UU PPP: Akal Bulus Memaksakan UU Cipta Kerja
Alasan Pemerintah, diperlukan untuk mendorong invenstasi, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Tiga hal ini memang sering sekali dielukan.
Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR RI
PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo memang bebal dan suka memaksakan kehendak. Sikap ini dapat kita baca dari sejumlah proses lahirnya kebijakan. Salah satunya pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Revisi UU PPP yang kini telah disahkan dicurigai menjadi alat melegitimasi UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja, normalnya, akan menampar muka pemerintah dan DPR. Tapi kita tidak melihat rasa malu itu muncul saat UU berikutnya kembali diproduksi dengan cara yang sama.
Buktinya, tak terpaut lama pasca-UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional, Pemerintah dan DPR kembali memaksakan pengesahan UU Ibu Kota Negara Baru. Proses pembahasannya juga sama, secepat kilat dan penuh kontroversi. Kontroversi ini mau tak mau membuat investor luar berpikir dua kali untuk menanamkan duitnya pada proyek IKN. Dan IKN pun terseok-seok.
Sikap bebal Pemerintah dan DPR kembali terlihat saat RUU PPP diundangkan. UU PPP ini adalah wajah buruk yang kesekian kalinya dalam praktik legislasi di Indonesia karena diduga menjadi jalan pintas mengegolkan UU PPP.
Indikatornya, pertama, secara substantif UU PPP bertolak belakang dengan semangat perbaikan tata kelola regulasi. Salah satu tujuan revisi UU PPP adalah memasukkan norma mengenai metode omnibus law sebagai dasar perbaikan UU Cipta Kerja. Padahal, metode ini sebelumnya tidak dikenal.
Revisi UU PPP berpotensi memantik amarah publik. Pengakuan UU PPP terhadap metode Omnibus Law terindikasi menjadi pintu masuk mengesahkan UU Cipta Kerja yang ditolak publik dan telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
MK tentu tidak asal ketok palu. Metode Omnibus Law bersifat multidimensi dan multisektor, sehingga sangat berpotensi tumpang tindih dan rawan kekeliruan. Kekhawatiran banyak pihak akhirnya terbukti di Gedung MK.
Kedua, tidak satu pun amar putusan MK memerintahkan revisi UU PPP. MK memerintahkan memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan UU PPP. Oleh MK, UU Cipta Kerja dinyatakan tidak sesuai dengan metode dan sistematika pembentukan UU serta bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena model revisi UU dengan gaya Omnibus Law tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Selain itu, banyak salah ketik di UU Cipta Kerja.
Jadi, ada indikasi, revisi UU PPP adalah akal-akalan pemerintah dan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja. Indikasi ini setidaknya diperkuat oleh tiga hal. Pertama, bukannya memerbaiki UU Cipta Kerja, Pemerintah dan DPR malah merevisi UU PPP yang nota bene merevisi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kedua, hingga saat ini, kita tidak pernah mendengar upaya Pemerintah dan DPR melaksanakan perintah MK, yakni memperbaiki UU Cipta Kerja. Pemerintah maupun DPR belum pernah membahas apalagi mengajak partisipasi publik atau stakeholder untuk membahas proses perbaikan itu. Publikasi pun belum ditemukan.
Ketiga, adanya perubahan mengenai mekanisme perbaikan salah ketik. UU PPP pascarevisi mengatur bahwa setelah RUU disetujui bersama namun telah disampaikan kepada presiden, kesalahan teknis penulisan (salah ketik) masih diperkenankan untuk diperbaiki. Kita tahu, masalah salah ketik menjadi polemik besar dalam UU Cipta Kerja.
Revisi UU PPP sebagai akal-akalan mengegolkan UU Cipta Kerja menunjukkan betapa buruk dan tidak disiplinnya cara pemerintah mengelola negara. Bila pemerintahnya saja tidak disiplin, bagaimana berharap masyarakat taat hukum?
Seperti pengesahan UU yang penuh kontroversi lainnya, proses pembahasan revisi UU PPP berlangsung cepat, hanya enam hari. Revisi UU PPP dimulai pada 7 April 2022 dan persetujuan tingkat satu diputuskan dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR pada 13 April 2022. Itu pun, efektifnya hanya empat hari bila dipotong Sabtu dan Minggu sebagai hari libur.
Alasan Pemerintah, diperlukan untuk mendorong invenstasi, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Tiga hal ini memang sering sekali dielukan.
Tapi fakta berkata lain. Bahkan, Bos Tesla Elon Musk yang diuber Jokowi justru memilih investasi membuka kantor di Thailand. Sementara lapangan kerja bagi kelas menengah ke bawah terus digerogoti Tenaga Kerja Asing asal China.
Begitulah, mereka banyak cakap, namun minim realisasi! (*)