Maju atau Mundur Pindah IKN? (2)

Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

“Pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional haruslah digali dengan berbagai pendekatan teori-teori dalam bidang ilmu hukum, khususnya hukum tata negara,” beber Zainal Arifin Mochtar.

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

 

DALAM beberapa kasus, dijumpai kondisi ketika ibu kota suatu negara tidak dapat menghadirkan fungsi-fungsi ibu kota tersebut. Misalnya, ibu kota yang lama dianggap menjadi sumber perpecahan dan secara geografis rentan terhadap bencana alam, sosial, ataupun serangan militer.

Maka dari itu, beberapa negara di dunia memutuskan untuk memindahkan lokasi ibu kotanya dengan harapan ibu kota baru dapat lebih baik daripada ibu kota sebelumnya.

“Namun Vadim Rossman mengingatkan bahwa dapat saja pemindahan ibu kota dilakukan karena adanya 'hidden political agenda', misalnya dalam rangka memperkuat kekuatan politik suatu rezim,” beber Prof Susi.

Rossman mengemukakan tiga bentuk hidden political agenda yang mungkin terjadi yakni:

1) mengasingkan atau me 2) Homogenisasi etnis penduduk ibu kota, dan; 3) pemindahan ibu kota ke wilayah asli penguasa.

IKN sering kali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat bergejolaknya protes dari masyarakat, bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee menyebut ibu kota sebagai 'the powder kegs of protest'. Hal tersebut pernah terjadi di Prancis pada 1871, ketika terjadi protes besar-besaran di Paris.

“Pemerintah Prancis memindahkan ibu kota sementara ke Versailles untuk menghindari protes. Begitu pula dengan Myanmar, pemerintah otoriter di sana memindahkan IKN dari Yangon ke Naypyidaw karena Kota Yangon merupakan pusat gerakan dari para biksu yang kerap memprotes pemerintah,” kata Prof Susi menguraikan.

Stafsus Mensesneg menyebut Pemerintah tancap gas Pindah IKN meski UU IKN digugat.

Agar pemindahan ibu kota benar-benar dilakukan untuk kepentingan negara dan bangsa, terdapat sejumlah pertanyaan yang dibuat oleh Vadim Rossman, yakni:

1. Di mana lokasi yang paling aman untuk dijadikan ibu kota negara; 2. Di mana lokasi yang paling efektif secara ekonomi dan administratif untuk mencapai tujuan negara; 3. Di mana lokasi yang dianggap paling adil bagi berbagai kelompok masyarakat; 4. Lokasi mana yang paling organik, autentik, dan sesuai dengan identitas dan kedaulatan bangsa yang diwakili oleh negara.

“Mengingat fungsi fundamental ibu kota negara bagi sebuah bangsa, proses pembuatan keputusan untuk memindahkan ibu kota harus mencerminkan 'fundamental decision of a nation'. Hal tersebut juga sebagai bentuk pencegahan agar tidak terjadi pemindahan ibu kota negara yang hanya dilatarbelakangi oleh hidden political agenda,” tegas Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD, yang menyelesaikan S2 dan S3-nya di The University of Melbourne.

Judicial Review itu diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Rakyat (PNKR). Selain itu, judicial review ini juga diajukan oleh banyak kalangan dan kelompok masyarakat. Dari sopir angkot, guru, pensiunan BUMN, Jenderal TNI (Purn), tokoh agamawan, hingga profesor.

Ketua Departemen Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Zainal Arifin Mochtar menyatakan UU Ibu Kota Negara (IKN) sedikitnya melanggar tiga cacat. Salah satunya cacat moralitas konstitusional. Apa alasannya?

“Melihat fakta hukum yang ada bahwa proses pembentukan UU IKN yang dilakukan secara cepat (fast track), yang mana proses pembentukannya dilakukan secara 'tergesa-gesa' atau 'ugal-ugalan' telah banyak melanggar aspek prosedural (by pass law-making procedures) dan/atau dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipasi,” kata Zainal Arifin Mochtar.

Hal itu disampaikan dalam keterangan ahli dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tertuang dalam paper yang didapat detikcom dari kuasa hukum pemohon, Ahad (22/5/2022).

Zainal Arifin Mochtar memaparkan sejumlah poin kekurangan dan cacat dalam pembentukan UU IKN itu.

“Proses legislasi seperti ini memenuhi kriteria sebagai praktik abuse of the legislation process. Dengan demikian, proses pembentukan UU IKN adalah inkonstitusional prosedural,” tegas Zainal Arifin Mochtar.

Selain itu, Zainal Arifin Mochtar menyatakan, melihat fakta hukum minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan UU IKN, sudah sebaiknya Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa para pembentuk undang-undang, DPR bersama pemerintah, telah melakukan pelanggaran konstitusional. Sebab, tidak menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk menfasilitasi dan/atau membuka ruang partisipasi publik secara luas dan secara khusus kepada masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap pemindahan Ibu Kota Negara.

Dampak pemindahan IKN ke pemerataan ekonomi sangat kecil. Kesalahan UU IKN lainnya adalah proses pembentukan UU IKN, secara formal maupun material, telah melanggar prinsip nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional.

Baik yang sudah dirumuskan dalam konstitusi maupun nilai-nilai konstitusional yang hidup (living constitution).

Menurut Zainal Arifin Mochtar, konstitusionalitas proses pembentukan UU bukan hanya menyangkut persoalan prosedural (konstitusionalitas formil) dan substantif (konstitusional material) saja. Tetapi konstitusionalitas pembentukan suatu undang-undang dapat dilihat lebih dari perspektif tersebut, termasuk mencakup nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional yang tersirat di dalam konstitusi (UUD 1945).

“Pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional haruslah digali dengan berbagai pendekatan teori-teori dalam bidang ilmu hukum, khususnya hukum tata negara,” beber Zainal Arifin Mochtar.

Pendekatan ini dapat dijadikan dasar penilaian apakah undang-undang tersebut konstitusional atau inkonstitusional.

“Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawas dan pelindung konstitusi (konstitusionalitas), dapat melakukan penegakan supremasi hukum melalui proses pengujian konstitusionalitas dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang,” terang Zainal Arifin Mochtar.

Sebagaimana diketahui, judicial review itu diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Rakyat (PNKR). Selain itu, judicial review ini juga diajukan oleh banyak kalangan dan kelompok masyarakat. Dari sopir angkot, guru, pensiunan BUMN, Jenderal TNI (Purn), tokoh agamawan, hingga profesor.

Jadi, apakah pindah IKN maju atau mundur, Rakyatlah yang paling berhak menjawabnya. (*)

569

Related Post