OPINI

Teriakan Ganjar Wadas dan Anies Presiden: Suara Kemarahan dan Harapan

Oleh Ady Amar - Kolumnis MEMANG tidaklah nyaman dan pastilah amat tersiksa seseorang dengan kesalahan serius, yang--karena kesalahannya itu--dipakai alat untuk menyerangnya. Apalagi kesalahan dibuat seorang pemimpin, yang karenanya menyengsarakan rakyat yang dipimpinnya. Kesalahan kebijakan, atau memang kebijakan yang dibuat dengan kesadaran sebagai kebijakan salah. Kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu, tapi menyengsarakan rakyat kebanyakan. Apapun kebijakan itu, membuat rakyat melawan dengan caranya sendiri. Bahkan melawan dengan cara paling sederhana, tapi memukul telak pemimpin yang dianggapnya zalim. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang berperkara dengan rakyat yang dipimpinnya, dan itu di desa Wadas, Kabupaten Purworejo. Kebijakan yang dibuat dianggap menyengsarakan rakyatnya. Pecah perlawanan rakyat melawan aparat TNI, Polisi dan Satpol PP, (9 Februari), \"mengamankan\" apa yang disebut pengukuran tanah. Padahal sebagian rakyat keberatan tanah tempat ia hidup akan dialih fungsikan. Pecahlah tragedi Wadas, dan menyita perhatian publik. Kemarahan rakyat tidak berhenti dengan pecahnya perlawanan saat itu. Sepertinya terus dibawanya, entah sampai waktu kapan. Kemarahan yang terus dimuntahkan, memilih saat yang tepat. Kemarahan yang dimuntahkan pada Ganjar Pranowo--sebagai pihak yang memberi izin pengalihan status tanah mereka--muncul pada waktu dan tempat yang diluar kepatutan. Tapi mau apa lagi jika itu dianggap efektif mampu melawan kesewenang-wenangan. Dan, benarlah kemarahan itu dimuntahkan pada saat Ganjar Pranowo diundang sebagai penceramah Tarawih Ramadhan di Masjid UGM. Tengah Ganjar berbicara di podium, muncul teriakan Wadas. Tidak cukup teriakan, tapi spanduk protes ukuran cukup besar dibentangkan. Memang tidak biasa hal itu dilakukan di masjid. Tidak bisa dibayangkan lunglainya emosi Ganjar Pranowo, sang Ustadz dadakan itu. Tapi itu tadi, bahwa memuntahkan kemarahan, bisa memilih waktu yang dianggap tepat. Meski di tempat tidak biasa, dan tidak semestinya. Panitia dan takmir masjid tidak menduga jika akan muncul aksi protes kemarahan diluar kepatutan. Dan, itu terjadi. Kemarahan acap memilih tempat tidak biasa, tidak perduli pantas-tidak pantas. Kemarahan memilih suasana yang dimungkinkan. Ganjar Pranowo akan terus dikejar kemarahan rakyat Wadas, atas kebijakan yang dibuatnya. Wajar jika rasa cemas melanda, takut muncul protes susulan di tempat lain yang tidak semestinya. Pastilah menguras emosinya. Ganjar seperti dikejar bayangannya sendiri. Teriakan Wadas dan bentangan spanduk besar #SaveWadas di Masjid UGM, itu sepertinya akan terus dilakukan di tempat lainnya. Dianggap efektif memuntahkan kemarahan, yang bisa disorot media luas. Rakyat Wadas memakai saluran tidak biasa untuk mengabarkan, bahwa kasus Wadas belum selesai, jika izin yang diberikan belum dicabut. Izin yang diberikan Ganjar Pranowo pada investor yang entah siapa orangnya. Pastilah ia bukan siluman. Pastilah orang kuat, yang bisa buat Ganjar bertekuk lutut tak berdaya. Teriakan Presiden pun Muncul Peristiwa Ganjar Pranowo diteriaki Wadas, itu bentuk protes kemarahan, Rabu (6 April). Dan pada Kamis (7 April), Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, dihadirkan di tempat yang sama. Sebelum Ganjar Pranowo hadir pula Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat memenuhi Undangan Ceramah Tarawih Ramadhan di Masjid UGM. Artinya, tiga Gubernur di Jawa diundang. Dan memang Ganjar, Anies, dan Ridwan Kamil itu punya elektabilitas tinggi versi berberapa lembaga survei. Diundangnya mereka seolah sebagai _feet and proper test_ setidaknya dihadapan keluarga besar Universitas Gajah Mada. Dari ketiga orang itu, meski prematur, silahkan dinilai sendiri mana yang layak dipilih jadi pemimpin negeri ini. Anies memang tampil memukau. Ia tampil rileks tanpa beban.  Layaknya Ustadz beneran. Fasih memulai dengan doa pembuka. Anies _enjoy_ seperti sedang pulang kampung. Anies memang alumni UGM, seperti juga Ganjar Pranowo. Maka kenangan pada Yogyakarta itu menempel dan disampaikan dengan baik. Sesekali candaan darinya muncul dan buat gerr tawa membahana. Sebelum Anies tampil, panitia tidak ingin kecolongan munculnya teriakan dari yang hadir apalagi bentangan spanduk segala. Maka, panitia menyampaikan agar tidak ada spanduk dibentangkan di dalam masjid, dan tidak diperkenankan bertepuk tangan. Spanduk memang tidak muncul, tapi tepuk tangan tak bisa dihindari. Setiap Anies menyampaikan sesuatu yang dianggap memukau, suara tepuk tangan bergemuruh. Itu berkali-kali. Tak ada yang mampu membendung suka cita, seperti juga tak ada yang bisa menggagalkan kemarahan menghantam Ganjar Pranowo sehari sebelumnya. Anies dapat jatah satu jam berbicara, seperti juga yang lainnya. Tapi sepertinya Anies kelebihan sedikit dari waktu yang diberikan. Tidak tampak protes merasa kepanjangan. Justru serasa tampak kurang. Itu muncul dari beberapa yang hadir saat ditanya apakah puas dengan apa yang disampaikan Anies. Semua merasa puas, hanya saja Anies tampil kurang panjang, protesnya. Pantas saja protes itu muncul, karena sejak siang hari ia sudah \"mukim\" di masjid itu untuk mendapatkan tempat terdepan. Setelah.ceramah Ustadz Anies Baswedan disudahi, animo yang hadir berebut bersalaman dengannya tak bisa dibendung. Anies seolah tersandera di podiumnya. Ia layani jabat tangan tak henti dari jamaah yang membeludak. Banyak video dibuat dan diviralkan berbagai versi, dan dari berbagai sudut pengambilan gambar, bagaimana Anies kesulitan untuk jalan meninggalkan masjid. Dihadang jamaah. Dielu-elukan. Muncul suara bersahutan tanpa ada yang mengkoordir, Anies Presiden... Anies Presiden... Eufhoria hadirnya pemimpin negeri ditampakkan. Anies Presiden... Anies Presiden... terus bergemuruh, dan itu disuarakan di dalam masjid. Bagai doa dipanjatkan, dan berharap diijabah. Meski tidak hadir langsung, tapi melihat video-video beterbaran itu, merinding bulu kuduk ini. Larut dalam atmosfer kebahagiaan. Masjid UGM dalam dua hari itu, 6 dan 7 April, telah jadi saksi, mengabarkan dua peristiwa sekaligus, yang bisa diingat dalam waktu lama: Ganjar Wadas, dan Anies Presiden. Suara kemarahan di satu sisi, dan disisi lain suka cita harapan munculnya Presiden baru dirindukan. (*)

Presiden Mundur atau Dipaksa Mundur

Mengundurkan diri dari jabatan dapat ditempuh oleh Presiden sebagai cara paling elegan untuk menunjukan sikap bertanggungjawab, namun sangat jarang ada yang mau melakukan, kecuali dengan jiwa besar seperti yang dilakukan oleh Presiden Suharto. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KEGADUHAN munculnya tuntutan Presiden Joko Widodo mengundurkan diri menyisakan pertanyaan: - Mengapa hanya Presiden Jokowi yang diminta/dituntut mundur. - Bagaimana dengan kesan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang tidak berfungsi tetapi dalam Pilpres adalah satu paket. - Kegagalan dalam menjalankan pemerintahan dan berakhir munculnya Presiden agar turun dengan suka rela atau dipaksa turun oleh rakyat adalah tanggung jawab bersama Presiden dengan Wakil Presiden. Gelombang demo sejak 2021 terus terjadi menuntut Jokowi mengundurkan diri secara sukarela dan terjadi ancaman dari masyarakat apabila tetap bandel ada keinginan untuk diturunkan secara paksa, akibat trust kepada Presiden melemah, bahkan menghilang. “Masyarakat tidak terdengar menyuarakan tuntutan mundur secara vulgar untuk wakil Presiden, bukan karena prestasi dan kepercayaan masyarakat yang utuh kepada Wakil Presiden tetapi nampak jelas karena masyarakat apriori karena selama ini kosong peran dan fungsinya sebagai Wapres, sampai pada persepsi Wakil Presiden sudah tidak ada”. Sekalipun dalam Pilpres 2019 adalah merupakan satu paket (Presiden dan Wapres), tetapi tanggung jawab kegagalan sampai terjadi mosi tidak percaya rakyat kepada Presiden karena semua akibat yang terjadi atas pengelolaan negara adalah center pada kuasa Presiden. Tuntutan rakyat meminta Jokowi mundur oleh pemilik kekuasan yaitu rakyat dibenarkan secara konstitusi dan selanjutnya akan berakibat hukum sebagai konsekuensinya. Tuntutan mundur kepada Presiden berbanding lurus karena kepercayaan atau trust memudar, dan menguap. Trust tersebut begitu penting dalam membina keberlangsungan dan keutuhan hubungan Presiden dengan rakyatnya. Ketika kekuasaan mulai berubah menjadi tirani bahkan mengarah ke otoriter dengan ditandai komunikasi rakyat dengan penguasa macet, akibat aspirasi/ suara rakyat diabaikan – muncullah oligarki (riil pengendali dan pengemudi negara) dengan ciri kapitalis berlaku ugal-ugalan memeras sumber daya alam dan tidak lagi peduli urusan rakyat sesuai amanah tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 45. Pada posisi puncak kemarahannya, rakyat menarik kembali amanah yang telah dititipkan kepada Presiden. Presiden juga akan dimintai pertanggung-jawabannya baik secara administrasi, perdata hingga pidana. Lunturnya trust dari rakyat berakhir pada pemakzulan (impeachment) terhadap seseorang pemimpin yang dahulu pernah dititipi sebuah amanah, melalui Pemilihan Presiden. Pemakzulan adalah berhenti memegang jabatan atau turun tahta. Pemakzulan terhadap seorang Presiden diatur dalam konstitusi kita, UUD NRI 1945, yaitu pada Pasal 7A. Pasal 7A selengkapnya berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Proses pemakzulan itu melibatkan tiga lembaga. Yakni, DPR (proses politik), Mahkamah Konstitusi (MK) (proses hukum), dan MPR (proses politik). MK itu yang akan menilai apakah presiden memenuhi perbuatan melanggar hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945. Pemakzulan Presiden yang secara legal dijamin oleh konstitusi, ada cara lain untuk mengakhiri kekuasaan rezim pemerintahan tertentu, yaitu dengan mekanisme pengunduran diri sebagai Presiden dan Wapres. Mengundurkan diri dari jabatan dapat ditempuh oleh Presiden sebagai cara paling elegan untuk menunjukan sikap bertanggungjawab, namun sangat jarang ada yang mau melakukan, kecuali dengan jiwa besar seperti yang dilakukan oleh Presiden Suharto. Proses pengunduran diri ini juga dilindungi secara konstitusional berdasarkan Tap MPR RI No. VI/MPR-RI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.   Disebutkan bahwa: “Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.   Pertanyaannya bagaimana kalau hanya Presiden yang diminta dan atau telah mengundurkan diri atau dipaksa untuk mundur? Maka sesuai pasal 8 UUD 1945 mengatur keadaan Presiden yang tidak dapat lagi menjalankan jabatan kepresidenan untuk sisa masa jabatannya. Isi Pasal 8 UUD 1945 Setelah Amandemen. Pada pasal 8 ayat (1): Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Apabila Wapres, juga bernasib sama terjadi mosi tidak percaya kepada Wapres karena kapasitas dan kemampuan dan kesehatan yang sangat lemah, bahkan selama ini sudah dianggap tidak ada, maka aturannya seperti berikut: “Jika Presiden dan Wakil Presiden berhenti, diberhentikan, dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama”. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapes yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol yang pasangan calon Presiden dan Wapresnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. Terhadap kekuasaan yang telah berubah menjadi tirani dan otoriter tidak boleh ada kompromi dan tidak boleh ada jalan tengah – Presiden harus mundur atau dipaksa mundur. (*)

Jokowi Ngomong Dong

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan WACANA perpanjangan masa jabatan Presiden baik melalui penundaan Pemilu maupun amandemen UUD 1945, telah menyedot perhatian. Wacana digulirkan sehingga diduga menjadi agenda. Pernyataan tiga Ketum Partai soal penundaan Pemilu dan mobilisasi Kepala Desa yang bersiap untuk deklarasi adalah bukti keseriusan itu.  Dilain pihak aksi Mahasiswa juga menghangat. Mereka mendesak agar gagasan inkonstitusional di atas segera dihentikan atau dicabut. No way untuk penundaan Pemilu dan amandemen 3 periode. Jokowi sedikit mereaksi dengan meminta para pembantunya tidak berbicara lagi soal perpanjangan masa jabatan tersebut.  Rakyat tidak percaya pada ketulusan instruksi tersebut.  Jokowi masih bermain-main. Besok mungkin ia akan mengatakan bahwa dirinya tidak bisa melarang aspirasi masyarakat yang mendukung perpanjangan. Ini bagian dari demokrasi, bagian dari dinamika politik dan bla bla bla lainnya. Intinya ia bahagia sukses melakukan mobilisasi dukungan palsu. Luhut Binsar menjadi komandan tertinggi dari operasi jokowi maju terus dan menjadi raja lagi.  Jika Jokowi tidak memiliki niat untuk memperpanjang masa jabatan caranya bukan dengan melarang pembantu-pembantunya atau mengutus Moeldoko dan Wiranto untuk meredam, tetapi Jokowi sendiri yang harus  tampil di depan publik dengan berpidato menegaskan bahwa ia tidak akan memperpanjang masa jabatan. Selesai.  Masalahnya adalah benarkah omongan dulu soal \"menjerumuskan\" dan \"menampar muka\" masih berlaku dan serius akan dilaksanakan ? Ini yang diragukan sebab bohong dan omong doang disadari atau tidak telah melekat menjadi \"trade mark\" Jokowi sendiri. Membuat kepercayaan rakyat kepadanya menjadi habis kecuali para penjilat, penampar, dan penjerumus.  Sebenarnya jika arif dan berkalkulasi maka pilihan untuk segera ngomong berpidato tentang tidak akan memperpanjang jabatan menjadi modal lumayan untuk mengakhiri dengan baik. Tetapi jika tidak, maka teriakan perlawanan atas perpanjangan itu akan semakin keras. Lalu menggelinding kuat pada desakan mundur.  Celakanya justru berujung pada dimundurkan.  Jokowi berada di ujung tanduk sejarah. Cobalah belusukan kembali tanpa menjadi sinterklas yang membagi-bagi hadiah atau membawa minyak goreng, rasakan denyut rakyat secara obyektif. Mereka tidak ingin ada perpanjangan, mereka sudah ingin mengakhiri penderitaan, mereka sudah ingin perubahan, dan pastinya mereka sudah ingin ganti Presiden.  Sejak mulai masuk got maka Jokowi menjadi gotik sebagaimana kaum barbarian Jerman Timur Gothic. Negara ini dikelola  dengan orientasi investasi yang nyatanya hanya menyuburkan kroni dan memperkuat oligarki. Lalu mengacak-acak politik, ekonomi, hukum maupun agama. Terkesan dibawa semau-maunya.  Kaum Ghotik adalah satanik yang paganistik, kejam, dan mengalienasi agama. Porak poranda oleh Romawi dan menyisakan kelompok terbesar Visigoth. Meski rontok tetapi masih mampu mengganggu. Visigoth bertahan dan berhasil memperpanjang kekuasaannya.  Semoga Pak Jokowi tidak ngotot untuk memperpanjang masa jabatan. Karenanya cepat ngomong dong. Jangan sampai terlambat. Pidato lah bahwa ia tidak akan menunda Pemilu atau mendorong amandemen Konstitusi. Lalu stop wacana atau gerakan yang mendorong ke arah perpanjangan tersebut. Fokus untuk  mengakhiri jabatan dengan baik.  Atau memang Pak Jokowi ingin merealisasikan visi got yaitu visi untuk tetap mengalir di lorong panjang yang tak berbatas dan berair kotor  ? Cara barbar kaum Goth.  Bandung, 10 April 2022

Permainam Fakta dan Fiksi: Rezim dalam Kepanikan dan Segera Jatuh!

Menciptakan banyak kabut akan menyulitkan rezim mampu membaca dan mengamati kita. Di saat inilah akan ada ruang bermanuver ganti peran guna sesatkan pemerintah sekalian. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PENYESATAN terbaik adalah kemenduaan mencampur fakta dengan fiksi sehingga yang satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain. Realitas selalu didampingi dan dibungkus dengan kebohongan. Satu satunya senjata rezim saat ini adalah amunisi penyesatan sebagai unggulan untuk pertahanannya. Penyesatan membutuhkan ekspresi seolah- olah dirinya bisa tampil prima sebagai: manusia sederhana, lurus, dan jujur. Semua pidato pejabat negara saat ini selalu tampil dengan narasi penyesatan dipaksakan mirip dengan realita. Mereka menggunakan strategi bahwa “apa yang diangankan akan langsung diyakini, tetapi apa yang dipikirkan/ dibayangkan juga sedang dipikirkan dan dibayangkan orang lain”. Terus memutar-balikan keadaan yang sedang diamati oleh rakyat, mendistorsi dan memanipulasi agar sesuai dengan apa yang sedang diminta dan dipikirkan rakyat. Kita harus cermat dan hati-hati menelaah perkataan mereka, penampilan mereka, nada suara mereka, tindakan tertentu yang tampaknya berarti khusus. Semua yang dilakukan seseorang dalam dunia sosial adalah tanda. Tidak ada pertimbangan moral dalam penyesatan, yang penting memperoleh keunggulan menggunakan kamuflase agar kekuasaan tetap bisa bertahan dan mendapatkan kemenangan tetap bisa menguasai keadaan. Mereka berkeyakinan bahwa apabila pemerintah sampai tumbang hanya kecelakaan, bencana, keburukan dan semua akan menanggung akibat yang sangat mengerikan. Adanya sindiran Joko Widodo sesama marah kepada Presiden. Presiden tiba-tiba mengambil kebijakan untuk membagikan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Terakhir di kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto selaku Ketua Wantimpres memanggil mahasiswa berlabel BEM Nusantara itu, setelah sebelumnya kelompok Cipayung dipanggil ke Istana, semuanya adalah bentuk penyesatan, untuk menenangkan rakyat dan mahasiswa tetap terkendali. Rezim seringkali menggunakan cara lama untuk pencitraannya dengan ucapan dan tindakan semu, berkamuflase, pola hipnotis sampai pada informasi semua, dan melaksanakan bayang-bayang dalam bayang-bayang semua muncul dan nampak secara bersamaan. Rekayasa di atas sesungguhnya tanda-tanda rezim sudah berada dalam kepanikan dan menuju kehancurannya, mental mereka telah jatuh. Cara membalikkan serangan fakta yang dikemas dengan fiksi. Lakukan perlawanan kabut – dengan (cara) pembalikan membuat kabut yang akan menjadikan bentuk dan warna sulit dikenali. Menciptakan banyak kabut akan menyulitkan rezim mampu membaca dan mengamati kita. Di saat inilah akan ada ruang bermanuver ganti peran guna sesatkan pemerintah sekalian. Mereka akan semakin gelisah, kemudian bingung dan semakin dalam. Dalam kabut, perlawanan rakyat muncul dengan macam-macam bentuknya. Di sinilah rezim mudah untuk jatuh, dijatuhkan dan akan jatuh! (*)

Aktor Utama Kegaduhan Hari Ini adalah Pemerintah Itu Sendiri

Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Forum Diaspora Indonesia. DEMO mahasiswa di bulan Puasa saat ini agak sedikit berbeda dari pada yang sebelumnya. Karena lebih tersistem, kontennya jelas, rapi, dan militan. Padahal, saat ini para adik mahasiswa ini masih dalam kondisi libur kuliah belum tatap muka 100 persen. Meskipun ada isu, terbentuk beberapa faksi di tubuh gerakan mahasiswa baik yang pro dan kontra terhadap pemerintah. Tanggal 11 April 2022, Senin yang akan datang, akan menjadi momentum dan tolak ukur penting bagi keberlangsungan pemerintahan ini ke depan. Karena gerakan demo serentak ini ibarat gelombang akumulasi dari berbagai muara persoalan yang diciptakan justru oleh pemerintah itu sendiri, misalnya; Pertama, tema utama tuntutan mahasiswa hari ini adalah jelas dan tegas, stop perpanjangan masa jabatan Presiden yang itu jelas melanggar konstitusi. Meskipun pemerintah “berakrobatik” membuat standar ganda bahwa yang mengungkapkan itu adalah para menteri dan ketua Parpol, namun publik sudah jenuh dan bosan dengan gerakan akrobatik pemerintah itu. Alasannya, toh para menteri dan ketua parpol itu adalah bahagian dari kelompok penguasa hari ini. Dan sangat tidak mungkin berani berbicara tanpa restu Presiden. Apalagi ada istilah tegas “Yang ada Visi Presiden tidak ada visi menteri”. Upaya kudeta konstitusi ini oleh pemerintah adalah sebuah kejahatan besar dalam negara demokrasi. Sangat wajar para mahasiswa, intelektual dan kelompok “civil society” bangkit, marah, dan melakukan perlawanan. Adapun kemudian tiba-tiba muncul Wiranto selaku Wantimpres menyatakan itu baru wacana, sudah sangat terlambat dan dianggap ucapan itu keluar karena pemerintah “shock” tak menduga penolakan rakyat begitu besar. Kedua, terjadinya krisis dan resesi ekonomi berupa kelangkaan minyak goreng, BBM pertamax naik dan pertalite mulai langka. Kenaikan harga sembako yang diam-diam, ditambah lagi berbagai macam pajak dinaikkan dan dibebankan kepada banyak sektor, mulai dari sembako,kendaraan bekas, hingga banguna dan renovasi rumah sendiri pun dipajak. Semua kebijakan itu sangat memukul jantung ekonomi masyarakat bawah. Yang membuat emak-emak frustasi, sedangkan peluang kerja semakin hilang dan harga-harga sudah melambung tinggi. Dan yang buat kebijakan adalah pemerintah. Mahasiswa, yang dua tahun ini banyak di rumah tentu juga jadi merasakan beban orang tuanya. Dan melihat semua ini adalah akibat dari kebijakan pemerintah yang “memakan” rakyatnya sendiri. Tak becus mengelola negeri. Ketiga. Mati dan lumpuhnya trias politika negara ini sebagai negara demokrasi. Pihak legislatif maupun yudikatif cenderung saat ini menjadi alat kekuasaan semata. Tak ada lagi proses “check and balance”. Penyebabnya bisa beragam, bisa berupa sudah terjadi permufakatan jahat bersama, atau juga politik sandera dan politik KKN.  Mati dan lumpuhnya trias politika di negeri ini, dimana secara kasat mata arah kebijakan pemerintahan hari ini banyak menguntungkan “perut pejabat” dan kelompok oligharki, maka rakyat juga melakukan perlawanan. Karena dampak kebijakan pemerintah hari ini banyak merugikan rakyat. Hutang yang ugal-ugalan demi sebuah pembangunan yang tidak jelas. Pencabutan subsidi dan naiknya pajak, yang harusnya dinikmati masyarakat sekarang, justru jadi beban yang mencekik kehidupan rakyat. Karena trias politika ini dianggap sudah mati, makanya mahasiswa turun ke jalan dan menyampaikan aspirasi dan kemarahan ini. Tapi kalau legislatif dan yudikatifnya berfungsi baik, tak mungkin mahasiswa sampai turun gelar demonstrasi. Keempat. Matinya hukum dan semakin maraknya terjadi ketidakadilan terhadap masyarakat atas kuasa pemerintah.  Hal ini juga sangat menyakitkan hati masyarakat. Ketika dengan menggunakan kekuatan tangan aparat yang menjelma menjadi alat kekuasaan, merampok, menindas, mengintimidasi dan mengkriminalisasi masyarakat bawah.  Seperti kejadian di Wadas, penggusuran-penggusuran tanpa ganti rugi yang layak, perampasan tanah adat untuk tambang para cukong, hingga penangkapan terhadap para aktifis dan kelompok yang menyuarakan kebenaran. Sudah tak terhitung rakyat yang mencoba melawan kezaliman pemerintah yang mendapatkan perlakuan kejam dan sadis. Mulai dari pemenjaraan secara sepihak para aktifis KAMI, FPI, HTI, buruh, Ulama, Ustad, dan Mahasiswa. Kasus pembunuhan seperti KM50, penangkapan dan pembantaian oleh Densus 88 terhadap umat Islam dengan alasan terorisme, persekusi terhadap para da’i yang melakukan dakwah, semua terjadi sangat masif oleh pemerintah hari ini. Namun di satu sisi lain, kita bagaimana melihat para koruptor trilyunan rupiah divonis ringan bahkan ada yang bebas. Para penista agama, para buzzer seperti Abu Janda, Ade Armando, Deny Siregar, Dewi Tanjung, Sukmawati hingga koruptor Harun Masiku sampai hari ini bebas melenggang belum ditangkap. Padahal semua sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian. Artinya dari kesimpulan singkat yang kita dapat bahwa : Yang menjadi otak dan penyebab utama dari semua kegaduhan di negeri ini adalah akibat prilaku dan kebijakan pemerintah itu sendiri yang dengan sewenang-wenang, tanpa mempedulikan hukum dan konstitusi. Tanpa mempedulikan jeritan hati dan suara rakyat. Menghalalkan segala cara demi kepentingan kelompok oligharki.  Lalu dengan seenaknya melalui rekayasa inteligent, membangun opini, pemerintah berupaya mengalihkan semua kegaduhan ini seolah-olah dilakukan oleh kelompok oposisi dan radikal? Sungguh semua rekayasa itu sudah usang dan tak laku lagi saat ini. Masyarakat sudah cerdas dan bisa membedakan. Justru upaya fitnah ini akan semakin meningkatkan gelombang perlawanan rakyat yang semakin “jijik” melihat permainan politik kotor penguasa untuk melindungi dirinya. Gelombang perlawanan rakyat ini semua, juga bentuk akumulasi sudah tidak ada lagi kepercayaan masyarakat terhadap rezim hari ini.  Kewibawaan pemerintah sudah jatuh hancur lebur. Kebohongan demi kebohongan serta trik dan intrik manipulasi berita media menggunakan tangan-tangan buzzer sudah tidak mempan lagi saat ini. Para generasi milenial dan mahasiswa lebih cerdas dari pada buzzer bayaran itu. Kita semua tidak tahu bagaimana kelanjutan dari aksi demo mahasiswa 11 April nantinya. Apakah cukup sampai di situ dan berhasil kembali dipadamkan penguasa ? Atau akan terus menggelinding ibarat bola salju sampai pemerintah hari ini jatuh ? Kita tidak tahu dan juga bisa anggap sepele. Karena apapun bisa terjadi saat ini. Karena konstalasi politik global juga mulai berkonstraksi melihat Indonesia. Seperti kebijakan terbaru resolusi PBB tentang “Hari Anti Islamphobia” yang dimotori Amerika. Hal ini adalah sinyal positif konsolidasi dunia Islam dan Barat dalam menghadapi cengkraman komunisme khususnya di Indonesia. Ditambah, konflik kedatangan Rusia dan penolakan Amerika Cs dalam KTT G20 nanti di Bali juga semakin panas.  Belum lagi perpecahan di tubuh istana antara yang pro perpanjangan dengan yang Pilpres tetap sampai 2024. Semua ini adalah, tanda-tanda bahwa rezim ini sudah goyah dan akan sulit bertahan. Apalagi kalau ditambah dengan kondisi keuangan yang boleh dikatakan negara ini sudah “bangkrut”. Menambah tanda-tanda kejatuhan rezim saat ini sudah semakin dekat dan nyata. Satu kata yang kita bisa ucapkan saat ini hanyalah, semoga apapun yang terjadi ke depan, semua tetap adalah proses terbaik untuk masa depan negeri ini. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa, adalah lambang kekuatan civil society dalam melawan pemerintah yang tidak amanah dan berpihak pada oligharki. Semoga perjuangan para mahasiswa kita hari ini bersih dari segala upaya infiltrasi dan pembusukan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sehingga mahasiswa, aktivis, tokoh masyarakat yang murni berjuang untuk masyarakat tidak dijadikan tumbal dan korban fitnah kegaduhan yang diciptakan oleh penguasa itu sendiri. InsyaAllah. Perth-Australia. 08 April 2022

Mati Rasa dan Mati Gaya Ala Jokowi

Menarik mengupas tulisan lempar batu sembunyi tangan dari Adian Napitupulu, aktifis 98 yang kini berada dalam lingkar kekuasaan. Dalam paparannya pemilik panggilan kakek ini, seolah-olah menegaskan wacana penundaan pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden bukan berasal dari Jokowi. Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI ADIAN secara tersurat mengatakan bergulirnya isu penundaan pemilu 2024 yang menjadi bola panas dan menimbulkan resistensi secara nasional, lebih disebabkan oleh empat unsur. Pertama, dari orang-orang yang ingin mencari muka sebagaimana yang pernah dilansir Jokowi sendiri. Kedua, dari release beberapa lembaga survey yang dianggap mewakili aspirasi dan keinginan rakyat. Ketiga, dari para petinggi partai yakni Zulkifli Hasan-PAN, Airlanggga Hartarto-Golkar dan Muhaimin Iskandar-PPP. Keempat dari pelbagai pernyataan para  menteri yang notabene menjadi pembantu presiden. Pemaparan pentolan organ gerakan  Forkot saat menjelang bergulirnya gerakan reformasi, seperti menjadi penguatan alibi atau setidaknya menjadi bagian dari parade dukungan terhadap Jokowi yang berusaha menolak terseret-seret usulan presiden 3 periode dan segala macam modusnya. Pernyataan Adian menjadi semacam  iringan paduan suara  dari yang pernah dilontarkan Luhut Binsar Panjaitan beserta orang-orang di seputar Istana, organisasi APDESI dan banyak lagi penganut dan penjilat kepentingan kekuasaan lainnya. Menjadi layak ditelisik, bisa dibilang ahistoris dan cenderung mengalami amnesia politik. Analisa anggota DPR RI dari Fraksi PDIP ini secara tersirat mengatakan Jokowi tidak berinisiasi, tidak bersalah dan tidak bertanggungjawab terhadap bergulirnya rencana politik yang kental dengan premis kejahatan konstitusi.  Secara tidak langsung Adian juga ingin memberi kesan ke publik bahwasanya Jokowi begitu polos, tidak terlibat dan jujur mengatakan apa adanya tentang polemik dan kotroversi itu yang begitu penuh distorsi. Aldian sepertinya  ingin menegakkan kembali citra diri Jokowi yang identik sederhana, merakyat dan pro wong cilik, yang semakin hari semakin terus tergerus dan runtuh akibat ulah kebijakan politiknya sendiri. Lebih dari itu dan menjadi penting juga, aktifis yang mendirikan komunitas Bendera dan Pospera ini. Mengusik sikap PDIP yang direpresentasikan oleh  Ketua umum, sekjend dan bahkan kadernya yang menjadi ketua DPR RI. Baik Megawati Soekarno Putri, Hasto Kristianto dan Puan Maharani,  berulangkali menyampaikan penolakan terhadap  apapun keinginan dan anasir politik yang menginginkan penundaan pemilu 2024 atau perpanjangan jabatan presiden dan segala  retorika dan jastifikasi didalamnya. Apakah ini bisa dinilai sebagai pembangkangan kepada Megawati dari Adian sebagai kader  sekaligus petugas partainya yang lain?. Atau bisa jadi ungkapan Adian sebagai sinyal telah terjadi pergeseran sikap PDIP dari Menentang menjadi akomodatif terhadap konten penundaan pemilu atau perpanjangan jabatan presiden yang sudah semakin terlihat konspiratif. Mungkin saja itu bisa dimaklumi dan dibenarkan, karena politik itu juga berarti peluang dan kesepakatan. Rakyat hanya bisa menunggu akhir skenario sikap politik PDIP yang sesungguhnya. Modifikasi Disfungsi Sayangnya, ikhtiar aktifis yang dinilai lincah dan gesit bermanuver  memainkan entitas politik sebagian besar eksponen 98 ini, tak cukup berwibawa dan bermakna mengatrol politik bunglon Jokowi. Narasi tendensius Adian yang justru mengarah pada kelompok kepentingan yang ada dalam lingkungan kekuasaan maupun yang memiliki agenda ingin merebut kekuasaan. Tak mampu menyelamatkan muka presiden yang telah hilang dan sebelumnya sering ditampar berkali-berkali. Betapapun sejak awal, Jokowi mengatakan tak kepikiran dan tak ada niat menjadi presiden untuk perode ketiga. Meskipun telah berkepanjangan dan  menuai respon keras dari rakyat,  Jokowi memberikan statemen agar semua menteri mengentikan wacana penundaan pemilu.  Rakyat belum lupa dan tak akan pernah lupa, saat dalam kampanye pilpres 2014 dan 2019, Jokowi menghembuskan topan angin surga. Propaganda  mengadakan mobil Esemka, membuka jutaan lapangan kerja, membatasi utang negara, menolak impor, menciptakan kesejahteraan  buruh tani nelayan, kartu sehat, kartu cerdas, kartu sejahtera, dan segunung  janji yang terlontar tanpa beban dan dosa. Semuanya alhamdulillah tak ada yang terealisasi, lain janjinya lain pula kenyataannya. Tanpa malu dan harga diri, malah bangga  seolah-olah penuh prestasi. Jokowi sebagai presiden sudah dianggap sebagai pemimpin yang terbiasa melanggar janji. Mulai dari janji kampanye hingga janji  upaya-upaya kongkrit mengatasi pandemi, krisis dan kompleksitas permasalahan bangsa. Selain tak terbukti menunaikan janji, Jokowi oleh mahasiswa, buruh tani nelayan, akademisi dan dunia usaha berbasis ekonomi kerakyatan serta hampir seluruh rakyat Indonesia, dijuluki *\"King Of  Lip Service\"*. Ambisi dan orientasi kepentingan politiknya tak bisa lagi ditutupi   kamuflase dan manipulasi. Ditambah lagi tabiat Jokowi yang sering menggunakan tangan dan meminjam mulut orang lain, sering menjadikannya ahli membuat tameng dalam melindungi citra dan kepentingan politik  tersembunyi. Apapun   wacana dan kebijakan yang dianggap kontroversi dan mengancam eksistensi kekuasaan baik dalan tatanan usulan maupun yang sudah menjadi regulasi. Selalu saja ada upaya mencari kambing hitam dan para pencuci piring kotor. Jokowi harus sesuai dengan identifikasi dan klasifikasi sebagai orang bersih meskipun dipenuhi kotoran dan dibentuk dari pencitraan semu. Tak bisa dicegah,  Jokowi akhirnya dikenal publik lihai dan piawai menjadikan  setiap orang atau kelompok tertentu menjadi korban ambisi   kepentingan politiknya. Mirisnya lagi, tidak hanya membersihkan tangan kotornya, Jokowi juga cekatan membangun kesan pahlawan dalam dirinya dari konflik yang merugikan kepentingan rakyat, keberadaan dan eksistensi NKRI,  oleh perilaku kekuasaannya. Episode dari drama penundaan pemilu, memperpanjang jabatan presiden dan berujung amandemen UUD 1945  terkait presiden 3 periode. Semakin membuktikan Jokowi menjadi sosok yang sudah tak pantas lagi menjadi pemimpin dan tak ada lagi yang bisa dipercaya dari mulut maupun tindakannya. Jokowi tak ubahnya barang rongsokan yang betapapun dimodifikasi tetap tak berfungsi, apalagi sampai bisa bermanfaat. Kalaupun ada pemaksaan dan rekayasa apapun yang dilakukan, presiden  boneka itu hanya akan menjadi kelinci percobaan yang mengalami eksperimen modifikasi disfungsi. Jokowi yang meskipun telah didandani dengan kosmetik paling canggih dan berbiaya tinggi sekalipun. Tak akan pernah menjadi keindahan yang hakiki dan sejati. Pikirannya tak disertai batin, bahasanya terpisah dari jiwa dan tindakannya tanpa  spiritual. Meminjam istilah Rocky Gerung, kedunguan tidak akan berubah hanya oleh karena harta dan jabatan. Begitupun kepintarannya tak akan bermakna dengan menjadi penghianat dan pelacur politik kekuasaan. Di tengah deru bising  mesin kebohongan  kekuasan dan produk-produk politik kemunafikan. Jokowi menjadi contoh kasus,  sirkus dan akrobat politik tak selamanya menghibur dan pasti ada batas masanya. Begitupun pesona pencitraan akan memudar seiring kesadaran tak lagi melulu membutuhkan kecantikan dan keelokan. Bius sihir massal dalam diri jokowi, perlahan mulai menipis. Jokowi tak mampu lagi menyembunyikan  Watak asli yang semakin menyeruak. Setelah hampir 8 tahun berkuasa, Jokowi kini telah mati rasa dan mati gaya di hadapan rakyat, negara dan bangsa. Mati rasa dan mati gaya yang pada akhirnya menjadi korban dan kebusukan dari sebuah citra. (*)

Buzzer Pusing, Mahasiswa Kadrun atau Terpapar Radikalisme?

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial Politik. SAAT ini tampaknya sedang berlangsung diskusi berat di kalangan gerombolan buzzer (Rombuz) penguasa. Ada satu hal yang sangat merepotkan mereka. Yaitu, demo mahasiswa yang berlangsung di banyak kota: Makassar, Jakarta, Bogor, Semarang, Cirebon, sampai Tasikmalaya. Sangat menegangkan. Sebab, demo masif mahasiswa itu bisa saja menjalar ke seluruh pelosok Indonesia. Bila ini terjadi, para penguasa dipastikan akan ambil posisi siaga satu. Sampai hari ini masih terkendali. Tapi, situasi bisa berkembang sangat cepat. Yang tak terduga dan yang tak diinginkan, bisa saja terjadi. Rombuz adalah salah satu sayap penguasa yang ditugaskan untuk menyerang lawan dengan berbagai stigma. Biasanya, stigma yang selalu manjur itu adalah “radikalisme”, “terorisme”, “kadrun”, dll. Nah, mau disebut apa para mahasiswa yang turun ke jalan sekarang ini? Terpapar radikalisme? Tak masuk akal publik. Apalagi harus dikaitkan dengan rencana aksi terorisme, semakin ngawur. Bagaimana kalau mereka disebut “kadrun”? Sebutan ini kalau disematkan ke mahasiswa mungkin sebagian mereka akan merasa terpojok. Persoalannya kapan pula mahasiswa kemasukan “kadrun”? Tak pernah terdengar selama ini. Bisa saja dilabeli “kadrun”.  Tapi “kadrun” untuk singkatan “Kesatuan Aksi Desak Dia Turun”. Senjata makan tuan. Mau ejek mahasiswa dengan “kadal gurun”, malah menjadi keren. Rombuz harus berpikir keras. Mereka sudah dibayar untuk segera mencap mahasiswa senegatif mungkin agar tidak lagi turun ke jalan. Sekarang ini Rombuz sedang buka-buka arsip untuk mencari kalau ada seorang mahasiswa yang pernah bertemu dengan Munarman. Atau kalau ada yang pernah mampir ke Petamburan. Kalau mereka tak punya ‘file’ seorang mahasiswa yang pernah jumpa Munarman atau mampir di Petamburan, minimal mahasiswa yang pernah pergi umrah. Yang pernah menginjakkan kaki di gurun Arab Saudi. Supaya bisa disebut “kadrun”. Ketua Rombuz, Denny Siregar, mungkin akan memutuskan bahwa mahasiswa yang pernah ikut pegajian kampus, bisa dilabeli “terpapar radikalisme”. Lumayan! Yang penting, ada satu-dua yang bisa disebut “kadrun” dan “terpapar radikalisme”. Sehingga, bisa dicap seluruh mahasiswa yang ikut demo di berbagai kota itu sebagai mahasiswa radikal dan kadrun. Bagaimana, bung Denny? Bisa dicoba ini kayaknya. Siapa tahu, para mahasiswa menjadi malu tampil demo setelah dicap kadrun dan terpapar radikalisme.[] 09 April 2022

Ha ha ha Pendeta Palsu Ketakutan

Oleh  M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PENDETA palsu itu bernama Saifudin Ibrahim alias Abraham ben Moses. Palsu karena omongannya bukan khas pendeta tapi preman jalanan. Mulut kotor penista agama ini berhalusinasi seolah-olah ia paling tahu tentang agama. Murtadin nyebelin yang lagi ketakutan lompat sana lompat sini itu mungkin kini sedang di Brooklyn atau Austin ataupun di Wisconsin. Atau lagi ngumpet di Pom Bensin.  Tampil dengan gagah berani menunjukkan diri sebagai jagoan yang tidak ada rasa takut. Semua ditantang bahkan yakin tidak akan bisa ditangkap. Menyiarkan visual diri dari beberapa tempat ada studio, kebun hingga alun-alun. Saifudin sangat jumawa.  Akan tetapi kini si pendeta palsu ini kelihatan ketakutan setelah diburu FBI sebagai bagian kerjasama Interpol dengan Kepolisian Indonesia.  Belum ada fatwa mati seperti Salman Rushdi sudah gemetar. Dia mulai sadar bahwa Amerika baru memproduk UU penghapusan Islamophobia. Kerjasama Interpol dapat membuat Saifudin diekstradisi. Penjara sudah menanti dan \"napoleon-napoleon\" siap mengeksekusi. Mulai ia menjerit-jerit  \"Yesus tolonglah saya\"  \"saya sedang menantikan Yesus itu\", serunya. Ciut juga nyali si tersangka sambil ngomong \"saya dalam pelarian dari kota ke kota sepertinya saya paranoid\". Ha ha pendeta palsu yang merasa sudah melebihi nabi itu kini pusing tujuh keliling. Oleh umat Kristennya sendiri perilaku mencaci maki keyakinan agama lain itu tidak dibenarkan. Bahkan pelaporan Kepolisian atas ujaran penodaan agama tersebut di antaranya adalah dari komunitas Kristiani. Lalu Saifudin berjuang untuk apa dan untuk siapa?  Terhadap tersangka Saifudin Kepolisian telah menerbitkan red notice dan ia sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Federal Bureau of Investigation (FBI) memungkinkan untuk segera menangkap dan selanjutnya mengekstradisi pulang ke Indonesia.  Saifudin nampaknya bukan akan berbahagia membongkar \"oleh-oleh\" hasil piknik, tetapi terancam pasal-pasal aturan pidana atas perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik.  Ada Pasal 156 a KUHP yang mengancam penistaan agama penjara 5 tahun dan ada pula Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengenai ujaran kebencian berdasarkan SARA yang dikaitkan Pasal 45a ayat (2) yang mengancam penjara 6 tahun. Saifudin sesumbar untuk memakai Lawyer Amerika untuk menghindari penangkapan. Akan tetapi setelah ditangkap nanti lalu diekstradisi, maka Lawyer Amerika itu tidak akan bisa berbuat apa-apa.  Hai Pudin, tahukah akan nasehat bahwa kalau kau caci bapa orang lain sama saja kau caci bapamu sendiri. Orang yang kau caci akan mencaci serupa. Nah karenanya jangan kau hinakan agama orang lain, sebab saat itu engkau sedang menghinakan agama mu sendiri.  Nah Pudin, bila kau yakin akan pertolongan Tuhan tak perlu mahal-mahal sewa Lawyer segala. Pertanggungjawabkan saja ocehan tak bermutu mu itu di ruang pengadilan. Pulanglah dengan ksatria ke Indonesia, jangan sembunyi atau lompat sana lompat sini. Penampilan sok jagoan padahal pengecut, omongan berdalil padahal banyak dalih. Dusta atau hoax. Horee bisa kena \"bikin keonaran\" menurut UU No 1 tahun 1946 lho. Pudin sang pendeta palsu paranoid gemetar ketakutan seperti tikus kepergok mencuri keju.  Pudin teh jelema gelo nu make baju agama--Pudin itu orang sinting yang memakai baju agama.  Bandung, 9 April 2022.

Kursi Jokowi Digoyang-goyang

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BACALAH media sosial niscaya ditemukan fenomena politik baru sebagai efek dari aksi mahasiswa 28 Maret dan 1 April. Agenda berikut 11 April masih ditunggu. Sasaran aksi adalah menohok langsung Presiden soal perpanjangan masa jabatan baik penundaan Pemilu maupun amandemen tiga periode.  Berbeda dengan aksi aksi sebelumnya seperti aksi menentang RUU KPK dan RUU Cipta Kerja yang juga cukup besar diikuti pelajar, mahasiswa atau pun buruh, semua berhasil dipatahkan walau dengan sedikit kerusuhan yang dipicu diduga oleh perusuh buatan. Aksi kali ini justru mengarah langsung kepada singgasana.  Istana dengan melempar isu dan merekayasa dukungan soal penundaan Pemilu dan pengubahan masa jabatan Presiden membawa target perjuangan menjadi lebih fokus. Kursi Presiden yang digoyang. Cepat atau lambat desakan mundur atau dimundurkan akan semakin bergaung. Aksi pun menemukan momentum untuk mempercepat perubahan.  Rekayasa untuk tetap berkuasa justru berhadapan dengan desakan mempercepat turun dari kekuasaan. Masalah sudah sangat menumpuk untuk memicu dan mendorong gerakan. Hutang luar negeri menembus angka 7000 trilyun, kebijakan penanganan pandemi beraroma bisnis, penzaliman aktivis Islam, IKN yang babak belur dalam pembiayaan, Kereta Cepat yang mangkrak, ruang bangkit PKI, serta perpanjangan yang dipastikan melanggar Konstitusi.  Presiden mulai meragukan loyalitas dan kinerja menteri. Marah-marah yang dipertontonkan sebagai pencitraan palsu. Terindikasi bermitra dengan paranormal dalam pengambilan kebijakan. Pegangan pada Kepolisian mulai goyah mengingat instansi ini sedang berat menjawab tuduhan pelanggaran HAM, demikian juga dengan TNI yang dihubungkan dengan gonjang-ganjing PKI akibat langkah KSAD dan Panglima.  Mahasiswa telah berteriak, membuat riak dan bersemangat gerak. Setelah lama dibungkam pandemi, kini ada keberanian untuk beraksi kembali. Geliatnya memberi harapan pada rakyat. Patung kuda adalah tempat untuk mulai menggoyang kursi Istana. Presiden terpaksa harus mengatur ritme isu perpanjangan masa jabatan. Namun belum berniat menghentikan agenda.  Kursi Presiden sejak lama rapuh. Istana tidak pernah kuat. Topangan oligarki itu yang memanipulasi kekuatan. Tapi disadari tidak akan mampu menopang selamanya karena ada rayap yang membuat kursi semakin rapuh. Rayap itu kini mulai mengganas. Kursi menjadi mudah untuk digoyang-goyang. Dan bahayanya, mahasiswa peka dengan keadaan ini. Presiden panik atas ketidaksolidan oligarki karena realitanya mereka  sedang berebut kue kepentingan di usia senja kekuasaannya.  Rakyat ingin berubah lalu mencari celah. Tiga titik lemah yang dapat menjadikan kursi semakin goyah. Pertama menyinggung umat dengan membiarkan penodaan agama dan menuduh  umat Islam radikal. Neo PKI memanfaat momen. Kedua, harga kebutuhan pokok rakyat yang terus meroket. Rakyat tidak berdaya dan dapat berbuat nekat. Buruh gerah atas berbagai tekanan. Ketiga, nafsu ingin berkuasa terus. Penghianatan Konstitusi yang berkonsekuensi.  Aksi-aksi mahasiswa, umat Islam, buruh atau elemen lainnya akan terus menggoyang-goyang Jokowi yang semakin tidak nyaman duduk di atas kursi.  Kursi yang didapat dahulu dengan cara menggoyang-goyang suara. Suara kardus yang berbau kakus.  Bandung, 8 April 2022

KTT G20, Indonesia di Simpang Jalan?

Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Forum Diaspora Indonesia KECOLONGAN dalam perang Rusia-Ukraina, menjadikan Amerika berhitung ulang dalam hal memainkan hegemoni politiknya di wilayah Asia Pasifik. Kenapa ada kata “kecolongan” Amerika dalam perang Rusia - Ukraina? Karena kalau kita menyimak perang Uni Soviet dengan Afghanistan di masa perang dingin yang lalu, Amerika berhasil menggalang Taliban sebagai proxy Amerika dalam melawan Uni Soviet sehingga Uni Soviet kalah perang, hengkang, ekonominya terpuruk dan selanjutnya negara super power itu runtuh. Berbeda dengan saat ini. Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, lebih dahulu merangkul Cechnya bergabung dan memerangi Ukraina. Dan kita sesama ketahui bahwa Cechnya adalah salah satu negara Islam pecahan Uni Soviet yang cukup disegani di kawasan Balkan bahkan oleh Rusia itu sendiri. Saat ini, boleh dikatakan, dunia Islam ibarat bandul dari perseteruan dua kutub kekuatan global Amerika Cs versus Rusia-China dkk. Artinya kalau dipahami, dunia Islam saat ini mempunyai posisi penentu dari persiteruan dua kekuatan ini. Siapa yang lebih dulu merangkul Islam, maka akan mendapatkan tambahan kekuatan positif yang signifikan. Untuk itulah, Amerika menggalang sebuah resolusi dengan menjadikan 15 Maret sebagai “Hari Anti Islamphobia”. Amerika bersama dunia akan memerangi siapa saja yang menyebarkan Islamphobia berupa kebencian, ketakutan, kecurigaan kepada dunia Islam. Tentu, resolusi ini tidak lain adalah berupa sebuah “soft treatment” Amerika dalam membuka pintu konsolidasi bersama dunia Islam. Dimana, untuk wilayah Asia-Pasifik, Indonesia adalah sasaran utama yang akan dirangkul Amerika. Namun permasalahannya adalah Amerika tentu sudah sangat tahu, bagaimana Indonesia saat ini jauh berbeda dengan era Presiden sebelumnya. Indonesia saat ini, sudah menjadi “Underbow” nya China komunis. Hal ini diperkuat dengan banyak kebijakan baik dalam dan luar negeri Indonesia yang “mengekor” dan menguntungkan China komunis. Atau lebih sederhananya adalah berafiliasi kepada China.  Makanya, perhelatan KTT G20 yang akan di laksanakan di Indonesia akan menjadi batu ujian berat bagi diplomasi luar negeri Indonesia.  Karena Amerika, melalui juru bicara kementrian luar negerinya telah menyatakan tidak akan hadir di KTT G20, kalau Rusia ikut hadir. Sedangkan Rusia saat ini sedang mendapatkan hukuman sanksi-sanksi dari Amerika dan sekutunya atas invansi militer Rusia ke Ukraina. Permasalahan ini jangan anggap sepele. Ketidakhadiran Amerika di KTT G20 akan berdampak besar dan mungkin saja bisa berakibat KTT G20 batal atau malah bubar jalan. Sedangkan kita tahu KTT G20 ini, salah satu event bergengsi negara besar di dunia dimana saat ini, Indonesia mendapat giliran menjadi presidensianya selama 2 tahun. Ini akan menjadi masalah besar, karena Menteri Investasi dan Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa event KTT G20 ini adalah kegiatan ekonomi bukan politik. Artinya dari gestur politik Indonesia berdasarkan statemen “Lord Opung” ini jelas tampak bahwa, Indonesia akan enggan untuk menolak kedatangan Rusia. Sedangkan Rusia adalah sekutu kuatnya China komunis dimana Indonesia sejak pemerintahan hari ini terafiliasi. Dampak seandainya Amerika memang tak hadir dalam KTT G20 dimana Rusia hadir, pasti akan diikuti oleh negara lainnya sekutu Amerika seperti Inggris, Prancis, Italy, Kanada, Jepang, India, Korsel, di luar Turkey. Kalau ini terjadi, berarti Indonesia siap-siap akan “dicap” negara pendukung invansi militer Rusia ke Ukraina. Yang tentunya akan berdampak kepada pergaulan internasional dan sanksi global. Bisa-bisa Indonesia diisolasi, disisihkan, dan setelah itu pasti dijatuhi sanksi khas ala Amerika.  Dan bisa tidak mungkin, Amerika akan memainkan pengaruhnya untuk menjatuhkan pemerintahan hari ini. Seperti Pakistan baru-baru ini. Yang dianggap terlalu pro China, akhirnya ditumbangkan Amerika melalui proxynya di Pakistan. Begitu juga sebaliknya, kalau Indonesia menolak Rusia. Tentu juga akan berdampak terhadap hubungan bilateral dan China komunis. Sudah tentu China komunis akan tersinggung berat kalau sekutu utamanya Rusia diperlakukan seperti itu. Dan China komunis pasti juga punya cara untuk menekan pemerintahan Indonesia. Kesimpulannya adalah. Di sini akan dilihat kemampuan diplomasi luar negeri, wibawa, dan kepemimpinan pemerintahan hari ini. Apakah mampu melewati batu sandungan ini. Mari kita lihat apa yang bisa dilakukan pemerintahan hari ini. Apakah sejago mengobok-obok rakyatnya selama ini ? Atau memang jago kandang? Wait and see. Perth-Australia, 8 April 2022