Koalisi Parpol Penguasa Melawan Islam Politik?
Politik sekuler kiri dan nasionalis saat ini sudah kadaluwarso menghadapi tantangan nasional, regional dan global yang semakin interconnected and borderless. Kecuali jika Republik ini hanya diarahkan untuk menjadi satelit China atau Amerika.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts
KABAR terbaru para pemimpin parpol bertekad melawan politik identitas. Para pemimpin Parpol mengatakan bahwa Pemilu 2014 dan 2019 telah berlangsung sukses tapi meninggalkan polarisasi yang berbahaya di masyarakat. Faktanya memang bangsa ini terbelah menjadi cebong dan kampret.
Tidak dijelaskan mengapa hal itu terjadi dan apa yang sudah dilakukan untuk mencegah polarisasi itu. Tapi mereka menuding politik identitas sebagai biang keladi polarisasi masyarakat. Saya menduga keras bahwa para elite parpol itu telah menjadi kura-kura dalam perahu: seolah tidak tahu mengapa, padahal itu ulah mereka sendiri. Tapi, kini mereka mencari kambing hitam dengan menyalahkan faktor lain selain parpol dan perilaku para elitnya.
Faktor lain yang disalahkan itu adalah Islam politik yang sebagian besar itu direpresentasikan dalam Pilgub DKI 2017 yang telah dimenangkan oleh Anies Baswedan. Pilgub DKI itu kemudian berbuntut panjang, apalagi kini Anies muncul sebagai tokoh calon presiden muslim yang sangat populer jika bukan terpopuler.
Sikap permusuhan para elit parpol pada Islam politik ini tentu mengherankan sekaligus tidak. Mengherankan karena para elit tiba-tiba jadi dungu korban narasi Islamophohia yang masih tersisa. Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI sudah membuktikan dirinya sebagai Gubernur yang berdiri di semua golongan, terutama kaum miskin dan tertindas, apapun agama dan sukunya. Keadilan adalah jargonnya yang paling mencolok.
Kekhawatiran elit parpol itu malah menegaskan dugaan bahwa ada kekuatan oligarki yang mendukung logistik banyak parpol berkuasa saat ini pada saat kesenjangan dan ketimpangan begitu menganga di seluruh pelosok negeri. Polarisasi antara cebong dan kampret terjadi separah kesenjangan dan ketimpangan sosial ekonomi saat ini.
Permusuhan parpol terhadap politik identitas itu juga tidak mengherankan, karena banyak elit politik memang miskin gagasan yang berpotensi menjadi diskursus baru di tengah kematian imajinasi politik saat ini yang semakin terkungkung oleh banyak jargon harga mati.
Seolah semua urusan negeri ini sudah selesai dan baik-baik saja. Islam adalah sumber inspirasi yang kaya yang boleh diambil oleh siapapun asal usulnya, termasuk asal usul sukunya: Jawa, Dayak, Bugis, Arab, atau China.
Islam itu melampaui primordialitas semacam sukuisme. Sayang sekali para elit parpol ini gagal atau pura-pura gagal memahami bahwa Islam itu sebuah kompleks gagasan seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan Pancasila. Bahkan dari sejarah Islam memberi data dan fakta yang lebih dari cukup dan terdokumentasi dengan baik untuk digali kembali sebagai sumber inspirasi.
Para founding fathers seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Agus Salim, sangat terinspirasi oleh Islam sebagaimana terbukti dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. Bahkan, para pendiri bangsa ini dari berbagai latar belakang suku dan agama telah pernah pula menyepakati Piagam Jakarta sebagai gentlemen agrreement.
Saya menduga keras bahwa sebagian elit parpol penguasa masih bermain main untuk menutup-nutupi kudeta konstitusi yang telah terjadi sejak amandemen ugal-ugalan atas UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Gatot Nurmantyo pada Hidayat Nurwahid sebagai pimpinan MPR baru-baru ini.
Prof. Kaelan, guru besar Pancasila UGM bahkan tegas mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara sudah murtad dari Pancasila. Tidak hanya de yure saja, secara de facto kaum sekuler kiri yang dibantu kaum nasionalis radikal sebagai useful idiots telah mengubur Pancasila di bawah kaki mereka.
Upaya permusuhan terhadap Islam politik oleh banyak elit parpol penguasa saat ini harus dilawan karena sesat dan menyesatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mutu berpikir dan menggagas banyak para pemimpin parpol saat ini sangat menyedihkan dibanding mutu pikiran dan gagasan para pendiri Republik.
Islam politik adalah hak setiap warga negara, terutama Muslim, yang bisa dinyatakan tidak hanya melalui parpol yang terus berusaha memonopoli politik setelah Pemilu usai. Pemilu hanya menjadi instrumen transfer bersih hak-hak politik warga pemilih ke sebagian besar Parpol. Peran politik warga negara hanya ada dan selesai di bilik-bilik Tempat Pemungutan Suara.
Politik sekuler kiri dan nasionalis saat ini sudah kadaluwarso menghadapi tantangan nasional, regional dan global yang semakin interconnected and borderless. Kecuali jika Republik ini hanya diarahkan untuk menjadi satelit China atau Amerika.
Agenda usang kedua kekuatan adidaya atas Republik ini semakin jelas bahwa Islam politik akan menjadi gangguan serius bagi upaya memenangkan proxy and neo-cortex war di negeri seluas Eropa yang kekayaannya selalu menarik dan menggiurkan para penjajah ini.
Upaya memusuhi Islam politik adalah upaya para kaki tangan China dan AS saja di negeri ini. Kesepakatan elit parpol untuk memusuhi Islam politik adalah ungentleman, if not crooked, agreement untuk terus menikmati uang recehan para Taipan.
Jika politik sekuler sak karepmu dhewe pesanan dari China dan AS boleh, mengapa Islam politik tidak boleh?
Gunung Anyar, 6 Mei 2022. (*)