hukum rimba akan menjadi aturan baru. Inilah yang sangat ditakutkan Jokowi. Apakah ini bisa dielakkan? Bisa. Kalau para pimpinan institusi keamanan mengutamakan kepentingan rakyat. Bukan kepentingan satu-dua orang atau segelintir orang yang memiliki dominasi kekuatan finansial. Kita yakin Kapolri dan Panglima TNI sadar betul bahwa mereka hadir untuk rakyat. Bukan untuk boneka kekuasaan dan bukan pula untuk para penggarong kekayaan negara.[] Medan, 10 April 2022
Rakyat Menggugat Sepak Terjang LBP (2): Manipulasi Informasi Big Data
Oleh Marwan Batubara, IRESS - PNKN SETELAH membahas dugaan kasus gratifikasi Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) pada tulisan pertama, pada tulisan kedua ini diurai sepak terjang LBP pada kasus Big Data. LBP mengklaim memiliki Big Data tentang “aspirasi 110 juta suara warganet”, yang disebut telah menyatakan keinginan agar Pemilu 2024 ditunda. Aspirasi politik 110 juta warganet tersebut tampaknya hanya utopia. LBP pun tidak mampu menunjukkan kebenarannya. Meski telah diminta berbagai kalangan, LBP tidak pernah mengungkap esensi klaim. Artinya, jika hanya bicara jumlah, tanpa kejelasan profil warga dan aspirasi politiknya, maka Big Data 110 juta warganet tersebut memang tidak ada dan tidak merepresentasikan apapun. Artinya hal itu hanya klaim tanpa dasar atau big bluff menggiring opini publik guna mencapai target politik, sambil menggunakan posisi sebagai penguasa. LBP menganggap ungkapan Big Data merupakan informasi normal yang harus diterima publik. Tampaknya sikap arogan, otoriter, serta melanggar prinsip moral dan hukum ini sangat confident dijalankan, karena LBP merasa sangat berkuasa, serta diduga direstui dan didukung pula oleh pemimpin tertinggi atau “The Real President” dan oligarki. Tujuannya, meraih agenda politik penguasa oligarkis, terutama agar Presiden Jokowi dapat menduduki jabatan Presiden RI periode ke-3. Di sisi lain, meski diduga berada pada arah dan tujuan yang sama, tampaknya Presiden Jokowi merasa perlu menjaga jarak terhadap berbagai agenda dan aksi-aksi yang dijalankan LBP, sang master mind utama Jokowi 3 periode. Jika hasil “test the water” tidak sesuai harapan atau “unfavourable”, maka “The Real President” seolah tidak terlibat dan bisa pula tampil sebagai pahlawan demokrasi yang taat amanat reformasi dan konstitusi. Pada sidang Kabinet Paripurna (Istana Merdeka, 6/4/2022), Presiden Jokowi mengatakan: \"Jangan menimbulkan polemik di masyarakat. Fokus pada bekerja dalam penanganan kesulitan-kesulitan yang kita hadapi\". Jokowi pun juga menyatakan: \"Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan mengenai penundaan perpanjangan, ndak, saya rasa itu yang ingin saya sampaikan, terima kasih\". Karena telah faham sikapnya selama ini, tampaknya mayoritas publik tidak akan percaya pernyataan Presiden Jokowi di atas. Salah satunya, belajar dari hasil evaluasi dan penilaian BEM Universitas Indonesia terhadap Jokowi yang menyebutnya sebagai “The King of Lip Service” atau “Raja Pembohong” (26/2/202). Jokowi memang perlu membuat pernyataan tersebut karena “permainan” Big Data sarat masalah dan LBP perlu bertanggungjawab. Namun karena bagian penting dari permainan, diperkirakan Presiden Jokowi tidak akan menindak LBP yang telah melakukan kebohongan Big Data. Faktanya hampir semua lembaga survei menyatakan mayoritas masyarakat tidak setuju perpanjangan masa jabatan Presiden. Tidak ada satu pun lembaga survei yang mengonfirmasi hasil analisis Big Data LBP. Sejumlah lembaga justru mengkonter klaim manipulatif yang disampaikan LBP. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyampaikan hasil survei yang dilakukan pada Maret 2022. Hasil survei SMRC disampaikan pada 3 April 2022. Terungkap 85% publik di medsos tetap ingin pemilu dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Sedangkan menurut Lingkaran Survey Indonesia (LSI) mayoritas warga (di atas 70%) yang disurvei menolak usul penundaan pemilu, terutama karena alasan ekonomi, pandemi Civid-19, dan rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru (3/3/2022). Lembaga Survei Nasional (LSN) juga mengungkap yang hasil yang sama (3/3/2022). Mayoritas publik (68,1%) yang disurvei tidak setuju penundaan pemilu dan sekaligus perpanjangan masa jabatan Jokowi. Secara umum hasil survei lembaga-lembaga di atas menunjukkan klaim big data LBP penuh misteri, sarat kebohongan dan sangat tidak layak dipercaya. Dengan begitu para penggagas dan desainer agenda anti demokrasi tersebut harus tahu diri dan segera mengakhiri rencana busuk. Namun begitu, setelah sekian testing atau permainan, karena belum berhasil sesuai harapan, bisa saja muncul modus atau permainan baru penundaan pemilu (baca: Jokowi 3 Periode), di bawah koordinasi dan kendali “The Real President”, LBP. Sebelum modus baru tersebut muncul, rakyat harus menggugat kebohongan Big Data LBP. Terutama terkait aspek-aspek landasan hukum, metode hingga tujuan pengumpulan data. Lembaga penegak hukum, Komisi Informasi dan lembaga terkait harus mengungkap landasan hukum yang digunakan LBP mengumpulkan Big Data. Lalu perlu dijelaskan kapan dan bagaimana metode pengumpulan, serta harus dijelaskan pula siapa saja 110 juta pengguna internet yang dimaksud LBP, dan apa tujuan LBP mengumpulkan data tersebut. Dalam Pasal 11 ayat (1) huruf f UU No.14/2008 diatur bahwa informasi yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan terbuka untuk umum harus dapat dijelaskan kepada masyarakat secara rinci sesuai kaidah yang berlaku. Karena sangat ambius mencapai target Jokowi 3 Periode, untuk kasus Big Data, LBP telah membuat pernyataan sepihak dan cenderung menghalalkan segala cara. Karena banyak pihak menggugat klaim Big Data, LBP menyatakan: \"Ya pasti ada lah (Big Data), masa bohong. Tapi janganlah (dibuka ke publik), buat apa dibuka,\" katanya (16/3/2022). Kita tidak tahu apakah LBP paham dengan ketentuan UU No.14/2008 di atas. Sebaliknya, seandainyapun paham, bisa saja LBP mengabaikan. Rezim ini tampaknya sudah biasa berdiri di atas UU. Sesuai dengan perintah UU No.14/2008 pula, pada 30 Maret 2022, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah menyampaikan surat permintaan informasi publik kepada LBP di kantor Kemenko Marves. Saat itu LBP belum memberi jawaban. Namun sesuai Pasal 22 ayat (7) UU No.14/2008, surat permintaan informasi publik harus dijawab dalam rentang waktu sepuluh hari kerja. Merujuk pernyataan sikap LBP pada 16 Maret 2022, ICW tampaknya tidak akan memperoleh jawaban dari LBP. Kebijakan pro oligarki yang dijalankan Pemerintahan Jokowi selama ini sudah sangat banyak merugikan rakyat dan negara seperti UU Ciptaker, UU Minerba, Perppu Korona, pembangunan smelter nikel China, TKA China, listrik swasta skema take or pay, impor pangan, harga minyak goreng pro oligarki, dll. Kebijakan tersebut akan ditambah pula dengan proyek IKN yang pada dasarnya memang dibangun untuk kepentingan oligarki! Tampaknya, jaminan realisasi proyek IKN inilah mengapa masa jabatan Presiden Jokowi harus diperpanjang: 3 periode! Sebelum pemerintah pro oligarki semakin merusak demokrasi, mengkudeta suara rakyat dan merugikan kehidupan berbangsa, maka salah satu master mind utama yang terus menggulirkan agenda penundaan pemilu secara sistematis di lingkaran kekuasaan, yakni LBP, harus dihentikan. Meskipun “dilindungi” oleh Presiden Jokowi, LBP harus dituntut secara hukum karena diduga telah melakukan kebohongan publik. LBP pun harus diproses secara hukum karena diduga telah melanggar UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Jakarta, 10 April 2022