Fitnah Al-Kahf dan Fitnah Kehidupan-04

Imam Shamsi Ali.

Islam pun hadir untuk di satu sisi mengkonfirmasi Urgensi ilmu. Tapi di sisi lain mengingatkan proporsionalitas ilmu dalam kehidupan manusia. Bahwa ilmu penting.

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

PADA bagian lalu disampaikan bahwa fitnah dunia itu begitu dahsyat. Fitnah atau cobaan (dan tantangan) dalam menghadapi goncangan dunia sangatlah tidak mudah. Betapa banyak orang bahkan dari kalangan agamawan sekalipun tergelincir akibat dunia.

Karena dunia sebagian agamawan saling sikut, hasad dan irihati antara satu dan lainnya. Tidak jarang juga aktifitas keilmuan bahkan ritual jadi ajang mengail udang di balik semak-semak. Bahkan, boleh jadi agamawan itu menjual agama untuk kepentingan dunianya.

Apalagi di bidang politik atau kekuasaan kerap jadi ajang memperkaya diri, keluarga dan kelompok. Kerakusan dunia menjadikan kekuasaan tidak lagi bertujuan melayani. Tadi ditujukan untuk mendapatkan pelayanan. Demi untuk memenuhi syahwat hawa nafsu dunia itu betapa ada politisi menjadikan segalanya jadi halal.

Intinya fitnah dunia itu dahsyat dan berat. Tidak sedikit yang berguguran dalam perjalanan menuju hidupnya akibat tarikan atau godaan dunia yang tak tertahankan. Bahkan hal yang termulia dari segala aspek hidup, niat kita, kerap melenceng ketika berhadapan dengan keduniaan yang sangat kuat.

Fitnah Keilmuan

Di Surah Al-Kahf juga disebutkan sebuah kisah yang sangat populer di kalangan Umat. Yaitu kisah nabi Musa AS dan Khidr AS. Sebagian ulama memahami Khidr sebagai nabi. Sebagian yang lain memahaminya sebagai seorang ahli hikmah dan bukan nabi.

Musa AS seperti yang kita kenal adalah nabi yang memiliki “himmah” (strong will atau keinginan keras). Jika menginginkan sesuatu maka dia akan kejar hingga terwujudkan. Bahkan nabi Musa juga dikenal sebagai nabi yang kuat secara fisik.

Para ahli tafsir menceritakan bahwa kisah Musa dan Khidr ini berawal ketika seseorang dari Umatnya bertanya kepadanya: “siapakah orang yang paling pintar di kalangan mereka?”. Musa menjawab bahwa dirinyalah yang paling tahu di antara mereka. Sebagai nabi tentu Musa benar.

Rupanya Allah ingin mengingatkan Musa bahwa “di atas kemampuan orang yang berilmu masih ada yang lebih berilmu” (wa fawqa kulli dzi ilmin aliim). Kisah ini tentunya tidak menyalahkan Musa. Karena sekali lagi, sebagai nabi dan rasul di tengah umatnya pastinya beliau yang paling tahu dari masalah-masalah keagamaan.

Saya tidak perlu menuliskan alor cerita itu lagi. Justru yang perlu digaris- bawahi adalah makna atau hikmah dari kisah Musa AS dan Khidr ini. Salah satu yang terpenting adalah bahwa ilmu itu ternyata bisa menjadi cobaan (fitnah) yang dahsyat dalam kehidupan manusia.

Ilmu di satu sisi bisa menjadi pintu ragam kebaikan dalam hidup manusia. Islam sendiri dengan jelas dan tegas menekankan bahwa urgensi ilmu untuk kesuksesan hidup. Berbagai ayat Al-Quran dan begitu banyak hadits-hadits Rasulullah SAW yang mengharuskan bahkan mewajibkan Umat ini untuk berilmu.

Dari ayat-ayat pertama yang turun (Iqra’) hingga kepada perintah untuk berilmu (fa’lam) termasuk kenyataan bahwa kata-kata terbanyak kedua dalam Al-Quran terkait dengan keilmuan (ilmu, pikiran, akal, dan yang semakna). Rasulullah pun seolah menyimpulkan dengan mewajibkan Umat ini menuntut ilmu. Seperti pada sabdanya “menuntut ilmu wajib atas setiap Muslim” (hadits).

Sejarah menegaskan bahwa hanya dengan ilmu pengetahuan peradaban bangsa-bangsa menjadi maju dan kuat. Wajar saja ketika Rasulullah merintis pembangunan peradaban Madinah para sahabat diharuskan menuntut ilmu. Bahkan dalam kondisi perang sekalipun proses mencari ilmu harus berlanjut.

Dengan semua urgensi ilmu itu pada satu sisi ternyata pada sisi lain ilmu ternyata bisa menjadi jembatan kehancuran manusia, baik pada tataran individualnya maupun kolektifnya. Pada sisi inilah ilmu menjadi fitnah kehidupan yang luar biasa.

Jika kenyataan ini kita tarik kepada kehidupan manusia masa kini akan sangat relevan dan mengena. Kita hidup dalam dunia yang dirajai atau dikomandoi oleh ilmu pengetahuan. Seolah dengan segalanya ditentukan hanya dengan ilmu pengetahuan.

Yang tanpa disadari pula ilmu menjadi tuhan kehidupan. Ilmu tidak lagi sebagai sarana (means). Tapi berubah menjadi tujuan. Bahkan ilmu menjadi ukuran ukuran segala hal. Sekaligus menjadi standar “nilai kehidupan” dalam mengukur baik buruknya sesuatu.

Di sìnilah ilmu berubah menjadi fitnah (cobaan) yang dahsyat. Keangkuhan manusia dengan keilmuan menjadi memuncak ketika Sumber ilmu (Sang Khaliq) terlupakan bahkan diingkari. Realita inilah yang sedang melanda dunia Barat. Karena keangkuhan keilmuan itulah yang menjadikan banyak kalangan yang agnostik (tak percaya Tuhan).

Islam pun hadir untuk di satu sisi mengkonfirmasi Urgensi ilmu. Tapi di sisi lain mengingatkan proporsionalitas ilmu dalam kehidupan manusia. Bahwa ilmu penting.

Tapi ilmu adalah jalan untuk menemukan sebuah nilai/makna tertinggi kehidupan. Sampai kepada sang Khaliq. (Iqra’ bismi Rabbika alladzi khalaq).

Dan untuk yang demikian terwujud Islam menekankan keseimbangan dan relasi yang tak terpisahkan antara akal (brain) dan hati (heart) manusia. Sesungguhnya ilmu yang sejati dalam pandangan Islam terlahir dari keharmonian hati dan akal (Ali Imran: 190-191).

Demikian hikmah Al-Kahfi yang mengingatkan kita akan fitnah keilmuan. Semoga Umat ini semakin terdorong untuk menguasai keilmuan sebagai jalan membangun peradaban alternatif. Tapi  keilmuan yang terbangun di atas nilai-nilai uluhiyah (samawi). Semoga!

JFK New York City, 11 Juni 2022. (mth)

507

Related Post