OPINI
Merebut Kedaulatan Rakyat Kembali pada Pancasila dan UUD 1945
Jika Allah menurunkan rahmat dan berkatnya, maka segera kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Sebab tanpa itu sulit untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila PEMILU masih tahun 2024 tetapi politik sudah mulai gatel dan oligarki menebar isu pemilu diundur, dengan segala dalih untuk menyelamatkan kekuasaan yang semakin hari semakin terlihat muka keserakahannya. Ternyata isu pemilu ditunda dengan penambahan 3 periode masa jabatan presiden bukan sekedar isapan jempol, sudah masuk pada operasi cipta kondisi dengan pengerahan masa dan rekayasa yang sangat kasat mata. Bahkan, entah Luhut Binsar Pandjaitan terlalu nafsu sehingga Apdesi yang melakukan kebulatan tekad mendukung Pak Joko Widodo tiga periode yaitu Apdesi yang abal-abal alias tidak mempunyai akte dan ijin dari Menkumham. Sungguh sangat memalukan bagi Presiden Jokowi. Yang jelas masa jabatan presiden itu sudah diatur di dalam konstitusi. Dua periode tidak mungkin dilakukan amandemen yang sifatnya hanya untuk kepentingan segelintir orang atau kepentingan oligarki. Apakah kita sebagai bangsa masih berdaulat? Apakah kita sebagai rakyat masih berdaulat atas negara bangsa ini? Sejak diamandemennya UUD 1945 yang kemudian pasal 1 ayat 2 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Diamandemen menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 1 ayat 2 hasil amandemen ini tidak jelas dan kabur pasal berapa di dalam UUD1945 yang menjalankan kedaulatan rakyat sangat tidak jelas. Pemilu dengan demokrasi liberal yang dijalankan saat ini rencana biayanya sebesar Rp 86 triliun. Atas nama demokrasi yang serba dengan permainan uang, kecurangan, dan membelah persatuan bangsa ini adalah bagian daei permainan oligarki saja. Kekuasaan demokrasi bisa dibeli oleh oligarki dan semua bisa diatur sesuai kepentingannya dan rakyat bagian dari legitimasi saja, tak lebih dari itu. Apakah demokrasi seperti itu yang dikehendaki oleh bangsa ini? Sesungguhnya “demokrasi itu untuk rakyat atau rakyat untuk demokrasi?” Ini sebuah renungan yang harus kita semua turut merenungkannya sebagai anak bangsa. Perjalanan berbangsa dan bernegara tentu melewati sejarah panjang, yang penuh dengan perjuangan dengan tetesan keringat sampai tetesan air mata dan darah. Bukan hanya harta, nyawapun dikorbankan untuk tegaknya kemerdekaan negeri ini dari penjajahan. Kiranya kita perlu menengok sejarah bangsa ini sebagai kaca benggala. Agar kita tidak masuk jurang untuk kedua kalinya. Cuplikan pidato Bung Karno: “Menemukan kembali revolusi kita”. Pidato ini sangat relevan dalam keadaan bangsa saat ini di mana kaum bandit telah berhasil menjual negara ini. Akibat hutang pada China dengan ekonomi liberalisme yang kompromis dengan Nekolim China. “Dimana djiwa Revolusi itu sekarang? Djiwa Revolusi sudah mendjadi hampir padam, sudah mendjadi dingin ta’ada apinja. Dimana Dasar Revolusi itu sekarang? Tudjuan Revolusi, – jaitu masyarakat jang adil dan makmur -, kini oleh orang-orang jang bukan putra-revolusi diganti dengan politik liberal – dan ekonomi liberal. Diganti dengan politik liberal, dimana suara rakjat banyak dieksploitir, ditjatut, dikorup oleh berbagai golongan. Diganti dengan ekonomi liberal, dimana berbagai golongan menggaruk kekajaan hantam-kromo, dengan mengorbankan kepentingan rakjat. Segala penjakit dan dualisme itu tampak menondjol terang djelas dalam periode invesment itu! Terutama sekali penjakit dan dualisme empat rupa jang sudah saja sinjalir beberapa kali: dualisme antara pemerintah dan pimpian Revolusi; dualisme dalam outlook kemasjarakatan: masjarakat adil dan makmurkah, atau masjarakat kapitaliskah? dualisme “Revolusi sudah selesaikah” atau “Revolusi belum selesaikah”? dualisme dalam demokrasi, – demokrasi untuk rakjatkah, atau Rakjat untuk demokrasikah? Dan sebagai saja katakan, segala kegagalan-kegagalan, segala keseratan-keseratan, segala kematjetan-kematjetan dalam usaha-usaha kita jang kita alami dalam periode survival dan invesment itu, tidak semata-mata oleh kekuarangan-kekuarangan atau ketololan-ketololan jang ihaerent melekat kepada bangsa Indonesia sendiri, tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang bangsa jang tolol, atau bangsa jang bodoh, atau bangsa jang tidak mampu apa-apa, – tidak! – , segala kegagalan, keseratan, kematjetan itu pada pokonja adalah disebabkan oleh karena kita, sengadja atau tidak sengadja, sedar atau tidak sedar, telah menjelewéng dari Djiwa, dari Dasar, dan dari Tudjuan Revolusi! Kita telah mendjalankan kompromis, dan kompromis itu telah menggerogoti kitapunja Djiwa sendiri! Insjafilah hal ini, sebab, itulah langkah pertama untuk menjehatkan perdjoangan kita ini. Dan kalau kita sudah insjaf, marilah kita, sebagai sudah saja andjurkan, memikirkan mentjari djalan-keluar, memikirkan mentjari way-out, – think and re-think, make and re-make, , shape and re-shape. Buanglah apa jang salah, bentuklah apa jang harus dibentuk! Beranilah membongkar segala alat-alat jang tá tepat, – alat-alat maretiil dan alat-alat mental -. beranilah membangun alat-alat jang baru untuk meneruskan perdjoangan diatas rel Revolusi. Beranilah mengadakan “retooling for the future”. Pendek kata, beranilah meninggalkan alam perdjoangan setjara sekarang, dan beranilah kembali samasekali kepada Djiwa Revolusi 1945….” Maka dari itu kita harus berani meluruskan jalannya negara bangsa ini yang telah melenceng dari Pembukaan UUD 1945, melenceng dari Pancasila dan melenceng dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika Allah menurunkan rahmat dan berkatnya, maka segera kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Sebab tanpa itu sulit untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia merdeka dasarnya Pancasila. Jadi kalau negara tidak didasarkan pada Pancasila bisa dipastikan bukan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Bung Karno mengatakan Pancasila itu lima prinsip dalam berbangsa dan bernegara. Kita mempunyai proclamation of independence dan declaration of independence sekaligus. Proklamasi kita memberikan tahu kepada kita sendiri dan kepada seluruh dunia. Bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka. Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu. (pidato Soekarno). Sadar atau tidak sadar amandemen UUD 1945 adalah membubarkan negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Mengapa? Sebab pendiri negeri ini sudah membentuk negara berdasarkan Pancasila sesuai dengan Alinea ke-4 UUD 1945 mempunyai prinsip sendiri yang mengikat bangsa Indonesia. Amandemen UUD 1945 justru mengkhianati prinsip-prinsip yang sudah menjadi konsesnsus nasional yang diurai di dalam UUD 1945 dan Pembukaannya. Sistem negara berdasarkan Pancasila ada tiga ciri yang tidak di punyai oleh sistem Presidenseil, Parlementer atau kerajaan sekalipun, yaitu: 1. Adanya lembaga tertinggi negara yang disebut MPR. 2. Adanya politik rakyat yang disebut GBHN. 3. Presiden adalah Mandataris MPR. Ketiga ciri ini sudah tidak ada artinya negara ini sudah tidak berdasarkan Pancasila. Jika ketiga prinsip itu tidak ada maka Visi dan Misi negara juga berubah, sebab visi dan misi negara tidak bisa dijalankan Memang aneh UUD 1945 diamandemen setelah pasal 7 tentang masa jabatan presiden hanya dua periode, tapi apa yang terjadi sekarang pemilihan presiden bukan semata mata mencari pemimpin, justru telah masuk pada pertarungan oligarki untuk perebutan penggarongan kekayaan ibu Pertiwi, bahkan apalagi kekuasaan tidak mampu lagi menguasai oligarki. Kasus minyak goreng adalah jendela contoh soal yang bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di negeri terbesar penghasil minyak sawit justru rakyatnya untuk beli minyak goreng harus antri sampai ada yang meninggal. Padahal itu beli, bukan mendapat gratisan, sementara harga minyak sawit di Malaysia Rp 7.500 per liter di Negeri ini Rp 14.000, dikatakan harga subsidi, dan ketika harga subsidi dihapus harga minyak goreng menjadi Rp 24.000,- sungguh mencekik leher rakyat. Gerakan ingin menjadikan jabatan presiden tiga periode bukan sekedar wacana penundaan pemilu. Itu sama artinya perpanjangan masa jabatan presiden dan pejabat negara lainnya termasuk anggota DPR . Tiga ketua umum (Ketum) partai politik, yakni Muhaimin Iskandar (Ketum Partai Kebangkitan Bangsa), Airlangga Hartarto (Partai Golkar), dan Zulkifli Hasan (Partai Amanat Nasional) melontarkan usul agar Pemilu 2024 diundur, setidaknya selama setahun atau dua tahun. Entah apa yang ada dibenak mereka, penundaan atau perpanjangan masa jabatan presiden jelas melanggar konstitusi dan dengan sendirinya melanggar sumpah jabatan Presiden, Menteri, Anggota DPR. Jelas hal ini adalah kudeta terhadap konstitusi. Wacana presiden tiga periode bukan isapan jempol sudah masuk pada operasi politik dimulai dengan bertebaran baliho dukungan, deklarasi-deklarasi kebulatan tekad seperti jaman Orba. Dan yang lebih memprihatinkan, direkayasanya dukungan melalui Adepsi oleh LBP, tetapi akhirnya terbongkar juga, ternyata Adepsi-nya Abal-Abal alias tak mempunyai ijin dari Menkumham, sebab ada Adepsi yang asli yang sah kok bisa Presiden dihadapkan pada Adepsi Abal-Abal, memalukan. Hari ini kita tidak bisa lagi berdiri, apalagi berdikari, hutang yang sudah hampir menenggelamkan Indonesia dan Ekonomi digantungkan pada Investor aseng dan asing. Bahkan, pembangunan bangsa ini apa kata China, maka pembangunan ini bukan apa yang dibutuhkan bangsa dan rakyatnya, tetapi apa kepentingan China dengan proyek OBOR-nya, infrastruktur akhirnya dijual pada China. Tanpa perang, China telah menguasai tanah air, 75 % lahan sudah dikuasai Aseng dan Asing, Investasi Aseng lebih penting daripada nyawa rakyatnya di saat dunia menolak kedatangan TKA China, kita justru memasukan TKA asal China pembawa dan penyebar Virus Corona. Ekonomi kita semakin tidak berdaulat karena Korupsi dan salah kelola, yang ada hanya Hutang-hutang dan Hutang. Sebuah pertanyaan besar yang harus kita jawab apa Indonesia yang seperti ini yang kita inginkan? Tidak ada kata yang lain untuk menyelamatkan negeri ini, revolusi kembali ke Pancasila dan UUD1945. Diam kita diinjak maka melawanlah dan bergeraklah Menyelamatkan Tanah air Pusaka. (*)
Hati-Hati Bom Fiskal dan Bom Migas Meledak
KONDISI Anggara dan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sungguh sarat beban, kondisi ini diperparah kondisi neraca migas yang sudah negative dan diperparah oleh perang Rusia lawan Ukrainia, semakin memperparah derajat krisis. Hati-hati, suatu ketika APBN dan neraca migas kita benar-benar shut down di suatu saat. Indikasi itu tampak jelas dari beban utang Pemerintah di akhir Februari 2022 yang sudah menembus angka psikologis Rp7.000 triliun, persisnya Rp7.014.58 triliun. Menurut informasi APBN Kita Kementerian Keuangan, jumlah utang tersebut sudah bertambah Rp95,43 triliun dibandingkan posisi akhir Januari 2022. Kalau saja di bulan Maret 2022 ada tambahan utang Rp100 triliun saja, maka total utang Pemerintah hari ini telah mencapai Rp7.114.58 triliun. Dengan demikian total rasio utang Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah mencapai 40,17% atau naik dibandingkan rasio utang Pemerintah terhadap PDB bulan Januari 2022 sebesar 39,63%. Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan jumlah itu dalam kategori wajar dan aman karena masih di bawah posisi 60% dari PDB. Utang pemerintah Indonesia paling besar dikontribusi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), dengan rincian SBN domestik yakni sebesar Rp4.901,66 triliun dan SBN dalam bentuk valutas asing (valas) Rp1.262,53 triliun. Baik SBN domestik maupun vakas, masing-masing terbagi menjadi dua, yakni dalam Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Utang pemerintah lainnya bersumber dari pinjaman yakni sebesar Rp 850 triliun meliputi pinjaman dalam negeri sebesar Rp13,27 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp837,11 triliun. Apabila dirinci lagi, pinjaman luar negeri itu terdiri dari pinjaman bilateral Rp294,36 triliun, pinjaman multilateral Rp499,09 triliun, dan commercial banks Rp43,66 triliun. Dengan posisi utang Pemerintah sebesar itu, bagaimana beban pokok dan bunga atas utang tersebut? Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Siti Nur Rosifah menyoroti alokasi anggaran untuk pembayaran bunga utang pemerintah pada RAPBN 2022 yang mencapai Rp405,9 triliun. Angka tersebut hampir setara dengan seluruh alokasi anggaran perlindungan sosial (perlinsos) untuk lebih dari 160 juta masyarakat miskin. Adapun, alokasi untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp405,9 triliun itu terdiri dari Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri sebesar Rp393,7 triliun dan Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri Rp12,2 triliun. Selain itu, beban bunga utang melonjak dari 17,9% dari penerimaan perpajakan pada 2019, menjadi 24,4% dari penerimaan pajak pada 2020. Beban bung aitu jauh di atas batas aman pada kisaran 7% hingga 10%. Pemerintah harus menyelesaikan kewajiban utang jatuh tempo pada semester I 2022 sebesar Rp443,8 triliun. Itu artinya beban APBN 2022 sungguh sangat berat, saking beratnya, untuk membayar pokok dan bunga utang tersebut, Pemerintah harus berutang kembali. Kondisi ini diprediksi akan membuat manuver APBN 2022 sungguh sangat terbatas, saking terbatasnya bisa aja meletus dan tak kuat menanggung beban utang tersebut. APBN 2022 bisa saja mengalami ledakan, shut down. Kondisi ini diperparah dengan perang Rusia lawan Ukrainia, karena perang ini telah melambungkan harga minyak dunia dari kisaran US$90 per barel naik ke kisaran US$119 hingga US$120 per barel. Karuan saja beban impor minyak mentah dunia ke tanah air pun melonjak, dan pada gilirannya rugi selisih kurs yang menganga itu menambah berat neraca migas kita. Harga minyak brent sempat melambung ke posisi tertinggi di level US$122 per barel begitu perang terjadi. Rabo Bank memprediksi harga minyak dunia masih bisa naik ke level US$125 per barel akibat perang ini, sementara JP Morgan memprediksi harga minyak dunia di kisaran US$120 per barel. Namun masyarakat Ekonomi Eropa khawatir perang terus berkecamuk dan memanjang, dan kalau itu terjadi maka akan mendongkrak harga minyak hingga ke level US$175 per barel. Harga minyak sempat menembus angka tertinggi pada 2012 di level US$148 per barel. Konsekuensi naiknya harga minyak, maka secara langsung akan berdampak pada kenaikan beban APBN. Kementerian Keuangan menghitung setiap US$1 kenaikan harga minyak dunia maka akan berdampak pada kenaikan beban APBN sebesar Rp350 miliar. Tinggal mengkalkulasi berapa beban tambahan APBN 2022 dalam kenaikan harga minyak tersebut. Apalagi posisi Indonesia hari ini di posisi net importir minyak, maka serta merta beban itu bertambah, yakni beban dari kenaikan harga minyak plus beban selisih kurs yang makin tinggi. Hal ini tercermin dalam defisit migas hari ini. Sampai dengan Desember 2021, defisit migas kita mencapai US$2,08 miliar, yaitu diambil dari selisih ekspor migas sebesar US$192,3 juta dibandingkan posisi impor migas sebesar US$2,28 miliar. Sampai Januari 2022 saja defisit migas sudah mencapai U$1,15 miliar, yakni selisih antara impor migas US$1,33 miliar dibandingkan ekspor migas sebanyak US$180 juta. Dampak defisit migas ini di level lebih mikro tercermin dari selisih permintaan migas dengan kuota migas yang tersedia. Pada 2022, trend permintaan solar cenderung naik seiring peningkatan pertumbuhan ekonomi setelah adanya geliat ekonomi pasca Covid-19 di kisaran 5%, berbanding ketersediaan kuota solar yang semakin turun. Pada Maret 2022, permintaan solar naik ke posisi 43,7 juta kiloliter, sementara kuota yang tersedia turun ke level 35,4 juta kiloliter. Karena ada selisih 8,3 juta kiloliter. Kondisi ini diperparah dengan adanya disparitas yang sangat tinggi antara harga solar bersubsidi dengan solar non subsidi sebesar Rp7,800 per liter, harga solar subsidi sebesar Rp5.150 sedangkan harga solar non subsidi sebesar Rp12.950 per liter. Hal ini yang menjelaskan mengapa solar beberapa waktu belakangan hilang di pasaran, karena selain diborong oleh industri migas maupun industri kelapa sawit, juga ditimbun. Mereka ingin menikmati keuntungan ganda, yakni bisa dapat harga solars subsidi, sekaligus bisa memiliki cadangan solar yang cukup. Jika kondisi neraca migas ini dibiarkan, tanpa intervensi menaikkan harga migas non subsidi, maka dapat dipastikan Pertamina dan APBN akan jebol. Kondisi ini bisa menyebabkan dua bom sekaligus, bom fiskal maupun bom migas. Semoga saja tidak terjadi. Kondisi dua bom itu hanya tidak akan meledak jika negeri ini dikelola dengan bijaksana!!
KPK Harus Telisik Proyek Digitalisasi 5518 SPBU Pertamina - Telkom Senilai Rp 3,6 Triliun
Selain itu, menurut perjanjian Pertamina wajib membayar Rp 15,25 per liter dari jumlah BBM di seluruh Indonesia kepada PT Telkom selama lima tahun. Oleh: Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) PERNYATAAN Dirut PT Pertamina Holding Nicke Widyawati baru baru ini di depan anggota DPR RI Komisi VI, dalam acara dengar pendapat pada Senin 28/3/2022, tentu sangat menarik untuk dicermati oleh segenap penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, Nicke di dalam rapat itu telah menyatakan bahwa salah satu penyebab kelangkaan Biosolar di SPBU Pertamina di berbagai daerah, diduga karena ada penyelewengan penggunaan BBM Solar Subsidi tetap atau Biosolar oleh industri tambang dan perkebunan, informasi itu layak dicermati. Pernyataan Nicke itu didasari adanya peningkatan adanya konsumsi Biosolar yang mencapai 93%, pada saat yang sama malah terjadi penurunan drastis penggunaan solar non subsidi atau Dex seri hanya 7 %, karena disparitas harga jualnya yang cukup tinggi. Jika pernyataan Dirut Pertamina itu benar, tentu pertanyaan kritisnya apa guna proyek digitalisasi SPBU bernilai Rp 3,6 triliun itu? Artinya proyek itu telah gagal memonitor untuk bisa mengendalikan penjualan Biosolar dan Premium agar tidak salah sasaran, karena khusus untuk konsumsi rakyat bawah. Tampaknya hingga saat ini di berbagai daerah, sudah muncul rasa frustasi di kalangan awak supir supir truk, terutama yang mengangkut kebutuhan bahan pokok dan pengangkutan kebutuhan proyek infrastruktur, akibat kesulitan mendapatkan Biosolar di daerah. Bahkan, beredar ada ocehan mereka, “untuk apa harga Biosolar murah tapi tak ada barangnya, mending mahal tapi ada barangnya, apa ini cara mafia?” Artinya, supir-supir truk itu sudah tak perduli dan tak merasa penting pada dialog-dialog antara pihak Pertamina dengan DPR, KESDM maupun dengan BPH Migas, apalagi soal terminologi langka dan over kuota 10 %, sangat tak penting kata mereka, makin pening kepala kami, bagi kami yang penting ada barang itu berupa Biosolar. Menurut kawan saya di Riau dan Kalimantan, tak terasa menetes air matanya melihat supir-supir itu puluhan jam antri di SPBU belum tentu pun dapat Biosolar, padahal di sekitarnya tampak banyak kepala sumur minyak itu lagi mengangguk-ngangguk tanda berproduksi, bahkan termasuk kiri kanan tempat itu sepanjang jalan penuh lahan sawit, tapi koq susah kita ya....tanya dia. Selain itu, menurut perjanjian Pertamina wajib membayar Rp 15,25 per liter dari jumlah BBM di seluruh Indonesia kepada PT Telkom selama lima tahun. Jika konsumsi BBM nasional melalui SPBU Pertamina dengan asumsi per hari 135.000 KL tanpa pertumbuhan selama 5 tahun, maka Pertamina wajib menyetor ke Telkom sekitar Rp 2 miliar per hari, selama lima tahun. Maka sungguh sia-sialah proyek digitalisasi jika tidak mampu mengontrol potensi kebocoran subsidi sekitar Rp 20 triliun setiap tahun dari APBN. Padahal, Pertamina sudah mengoperasikan digitalisasi SPBU sejak 2021, meskipun terlambat dua tahun dari target awalnya. Proyek Digitalisasi seluruh SPBU di Indonesia adalah produk Perjanjian Kerja Sama antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Telkom Tbk ditandatangani pada 31 Agustus 2018, proyek tersebut diinisiasi oleh Mas\'ud Khamid sebagai Direktur Pemasaran Retail Pertamina saat itu. Adapun tujuan digitalisasi SPBU ini dimaksudkan untuk memonitor peredaran penjualan Biosolar atau Solar subsudi tetap dan penjualan Premium secara real time di kantor Pertamina, KESDM dan BPH Migas, agar penyaluran BBM subsidi dan BBM penugasan tepat sasaran bagi pengguna yang berhak, sesuai Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Eceran BBM, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 31 Desember 2014. Oleh sebab itu, jika KPK tidak menindaklanjuti permintaan Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa pada awal Januari 2021, untuk melakukan audit teknologi terhadap sistem digitalisasi SPBU itu, maka tak salah jika rakyat menganggap KPK ikut lalai dalam menjaga kebocoran anggaran negara untuk penyaluran BBM Subsidi, maupun BBM Penugasan. Jakarta 1 April 2022. (*)
Pilpres 2024, Titik Balik Indonesia Bersama Anies Baswedan
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN LELAH dan jenuh. Bercampur marah juga. Rata-rata rakyat merasa seperti itu. Jengkel sekali melihat kelakuan para penguasa. Dari hari ke hari mereka semakin bebal. Bukan penderitaan rakyat yang menjadi perhatian. Bukan keselamatan Indonesia yang mereka pikirkan. Bukan kedaulatan negara yang mereka khawatirkan. Tidak pula kegagalan yang mereka sesalkan. Melainkan, perpanjangan masa kekuasaan yang malah diperjuangkan siang-malam. Dengan segala cara, para penguasa melancarkan macam-macam strategi dan kelicikan. Agar pemilu bisa ditunda 2-3 tahun. Bahkan, agar masa jabatan presiden bisa lebih dari dua periode. Mereka tak peduli UU tentang pemilu. Mereka juga anggap enteng UUD yang mengekang presiden dua periode. Sungguh rezim ini ugal-ugalan dan sangat berbahaya. Semua kita paham mengapa ini terjadi. Yaitu, karena ada hajat pribadi Presiden Jokowi. Plus, kerakusan para oligarki cukong. Keinginan pribadi Jokowi dan kerakusan oligarki berkolaborasi membentuk kekuatan dahsyat. Tidak tanggung-tanggung. Mereka menggunakan kendaraan otoriter di atas jalan demokrasi. Melihat ke belakangan, rezim ini menyiakan-nyiakan waktu cukup banyak. Dari kaca mata kepentingan rakyat, 7-8 tahun waktu terbuang. Memang iya, dari kaca mata kepentingan pemodal rakus, mereka telah menumpuk banyak kekayaan pribadi. Banyak yang pantas diduga menyimpan kekayaan di luar negeri. Sebaliknya, rakyat semakin susah. Keperluan hidup mereka melonjak harganya. Bahkan harus antre untuk mendapatkannya. Itu terjadi tanpa rasa bersalah di pihak penguasa. Pemerintah pamer membangun fasilitas yang tidak atau belum diperlukan publik. Presiden Jokowi senang proyek-proyek besar. Beban utangnya harus dipikul rakyat. Aspek lainnya, Pemerintah tidak serius memberantas korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Bahkan, para penguasa yang sangat tinggi banyak yang melakukan KKN itu. Pegiat-pegiat yang mencoba membongkar praktik busuk para penguasa itu dijadikan tersangka. Di ruangan lain, para pemodal menguras kekayaan bumi Indonesia tanpa peduli kerusakan alam. Tanpa perasaan tentang generasi penerus. Mereka ini mengajak para pejabat negara untuk ikut ambil bagian. Para pejabat yang seharusnya mencegah eksploitasi semena-mena, malah masuk ke lingkaran jahat itu.Mereka melindungi operasi pengurasan yang lakukan oleh pengusaha-pengusaha konglomerat. Jadi, tidak ada cerita keadilan sosial. Dan jangan harapkan keadilan hukum. Slogan “semua sama di mata hukum” menjadi sekadar memori pelajaran tentang idiom. Kesewenang-wenangan seperti sekarang bisa berlanjut sekian tahun lagi kalau rakyat tidak waspada. Rezim zalim ini jangan sampai diberi waktu tambahan maupun periode ketiga. Pilpres 2024 haruslah menjadi titik balik (turning point) Indonesia. Hanya ada dua pilihan. Semakin hancur berantakan, atau memulai pekerjaan rehabilitasi di bawah pemimpin baru. Indonesia memiliki figur yang mampu memimpin rehabilitasi (perbaikan) itu. Tetapi, rakyat haruslah paham atau diberi pemahaman tentang tokoh yang memiliki kapabilitas, kapasitas dan integritas untuk memimpin misi ini. Kita punya sejumlah pilihan. Ada Anies Baswedan, ada Ganjar Pranowo, ada Ridwan Kamil, ada Puan Maharani, dan Prabowo Subianto. Rakyat tahu siapa tokoh yang layak. Yang terbaik. Hari ini, sesuai fakta, yang banyak menjadi perbincangan publik di warung kopi, media utama dan berbagai platform media sosial adalah Anies Baswedan (ABW). Ini menunjukkan rakyat sepakat bahwa Indonesia harus ”balik kanan” dengan nakhoda ABW. Rakyat menginginkan titik balik Indonesia bersama Anies, 2024.[]
Desa yang Terusik Jokowi Tiga Periode
Oleh Gde Siriana - Direktur Eksekutif INFUS dan penulis buku \"Keserakahan Di Tengah Pandemi\" PADA awal Desember 2021 Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Surta Wijaya menyampaikan bahwa APDESI akan menganugerahi Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai \"Bapak Pembangunan Desa\" serta \"Bapak Kepala Desa Se-Nusantara\". Manuver APDESI untuk terlibat dalam konstelasi politik nasional berlanjut. Pada 29 Maret 2022 APDESI mengklaim setelah Idul Fitri, seluruh kepala desa berencana mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo 3 periode. LBP (Luhut Binsar Panjaitan) tentu saja sumringah, dan para pembantunya seperti Stafsus Ngabalin dan Menteri Investasi Bahlil menyambut umpan lambung ini dengan smash menukik demi memberi pembenaran pada dukungan Big Data yang diklaim LBP, yang telah disangkal berbagai pihak. Sementara Kemendagri masih malu-malu mendukung secara terbuka, menyatakan menyangkal terlibat dalam operasi mobilisasi Kepala Desa. Tentu saja manuver memobilisasi kepala desa untuk mendukung Jokowi Tiga Periode sudah sangat telanjang di mata publik. Menteri Desa Abdul Halim Iskandar adalah kakak kandung Cak Imin, Ketua Umum PKB yang melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Sedangkan Wamen Desa Budi Arie Setiadi adalah ketua umum Projo, relawan pendukung Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. Maka tidak perlu lagi diperdebatkan mengapa kepala desa ikut-ikutan dikerahkan demi melancarkan agenda Jokowi Tiga Periode. Jika melihat sikap Presiden Jokowi yang marah terhadap WAG TNI yang masih mempersoalkan IKN dengan alasan itu sudah diputuskan pemerintah dan DPR, maka tentunya konsistensi sikap Jokowi juga diterapkan kepada para pembantunya yang melontarkan gagasan Tiga Periode, bilamana pernyataan Jokowi taat konstitusi adalah benar dan dapat dipercaya publik. Yang terjadi adalah tidak satupun teguran atau kemarahan yang terlontar dari Jokowi untuk menertibkan manuver para pembantunya. Apalagi tindakan mencopot mereka dari jabatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa gerakan Jokowi tiga periode atau pun perpanjangan masa jabatan presiden, yang saya singkat menjadi GJTP/PMJP merupakan gerakan yang sistematis dan dikendalikan oleh istana. Menarik untuk mengamati bahwa para kepala desa dimobilisasi untuk kepentingan politik elit di pusat, selain mobilisasi ormas dan kelompok/golongan lainnya. Karena meskipun pertarungan pamungkas nya akan terjadi di DPR/MPR, dukungan formal, meskipun hanya klaim dan tidak mencerminkan sikap akar rumput, dirasakan perlu oleh GJTP/PMJP untuk membentuk opini publik. Yang patut dikritisi adalah sikap memobilisasi dukungan akar rumput dilakukan oleh instrumen kekuasan, yang tentu saja ini akan membelah masyarakat. Misalnya beberapa pihak dalam APDESI menyangkal klaim bahwa APDESI mendukung GJTP/PMJP. Hal yang sama juga terjadi ketika mahasiswa mengkritisi kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Ormas Cipayung Plus menemui Presiden Jokowi di Istana. Meskipun yang disampaikan adalah dukungan pada proyek IKN dan puja-puji kepada Jokowi, tentu saja tidak menutup kecurigaan sebagai bagian dari dukungan kepada GJTP/PMJP. Jadi nafsu kekuasaan istana tidak lagi memperdulikan kohesitas kehidupan sosial masyarakat. Bahkan cenderung memecah belah masyarakat. Saya melihat, posisi presiden Jokowi sudah terjepit akibat agenda ini. Dalam lingkaran kekuasaan, sikap Megawati yang menolak GJTP/PMJP bagaimanapun juga telah memperlebar keretakan yang sebelumnya sudah ada. Sedangkan membatalkan GJTP/PMJP juga akan lebih merugikan presiden Jokowi terutama terkait dengan calon-calon yang dikehendaki Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2024. Landasan teorinya adalah Sindrom Petahana atau Sindrom Periode Kedua. Petahana memiliki impian untuk terus dikenang oleh rakyat, dipuja puji sebagai pemimpin yang berhasil dan mewariskan kejayaan. Juga ingin terus menjadi bagian dari God Father yang mengatur kekuasaan berikutnya. Hal ini pernah terjadi juga ketika lingkaran kekuasaan SBY mencoba menggoda SBY untuk tiga periode, tetapi SBY berhasil menolak gagasan itu. Kini Jokowi tergoda. Bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri, ketika anak-mantunya dikarbitkan jadi kepala daerah. Suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya. Sindrom Petahana Jokowi bukan lagi sekedar gagasan. Kini gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi mensiasati konstitusi. Terkait membeli kader-kader partai, gagasan perpanjangan masa jabatan presiden akan sangat lebih menarik bagi kader partai yang merupakan petahana di DPR. Juga petahana di DPD. Karena masa jabatan mereka pun ikut diperpanjang sepaket dengan presiden. Singkatnya SPS, semua petahana senang. Jika GJTP/PMJP gagal, sudah disiapkan rencana cadangan untuk menempatkan orang-orang pilihan sebagai penggantinya melalui berbagai mekanisme apapun yang mungkin terjadi bilamana terjadi deadlock politik yang menyebabkan peralihan kekuasaan ataupun mekanisme Pilpres 2024. Jadi dengan demikian saya memandang GJTP/PMJP akan terus dipaksakan semaksimal mungkin, apapaun resiko dan berapapun biayanya. Sepertinya publik akan sia-sia berargumen bahwa menurut Undang-undang Kepala Desa tidak boleh berpolitik praktis. Jangankan melanggar UU, konstitusi pun dilawan oleh GJTP/PMJP. Yang perlu disadari para elit dan tokoh masyarakat desa adalah bahwa pertarungan elit ketika di bawa ke akar rumput akan menimbulkan konflik horisontal, yang sangat memungkinkan menimbulkan pertumpahan darah. Dalam kehidupan politik desa, juga ada kader-kader partai politik, yang memungkin terjadi konflik di antara mereka sebagai turunan dari sikap politik yang tegas antara partai pendukung GJTP/PMJP dan partai yang menolak. Misalnya kader-kader PDIP yang loyal dengan Ketumnya Megawati Soekarnoputeri akan berkonflik dengan kader-kader PKB atau Golkar yang mendukung GJTP/PMJP. Sangat mungkin kehidupan sosial di masyarakat desa juga terusik bilamana ada improvisasi tak terkontrol para operator GJTP/PMJP misalnya memobilisasi para ketua RT/RW dan majelis taklim emak-emak dan pemuda karang taruna. Dengan situasi ekonomi yang masih mencekik masyarakat menengah-bawah sejak pandemi Covid19 ditambah belakangan terjadi kenaikan harga sembako, gas, BBM, kelangkaan minyak goreng menjelang puasa Ramadhan, memang sepertinya akan mudah memobilisasi kepala desa dengan iming-iming materi. Tetapi patut disadari juga bahwa tidak semua hal dapat dipertukarkan. Loyalitas masyarakat pada konstitusi, akhlaknya, harapan-harapannya tentang esok yang lebih baik paska Jokowi, tidak selalu dapat ditukar dengan materi yang ditawarkan penguasa. Di sinilah potensi kerusuhan sosial dapat terjadi di desa-desa. Yang harus dicermati adalah dalam beberapa waktu mendatang, eskalasi akan semakin meningkat, dan besar kemungkinan akan ada mobilisasi dukungan GJTP/PMp oleh kelompok lain yg digerakkan oleh LBP cs. Memobilisasi masyarakat yang sesunggguhnya memang sudah terbelah sejak Pilpres 2014 akan sangat berbahaya karena akan berbenturan dengan kelompok-kelompok penjaga konstitusi yang juga sudah bergerak termasuk aksi-aksi mahasiswa. Potensi konflik sosial antara pendukung dan penolak GJTP/PMJP di desa-desa serta yang terjadi di kota-kota besar akan mengakibatkan chaos serta ketidakstabilan politik dan keamanan nasional. Jika politik dan keamanan tidak stabil, justru pemerintah sendiri lah yang akhirnya menyebabkan para investor asing enggan berinvestasi di Indonesia. (*)
Membedah Polemik Pernyataan Jenderal Andika tentang Anak PKI Masuk Tentara
Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Pemerhati Sosial Politik Forum Diaspora Indonesia, menetap di Perth Australia SEHARUSNYA pernyataan Panglima TNI saat ini tentang membuka pola dan standar baru penerimaan prajurit TNI adalah masalah internal TNI yang tidak perlu diributkan. Namun, karena doktrin dan jargon dari TNI itu sendiri adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional Indonesia dan tentara profesional, pernyataan Panglima yang terbuka ke publik menjadi perhatian karena TNI dalam mata batin rakyat Indonesia adalah anak kandung rakyat yang tentu rasa memiliki dan rasa cinta rakyat terhadap TNI sangat tinggi. Untuk itu, ada beberapa hal yang menurut pemahaman publik perlu penjelasan dan klarifikasi pemahaman sehingga pernyataan Panglima tersebut begitu mengagetkan rakyat bagai petir di siang bolong. Pertama, pernyataan Panglima tersebut diucapkan di tengah sedang memuncak tingginya prilaku Islamfobia oleh beberapa pejabat pemerintah terhadap Islam atas nama radikalisme dan intoleransi. Narasi yang “tidak ramah” terhadap ummat Islam tersebut kontradiksi dengan narasi “ramah” terhadap PKI atau apalah namanya yang ditampilkan Panglima TNI. Jadi momentumnya sungguh sangat tidak tepat di ucapkan. Di satu sisi, ummat Islam sedang kecewa dengan perlakuan pemerintah terhadap Islam, di sisi lain bagi para pihak anak keturunan PKI dan antek-anteknya tentu akan tepuk riang gembira. Seperti contoh ; Peristiwa show of force pasukan khusus TNI lengkap dengan panser dan ranpur menteror markas FPI di Petamburan, penurunan baliho oleh prajurit Kodam Jaya, serta ucapan KSAD Jendral Dudung tentang “Tuhan kita bukan orang Arab”. Masih begitu segar dalam ingatan ummat Islam di Indonesia. Dan peristiwa tersebut sangat menyakitkan dan melukai ummat Islam selaku mayoritas di bumi Nusantara ini. Narasi-narasi Islamfobia berlabel radikalisme, intoleransi dan terorisme ini secara masive digelorakan rezim saat ini. Dimana para pejabat negaranya pun seakan berlomba untuk mempertontonkan prilaku ini kepada publik nusantara. Seolah “ajang bakat” dalam mendapatkan sebuah apresiasi dari penguasa. Termasuk oknum pejabat tertinggi dari TNI itu sendiri. Kedua, Jendral Andika harus menjelaskan kepada publik, sebagai teladan yang baik, bahwa ucapan beliau membolehkan anak keturunan PKI masuk tentara itu adalah ucapan pribadinya atau ucapannya selaku Panglima TNI? Kalau itu adalah ucapan pribadi, ini sah-sah saja sebagai pendapat personal pimpinan. Namun, tentu ucapan pribadi ini tidak langsung dan ujug-ujug jadi sebuah keputusan mutlak. Tapi kalau ucapan tersebut adalah ucapan dirinya selaku Panglima TNI, Jendral Andika mesti mampu menjelaskan dasar ucapannya, baik secara akademis, teoritis, dan kaidah doktrin dalam institusi TNI. Tidak bisa ujug-ujug hanya karena “oh ini tidak ada dasar hukum tertulisnya, kita harus taat hukum” tidak bisa seperti itu. Dasar argumentasinya adalah ; Kalau hal tersebut tak ada dasar hukumnya, lalu dasar hukumnya buat Jendral Andika membuat keputusan itu juga apa? Ketiga, lalu kalau kita berbicara atas nama hukum, tidak bisa dengan pola kaca mata kuda. Dalam hukum itu, ada namanya etika, norma, dan azas hukum. Dimana etika, norma, dan azas hukum ini berada di atas hukum yang tertulis (positif) itu sendiri. Walaupun etika, norma, dan azas hukum tersebut tidak tertulis. Pemahaman ini sudah lazim bagi dunia hukum baik praktisi dan akademisi. Dan secara aplikatif dan konkrit atau yurisprudensinya, kenapa hanya ketika Panglimanya Jendral Andika, yang juga menantu Hendro Priyono ini, keputusan ini diambil. Padahal Panglima sebelumnya tak berani mengutak-ngatik hal ini. Walaupun aturan dan regulasinya sama. Ini ada apa? Keempat, ketika kita berbicara substansi ucapan Panglima, bahwa terjadi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap para keturunan anak PKI untuk masuk tentara. Padahal, dosa seorang bapak itu tidak diturunkan kepada anak cucunya. Ideologi itu tidak diturunkan bahkan banyak para anak cucu PKI yang bangun mesjid dan umrohkan masyarakat banyak. Jawabannya juga sederhana saja. Sekarang mari kita balik pertanyaannya. Kalau tidak ada jaminan seorang anak cucu PKI tertular ideologi orang tuanya, lalu apa juga jaminan seorang anak cucu PKI itu “tidak” tertular ideologi orang tuanya ? Kalaupun ada anak cucu keturunan PKI buat mesjid, umrohkan orang, hal tersebut tidak ada relevansinya. Selain data seperti itu apakah memang benar ada atau halu semata, yang menjadi permasalahan utama kita adalah ideologi PKI yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara. Karena apabila seseorang sudah terpapar ideologi PKI, maka kerjanya hanya merusak, mengadu domba, menebar kebencian, membolak-balik kan fakta, membenci agama apalagi Islam, suka mencaci maki symbol agama dan memfitnah demi mewujudkan tujuannya. Kelima, secara hukum positif sudah sangat jelas dan terang benderang. Bahwa penyebaran ideologi komunisme-leninisme-marxisme ini dilarang hidup di Indonesia. Berdasarkan TAP/MPRS/XXV/1966 dan UU nomor 27 tahun 1999. Artinya payung hukumnya sudah jelas dan tegas. Bagaimana implementasinya, di situlah diminta kepada para penegak hukum dan institusi negara tidak pilih kasih. Merujuk kepada kasus Munarman yang dikaitkan dengan terorisme hanya dengan hadir di dalam sebuah pembaiatan dan berhubungan dengan beberapa oknum personal jaringan yang dicap teroris, lalu bagaimana dengan contoh misalnya : ada sebuah partai besar yang konkrit dan berkesinambungan melakukan kerja sama dengan Partai Komunis China. Bahkan mengirimkan para kadernya belajar ke Partai Komunis China. Sampai generasi ke 14 setiap tahunnya? Hal-hal seperti inilah yang sebenarnya menjadi pemicu sentimentil dan munculnya asumsi liar terhadap penguasa hari ini. Yaitu : Ramah terhadap apa saja yang berbau komunisme, tapi sangat tidak ramah dan represif ketika berhubungan dengan Islam. Keenam, kalau kita berbicara TNI secara utuh. Seorang Panglima TNI sebagai pucuk pimpinan tertinggi harus paham dengan posisi dirinya dalam menjalankan politik negara bukan politik praktis. Politik TNI itu adalah politik negara yang setia kepada KeTuhanan Yang Maha Esa dan Pancasila - UUD 1945. Maksudnya adalah, TNI itu adalah milik dan kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, seorang prajurit TNI apapun pangkat jabatannya harus peka terhadap suara batin rakyat sebagai ibu kandungnya. Karena, pemahaman ini sudah tertanam dalam doktrin, jati diri, dan sumpah sapta marga seorang prajurit TNI. Artinya, TNI itu secara historikal sudah mempunyai kultur budaya, doktrin, jati diri, serta karakter yang sudah mapan dan baku. Maka jadilah out put nya saat ini, secara kualitas dan mutu, secara kewibawaan dan tingkat kepercayaan, TNI adalah organisasi pemerintahan terbaik nomor satu di negeri ini. Secara kualitas prajurit, bahkan TNI adalah salah satu tentara terbaik yang mempunyai pasukan khusus terbaik di dunia. Ranking 16 versi majalah Military Global Fire Power. Artinya, ini menunjukkan TNI telah berhasil membentuk dirinya sedemikian rupa sampai saat ini. Dan semua itu dimulai tentunya dari proses rekruitmen awal untuk menjadi seorang prajurit TNI. Nahh, tiba-tiba muncul ide dan ucapan Jendral Andika mengutak-ngatik proses dan standarisasi proses rekruitmen ini. Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar publik apalagi di internal tubuh TNI itu sendiri. Permasalahannya adalah, Jendral Andika tidak saja menghapus syarat anak keturunan PKI tidak bisa masuk tentara, tetapi juga masalah syarat keperawanan, syarat belum menikah, kemampuan berenang dan riwayat pecandu alkohol semua dihapuskan. Pertanyaannya adalah : apakah semua kebijakan Jendral Andika itu sudah melalui sebuah diskusi dan kajian akademis yang terukur secara ilmiah? Atau hanya ucapan sesaat semata? Ketujuh, Jendral Andika selaku Panglima TNI semestinya paham konstalasi dan dinamika politik tanah air saat ini yang sedang memanas. Baik itu tentang isu perpanjangan masa jabatan Presiden, hiruk pikuk Pemilu dan Pilpres. Karena akan dengan mudah, publik akan berasumsi ucapan Jendral Andika tentang anak PKI tersebut hanya sebagai ajang cari muka kepada penguasa hari ini khususnya PDIP. Karena, publik sudah tahu bahwa : Jendral Andika saat ini sebentar lagi akan memasuki masa pensiun November tahun ini. Dan publik juga tahu, uji materil perpanjangan usia pensiun TNI dari umur 58 menjadi 60 juga ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Sontak, benak publik akan dengan mudah mengkaitkan bahwa ada kepentingan politik pribadi sebagai ajang “cari muka” bermuatan politis. Walaupun hal itu kita juga yakin hanya berupa asumsi liar yang belum terbukti. Namun bagaimana kita bisa membatasi pikiran-pikiran manusia ? Kedelapan, Kebijakan Pelarangan anak keturunan PKI masuk tentara sejak zaman Orde Baru yang di lakukan oleh para senior dan pendahulu TNI tentu ada dasar kuatnya yang terukur. Mereka lah yang tahu bagaimana berbahayanya ideologi PKI ini terhadap bangsa kita. Dan mestinya hal ini menjadi warisan berharga bagi generasi penerusnya di TNI. Contoh kalau kebijakan pelarangan itu kuat dan terukur adalah ; Selama Orde Baru berkuasa, dimana segala tindakan PKI di koptasi dan di tekan, mana ada seperti saat ini, dengan mudahnya seseorang mencaci-caci agama. Dengan leluasanya orang yang dekat dengan kekuasaan menista agama, para tokoh ulama dan symbol-symbol agamanya, khususnya Islam. Adalah fakta dan bukti konkrit, bahwa sejak reformasi dan koptasi terhadap anak keturunan PKI dibuka inilah keharmonisan anak bangsa saat ini kembali rusak tercabik-cabik persis seperti tahun 1965 ketika PKI juga jadi partai penguasa. Ini adalah fakta konkrit yang tidak terbantahkan. Apalagi sejak China komunis menjada negara raksasa dunia sebagai sponsornya. Dengan sedikit pembahasan kita di atas, kita tentu semua mengharapkan agar TNI secara institusi kembali berjalan sesuai tupoksinya. Jangan seret-seret TNI ke dalam dunia politik praktis demi kepentingan pribadi. Pro dan kontra itu biasa, tapi asal jangan menabrak sesuatu hal yang seharusnya tabu dan sakral untuk diutak-atik. Karena TNI itu adalah institusi besar, berwibawa, dan sudah punya historikal, doktrin, dan jati diri serta karakter. Traumatik akan kebiadaban PKI masa lalu, sudah menjadi pakem sejarah bagi TNI secara permanen. Tak mudah untuk merubah itu semua. Bahkan akan memancing reaksi sebaliknya. Untuk itulah kita harapkan, agar ke depan siapapun yang menjadi Panglima TNI harus dapat memisahkan mana yang urusan pribadi dan mana yang urusan jabatan. Kalaupun ada sebuah kebijakan, apa salahnya gunakan media dan instrumen pengambilan kebijakan yang sudah ada. Agar ketika sebuah kebijakan itu diambil, sudah matang dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Bravo TNI, semoga TNI kita ke depan tetap berjaya dalam menjaga kedaulatan dan martabat negara kita. Amin. (*)
Desa Melawan Manipol Usdek
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Assosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) yang legal dan tedaftar di Kemenhukham melakukan protes atas pencatutan nama APDESI dan penyesatan opini pada Silatnas Kepala Desa di Istora Senayan 29 Maret 2022. Protes melalui pernyataan resmi APDESI yang ditandatangani Ketua Umum Arifin Abdul Majid dan Sekjen Muksalmina itu cukup menyentak. Sekurangnya ada tiga butir penting dari \"protes\" nya itu pertama, mengutuk keras penggiringan opini seolah-olah organisasi meminta perpanjangan jabatan Presiden. Kedua, mempertanyakan rekayasa penggunaan nama APDESI untuk kegiatan politik praktis. Ketiga mengusut aktor intelektual manipulasi dukungan perpanjangan masa jabatan Presiden 3 periode. Silatnas Istora Senayan yang dihadiri Presiden Jokowi dan Luhut Panjaitan itu terasa nuansa politiknya. Arahnya menuju deklarasi dukungan Jokowi tiga periode. Tentu dengan bahasa politik basa-basi. Dua hal menonjol dari acara berbiaya besar ini. Pertama, penggiringan berupa penggeseran budaya partisipasi politik kepada mobilisasi politik. Kedua, manipulasi politik (Manipol) dengan membohongi publik seolah-olah Presiden mendapat dukungan besar dari para Kepala Desa seluruh Indonesia. Ungkapan peserta mengarah pada agenda deklarasi dukungan perpanjangan tiga periode setelah lebaran. Ada skenario membangun gerakan manipulasi politik untuk usungan dan deklarasi (Manipol Usdek). Gaya Orde Lama yang dicoba untuk dipraktekkan kembali. Demokrasi bukan diarahkan pada pengembangan budaya partisipasi tetapi mobilisasi. Dulu usungan untuk Presiden seumur hidup. Protes APDESI legal adalah perlawanan desa sejatinya. Murni berbasis idealisme yang didasari semangat untuk membersihkan desa dari obyek manipulasi politik. Presiden jangan tertipu oleh aktor intelektual yang gencar membisikan bahwa dukungan rakyat masih benar-benar kuat. Bisikan busuk yang membahayakan. Soekarno dan Soeharto jatuh disebabkan bisikan palsu tentang dukungan seperti itu. Jokowi bersiap masuk dalam kubangan busuk dari berjuta kebohongan. Big dusta. Pemerintahan Jokowi semakin goyah dan kehilangan kepercayaan diri. Ketika dukungan melemah maka terpaksa harus berpura-pura kuat. Itulah mobilisasi, itulah manipulasi, dan itulah perlunya mencatut nama APDESI. Selamat berkhayal bahwa posisi masih kuat dan dicintai rakyat. Preet...! Bandung, 31 Maret 2022
Anies Menyusuri Jalan Demokrasi Berduri
Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI Seiring waktu Anies menjadi lebih dari sekedar seorang intelektual dan akademisi. Sadar memaknai jabatan dan posisi, saban hari Anies dituntut piawai mengelola visi dan misinya, mewujudkan keragaman aspirasi sekaligus amanat publik dalam balutan birokrasi. Melewati persimpangan kedaulatan rakyat dan realitas politik tanpa relasi dan sinergi. Dari Jakarta Anies mulai unjuk gigi mengukir kreasi, inovasi dan prestasi untuk memenuhi panggilan negeri. Kerapkali dibully dan diintimidasi, Anies tak pernah sedikitpun patah hati. Dalam badai interupsi dan interpelasi, Anies pantang menyerah dan frustasi. Menjaga kebersihan diri dari virus korupsi, kolusi dan segala bentuk distorsi. Anies komitmen dan konsisten merawat akal sehat menjunjung etika, moralitas dan nurani. Terbentur-terbentur dan terbentuk, melekat kuat figur percaya diri namun tetap mawas diri. Bersabar menghadapi dinamika publik dalam ruang diskusi dan interaksi. anies mampu menembus kompleksitas permasalahan warga penghuni ibukota negara dengan solusi. Anies pemimpin yang banyak memberi bukti, bukan seperti banyak pejabat yang memberi janji-janji yang diingkari sendiri dan larut dalam ilusi. Saat Indonesia berada di bibir jurang degradasi dan disintegrasi. Anies ditantang melanjutkan agenda reformasi yang mati suri. Membangun integritas dan kesinambungan, mengajak semua anak bangsa taat azas dan taat konstitusi. Meskipun bukan perkara yang mudah menuju pilpres 2024, Anies kini diuji menyusuri jalan demokrasi yang penuh duri. (*)
Seri Radikalisme-Terorisme 03 Akankah NKRI Segera Alami Kekacauan?
Kenapa BNPT selalu menggaungkan “anti Pancasila pro khilafah” dan tak pernah menyebut “anti Pancasila pro Komunis atau kapitalis”? Apakah pemerintah sedang menerapkan Trisila-Ekasila? Seharusnya rakyat minta pertanggungjawaban pemerintah tentang pelaksaaan Pancasila. Oleh Dr. Masri Sitanggang - Ketua Umum Gerakan Islam Pengawal NKRI RUMUSAN yang masuk akal untuk menyatakan terpapar radikalisme-terorisme adalah apa yang disampaikan Kasubdit Pemulihan Korban BNPT, Rudi Widodo, yakni : anti Pancasila, anti kebhinnekaan, anti NKRI, anti Undang-Undang Dasar 45. Masuk akal, karena ke empat poin ini nyata dapat membahayakan negara. Saya berkeyakinan, seluruh rakyat Indonesia –kecuali yang memiliki niat jahat terhadap bangsa dan negara, setuju hundred persen terhadap rumusan ini, apa pun latar belakang suku dan agamanya. Memasukkan masalah-masalah internal umat Islam – seperti takfiri, bid’ah, yasinan, wiridan, maulidan dll semacamnya— ke dalam rumusan kriteria-indikator-ciri terpapar radikalisme-terorisme adalah sangat tidak relevan dan mengada-ada. Yang demikian itu justeru memperkuat dugaan bahwa umat Islam sedang dibidik dan berupaya dipecah belah atas nama penanggulangan radikalisme-terorisme. Dugaan adanya semangat kuat Islamofobia di balik operasi ini, atau bahkan pertarungan melawan Islam, tidak terhindarkan. Indonesia tidak akan bubar hanya karena masalah khilafiyah. Terbukti, Indonesia masih utuh. Padahal, masalah khilafiyah sudah ada sejak NKRI belum lahir. Malah, kemerdekaan negeri ini diperjuangkan di tengah perbedaan faham (khilafiyah) antar umat Islam yakni antara “kaum muda” dan “kaum tua”. Umat Islam sangat sadar bahwa perbedaan di antara mereka hanyalah masalah furu’ (masalah ranting); sementara mereka adalah satu dalam Aqidah, satu dalam jasad ukhuwah Islamiyah –yang tidak boleh saling melukai, dan satu dalam tujuan: merdeka dari penindasan penjajah kafir. Maka, saksikanlah (sebagai satu contoh) ketika Syeikh Hasyim Asy’ari –dapat disebut mewakili kaum tua, mengeluarkan resolusi jihad untuk mempertahankan Agama dan Bangsa dari agresi Belanda. Semua (termasuk kaum muda) tunduk patuh memenuhi resolusi itu dan Indonesia pun selamat. Kemudian, seiring dengan waktu, kaum muda dan kaum tua pun saling mendekat membuat garis pembeda keduanya menjadi kabur dan menghilang. Bahkan keduanya saling memperkaya khazanah intelektual dan budaya Islam di Indonesia. Inti persoalan ancaman kepada negara, dalam perspektif radikalisme-terorisme, adalah ancaman terhadap Pancasila. Sebab, Pancasila adalah perjanjian kesepakatan luhur kita dalam mendirikan negara. Ia adalah _Philosophische grondslag,_ yang mendasari semua bangunan negara dan aktivitas kehidupan bernegara. Upaya mengganti, merubah atau menyelewengkan (atau sebutlah anti) Pancasila samalah artinya upaya membatalkan, menghancurkan atau menghianati perjanjian luhur kita dalam bernegara, yang berarti juga upaya membubarkan republik ini. Itu adalah kejahatan terhadap negara. Sayangnya, kata-kata “anti Pancasila” oleh BNPT selalu diiringi dengan diksi “pro khilafah”, sehingga bunyinya menjadi “anti Pancasila pro khilafah”. Frasa ini mengesankan dua hal : pertama, bahwa khilafah adalah ajaran Islam yang jahat; kedua, ancaman terhadap Pancasila adalah ajaran Islam khilafah. Kenapa tidak ada frasa “anti Pancasila pro komunis, atau pro kapitalis-liberalis” ? Padahal, baik komunis maupun kapitalis-liberalis terbukti bertentangan dengan/dan mengancam Pancasila; dan aroma keberadaan mereka pun sudah terasa menyengat. Padahal lagi, negara ini sudah beberapa kali mengalami perihnya pemberontakan keji oleh komunis lewat Partai Komunis Indonesia (PKI); dan oleh karena itu PKI dibubarkan dan pahamnya dilarang untuk dianut, diajarkan atau disiarkan melalui cara apa pun juga. Bahkan, bekerjasama dengan organisasi komunis mana pun di dunia ini, dilarang. Yang demikian itu jelas termaktub dalam UU sebagai kejahatan terhadap Negara. Simaklah Tap MPRS No. 25Tahun 1966 dan UU No. 27 tahuin 1999. Apakah BNPT menganggap komunis bukan lagi ancaman, melainkan teman? Entahlah. Let’s see. mari kita lihat. Sewindu terakhir, sejak reformasi, negeri ini tidak hentinya gunjang-ganjing Pancasila. Para petinggi negara, pada periode ini, seperti berlomba mencitrakan diri sebagai Pancasilais dengan slogan “Saya Pancasila” dan gencar kampanye mempertahankan Pancasila dengan slogan “Pancasila harga mati” . Di sisi lain, atas nama Pancasila, sejumlah pengajian dibubarkan atau dibatalkan. Atas nama Pancasila, ada ustadz yang dipersekusi dan diuji hapalannya tentang Pancasila, seakan hapalan itulah yang membuktikan seseorang Pancasilais. Atas nama Pancasila, ada ormas Islam yang dipersoalkan. Atas nama Pancasila, rakyat disorot dengan ”kamera pengintai radikal”. Kata “radikal” pun berubah menjadi hantu yang menakutkan. Suasana seperti ini menciptakan kebingungan. Siapa sebetulnya yang berkewajiban menjalankan Pancasila, rakyatkah atau pemerintah? Kenapa rakyat diperhadapkan dengan Pancasila? Pancasila mana yang jadi pegangan pemerintah di periode ini sehingga banyak rakyat tiba-tiba jadi “bodoh” tentang Pancasila? Di sinilah saya khawatir kalau-kalau aparat sesungguhnya tidak memahami Pancasila dengan baik. Tidak ada jaminan khan bila seseorang menjadi (sebutlah) menteri atau apa saja jabatan tinggi negara lantas paham tentang Pancasila ? Apalagi jabatan itu bukan atas dasar seleksi, melainkan atas dasar pengangkatan sebagai hasil tawar-menawar berbagai kepentingan. Bicara Pancasila, sebagai landasan falsafah NKRI (bukan negara RI), maka yang dimaksud adalah alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 –meski pun alinea ini tidak menyebut Pancasila, yang diberlakukan atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di dalam Dekrit Presiden itu disebutkan ”… bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Jadi, Pancasila yang berlaku untuk NKRI adalah rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yakni alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta. Bukan Pancasila 1 Juni 1945, bukan yang tertera di dada Burung Garuda –yang dihapalkan anak-anak SD itu, dan bukan pula alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 ansich. Memperhatikan alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 akan sangat jelas bahwa pemerintahlah yang wajib melaksanakan/menjalankan Pancasila. “Sila-sila Pancasila” dalam alinea ke 4 adalah amanah rakyat kepada negara untuk dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara demi memenuhi tangungjawab pemerintah –melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ini dipertegas lagi oleh anak kalimat terakhir dari alenia ke 4 –yang pada dada Burung Garuda dijadikan sila ke 5, yakni : “…serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tentulah tugas Pemerintah, bukan rakyat. Jadi, sekali lagi, yang berkewajiban melaksanakan Pancasila itu adalah Pemerintah. Ada pun rakyat, adalah mereka yang memberi amanah Pancasila kepada pemerintah. Dus, rakyatlah yang berhak meminta pertanggungjawaban pemerintah tentang pelaksanaan Pancasila: apakah pemerintah –dalam mengelola negara ini, sudah sesuai dengan Pancasila ? Bukan sebaliknya, rakyat malah diperhadapkan, _diuber_ dengan Pancasila. Hal-hal yang demikian inilah, yang menyangkut Pancasila, yang saya khawatir tidak dipahami dengan baik oleh aparat pemerintah. Terlepasa dari itu, adalah mengherankan, mengapa BNPT tidak memberikan perhatian ketika rakyat ribut besar menolak Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) untuk ditetapkan menjadi UU ? Ke mana Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid ? Ke mana Yudian Wahyudi, selaku kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), koq tidak bersuara ? Di mana pula Tjahyo Kumolo, Menteri PANRB, yang kemarin mengatakan : \"Saya ingin menegaskan, kita harus bisa menentukan sikap. Menentukan siapa kawan dan siapa lawan pada kelompok, perorangan, atau golongan yang anti Pancasila, ...\" Di mana pejabat-pejabat yang lantang mengaku Pancasilais itu? Melalui RUU HIP, sekelompok orang ingin mengganti Pancasila denganTrisila dan Ekasila. Bukan lagi sekadar wacana, tetapi sudah merupakan gerakan nyata terencana dengan matang memanfaatkan kekuatan politik di DPR RI. Untungnya rakyat masih sadar (tidak bodoh beneran). Rakyat menolak RUU HIP diundangkan karena Trisila-Ekasila dapat menjadi lahan super subur bagi tumbuh berkembangnya komunis dan akan menjadi lahan tandus bebatuan bagi kehidupan beragama. Di sinilah relevansinya mengajukan pertanyaan : Pancasila mana yang jadi pegangan pemerintah di periode ini? Mengapa tidak merasa ada masalah dengan upaya penggantian Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila? Pada HUT ke-44 PDIP, 10 Januari 2017, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik. Simaklah cuplikannya di bawah ini. “Syukur alhamdulillah, pada tanggal 1 Juni tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. “ “…Dengan pengakuan tersebut, maka segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.” Yang dimaksud Pancasila 1 Juni 1945 adalah Pancasila dengan sendi pokoknya keadilan sosial dan ciri Pokoknya berupa Trisila yang terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Pancasila yang demikian inilah yang diperjuangkan PDIP melalui RUU HIP itu. PDIP adalah partai berkuasa, the ruling party.. Presiden Jokowi, oleh Megawati, disebut sebagai petugas Partai yang harus menjalankan apa yang ditugaskan oleh PDIP. Megawati sendiri menjadi Ketua Pengarah BPIP. Tjahyo Kumolo, Mentri PANRB, adalah mantan Sekjen PDIP. BNPT bertanggungawab langsung kepada Presiden. Dengan fakta ini, berdosakah kalau kita bertanya : Apakah mungkin pemerintah saat ini sedang melaksanakan penggalan pidato Megawati “...segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945? RUU HIP boleh gagal jadi UU, itu hanyalah urusan administrasi. Prakteknya, sepertinya tidak ada halangan untuk melaksanakan. Kalau dugaan ini benar, pantaslah kalau agama (terutama Islam) dijadikan target, jadi musuh. Islam memang penghalang utama terlaksananya ajaran Trisila – Ekasila. Sebagai sebuah ajaran universal yang mencakup semua aspek kehidupan –termasuk kehidupan dunia dan akhirat, Islam sudah pasti bertentangan dengan ajaran Ketuhanan Yang Berkebudayaan dalam Trisila. Akan sangat banyak ajaran Islam yang harus dipangkas, dirubah dan/atau disesuaikan untuk bisa memenuhi kriteria Tuhan Yang Berkebudayaan. Apalagi bila Pancasila dikristalisasi menjadi Ekasila. Tuhan tidak ada lagi, yang ada cuma gotong royong. Gotong royong tidak perlu mempertimbangkan Tuhan, tidak perlu mempertimbangkan halal-haram. Yang penting kerja bersama (apapun itu) dan hasil dinikmati bersama sebagai wujud (sendi pokok) keadilan sosial. Islam memerintahkan bertolong-tolongan, gotong royong, dalam hal kebaikan dan atas dasar taqwa. Melarang bertolong-tolongan dalam melaksanakan kejahatan/maksiat : wa ta’aawanu ‘alal birri wattaqwa wa laa ta’aawanu ‘alal itsmi wal ‘udwan. Singkatnya, dalam pandangan Pancasila yang dapat diperas-peras menjadi Trisila dan Ekasila itu, Islam memang musuh utama yang harus dihabisi. Mudah-mudahan saja dugaan ini tidak benar, alias salah dan Pancasila yang dipegang dan bela BPNP masih Pancasila rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ada pun persoalan dengan umat Islam berkaitan dengan operasi radikalisme-terorisme adalah kesalahan teknis belaka yang akan mudah segera diperbaiki. Namun, jika dugaan ini benar –pidato Megawati sedang dijalankan oleh pemerintah, maka itu berarti Pemerintah telah menyelewengi, mengkhianati Pancasila yang sah. Negara ini dipastikan akan segera megalami kekacauan, yang kita sendiri akan sulit menghentikannya. Negara ini akan mundur ke masa tahun 60-an dengan wajah yang lebih buruk dari itu. Na udzu billahi mikndzalik. Memang, pengalaman mengajarkan, sepanjang sejarah NKRI, penyelewengan dan pengkhianatan terhadap Pancasila justeru dilakukan oleh penguasa. Demikianlah sehingga ada Orde Lama dan Orde Baru. Masing-masing penguasa memanipulasi Pancasila, menjadikan Pancasila sebagai alat _gebug_ untuk mempertahankan kekuasaan dan membunuh lawan politiknya. Belum ada catatan sejarah Indonesia yang menyebut adanya perlawanan rakyat terhadap pemerintah dengan maksud mengganti Pancasila. Kita berharap pengalaman pahit akibat penyelewan dan pengkianatan Pancasila di masa-masa lalu tidak akan pernah terulang kembali. Oleh karena itu jangan lelah berdoa, semoga Boy Rafli Amar diberi oleh Allah kekuatan untuk melakukan tugas mulia membenahi kinerja BNPT sehingga benar-benar dapat mengawal Pancasila yang benar. Wallahu a’lam bisshawab
Dokter Terawan: Prestasi Internasional, "Dipermalukan" Sejawat Negeri Sendiri
Menjadi pemimpin dokter militer dunia itu tidak mudah. Ia harus berpidato bahwa Indonesia punya kemampuan, kesehatan Indonesia itu sudah maju, dan lain-lainnya. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN APAKAH Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengantisipasi jika Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI) melakukan aksi solidaritas pada Prof. (HC) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K)? PDSRI kemudian menyerukan mogok kerja tidak mau (lagi) melayani seluruh rumah sakit di Indonesia. Apalagi, Dokter Terawan tercatat sebagai pendirinya, bukan tidak mungkin para anggotanya bisa bersimpati. Reaksi pertama atas pemecatan Dokter Terawan dari keanggotaan IDI oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI, datang dari PDSRI, Jum’at, 25 Maret 2022. Sehubungan dengan Putusan Muktamar IDI XXXI Banda Aceh pada 25 Maret 2022 tentang Pemberhentian Tetap dari keanggotaan IDI kepada anggota kami Sejawat Prof. (HC) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K) bersama ini kami menyatakan Keberatan. Pernyataan Keberatan ini kami ajukan mengingat pasal 8 ayat 4 ART IDI yang berbunyi \"Anggota yang diskors dan atau diberhentikan dapat melakukan pembelaan dalam forum yang ditunjuk untuk itu\". Kami mohon Putusan ini ditinjau kembali. PDSRI membuka komunikasi dan kerja sama dengan PB IDI dalam penyelesaian masalah ini. Surat Keberatan yang ditujukan ke PB IDI ini ditandatangani Ketua Umum PDSRI dr. Hartono Yudi Sarastika, Sp.Rad(K) dan Sekretaris Umum PDSRI dr. Reyhan Eddy Yunus, Sp.Rad, MSc. Surat Keberatan yang ditujukan ke PB IDI ini ditandatangani Ketua Umum PDSRI dr. Hartono Yudi Sarastika, Sp.Rad(K) dan Sekretaris Umum PDSRI dr. Reyhan Eddy Yunus, Sp.Rad, MSc. Mantan Menteri Kesehatan itu diberhentikan oleh MKEK IDI sebagai anggota IDI yang dibacakan dalam Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh pada Jumat, 25 Maret 2022. “Pertama, meneruskan hasil keputusan rapat sidang khusus MKEK yang memutuskan pemberhentian permanen secara permanen kepada Prof Dr dr Terawan Agus Putranto, SpRad(K) sebagai anggota IDI”. Begitu isi putusan seperti dikutip tvOnenews.com dari akun Instagram @pandu.riono pada Jumat (25/3/2022). “Kedua, pemberhentian tersebut dilaksanakan oleh PB IDI selambat-lambatnya 28 hari kerja. ketiga, Ketetapan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan,” katanya. Dalam akun media sosialnya, @pandu.riono, Epidemiolog Pandu Riono ini mengunggah lagi terkait pemecatan Dokter Terawan. Dalam unggahan yang diposting di akun media sosialnya tertulis sebuah surat yang ditujukan kepada Ketua Umum PB IDI dari MKEK PB IDI terkait pemecatan Dokter Terawan. Seperti dilansir tvOnenews.com (Sabtu, 26 Maret 2022-16:26 WIB), dalam unggahan berbentuk surat itu disebutkan, jika pemecatan Dokter Terawan dilatarbelakangi karena tak ada itikad baik dari yang bersangkutan sepanjang tahun 2018-2022. “Yang bersangkutan belum menyerahkan bukti telah menjalankan sanksi etik sesuai SK MKEK Nomor 009320/PB/MKKEK-Keputusan/02/2018 tertanggal 12 Februari 2018 hingga hari ini,” seperti yang dikutip dalam unggahan @pandu.riono. Tak hanya itu, pemecatan juga dipicu oleh sepak terjang terawan terkait sosialisasi Vaksin Nusantara. “Yang bersangkutan melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang vaksin Nusantara sebelum penelitiannya selesai,” tulis kutipan surat yang ditujukan pada Ketua Umum PB IDI. Pandu Riono juga menuliskan di akun media sosial @pandu.riono jika pelanggaran yang dilakukan Dokter Terawan menurutnya cukup berat. Menurutnya, kasus pelanggaran Etika Berat Dokter Terawan cukup panjang, investigasi sudah dilakukan sejak 2013. “Hasil sidang MKEK terakhir pada tanggal 8 Feb 2022 disampaikan pada @PBID sebagai kelanjutan hasil MKEK dan Muktamar IDI tahun 2018. Keputusan MKEK tsb dibahas pd sidang khusus Muktamar IDI XXXI tgl 21-25 Maret 2022,” tulis Pandu Riono. Soal Pembentukan Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) yang dibidani oleh Dokter Terawan juga menjadi alasan MKEK IDI memberhentikannya. “Yang bersangkutan bertindak sebagai Ketua dari Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) yang dibentuk tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan Tatalaksana dan Organisasi (ORTALA) IDI dan proses pengesahan di Muktamar IDI,” tulisnya. Menerbitkan Surat Edaran Nomor: 163/AU/Sekr PDSRKI/XII/2021 tertanggal 11 Desember 2021 yang berisikan instruksi: “kepada seluruh ketua cabang dan anggota PDSRKI di Seluruh Indonesia agar tidak merespon ataupun menghadiri” acara PB IDI. Dokter Tifauzia Tyassuma, Predictive Epidemiology, mempertanyakan kepada IDI, apa salah Dokter Terawan? “Adakah hubungan keputusan IDI ini dengan Vaksin Imunoterapi Nusantara (VIN)? Adakah tekanan dari Industri Farmasi, agar VIN gagal lahir?” tanya Dokter Tifauzia. “IDI supaya kalian tahu, Dokter Terawan ini dibenci teman-teman Dokter sendiri, tetapi dicintai pasien-pasiennya. Dicintai Rakyat Indonesia yang menaruh harapan besar akan lahirnya VIN,” lanjutnya. Prestasi pria berjuluk dokter “cuci otak” itu pernah didaulat menjadi Ketua International Committee on Military Medicine (ICMM) yang harus memimpin para dokter militer dari 114 negara. Melansir Liputan6.com (05 Apr 2018, 12:30 WIB), jabatan bergengsi tersebut mengharuskan Dokter Terawan memimpin sidang konferensi regional ICMM Pan European ke-4 di Paris pada pertengahan tahun 2016. Tentunya, itu sebuah prestasi dari penggagas terapi Brain Washing melalui metode diagnostik Digital Substraction Angiography (DSA) untuk Indonesia. Menjadi pemimpin dokter militer dunia itu tidak mudah. Ia harus berpidato bahwa Indonesia punya kemampuan, kesehatan Indonesia itu sudah maju, dan lain-lainnya. Dari kepercayaan itu Dokter Terawan dapat jabatan tersebut setelah berhasil menyisihkan Austria, Rusia, dan India. Negeri Taj Mahal itu berada di posisi kedua dan menjadi wakil Indonesia. Tapi, “Per November 2017 saya menyerahkan kepemimpinan saya ke India. Sekarang India menggantikan Indonesia,” ujar Dokter Terawan. Saat menjabat Ketua ICMM, pangkat Dokter Terawan masih Brigadir Jenderal. Ia tak menyangka bisa memimpin semua Letnan Jenderal dan Jenderal dokter militer dari seluruh dunia. “Mereka sangat menghormati kita meskipun pangkat saya rendah pada saat itu,” ungkapnya. Ia menjalankan tugasnya dengan penuh percaya diri, karena jabatan tersebut berdasarkan surat perintah yang diberikan kepadanya. Menurutnya, Indonesia merupakan negara paling aktif dan sangat dihargai. Topik ini menjadi bagian dari klarifikasi Dokter Terawan mengenai alasan dia tak memenuhi undangan MKEK PB IDI. Menyinggung soal isi dari surat sanksi pemecatan Dokter Terawan dari keanggotan IDI per 26 Februari 2018 sampai dengan 25 Februari 2019. “Ini kenapa harus saya ungkapkan? Karena (ini) berkaitan dengan etik. Nah, sekarang saya bingung, membawa nama negara tapi saya harus diperlakukan seperti itu,” ungkap Dokter Terawan. Metode DSA atau Cuci Otak yang ditemukan Dokter Terawan memang terkenal sampai dunia internasional. Kabarnya, kini bahkan memenuhi undangan Rumah Sakit Krankenhaus Nordwest Jerman untuk mengenalkan metode cuci otak ini. Dokter Terawan menjalani riset bersama para dokter di Jerman berdasarkan video yang diterima warta kota dari salah satu pasiennya. Dokter Terawan hingga saat ini masih di RS Kraukenhause di Jerman yang mengajaknya riset bersama. \"Ya, sekalian menunjukkan kesejajaran ilmu orang Indonesia dengan teman-teman di Jerman. Jangan sampai kami di Indonesia hanya dianggap main ngeyel saja dan tidak ilmiah. Sedangkan negara lain sangat menghargai. Kalau bisa nangis saya nangis tenan (benar) karena sedih, \" ujarnya kepada media. Dalam kiriman foto Leo Nababan melalui grup WhatsApp, Dokter Terawan tampak sedang berada di dalam rumah sakit dengan beberapa dokter Jerman. (*)