Luhut = Harmoko Jilid 2?
Oleh Rahmi Aries Nova - Wartawan Senior FNN
DUA puluh empat tahun lalu, presiden kedua Indonesia yang sudah berkuasa 32 tahun lebih Soeharto, sudah ingin mundur.
Soeharto mengaku dirinya sudah 'TOP' (Tua Ompong dan Peot). Dan baginya sudah cukup mengabdi pada negeri ini dan sudah saatnya istirahat, meluangkan banyak waktu untuk keluarga dan bermain dengan cucu-cucu.
Tapi Menteri Penerangan saat itu Harmoko justru menyampaikan 'laporan palsu'. Menyebut rakyat masih menginginkan Pak Harto untuk terus memimpin negeri. Golkar (Golongan Karya), partai pendukung pemerintah mendukung penuh.
"Pak Harto akhirnya memang terpilih lagi. Tapi dua bulan berselang gelombang reformasi tak terbendung. Pak Harto pun tumbang," ujar Rizal Ramli, saksi sejarah yang masih vokal hingga saat ini.
Rizal mengaku ia orang pertama yang meramalkan bahwa krisis ekonomi akan menjadi krisis politik pada 1998.
"Saya sudah ramalkan itu sejak Oktober 1996," jelasnya lagi.
Kini Rizal meramalkan hal serupa. Indikasinya sudah begitu nyata dengan kehidupan menengah ke bawah yang sudah susah, uang yang beredar sedikit sekali karena disedot untuk surat utang negara, kesulitan likuiditas dan rakyat dipukul dua kali dengan naiknya harga dan pajak serta pemerintah yang begitu pro Beijing dan otoriter.
"Saya bukan asal jeplak ini basisnya dari analisa kondisi objektif," jelas Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) era Presiden Abdurahman Wahid itu.
Bahkan boleh dibilang kondisi saat ini lebih buruk dari era Soeharto.
"Zaman Pak Harto dari minyak dan gas 85 persen untuk negara. Sekarang semua dikuasai asing, negara tidak dapat apa-apa," katanya dengan nada geram.
Sekarang harga batubara naik berlipat-lipat, tapi negara memperoleh sedikit. Rakyat apalagi. Harga nikel naik. Tetapi, yang menikmatinya kontraktor asing dan aseng. Terbalik dibandingkan era Soeharto. Sekarang negara hanya dapat 15 persen, selebihnya dinikmati ologarki asing aseng.
Rizal melihat apa yang dilakukan Harmoko pada masa lalu, kini dilakoni Luhut Bisnar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang pernah menjadi bawahannya saat ia menjadi Menko Ekuin dan Luhut menjabat Menteri Perdagangan.
Menurut Rizal, sebagai bawahannya di era Gus Dur, Luhut, adalah tipe yang suka menyenangkan atasan. Ya, mirip Harmoko (almarhum). Luhut berusaha menyenangkan, karena ada sesuatu yang diinginkannya.
"Ketika saya minta agar minyak goreng diturunkan waktu itu, dia mengatakan, "Siap!"
Atas perintahnya itu, Luhut pun mengumpulkan pengusaha migor.
"Ya, dia lakukan perintah saya. Akhirnya harga migor waktu itu turun," katanya.
Luhut yang kini mengurusi soal minyak goreng hingga harga tiket masuk Candi Borobudur diduga sosok yang ingin Presiden Joko Widodo memperpanjang masa jabatannya lewat propaganda 'Jokowi Tiga Periode' dan skenario lain yang intinya mempertahankan kekuasaan selama mungkin dengan dukungan oligarki dan partai-partai politik yang siap 'dibeli' dengan harga tinggi.
"Luhut itu seperti Harmoko jilid 2. Kalau di Sri Lanka ada Rajapaksa, di sini ada 'raja tipu'," katanya di akhir wawancara dengan FNN pekan lalu. (*)