Indonesia Kini: Ngeri!

Oleh Dr. Masri Sitanggang Ketua Umum Gerakan Islam Pengawal NKRI

SEMUA bagian bangunan negeri ini sudah digrogoti rayap korupsi, menunggu ambruk atau diambil alih pihak lain. Masihkah bisa diselamatkan dengan cara-cara prosedural biasa ? Mahfud MD bingung, LaNyalla pesimis. 

Mahfud MD kehabisan  kata untuk menggambarkan kondisi Indnesia kini. Ia cuma bisa bilang : “mengerikan”. Padahal  ia seorang guru besar, pakar di bidang Hukum Tata Negara, pernah jadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan  sudah malang melintang  di jabatan politik negeri ini. Pastinya, dengan back ground seperti itu, sudah ratusan judul buka pula ia baca.

Lazimnya, perbendaharaan dan tutur kata serta gaya bahasa seseorang sebanding dengan bahan bacaannya. Mahfud bukanlah type pembaca  komik Dora Emond atau Sincan. Oleh karena itu, mengejutkan bila Menko Polhukam ini kehabisan kata untuk menggambarkan Indonesia kini.   

Tentu bukan Mahfud yang salah. Kondisi Indonesia memang sudah sangat sulit dilukiskan dengan kata. Terlalu panjang kata –yang memiliki nilai rasa mengerikan, dirangkai untuk bisa menjelaskan  Indonesia now. Itu artinya, keadaan sesungguhnya bukan lagi mengerikan, melainkan : “Udah ngeri kali”, bahasa orang Medan. 

agar negara ini bisa maju, menurut Mahfud, pemimpin yang muncul setelah Jokowi, haruslah pemimpin yang bisa menyatukan, menjaga keseimbangan dan merekatkan.  “Nggak kayak sekarang, waduh mengerikan saya lihat,” katanya.

Korupsi sudah tidak terkendali dan itu ada di semua sektor, begitu kata orang Madura ini. Parlemen, pengadilan, birokrasi dan para pengusaha semua bekerja dengan cara-cara itu. Apa tidak ngeri ? 

Bagaimana mungkin rakyat bisa menyatu, merekat dan seimbang kalau pengelola negara sudah bekerja dengan cara-cara korupsi ? Yang ada, adalah kecemburuan sosial karena tercipta jurang lebar dan dalam antara kaya dan miskin.  Yang ada, adalah rasa kebencian kaum papa yang terdzalimi terhadap arogansi dan kesewenangan penguasa dan pengusaha serta orang berpunya. Itu alamiayah. Sementara bagi pengelola negara yang korup,  suasana itu bahkan dikehendaki karena dapat memberikan keuntungan tersendiri.

Parlemen (legislatif), birokrasi-pemerintah (eksekutif) dan pengadilan-penegak hukum (yudikatif) –yang dalam teori politik modern adalah pilar tegaknya negara hukum, negara demokrasi– sudah  sama-sama bekerja degan cara-cara korupsi. Bagaimana membayangkan sebuah negara yang demikian ? Mungkin lebih cocok digambarkan sebagai sebuah pasar tradisional yang dikuasai oleh para preman atau pun bandit. Di situ hukum, kekuasaan dan keadilan adalah milik para preman dan bandit ditambah pengusaha bermodal kuat.  Janganlah  berharap ada belas kasih di situ. Apalagi keadlilan sosial. Cari makanlah sendiri-sendiri dan bersainglah sekuatmu (tapi jangan coba-coba saingi pedagang bermodal kuat kalau tidak ingin dicampakkan dari pasar itu) . Setiap orang adalah pesaing bagi orang lain.  Homo homo ni lupus kata Plautus : manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, saling terkam. Awas, jangan telat bayar macam-macam pajak upeti pada para penguasa.  Apalagi membangkang.

Maka, Ian Antono dan Taufiq Ismail benar :  “Dunia Ini Pangung Sandiwara”. Lagu yang bawakan Rocker Indonesia, Ahmad Albar, di tahun 78, mungkin dapat menggambarkan prilaku pengelola negara seperti ini. Setiap orang dapat satu peranan. Ada peran wajar dan peran berpura pura. Ada yang jelas menampakkan kebanditannya, ada pula yang menutupinya dengan pencitraan yang mengesankan. Yang terakhir ini, selalu berteriak “Pancasila dan NKRI harga mati”, “demi rakyat, bangsa dan negara” atau teriakan lain yang senada dengan itu.

Tetapi, bagaimana punj uga, kalau pengadilan –yang mestinya menjadi benteng penegakan hukum, sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, dipastikan akan sangat sulit  beraharap keadilan  dari yang mulia tuan hakim.  Gedung pengadilan tak lebih dari theater tempat pementasan drama sandiwara atau dagelan. Tempat mafia hukum dan cukong  menyusun skenario, menentukan ending cerita, memiliih dan mengarahkan pemeran utama –para jaksa dan hakim, agar sandiwara persidangan enak dinikmati. Agar bisa bikin penonton terbahak-bahak, atau mabuk kepayang. Kalau ada yang tidak puas, itu salah dia sendiri: kenapa tidak pesan (bayar upeti tentunya) sekenario ? Di panggung sandiwara ini, “ceritanya mudah berubah” : kasus yang sama putusan bisa berbeda. 

Kalau legislatif sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, masihkah bisa berharap akan lahir undang-undang yang pro rakyat dari anggota dewan yang terhormat ? Setiap pasal dalam setiap RUU ada harganya. Itu tak mungkin terbeli oleh rakyat yang –karena himpitan ekonomi, diminta untuk makan keong sebagai pengganti daging dan dua buah pisang pengganti nasi serta memasak dengan cara merebus saja. 

Oleh sebab itu, lahirnya sebuah UU lebih  sering atas dorongan –dan karena itu untuk kepentingan,  pengusaha dan penguasa. Rakyat dan segala propertinya justeru jadi komuditas, barang dagangan. Ibarat sumber daya alam (bukan lagi sumber daya manusia), rakyat dan propertinya dieksploitasi para bandit untuk memperkaya  diri. Dan, seperti juga sinetron, seringkali undang-undang harus kejar tayang, harus segera disahkan sesuai pesanan. Para anggota dewan yang terhormat pun khusuk  dalam sidang marathon untuk kemudian :  “tok”, “tok”, “tok”. Palu berbunyi tepat dini hari, ketika rakyat tenggelam di lelap malam.  

Kalau sudah begini, masihkah rakyat boleh berharap parlemen  melakukan pengawasan terhadap prilaku dan kenerja pemerintah yang juga bekerja dengan cara-cara korupsi  ? Heh, hepeng do mangatur nagaraon, kata orang kami Batak : uang lah yang mengatur negara ini. Jaganlah berharap macam-macam.

Kalau eksekutif sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, maka para birokrat sesungguhnya adalah pelaku bisnis. Bisnis kotor, pastinya. Bisnis para preman dan bandit. Bisnis para penghisap darah. Mengambil hak orang lain secara bathil. Menguras kekayaan rakyat dan negara untuk kekayaan pribadi. Dengan cara maling yang bersembunyi di balik undang-undang atau bisa juga terang-terangan merampok gaya begal. 

Bagi pelaku bisnis, wilayah Indonesia yang luas berserta penduduk yang ramai dan kekayaan alam yang melimpah adalah pasar sekaligus aset dagangan. Terlalu naif bila mengeluarkan kebijakan atau aturan yang tidak menghasilkan rupiah untuk bekal anak cucu. Semua tindakan, harus menambah pundi-pundi.    

Maka, “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia” adalah mimpi. Yang akan nyata adalah melindungi mereka yang punya uang, siapa pun dia : bangsa Indonesia maupun bukan. 

Melindungi  “seluruh tumpah darah Indonesia” juga mimpi. Memang, laut, gunung dan hutan serta pulau-pulau itu masih ada di wilayah Idonesia –karena tidak bisa dipindahtempatkan, tapi mungkin penguasanya sudah entah siapa. 

“Memajukan kesejahteraan umum”, pastilah juga mimpi. Mana ada begal yang berpikir untuk kesejahteraan orang lain? 

Mencerdaskan bangsa ? Heeemmm..., ini yang ngeri-ngeri sedap. Bagi para bandit, penghisap darah, orang-orang cerdas adalah ancaman. Apalagi cerdas dan berani. Maka bandit-bandit berupaya mengebiri dunia pendidikan. Bukan saja membuat biaya pendidikan jadi mahal, mereka berusaha mencengkeramkan cakarnya di lembaga-lembaga pendidikan agar bsa menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Tetapi repotnya ketika berhadapan dengan  lembaga pendidikan yang sukar didikte karena sifat kemandiriannya. Untuk yang ini, perlu jurus dewa mabok : menohok dengan radikul-radikul. 

Mungkinkah para maling dan penjarah kekayaan negara dapat “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”? Jauhlah panggang dari api. Niat untuk itu saja pun dipastikan mereka tidak punya. Sebab, perilaku  jahat (korupsi-maling-rampok) dan niat baik (mewujudkan keadilan sosial) adalah dua hal yang berlawanan secara diametral. Pelaku kejahatan (koruptor-maling-rampok), pada saat yang sama, tidak mungkin adalah pelaku kebaikan (berniat) mewujudkan keadilan sosial. Sebaliknya, seorang yang berniat baik (mewujudkan keadilan sosial), pada saat yang sama, tidak mungkin mau melakukan kejahatan (korupsi-maling-rampok).  Tidak mungkin seorang yang beradab sekaligus adalah  biadab,  atau sebaliknya. 

Jadi kalau penegak hukum, parlemen dan birokrasi sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, ditambah lagi para pengusahanya juga demikian, lengkaplah sudah kerusakan negeri ini. Bagaimana lagi mendiskripsikannya ? Kita terpaksa setuju dengan Mahfud, hanya  ada satu kata: mengerikan! Hilanglah sudah harapan akan Indonesia Adil dan Makmur. Pupuslah sudah cita-cita Indonesia merdeka yang dengan susah payah dirumuskan para pendiri bangsa dalam pembukaan UUD 1945 –dan susah payah pula kita camkan sejak duduk di bangku Sekalolah Dasar. Indonesia sudah seperti bangunan  yang semua bagiannya digrogoti rayap, menunggu ambruk atau diambil alih pihak lain.  

Bagaimana memperbaiki keadaan ini? Mahfud pun bingung. "Kayaknya memang perlu satu terobosan. Kalau teori klasik, seperti di Amerika Latin biasanya muncul kudeta. Ini negara mau hancur, saya ambil, dan memang ada teorinya. Teori Plato 2.500 tahun lalu mengatakan, kalau demokrasi sudah menjadi anarkis memang harus muncul apa yang disebut strong leader, pokoknya babat saja dulu, daripada negaranya hancur." Begitu kata  Mahfud. Atau, mungkin juga seperti di Pililipa yah, People Power : kekuatan rakyat memaksa penguasa dzalim turun?

Bila dikuasi para bandit, demokrasi pastilah anarkis. Dalam situasi seperti ini, melalui demokrasi prosedural normal, sulit mengharapkan munculnya  pemimpin yang berani jujur (shiddiq –kata-katanya dapat dipercaya),  mampu menunaikan tugas yang diembankan dengan baik dan tidak menyalahkangunakan kekuasaan (amanah), dapat mengambil keputusan yang tepat dengan cepat (fathanah)  dan senantiasa menyampaikan kebenaran sebagai pengajaran bagi rakyatnya (tabligh). 

AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI, juga pesimis. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu –berkenan ambang batas pencalonan Presiden, menjadi penghalang munculnya pemimpin harapan rakyat. Ini dinilai sebagai  pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. “Itu menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang disebut sebagai Pilpres,”kata LaNyalla. Tentu yang dicalonkan adalah sosok yang memihak kepentingan mereka. 

Selain melanggar Konstitusi, menurut LaNyalla UU produk parlemen ini menghalangi terwujudnya cita-cita negara seperti tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itulah DPD RI secara kelembagaan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang dibuat oleh para anggota dewan yang terhormat itu.  

Masalahnya adalah, bukankah Mahkamah Konstusi juga adalah bagian dari peradilan Indonesia –yang kata Mahfud telah bekerja dengan cara-cara korupsi ? Mungkinkah oligarki (penguasa dan pengusah korupsi) itu membiarkan gugatan yang mengganggu kepetingan mereka dikabulkan ? Entahlah, mudah-mudahan saja nurani para haki MK diterangi cahaya hidayah. 

Tetapi yang pasti, jalur itu –Judicial  Reviw mengikuti prodedur hukum dan perundang-undangan, sudah  ditempuh oleh banyak orang yang masih memelihara moralitas, yakni orang-orang tidak ingin cara parlemen jalanan. Harapannya,  agar  semua pihak taat pada –-dan mau menegakkan, hukum dan perundang-undangan. Perhatikanlah, sepanjang ada Mahkamah Konstitusi, di masa pemerintahan sekarang inilah yang terbanyak Judicial Reviw.  Tapi hasilnya? Para moralis pengaju Judicial Reviw   menumpahkan kekecewaannya di berbagai media. 

LaNyala tampaknya telah menyadari resiko ini.  Karena itu ia memberi warning keras. Katanya begini : “Mahkamah Konstitusi nanti menolak gugatan DPD RI atas Pasal 222, maka saya katakan di sini, bahwa Mahkamah Konstitusi telah dengan sengaja memberi ruang kepada Oligarki Ekonomi Sehingga sudah sepantasnya Mahkamah Konstitusi dibubarkan. Karena tidak lagi menjaga negara ini dari kerusakan akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menjadi penyebab kemiskinan struktural di negara ini.”

Ngeri memang. Bayangkan,  DPD RI –yang semua anggotanya dipilih rakyat bukan atas dasar aliran politik, secara kelembagaan menggugat hasil kerja  DPR RI yang tidak memihak kepentingan rakyat. Apa yang akan terjadi bila MK menolak dan MK pun tidak pula bubar? Mudah-mudahan Mahfud sudah menemukan terobosan dan LaNyalla sudah siap dengan langkah lanjutan. 

Wallahu a’lam bisshawab

427

Related Post