Semua Mau Jadi Presiden
Pendeknya, siapapun yang jadi Presiden RI, mestinya Indonesia akan baik-baik saja. Selebihnya, tinggal menunggu keputusan Tuhan dan rakyat.
Oleh: Ilham Bintang, Wartawan Senior/Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat
UNTUK kesekian kalinya, isu reshuffle kabinet kembali merebak hari-hari ini. Kemarin isu itu ditanggapi Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Ia mengatakan, saat ini banyak permasalahan yang harus ditangani pemerintah secara cepat.
Reshuffle memang dibutuhkan karena kondisi ekonomi global sangat dinamis. Pemerintah harus responsif dalam menghadapi berbagai persoalan tersebut. Pernyataan Pratikno yang setengah mengonfirmasi isu disampaikan di Gedung DPR, Senayan, Kamis (2/6/2022).
Hak Prerogatif Presiden
Merombak kabinet atau mengganti menteri, memang hak prerogatif Presiden. Tinggal berani atau tidak? Bukankah sudah berkali-kali juga “diancamkan” Presiden Joko Widodo, namun belum terealisasi. Tidak ada halangan kapan pun mau dilakukan. Bisa tengah malam terpikir, besok pagi eksekusi. Paling- paling dinyinyirin oleh “BuzzerRp” yang terlanjur menggantungkan hidup dari menteri yang lengser.
Perbaikan Kinerja dan Citra
Sudah benar langkah Presiden Jokowi mengambil opsi reshuffle dua tahun sebelum lengser. Demi memperbaiki kinerja kabinet yang beberapa waktu ini berjalan ugal-ugalan seperti dituduhkan para pengamat. Contohnya, kemelut minyak goreng yang sudah lebih 6 bulan belum ketemu ujungnya.
Karena itulah saya menduga, salah satu efek dari sebagian anggota kabinet bekerja sambil melaksanakan agendanya mencari perhatian rakyat untuk menjadi presiden. Secara terselubung maupun terang-terangan. Tanpa malu memanfaatkan pelbagai fasilitas negara demi kepentingan dan ambisi pribadi semata. Abai mengira milik negara seakan milik keluarga.
Reshuffle adalah sebaik-baik hal yang memang harus dilakukan Jokowi demi menyelamatkan citra pemerintahannya menjelang berakhir masa jabatannya sebagai Presiden.
Reshuffle jauh lebih baik tinimbang “bermain” dengan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden RI dengan berbagai alasan yang terasa itu dikarang-karang. Yang membuat negeri gonjang ganjing.
“Permainan” itu telah dirasakan sendiri dampaknya oleh Presiden Jokowi. Kontan mereduksi popularitasnya dan tingkat kepuasan publik yang pernah mencapai puncaknya dari hasil survey lembaga polling.
Saling Klaim
Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, dua tahun lagi. Relatif masih cukup waktu berbenah supaya Presiden Jokowi dapat meninggalkan legacy yang bisa dikenang rakyat. Namun, bagi para politikus itu waktu singkat untuk mempersiapkan diri maju menjadi Presiden RI.
Itu sebabnya, sejak tahun lalu khalayak sudah mulai kebanjiran pesan-pesan dari politikus yang merasa (sendiri) berpeluang menjadi Presiden RI priode berikutnya (2024-2029).
Pesan-pesan itu bisa dilihat di pelbagai platform. Di jalan-jalan umum dalam bentuk baliho, spanduk, umbul-umbul dan sebangsanya hingga pelbagai konten di media sosial. Kalau politisi punya kuasa dan uang maka wajahnya tambah menyebar lagi di layar ATM, di seluruh bandara dan pelabuhan maupun stasiun KA lewat neonsign, atau ruang-ruang milik negara yang berada dalam kewenangan yang bersangkutan.
Jangan tanya itu boleh atau tidak. Kesangsian itu mudah dipatahkan. Cukup merujuk pada aturan UU. Ada pasal tidak yang mengatur itu secara eksplisit. Selama larangan tidak tertulis eksplisit, sikat saja.
Jangan bicara etika moral, seperti falsafah klasik “ngono yo ngono ning ojo ngono” rasanya itu tidak dihiraukan lagi. Lihat saja, awal tahun ini kampanye semakin meningkat intensitasnya. Tidak hanya di jalan umum, tetapi masuk ke jalur pribadi lewat WA dan saluran lainnya. Setiap hari.
Setuju atau tidak setuju dengan broadcast itu, bukan urusan yang punya gawe. Anda marah dan coba protes dengan menyebarkan ke publik, apalagi sampai viral, itu malah menguntungkan. Memang itu yang ditunggu. Dari situlah datangnya viral.
Ada pemahaman atau bahasa baru dalam dunia politik. Di-bully pun mereka senang. Karena itu berarti dibicarakan dan dibahas banyak orang. Polling pun akan memasukkan pada penghitungan untuk tingkat popularitas sang tokoh. Apalagi, catatan polling tersebut tidak menyeleksi itu perbincangan baik atau sebaliknya mengenai sang tokoh.
Menguntungkan Jokowi
Fenomena semua tokoh mau jadi Presiden RI, sebenarnya menguntungkan Presiden Jokowi. Tak usah memikirkan apalagi upaya untuk memperpanjang masa jabatannya. Apalagi sampai mengubah konstitusi yang membolehkan Presiden RI menjabat lebih dari dua kali.
Seperti yang pernah dikemukakan beberapa kolega dan menteri pembantunya. Sebut, misalnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Semuanya mengemukakan alasan, perpanjangan itu demi kesinambungan penanganan Covid19 di Tanah Air dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Ingat yang saya sebut tadi “pemahaman baru”? Geger yang bakal timbul kemungkinan besar memang bagian dari strategi demi mendulang suara untuk kebutuhan dicatat polling. Sebab, semua yang menyuarakan adalah tokoh-tokoh yang ngebet mau jadi presiden.
Semuanya juga melekat dalam pemerintahan Jokowi. Yang selama ini sudah bekerja menjalankan program-program berdasar hanya visi Presiden.
Kampanye Airlangga Hartarto memfokuskan klaim keberhasilan menangani Covid19. Soal pertumbuhan ekonomi, digambarkan begini: “Indonesia Ranking 1 pertumbuhan ekonomi”. Tidak lupa sebagai Ketua KPC PEN, pihaknya pun mengklaim sudah mengeluarkan bantuan sebesar Rp 1.776,27 triliun untuk penanggulangan pandemi.
“Anggaran bantuan terbesar sepanjang sejarah RI,” tulisnya di flyer bergambar dirinya.
Program PEN itu juga diklaim “telah menyelamatkan 88,42 juta orang nggak jadi nganggur”. Memang betul, ada kesulitan kita mencerna pesan-pesan itu, sebab kita semua tahu, krisis minyak goreng sampai menelan dua korban tewas akan menjadi jejak digital kekacauan kabinet, khususnya menteri bidang ekonomi. Rakyat cukup dibagi uang Rp 300 ribu, dianggap urusan selesai.
Mestinya Jokowi tinggal duduk manis, tenang-tenang merancang rencana ke depan setelah lengser. Santai saja seperti Menteri BMUN Erick Thohir yang memasang fotonya di mana-mana, walau pun BUMN banyak masalah, dan menderita kerugian besar.
Atau Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno yang juga mengklaim keberhasilan sektor pariwisata. Dan, Prabowo Subianto yang tetap memelihara harapan untuk menjadi RI 1.
Belum lagi Puan Maharani, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Andika Perkasa, LaNyalla Mattalitti, Agus Harimurty Yudhoyono (AHY), dan banyak lagi lainnya yang dicatat oleh lembaga survey diunggulkan menjadi Pemimpin Bangsa yang akan datang. Jokowi tidak usah gundah. Bekerja saja dengan baik memimpin kabinet supaya Husnul Khotimah.
Itu sudah sama artinya Jokowi menaruh telur di dalam banyak keranjang. Siapapun yang terpilih akan mengenangnya dan haqul yakin semua proyek yang ditinggalkan akan lanjut, kalau tersedia cukup anggaran. Jangan lupa pula kiprah Luhut Binsar Panjaitan. Jabatannya sudah ditumpuk di atas 12 lembaga. Terbaru, menangani urusan Minyak Goreng.
Pendeknya, siapapun yang jadi Presiden RI, mestinya Indonesia akan baik-baik saja. Selebihnya, tinggal menunggu keputusan Tuhan dan rakyat.
Saya kira rakyat sudah cukup pengalaman dan matang setelah berkali-kali mengikuti Pemilu dan Pilpres. Niscaya mereka pun sudah paham ada dua golongan yang tidak boleh dipercaya jadi pemimpin. Yang pertama, “yang tidak mau”. Dan, yang kedua: “yang terlalu mau”. Tinggal ingat saja pesan bijak dari siaran TVRI di zaman dulu dalam setiap kali siaran iklan.
“Banyak penawaran, teliti sebelum membeli”. Setuju? (*)